Saturday, 31 July 2021

Ada PPKM, Ada Susuk

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung Putera Sang Surya

Alkisah. masa pandemi yang mengharuskan berkali-kali “work from home” (WFH), ‘bekerja dari rumah’ ini mengakibatkan berkurangnya intensitas pertemuan dengan kenalan, teman, bahkan dengan kerabat. Jadi, kalau sempat bertemu, ada ceritera lain.

            Beberapa hari kemarin, saya bertemu dengan teman yang sudah berbulan-bulan tidak ketemu. Dia teman perempuan saya, seorang guru, seperti saya juga. Teman guyon dan berbagi kisah lucu.

            “Hai, Pak Tom, ke mana aja?” sapanya sambil senyum.

            “Ada aja saya mah, Ibu sehat?”  

            “Alhamdulillah, sehat,” jawabnya.

            Teman-teman guru yang lain pun bersikap ramah padanya. Ada yang mempersilakan duduk bersamanya, tetapi dia memilih duduk di samping kanan saya.

            “Saya pengen duduk deketan sama Pak Tom,” katanya.

            Setelah duduk, biasa berbincang basa-basi tentang apa saja.

            Obrolan kemudian menjurus ke arah pandemi Corona.

            Saya mencoba bertanya tentang bisnis perhotelan dan penginapan milik suaminya. Dia memang punya suami pemilik hotel dan penginapan.

            “Gimana bisnis Si Bapak, lancar?”

            Ditanya begitu, mulai deh wajahnya cemberut, kecewa dia.

            “Sekarang bisnis hotel dan penginapan sepi. Gara-gara PPKM!” katanya penuh tekanan, biasa seperti orang-orang lainnya yang terdampak PPKM.

            Saya terdiam, mencoba memahami permasalahannya. Memang pada masa wabah ini pasti sulit. Bisnis hotel, penginapan, atau tempat wisata kan butuh banyak biaya, harus menggaji banyak orang, seperti, Satpam, manajer, resepsionis, waiter, waitress, pelayan, room keeper, tukang cuci-cuci, dsb. Mereka semua punya keluarga yang harus dihidupi. Kalau bisnisnya sepi, pasti para pekerja tidak bisa digaji.

            “Kita semua harus bersabar. Mudah-mudahan situasi cepat membaik,” kata saya.

            “Harus sabar gimana, Pak Tom? PPKM ini merugikan, usaha bisa tutup. Kita menderita!”

            “Habis, mau gimana lagi? Kalau bukan dengan PPKM, bagaimana seharusnya solusi untuk mengatasi masalah ini?” tanya saya.

            Sengaja saya bertanya, siapa tahu ada pikiran cerdas dari dia atau suaminya yang pengusaha hotel itu untuk mengatasi masalah pandemi sehingga bisnis tetap lancar dan penyebaran Covid-19 teratasi. Apalagi pengusaha hotel itu kan punya organisasi PHRI, semacam persatuan pengusaha hotel, restoran, dan tempat wisata. Organisasi itu kan dipenuhi orang pintar, siapa tahu ada pikiran cerdas yang melebihi pemerintah untuk menanggulangi masalah wabah ini. Akan tetapi, sama saja dengan yang lainnya, saya tidak mendapatkan jawaban. Mereka semua sama saja, hanya bisa mengeluh, protes, tetapi tidak memberikan solusi, tidak memiliki jalan keluarnya. Satu-satunya solusi untuk saat ini adalah yang sedang diberlakukan pemerintah.

             Saya meneruskan, “Kita ini bagai sedang menghadapi buah simalakama. Dimakan Ibu mati, tidak dimakan, Ayah yang mati. Kalau PPKM dibuka, Covid makin menyebar, berbahaya. Kalau tetap PPKM dijalankan, usaha jadi susah, pendapatan menurun drastis.”

            “Iya, tapi jangan ditutup seperti ini dong! Usaha ditutup, masjid ditutup.”

            “Sekarang begini, Bu. Kalau PPKM dibuka, lalu penyebaran Covid makin meluas, kemudian banyak yang mati, siapa yang akan bertanggung jawab?”

            Dia terdiam, mikir sambil wajahnya tetap cemberut dan menunjukkan rasa marah. Tidak tahu marah sama siapa. Mungkin marah sama pemerintah, tetapi bingung karena dia sendiri tidak punya solusi yang lebih baik dibandingkan pemerintah.

            Dia lama terdiam, enggak enak juga saya. Duduk di samping saya, tapi diam melulu.

            “Bu, lama kita tidak bertemu, tetapi Ibu tetap cantik, tidak berubah,” saya berusaha mencairkan suasana, “Bagian tubuh mana yang dipasangin susuk?”

            “Di bibir sama di hidung ….”

            “Oh, pantesan Si Bapak Hotel itu klepek-klepek, selalu tergila-gila, matanya terus tertuju sama Ibu ….”

            “Eh, Eh, apa Pak Tom …? Saya mah enggak pake susuk ….”

            “Tadi bilangnya ….”

            “Enggak ih, enggak .... Ih, Si Pak Tom mah gitu aja ih. Geuleuh ih, saya mah enggak pake susuk. Sumpah ….”

            “Stop! Jangan diterusin. Jangan sampai bilang, ‘Sumpah Demi Allah’!”

            Dia memang cantik. Kalau diibaratkan dengan artis, ya artis masa pertengahan gitu. Mirip-mirip Wulan Guritno.

            Sampurasun.




Friday, 30 July 2021

Penutupan dan Pembatasan di Tempat Ibadat

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Penutupan dan pembatasan di tempat ibadat sebetulnya bisa dipahami dengan mudah jika mau jernih memahaminya. Akan tetapi, hal ini akan menjadi rumit dan memusingkan jika dicampurbaurkan dengan kebencian politik, kedengkian murahan, dan keinginan untuk tetap membuat orang lain bodoh. Hal ini diperparah dengan masyarakat iliterat yang dengan mudah dibodohi karena kurangnya informasi, ilmu pengetahuan, dan pemahaman terhadap agamanya sendiri. Akibatnya, banyak pendapat yang ngaco, lucu, sekaligus mengesalkan. Saya sering tertawa-tawa karena banyak pendapat yang tidak memiliki dasar yang jelas, hanya dugaan, atau dalam bahasa Sunda disebut “sasangkaan wungkul”, tetapi gayanya seperti orang yang sudah mendapatkan kebenaran mutlak. Saya pun sekaligus kesal karena masyarakat yang kurang wawasannya bisa mudah percaya, kemudian jadi sesat pikir dan sesat bertindak.

            Mari kita lihat India baru-baru ini. Setelah jutaan orang mengadakan ritual suci berdesakan di Sungai Gangga, tak lama kemudian ratusan ribu orang meninggal karena Covid-19. Seluruh dunia menyalahkan kegiatan ritual itu sebagai biang kerok dari penyebaran corona di India. Berita terakhir menyebutkan bahwa sudah sekitar 500.000 (lima ratus ribu) orang India meninggal karena virus Corona.

            Sebetulnya, pemerintah India sudah berupaya memberikan penjelasan dan imbauan agar tidak melakukan ritual suci itu karena masa sekarang adalah masanya wabah, pandemi Corona. Akan tetapi, masyarakat tetap melakukannya dan tidak mematuhi pemerintahnya. Memang dalam keyakinan mereka ritual suci di Sungai Gangga itu bisa mendapatkan keberuntungan, pembebasan dosa, dan terlepas dari siklus hidup-mati (moksa). Itu keyakinan mereka yang sangat kuat. Sayangnya, kegiatan itu menyebabkan meningkatnya penyebaran virus Corona yang sulit diatasi hingga menimbulkan banyak kematian. Pemerintah India menyebutkan sebagai “second wave”, ‘gelombang kedua’, penyerangan virus Corona.

            Dunia melihat itu dan belajar dari kasus di India untuk melindungi warganya dari kesakitan dan kematian akibat Corona. Indonesia pun ikut belajar dari hal itu. Oleh sebab itu, pada beberapa tempat ibadat diberlakukan pembatasan atau mungkin penutupan, agama apa pun itu.

            Sekarang kita lihat Kabah di Mekah yang jadi tempat suci ibadat utama umat Islam sedunia. Dalam sejarahnya, Kabah pernah ditutup 40 kali. Penyebabnya macam-macam ada urusan pencurian Hajar Aswad, konflik politik, konflik antarsuku, termasuk wabah penyakit.

            Supaya tidak terlalu banyak, saya list penutupan Kabah yang diakibatkan oleh wabah penyakit. Kabah pernah ditutup karena wabah Thaun pada tahun 1814; wabah Hindi pada 1831; epidemi tahun 1837, lalu terjadi lagi pada 1858, kemudian terjadi lagi pada 1864, tiga kali karena epidemi ini Kabah ditutup; wabah kolera pada 1846, lalu kolera mewabah lagi pada 1892, dua kali Kabah ditutup karena kolera; wabah typus pada 1895; wabah meningitis pada 1987.

            Pada tahun-tahun itu Kabah ditutup untuk peribadatan. Oleh sebab itu, tak heran jika kita pergi berhaji atau umrah, suka disuntik vaksin dulu di Indonesia sebagai syarat yang diwajibkan pemerintah.

            Sekarang masanya Covid-19, Kabah mengalami penutupan beberapa kali, pada jam-jam tertentu, pada hari-hari tertentu, diberlakukan jam tutup-buka. Bahkan pembatasan jumlah jamaah dan pengaturan jarak thawaf dan shalat ketika dibuka untuk beribadat. Di samping itu, diberlakukan pula pembatasan negara-negara mana saja yang boleh ke Kabah dan yang ditunda keberangkatannya.

            Penutupan dan pembatasan yang diberlakukan di Kabah bukanlah untuk menghancurkan umat Islam atau memusnahkan agama Islam. Semua itu hanyalah untuk mengatasi wabah penyakit yang sedang merajalela. Hal itu pun sebagaimana yang terjadi di India, pelarangan untuk ritual suci di Sungai Gangga bukan untuk menghancurkan umat Hindu atau agama Hindu, tetapi melindungi masyarakat dari Covid-19.

            Aneh jika orang Indonesia dibatasi untuk beribadat di masjid, disebut bahwa pemerintah atau rezim Jokowi ingin menghancurkan umat Islam. Pemerintah ingin menghalangi perkembangan agama Islam.

            Logika dari mana itu?

            Kenapa sekalian tidak teriak ketika Kabah ditutup adalah pernyataan perang Kerajaan Arab Saudi terhadap umat Islam sedunia?

            Lebih aneh lagi ketika ada profesor yang mengatakan bahwa virus Corona digunakan pemerintah sebagai senjata pemusnah masal untuk memusnahkan anak-anak muda Islam.

            Memangnya cuma umat Islam yang mati karena Corona?

            Memangnya ratusan ribu orang India yang mati gara-gara ritual suci itu orang Islam?

            Kan orang Hindu.

            Hayu ah berakal sehat dan berpikir waras.

            Jangan ikut-ikut omongan orang yang nggak jelas.

            Sampurasun.

Thursday, 29 July 2021

Pembatasan Waktu Makan


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Pembatasan waktu makan yang ditetapkan dalam masa PPKM adalah untuk mencegah kerumunan. Cukup segitu penjelasannya, tidak perlu dipikirkan terlalu panjang. Pembatasan waktu itu ada yang hanya selama 20 menit dan ada yang 30 menit, bergantung pada levelnya.

            Berdasarkan pengalaman pribadi, sebetulnya untuk para penjual makanan semacam di pinggir jalan atau di dalam pasar tradisional, tidak terlalu masalah karena biasanya waktu untuk memakan makanan memang hanya segitu waktunya, nggak pernah lama, terutama pada jam-jam makan. Para penjual makanan di pinggir jalan biasanya kupat tahu, bubur ayam, pecel lele, nasi goreng, sate, sea food, mie ayam, mie rebus, bubur kacang ijo, soto ayam, sop kaki sapi, pempek, dll. Memang tidak pernah lama di tempat-tempat seperti itu. Di samping memang waktu memakannya tidak lama, juga kalau dagangannya enak, orang-orang mengantri beli, sedangkan tempat duduknya terbatas, malah ada yang hanya punya dua atau lima kursi plastik. Jadi, kita harus agak cepat. Selesai makan harus segera pergi untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk duduk makan.

            Itu kalau di jam-jam makan, misalnya, pukul 12.00 atau pukul 19.00 s.d. 21.00. Lain ceriteranya kalau buka dagangannya sampai larut malam, akan ada kerumunan di situ. Orang-orang  ngopi, ngobrol-ngobrol sama teman-temannya, termasuk dengan pedagangnya. Makin malam, malah sampai pagi kerumunan di tempat dagang makanan itu bisa makin banyak. Pernah suatu ketika saya sama keluarga saat belum masa pandemi, berlima, pulang dini hari. Di tengah jalan lapar, saat itu pukul 03.00 dini hari, ada penjual soto ayam dan sop kaki sapi masih buka. Di dalamnya dipenuhi anak-anak muda yang lagi nongkrong ngobrol-ngobrol. Ketika kami masuk, mereka semua bubar karena memang tempat duduknya terbatas. Bubar nggak ke mana-mana sih, tetap di situ, dipinggir jalan, pindah nongkrong di samping pedagang soto itu. Itu artinya kerumunan. Kalau bukan pada masa Covid-19 sih, oke-oke saja berkerumun, tetapi ketika masa pandemi, itu akan menjadi media penularan Covid-19. Itulah gunanya dibatasi waktu makan dan waktu buka usaha sementara menunggu pandemi mereda.

            Hal tersebut juga kayaknya tidak jauh berbeda situasinya dengan Warteg ataupun warung nasi kecil.

            Berbeda halnya dengan café-café besar, rumah makan, restoran, dan tempat-tempat makan lain yang luas, nyaman, lengkap, ada pelayan cantik dan ganteng, serta menyediakan rupa-rupa makanan dan minuman. Apalagi di dalamnya ada saung-saung yang nyaman, bisa lesehan, selonjoran. Sudah mah pake saung-saung yang menyenangkan, malahan ada yang menyediakan bantal dan guling, makin betah deh, ada wifi lagi. Di tempat seperti itu, kita bisa berjam-jam di sana dari siang sampai malam, bahkan sampai waktunya mau tutup, kita bisa di sana. Makanya, di tempat semacam itu suka ada mushala untuk shalat. Pernah saya sama teman-teman dari siang hingga malam tetap di sana untuk membicarakan sesuatu. Shalat Ashar di sana, demikian pula Maghrib dan Isya di sana. Bukan cuma saya and the gank yang seperti itu, orang lain pun sama, hilir mudik  berlama-lama. Itu artinya kerumunan. Itulah yang saat ini dibatasi waktu makan dan waktu buka usahanya agar tidak menciptakan kerumunan yang dapat menjadi media penyebaran Covid-19.

            Begitulah, keadaannya. Kita memang harus bersabar bekerja sama untuk menghentikan arus Covid-19 ini. Rakyat dengan rakyat jangan banyak berselisih soal ini. Rakyat dan pemerintah pun harus bahu-membahu, bergotong royong agar sama-sama keluar lebih cepat dari masalah ini. Jangan saling menyalahkan. Semuanya lagi susah. Jika lebih sadar, lebih berpartisipasi, lebih bergotong royong, insyaallah semuanya kembali ke keadaan semula, bahkan lebih baik.

            Allah swt tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu melakukan upaya perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik.

            Sampurasun.




Tuesday, 27 July 2021

Ujian Melalui Covid-19

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak yang mengatakan bahwa pandemi Covid-19 adalah hukuman dari Allah swt. Ada juga yang mengatakan bahwa pandemi ini adalah ujian dari Allah swt. Hukuman atau ujian bergantung pada kondisi orang masing-masing. Kalau hukuman, artinya sanksi bagi perilaku buruk manusia sebelumnya. Kalau ujian, berarti tes agar manusia meningkat menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.

            Banyak sudah orang yang berceramah tentang hukuman ini, mulai ceramah yang menenangkan, mencerahkan, hingga ceramah yang penuh maki-maki ditambah kebencian politik dengan kata-kata kasar dan membangkitkan permusuhan.

            Ada yang berceramah bahwa pandemi ini adalah hukuman bagi penguasa, bagi Jokowi, bagi pendukungnya, dan bagi para buzzer.

Akibatnya, pendukung Jokowi bereaksi melakukan balasan dengan penuh penghinaan, “Katanya Covid-19 adalah azab bagi Jokowi, tapi kenyataannya yang mati malah para Kadrun! Dasar Kadrun nggak punya otak! Pergi Lu dari Indonesia! Pindah ke gurun pasir!”

Muncul lagi deh Cebong Vs Kadrun, padahal Pilpres sudah lama selesai.

Coba kalau sudah begitu, bagaimana?

Orang-orang malah bertengkar, makin bermusuhan. Seharusnya kan isi ceramah itu memberikan pencerahan dan pemahaman agar pikiran dan perilaku manusia bisa menjadi lebih baik, lebih menumbuhkan perdamaian, dan lebih ikhlas bergotong royong untuk memecahkan masalah bersama.

Ya sudahlah, mereka yang berceramah, menulis, atau menganalisa soal Covid-19 adalah hukuman itu sudah sangat banyak dengan rupa-rupa tujuan, ada yang tulus ada juga yang aneh.

Kalau saya mah semalam teringat QS Al Baqarah, 2 : 155 yang isinya seperti ini:

“Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Begitu kata Allah swt. Dia memastikan bahwa akan memberikan ujian bagi kita yang berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Itu Allah swt sendiri yang melakukannya.

Covid-19 jelas sedang merajalela di seluruh dunia. Kalau Allah swt mau, bisa menghentikannya dalam sekejap. Akan tetapi, Allah swt membiarkannya menyebar di antara manusia di seluruh dunia. Covid-19 jelas menimbulkan ketakutan, kesakitan, dan kematian. Kemudian, manusia berupaya melawannya dengan lockdown, PSBB, PPKM, atau istilah lain, bergantung negaranya. Upaya manusia itu menimbulkan risiko kekurangan harta  dan kelaparan yang tidak bisa dihindari. Untuk mengurangi risiko itu manusia menjalankan Bansos serta mengatur jarak dan waktu interaksi di antara manusia agar pandemi bisa segera berakhir, tetapi ekonomi tetap jalan meskipun harus jauh berkurang dibandingkan sebelumnya. Oleh sebab itu, manusia berupaya menciptakan vaksin agar terjadi kekebalan terhadap virus corona. Begitulah yang terjadi.

Kalau merujuk ke QS Al Baqarah, 2 : 155, kunci untuk menghadapi ujian ini adalah kesabaran.

“ … Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Orang-orang yang sabar akan sukses melewati pandemi ini dengan kegembiraan luar biasa. Sabar itu bukan berarti diam, tetapi tetap mengikuti proses ini dengan tenang, berupaya berperilaku baik, bekerja sama dengan orang lain, mengembangkan pengetahuan untuk melawan virus, bersikap ilmiah, serta yang terutama adalah tetap beriman kepada Allah swt dan yakin bahwa pertolongan Allah swt segera tiba.

Kalau tidak sabaran, berarti gagal menghadapi ujian Allah swt. Tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang tidak sabar.

Kalau pengen lebih jelas, bisa tanya tentang arti sabar kepada ustadz-ustadz yang mencerahkan, bukan ustadz yang suka menimbulkan kemarahan dan kebencian.

Begitu ya. Kalau yang saya tulis ini benar, berarti itu dari Allah swt. Kalau salah, berarti saya yang bodoh.

Begitu, Bro.

Sampurasun.

Mati Setelah Divaksin

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Alkisah. Beberapa waktu lalu saya dan warga tetangga mengadakan silaturahmi yang diselenggarakan di lapang depan rumah saya supaya tempatnya terbuka dan tidak tertutup sehingga pergerakan udara bisa lebih leluasa dan bebas. Tidak terlalu banyak orang, sekitar dua puluhan yang dianggap tokoh masyarakat, ratusan warga lainnya tidak diundang, mencegah kerumunan.

            Banyak hal yang diperbincangkan, termasuk menyepakati bahwa untuk tahun ini tidak perlu diadakan acara keramaian peringatan 17 Agustus karena situasi masih belum memungkinkan akibat Covid-19. Kalaupun memaksa ingin mengadakan acara tujuh belasan, protokol kesehatan harus diperhatikan. Akan tetapi, imbauan utamanya adalah jangan mengadakan acara apa pun.

            Selepas ngobrol-ngobrol yang penting-penting, seperti biasa, ngobrolnya jadi ngalor-ngidul, apa aja dibicarain. Hal yang unik adalah seorang tetangga mengajak saya mengobrol soal vaksin untuk pencegahan Covid-19.

            “Teman saya mati setelah divaksin,” katanya.

            Saya sih nggak langsung percaya karena ini mah terdengar seperti bahasa hoax Medsos yang ujungnya mengganggu program vaksinasi. Akan tetapi, saya juga penasaran tentang benar-tidaknya kejadian itu.

            “Divaksinnya sendiri, Pak?” tanya saya.

            “Iya, sendiri.”

            “Di mana?”

            “Di Puskesmas.”

            “Masa? Biasanya, kan di Puskesmas itu ngantri kalau divaksin, nggak sendirian,” kata saya mencoba meluruskan.

            “Iya, mungkin,” jawabnya ragu-ragu.

            “Maksud saya begini. Kalau Puskesmas itu mendapatkan tugas untuk menyuntikkan vaksin untuk seribu orang, terus yang meninggal hanya seorang, berarti orang yang berjumlah 999 lagi baik-baik saja. Itu apa artinya? Artinya, orang yang meninggal itu sudah bermasalah soal kesehatannya sejak lama. Kebetulan saja dia meninggal setelah divaksin. Bukan berarti vaksin yang harus disalahkan. Toh, yang 999 orang lagi baik-baik saja.”

            Dia tidak menjawab. Kelihatannya sih rada berpikir.

            Saya meneruskan, “Kalau dari seribu orang di Puskesmas itu 800 orang mati setelah divaksin, itu baru kemungkinan besar vaksinnya yang memang bermasalah. Artinya, 80% mengalami kegagalan. Gagal berarti Puskesmas itu menjalankan program vaksinasi. Bisa juga ….”

            “Bisa juga yang disuntikkan bukan vaksin, tapi cairan obat kuat pria dewasa, ha ha ha ha ….”

            Eh, saya belum selesai ngomong, Si Bapak malah jadi ngajak bercanda.

            “Bukan, tapi obat penumbuh bulu,” saya jadi ikut-ikutan bercanda.

            Ya sudah, obrolan soal vaksin dan kematian berhenti. Obrolan ke sananya makin ngaco, ketawa-ketiwi, saling bully, biasa sama tetangga kan banyak humor. Apalagi sekarang perlu banyak humor untuk meningkatkan imun diri.

            Sampurasun.

Gaji Agustus 2021 Buat Rakyat

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam masa pandemi ini sudah sangat baik dan wajar jika kita berbagi dengan siapa saja yang lebih membutuhkan dibandingkan kita. Contoh yang baik sudah ditampakkan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna yang menyerahkan gajinya bulan Agustus 2021 untuk rakyat. Baru beberapa menit lalu, saya menonton video di “Youtube” yang diunggah “Kompas TV”, Bupati Bandung berniat menyerahkan gajinya itu untuk rakyat. Itu contoh yang sangat bagus sebagai kepala pemerintahan.

            Kalau gaji dia sendiri sih pasti kecil dan tidak akan cukup untuk dibagikan untuk banyak orang di Kabupaten Bandung. Akan tetapi, dia mengajak para ASN di lingkungannya untuk sama-sama memberikan gaji satu bulannya untuk rakyat. Ajakan itu sangat wajar karena para ASN yang memiliki penghasilan tinggi kan masih punya gaji bulanan. Artinya, bulan depan mereka dapat uang lagi. Adapun masyarakat yang paling terdampak dan menderita akibat efek Covid-19 ini adalah mereka yang mengandalkan penghasilan harian. Mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan uang karena penghasilan mereka tersekat PPKM yang tidak bisa dihindari itu.

            Mudah-mudahan ajakan niat Bupati Bandung ini menjadi kenyataan dan diikuti oleh para ASN, minimal di Kabupaten Bandung. Akan lebih baik lagi jika diikuti oleh para ASN di seluruh kota, kabupaten, provinsi, pusat se-Indonesia. Gaji satu bulan yang dikumpulkan para ASN itu akan sangat membantu bagi rakyat terdampak untuk menambah kesejahteraan di samping Bansos yang sudah dan sedang diprogramkan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

            Bagi warga Kabupaten Bandung yang sangat terdampak pandemi, coba cari akses ke pemerintah daerah, mudah-mudahan ada jalan, ada rezekinya, dan diridhoi Allah swt. Akan tetapi, ingat bantuan uang apa pun, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, jangan digunakan untuk beli rokok, minuman keras, “komo dipake kawin deui mah”.

Hayu ah, sampurasun.

Oh, iya. Kata Dadang Supriatna masyarakat yang akan diberi bantuan dari gajinya dan mudah-mudahan dari para ASN lainnya itu ada tiga kelompok, yaitu “warga yang sedang Isoman, para pelaku UMKM, dan para pekerja seni”. Memang para pekerja seni juga banyak yang kesusahan karena tak ada lagi jadwal “manggung” atau pentas. Kan masih nggak boleh bikin dangdutan, jaipongan, atau organ tunggal karena akan menciptakan kerumunan. Sok coba usaha, mudah-mudahan kebagian.

Sampurasun deui.



Tuesday, 20 July 2021

Pengaruh Vaksinasi

oleh Tom Finaldin


Beberapa hari kemarin, saya baca berita. Inggris sudah mulai percaya diri menyelenggarakan pertandingan sepak bola di stadion yang dipenuhi penonton.

Apa penyebabnya?
Mereka sudah memvaksin 70% warganya. Dengan uang yang banyak dan penduduk sedikit, 67 juta jiwa, mereka memang bisa lebih cepat keluar dari masalah Covid-19.
Brazil sudah mengalami penurunan jumlah pasien di rumah sakit sekitar 95%.
Apa penyebabnya?
Brazil sudah memvaksin 70% warganya dari jumlah 216 juta jiwa. Memang mereka tidak sekaya Inggris, tetapi dengan kesadaran rakyatnya, mereka mulai berhasil.
Cina dan Amerika Serikat yang kalau dijumlahkan penduduknya mencapai miliaran sudah lebih mulai mengalami keberhasilan.
Apa penyebabnya?
Mereka sudah berhasil memvaksin rakyatnya lebih dari 50%. Di samping itu, mereka pun punya banyak uang.
Indonesia sampai hari ini masih bermasalah.
Apa penyebabnya?
Sampai 10 Juli 2021, baru 15 juta orang yang sudah dua kali divaksin, padahal penduduk Indonesia jumlahnya ada 267 juta jiwa.
Baru berapa persen?
Masih sangat sedikit.
Di samping itu, Indonesia tidak punya banyak uang atau tidak sekaya Cina, Amerika Serikat, dan Inggris. Kondisi masyarakatnya pun masih ribut melulu dengan lapisan masyarakat lainnya, malahan ribut sama pemerintahnya. Disiplin Prokes-nya pun jelek. Ditambah lagi dengan hoax-hoax yang dipercaya para penggemar hoax. Padahal, hoax itu tidak punya data, fakta, bukti, hasil penelitian, referensi, jurnal ilmiah, atau dasar hukum.
Pada masa Hari Raya Idul Adha ini, mari kita kurbankan egoisme masing-masing, baik di antara masyarakat sendiri, maupun antara rakyat dengan pemerintah. Dengan kebersamaan, insyaallah, Indonesia cepat pulih, bahkan cepat meningkat menjadi kekuatan ekonomi ketujuh besar dunia sebagaimana diprediksikan para ilmuwan Barat.
Bukankah gotong royong lebih baik dibandingkan perpecahan?

Sampurasun.