oleh
Tom Finaldin
Bandung
Putera Sang Surya
Alkisah. masa pandemi yang
mengharuskan berkali-kali “work from home”
(WFH), ‘bekerja dari rumah’ ini mengakibatkan berkurangnya intensitas pertemuan
dengan kenalan, teman, bahkan dengan kerabat. Jadi, kalau sempat bertemu, ada ceritera
lain.
Beberapa hari kemarin, saya bertemu dengan teman yang
sudah berbulan-bulan tidak ketemu. Dia teman perempuan saya, seorang guru,
seperti saya juga. Teman guyon dan berbagi kisah lucu.
“Hai, Pak Tom, ke mana aja?” sapanya sambil senyum.
“Ada aja saya mah, Ibu sehat?”
“Alhamdulillah, sehat,” jawabnya.
Teman-teman guru yang lain pun bersikap ramah padanya. Ada
yang mempersilakan duduk bersamanya, tetapi dia memilih duduk di samping kanan
saya.
“Saya pengen duduk deketan sama Pak Tom,” katanya.
Setelah duduk, biasa berbincang basa-basi tentang apa
saja.
Obrolan kemudian menjurus ke arah pandemi Corona.
Saya mencoba bertanya tentang bisnis perhotelan dan
penginapan milik suaminya. Dia memang punya suami pemilik hotel dan penginapan.
“Gimana bisnis Si Bapak, lancar?”
Ditanya begitu, mulai deh wajahnya cemberut, kecewa dia.
“Sekarang bisnis hotel dan penginapan sepi. Gara-gara
PPKM!” katanya penuh tekanan, biasa seperti orang-orang lainnya yang terdampak
PPKM.
Saya terdiam, mencoba memahami permasalahannya. Memang
pada masa wabah ini pasti sulit. Bisnis hotel, penginapan, atau tempat wisata
kan butuh banyak biaya, harus menggaji banyak orang, seperti, Satpam, manajer,
resepsionis, waiter, waitress, pelayan, room keeper, tukang cuci-cuci, dsb.
Mereka semua punya keluarga yang harus dihidupi. Kalau bisnisnya sepi, pasti para
pekerja tidak bisa digaji.
“Kita semua harus bersabar. Mudah-mudahan situasi cepat
membaik,” kata saya.
“Harus sabar gimana, Pak Tom? PPKM ini merugikan, usaha
bisa tutup. Kita menderita!”
“Habis, mau gimana lagi? Kalau bukan dengan PPKM,
bagaimana seharusnya solusi untuk mengatasi masalah ini?” tanya saya.
Sengaja saya bertanya, siapa tahu ada pikiran cerdas dari
dia atau suaminya yang pengusaha hotel itu untuk mengatasi masalah pandemi sehingga
bisnis tetap lancar dan penyebaran Covid-19 teratasi. Apalagi pengusaha hotel
itu kan punya organisasi PHRI, semacam persatuan pengusaha hotel, restoran, dan
tempat wisata. Organisasi itu kan dipenuhi orang pintar, siapa tahu ada pikiran
cerdas yang melebihi pemerintah untuk menanggulangi masalah wabah ini. Akan
tetapi, sama saja dengan yang lainnya, saya tidak mendapatkan jawaban. Mereka
semua sama saja, hanya bisa mengeluh, protes, tetapi tidak memberikan solusi,
tidak memiliki jalan keluarnya. Satu-satunya solusi untuk saat ini adalah yang
sedang diberlakukan pemerintah.
Saya meneruskan, “Kita
ini bagai sedang menghadapi buah simalakama. Dimakan Ibu mati, tidak dimakan, Ayah yang mati. Kalau PPKM dibuka, Covid makin menyebar, berbahaya. Kalau tetap
PPKM dijalankan, usaha jadi susah, pendapatan menurun drastis.”
“Iya, tapi jangan ditutup seperti ini dong! Usaha
ditutup, masjid ditutup.”
“Sekarang begini, Bu. Kalau PPKM dibuka, lalu penyebaran Covid
makin meluas, kemudian banyak yang mati, siapa yang akan bertanggung jawab?”
Dia terdiam, mikir sambil wajahnya tetap cemberut dan
menunjukkan rasa marah. Tidak tahu marah sama siapa. Mungkin marah sama
pemerintah, tetapi bingung karena dia sendiri tidak punya solusi yang lebih
baik dibandingkan pemerintah.
Dia lama terdiam, enggak enak juga saya. Duduk di samping
saya, tapi diam melulu.
“Bu, lama kita tidak bertemu, tetapi Ibu tetap cantik,
tidak berubah,” saya berusaha mencairkan suasana, “Bagian tubuh mana yang
dipasangin susuk?”
“Di bibir sama di hidung ….”
“Oh, pantesan Si Bapak Hotel itu klepek-klepek, selalu
tergila-gila, matanya terus tertuju sama Ibu ….”
“Eh, Eh, apa Pak Tom …? Saya mah enggak pake susuk ….”
“Tadi bilangnya ….”
“Enggak ih, enggak .... Ih, Si Pak Tom mah gitu aja ih. Geuleuh ih, saya mah enggak pake susuk.
Sumpah ….”
“Stop! Jangan diterusin. Jangan sampai bilang, ‘Sumpah
Demi Allah’!”
Dia memang cantik. Kalau diibaratkan dengan artis, ya
artis masa pertengahan gitu. Mirip-mirip Wulan Guritno.
Sampurasun.