oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Alkisah.
Beberapa waktu lalu saya dan warga tetangga mengadakan silaturahmi yang
diselenggarakan di lapang depan rumah saya supaya tempatnya terbuka dan tidak
tertutup sehingga pergerakan udara bisa lebih leluasa dan bebas. Tidak terlalu
banyak orang, sekitar dua puluhan yang dianggap tokoh masyarakat, ratusan warga
lainnya tidak diundang, mencegah kerumunan.
Banyak hal yang diperbincangkan, termasuk menyepakati
bahwa untuk tahun ini tidak perlu diadakan acara keramaian peringatan 17 Agustus
karena situasi masih belum memungkinkan akibat Covid-19. Kalaupun memaksa ingin
mengadakan acara tujuh belasan, protokol kesehatan harus diperhatikan. Akan
tetapi, imbauan utamanya adalah jangan mengadakan acara apa pun.
Selepas ngobrol-ngobrol yang penting-penting, seperti biasa,
ngobrolnya jadi ngalor-ngidul, apa aja dibicarain. Hal yang unik adalah seorang
tetangga mengajak saya mengobrol soal vaksin untuk pencegahan Covid-19.
“Teman saya mati setelah divaksin,” katanya.
Saya sih nggak langsung percaya karena ini mah terdengar
seperti bahasa hoax Medsos yang ujungnya mengganggu program vaksinasi. Akan
tetapi, saya juga penasaran tentang benar-tidaknya kejadian itu.
“Divaksinnya sendiri, Pak?” tanya saya.
“Iya, sendiri.”
“Di mana?”
“Di Puskesmas.”
“Masa? Biasanya, kan di Puskesmas itu ngantri kalau
divaksin, nggak sendirian,” kata saya mencoba meluruskan.
“Iya, mungkin,” jawabnya ragu-ragu.
“Maksud saya begini. Kalau Puskesmas itu mendapatkan tugas
untuk menyuntikkan vaksin untuk seribu orang, terus yang meninggal hanya
seorang, berarti orang yang berjumlah 999 lagi baik-baik saja. Itu apa artinya?
Artinya, orang yang meninggal itu sudah bermasalah soal kesehatannya sejak
lama. Kebetulan saja dia meninggal setelah divaksin. Bukan berarti vaksin yang
harus disalahkan. Toh, yang 999 orang lagi baik-baik saja.”
Dia tidak menjawab. Kelihatannya sih rada berpikir.
Saya meneruskan, “Kalau dari seribu orang di Puskesmas
itu 800 orang mati setelah divaksin, itu baru kemungkinan besar vaksinnya yang memang
bermasalah. Artinya, 80% mengalami kegagalan. Gagal berarti Puskesmas itu menjalankan
program vaksinasi. Bisa juga ….”
“Bisa juga yang disuntikkan bukan vaksin, tapi cairan
obat kuat pria dewasa, ha ha ha ha ….”
Eh, saya belum selesai ngomong, Si Bapak malah jadi ngajak
bercanda.
“Bukan, tapi obat penumbuh bulu,” saya jadi ikut-ikutan
bercanda.
Ya sudah, obrolan soal vaksin dan kematian berhenti.
Obrolan ke sananya makin ngaco, ketawa-ketiwi, saling bully, biasa sama tetangga
kan banyak humor. Apalagi sekarang perlu banyak humor untuk meningkatkan imun
diri.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment