Tuesday 27 July 2021

Mati Setelah Divaksin

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Alkisah. Beberapa waktu lalu saya dan warga tetangga mengadakan silaturahmi yang diselenggarakan di lapang depan rumah saya supaya tempatnya terbuka dan tidak tertutup sehingga pergerakan udara bisa lebih leluasa dan bebas. Tidak terlalu banyak orang, sekitar dua puluhan yang dianggap tokoh masyarakat, ratusan warga lainnya tidak diundang, mencegah kerumunan.

            Banyak hal yang diperbincangkan, termasuk menyepakati bahwa untuk tahun ini tidak perlu diadakan acara keramaian peringatan 17 Agustus karena situasi masih belum memungkinkan akibat Covid-19. Kalaupun memaksa ingin mengadakan acara tujuh belasan, protokol kesehatan harus diperhatikan. Akan tetapi, imbauan utamanya adalah jangan mengadakan acara apa pun.

            Selepas ngobrol-ngobrol yang penting-penting, seperti biasa, ngobrolnya jadi ngalor-ngidul, apa aja dibicarain. Hal yang unik adalah seorang tetangga mengajak saya mengobrol soal vaksin untuk pencegahan Covid-19.

            “Teman saya mati setelah divaksin,” katanya.

            Saya sih nggak langsung percaya karena ini mah terdengar seperti bahasa hoax Medsos yang ujungnya mengganggu program vaksinasi. Akan tetapi, saya juga penasaran tentang benar-tidaknya kejadian itu.

            “Divaksinnya sendiri, Pak?” tanya saya.

            “Iya, sendiri.”

            “Di mana?”

            “Di Puskesmas.”

            “Masa? Biasanya, kan di Puskesmas itu ngantri kalau divaksin, nggak sendirian,” kata saya mencoba meluruskan.

            “Iya, mungkin,” jawabnya ragu-ragu.

            “Maksud saya begini. Kalau Puskesmas itu mendapatkan tugas untuk menyuntikkan vaksin untuk seribu orang, terus yang meninggal hanya seorang, berarti orang yang berjumlah 999 lagi baik-baik saja. Itu apa artinya? Artinya, orang yang meninggal itu sudah bermasalah soal kesehatannya sejak lama. Kebetulan saja dia meninggal setelah divaksin. Bukan berarti vaksin yang harus disalahkan. Toh, yang 999 orang lagi baik-baik saja.”

            Dia tidak menjawab. Kelihatannya sih rada berpikir.

            Saya meneruskan, “Kalau dari seribu orang di Puskesmas itu 800 orang mati setelah divaksin, itu baru kemungkinan besar vaksinnya yang memang bermasalah. Artinya, 80% mengalami kegagalan. Gagal berarti Puskesmas itu menjalankan program vaksinasi. Bisa juga ….”

            “Bisa juga yang disuntikkan bukan vaksin, tapi cairan obat kuat pria dewasa, ha ha ha ha ….”

            Eh, saya belum selesai ngomong, Si Bapak malah jadi ngajak bercanda.

            “Bukan, tapi obat penumbuh bulu,” saya jadi ikut-ikutan bercanda.

            Ya sudah, obrolan soal vaksin dan kematian berhenti. Obrolan ke sananya makin ngaco, ketawa-ketiwi, saling bully, biasa sama tetangga kan banyak humor. Apalagi sekarang perlu banyak humor untuk meningkatkan imun diri.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment