Thursday, 29 July 2021

Pembatasan Waktu Makan


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Pembatasan waktu makan yang ditetapkan dalam masa PPKM adalah untuk mencegah kerumunan. Cukup segitu penjelasannya, tidak perlu dipikirkan terlalu panjang. Pembatasan waktu itu ada yang hanya selama 20 menit dan ada yang 30 menit, bergantung pada levelnya.

            Berdasarkan pengalaman pribadi, sebetulnya untuk para penjual makanan semacam di pinggir jalan atau di dalam pasar tradisional, tidak terlalu masalah karena biasanya waktu untuk memakan makanan memang hanya segitu waktunya, nggak pernah lama, terutama pada jam-jam makan. Para penjual makanan di pinggir jalan biasanya kupat tahu, bubur ayam, pecel lele, nasi goreng, sate, sea food, mie ayam, mie rebus, bubur kacang ijo, soto ayam, sop kaki sapi, pempek, dll. Memang tidak pernah lama di tempat-tempat seperti itu. Di samping memang waktu memakannya tidak lama, juga kalau dagangannya enak, orang-orang mengantri beli, sedangkan tempat duduknya terbatas, malah ada yang hanya punya dua atau lima kursi plastik. Jadi, kita harus agak cepat. Selesai makan harus segera pergi untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk duduk makan.

            Itu kalau di jam-jam makan, misalnya, pukul 12.00 atau pukul 19.00 s.d. 21.00. Lain ceriteranya kalau buka dagangannya sampai larut malam, akan ada kerumunan di situ. Orang-orang  ngopi, ngobrol-ngobrol sama teman-temannya, termasuk dengan pedagangnya. Makin malam, malah sampai pagi kerumunan di tempat dagang makanan itu bisa makin banyak. Pernah suatu ketika saya sama keluarga saat belum masa pandemi, berlima, pulang dini hari. Di tengah jalan lapar, saat itu pukul 03.00 dini hari, ada penjual soto ayam dan sop kaki sapi masih buka. Di dalamnya dipenuhi anak-anak muda yang lagi nongkrong ngobrol-ngobrol. Ketika kami masuk, mereka semua bubar karena memang tempat duduknya terbatas. Bubar nggak ke mana-mana sih, tetap di situ, dipinggir jalan, pindah nongkrong di samping pedagang soto itu. Itu artinya kerumunan. Kalau bukan pada masa Covid-19 sih, oke-oke saja berkerumun, tetapi ketika masa pandemi, itu akan menjadi media penularan Covid-19. Itulah gunanya dibatasi waktu makan dan waktu buka usaha sementara menunggu pandemi mereda.

            Hal tersebut juga kayaknya tidak jauh berbeda situasinya dengan Warteg ataupun warung nasi kecil.

            Berbeda halnya dengan café-café besar, rumah makan, restoran, dan tempat-tempat makan lain yang luas, nyaman, lengkap, ada pelayan cantik dan ganteng, serta menyediakan rupa-rupa makanan dan minuman. Apalagi di dalamnya ada saung-saung yang nyaman, bisa lesehan, selonjoran. Sudah mah pake saung-saung yang menyenangkan, malahan ada yang menyediakan bantal dan guling, makin betah deh, ada wifi lagi. Di tempat seperti itu, kita bisa berjam-jam di sana dari siang sampai malam, bahkan sampai waktunya mau tutup, kita bisa di sana. Makanya, di tempat semacam itu suka ada mushala untuk shalat. Pernah saya sama teman-teman dari siang hingga malam tetap di sana untuk membicarakan sesuatu. Shalat Ashar di sana, demikian pula Maghrib dan Isya di sana. Bukan cuma saya and the gank yang seperti itu, orang lain pun sama, hilir mudik  berlama-lama. Itu artinya kerumunan. Itulah yang saat ini dibatasi waktu makan dan waktu buka usahanya agar tidak menciptakan kerumunan yang dapat menjadi media penyebaran Covid-19.

            Begitulah, keadaannya. Kita memang harus bersabar bekerja sama untuk menghentikan arus Covid-19 ini. Rakyat dengan rakyat jangan banyak berselisih soal ini. Rakyat dan pemerintah pun harus bahu-membahu, bergotong royong agar sama-sama keluar lebih cepat dari masalah ini. Jangan saling menyalahkan. Semuanya lagi susah. Jika lebih sadar, lebih berpartisipasi, lebih bergotong royong, insyaallah semuanya kembali ke keadaan semula, bahkan lebih baik.

            Allah swt tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu melakukan upaya perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik.

            Sampurasun.




No comments:

Post a Comment