oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pembatasan waktu makan yang
ditetapkan dalam masa PPKM adalah untuk mencegah kerumunan. Cukup segitu
penjelasannya, tidak perlu dipikirkan terlalu panjang. Pembatasan waktu itu ada
yang hanya selama 20 menit dan ada yang 30 menit, bergantung pada levelnya.
Berdasarkan pengalaman pribadi, sebetulnya untuk para
penjual makanan semacam di pinggir jalan atau di dalam pasar tradisional, tidak
terlalu masalah karena biasanya waktu untuk memakan makanan memang hanya segitu
waktunya, nggak pernah lama, terutama pada jam-jam makan. Para penjual makanan
di pinggir jalan biasanya kupat tahu, bubur ayam, pecel lele, nasi goreng,
sate, sea food, mie ayam, mie rebus,
bubur kacang ijo, soto ayam, sop kaki sapi, pempek, dll. Memang tidak pernah
lama di tempat-tempat seperti itu. Di samping memang waktu memakannya tidak
lama, juga kalau dagangannya enak, orang-orang mengantri beli, sedangkan tempat
duduknya terbatas, malah ada yang hanya punya dua atau lima kursi plastik.
Jadi, kita harus agak cepat. Selesai makan harus segera pergi untuk memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk duduk makan.
Itu kalau di jam-jam makan, misalnya, pukul 12.00 atau
pukul 19.00 s.d. 21.00. Lain ceriteranya kalau buka dagangannya sampai larut
malam, akan ada kerumunan di situ. Orang-orang ngopi, ngobrol-ngobrol sama teman-temannya,
termasuk dengan pedagangnya. Makin malam, malah sampai pagi kerumunan di tempat
dagang makanan itu bisa makin banyak. Pernah suatu ketika saya sama keluarga
saat belum masa pandemi, berlima, pulang dini hari. Di tengah jalan lapar, saat
itu pukul 03.00 dini hari, ada penjual soto ayam dan sop kaki sapi masih buka.
Di dalamnya dipenuhi anak-anak muda yang lagi nongkrong ngobrol-ngobrol. Ketika
kami masuk, mereka semua bubar karena memang tempat duduknya terbatas. Bubar
nggak ke mana-mana sih, tetap di situ, dipinggir jalan, pindah nongkrong di
samping pedagang soto itu. Itu artinya kerumunan. Kalau bukan pada masa
Covid-19 sih, oke-oke saja berkerumun, tetapi ketika masa pandemi, itu akan
menjadi media penularan Covid-19. Itulah gunanya dibatasi waktu makan dan waktu
buka usaha sementara menunggu pandemi mereda.
Hal tersebut juga kayaknya tidak jauh berbeda situasinya
dengan Warteg ataupun warung nasi kecil.
Berbeda halnya dengan café-café besar, rumah makan,
restoran, dan tempat-tempat makan lain yang luas, nyaman, lengkap, ada pelayan
cantik dan ganteng, serta menyediakan rupa-rupa makanan dan minuman. Apalagi di
dalamnya ada saung-saung yang nyaman, bisa lesehan, selonjoran. Sudah mah pake
saung-saung yang menyenangkan, malahan ada yang menyediakan bantal dan guling,
makin betah deh, ada wifi lagi. Di tempat seperti itu, kita bisa berjam-jam di
sana dari siang sampai malam, bahkan sampai waktunya mau tutup, kita bisa di
sana. Makanya, di tempat semacam itu suka ada mushala untuk shalat. Pernah saya
sama teman-teman dari siang hingga malam tetap di sana untuk membicarakan
sesuatu. Shalat Ashar di sana, demikian pula Maghrib dan Isya di sana. Bukan cuma
saya and the gank yang seperti itu,
orang lain pun sama, hilir mudik berlama-lama.
Itu artinya kerumunan. Itulah yang saat ini dibatasi waktu makan dan waktu buka
usahanya agar tidak menciptakan kerumunan yang dapat menjadi media penyebaran
Covid-19.
Begitulah, keadaannya. Kita memang harus bersabar bekerja
sama untuk menghentikan arus Covid-19 ini. Rakyat dengan rakyat jangan banyak
berselisih soal ini. Rakyat dan pemerintah pun harus bahu-membahu, bergotong
royong agar sama-sama keluar lebih cepat dari masalah ini. Jangan saling
menyalahkan. Semuanya lagi susah. Jika lebih sadar, lebih berpartisipasi, lebih
bergotong royong, insyaallah semuanya kembali ke keadaan semula, bahkan lebih
baik.
Allah swt tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali
kaum itu melakukan upaya perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment