oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya, yang disampaikan
Menag RI Gus Yaqut kurang lengkap karena seolah-olah persoalan bunyi pelantang
yang terlalu keras dari masjid dan mushala ini hanya untuk menghormati
nonmuslim dan menciptakan suasana lebih harmonis di antara umat beragama. Hal
itu disebabkan banyak juga sebetulnya umat Islam yang merasa terganggu oleh
suara-suara itu. Saya bisa menceriterakan satu per satu orang-orang yang pernah
terganggu itu pada sepanjang hidup saya dan seingat saya. Akan tetapi, kali ini
saya ingin mengisahkan gangguan yang dialami oleh keluarga habib berdasarkan
pengakuan Habib Ben Shohib (HBS).
HBS memiliki paman yang sudah berusia tujuh puluh tahun
lebih. Pamannya itu pernah meminta pengurus mushala di dekat rumahnya agar
mengecilkan volume Toa karena terlalu memekakkan telinga. Akan tetapi, yang
terjadi justru adalah perdebatan.
Pengurus mushala menanggapi permintaan itu dengan nada
yang sinis, “Oh, aneh juga ya. Bapak tidak menyukai suara adzan dan dzikir.
Bukankah Bapak muslim?”
Mendapat respon seperti itu, tentu saja paman HBS merasa
geram dan balik bertanya, “Anda seorang muslim, saya yakin Anda menyukai
ayat-ayat suci Al Quran, tetapi bagimana seandainya saya membacakannya keras-keras
di telinga Anda?”
Perdebatan
singkat itu berhenti. Pengurus mushala berjanji akan mengecilkan volume suara
Toa. Sayangnya, janji itu tidak pernah dipenuhi. Suara Toa tetap selalu keras
memekakan telinga. Akhirnya, paman HBS memilih pindah rumah meninggalkan
rumahnya dan memilih tempat lain, menjauh dari mushala yang memekakan telinga
itu.
Kisah yang
berikutnya adalah seorang kenalan HBS, yaitu seorang habib tasawuf yang sangat
luas ilmunya. Habib ini adalah seorang pengurus yayasan sosial yang bergerak di
bidang pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu. Di rumahnya, habib ini
banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku dan bercengkerama dengan istri
dan anak-anaknya.
Pada suatu waktu mulai ada pembangunan mushala di
belakang rumahnya. Toa mushala itu berbunyi sangat keras dan sering sekali.
Bunyi yang sangat keras itu berasal dari berbagai kegiatannya, mulai pembacaan
Al Quran, dzikir, tarhim, adzan, shalat hingga khutbah. Siang hari Toa itu
menyiarkan acara majelis taklim ibu-ibu. Apalagi saat tiba bulan Ramadhan, Toa
itu bertambah sering berbunyi sangat keras karena kegiatannya bertambah banyak
semisal shalat, tarawih, wirid, dan ceramah-ceramah. Pada pukul 02.00 dini hari
Toa itu digunakan lagi untuk membangunkan sahur dengan cara seperti orang yang
membentak-bentak. Ketika malam takbiran, nonstop takbiran sejak setelah Isya
hingga menjelang Shubuh.
Kondisi itu membuat Sang Habib merasa sangat terganggu
setiap mendengar suara keras dari mushala dan masjid. Akhirnya, dia memilih
menjual rumahnya dan membeli rumah di daerah pedesaan dengan tanah yang lebih
luas. Sebagian tanahnya ia wakafkan untuk membangun mushala bagi warga sekitar.
Di mushala itu berbagai kegiatan keagamaan dilaksanakan, seperti, shalat,
pembacaan Al Quran, dzikir, pengajian, dan maulidan. Akan tetapi, mushala itu
sama sekali tidak menggunakan Toa karena menurutnya, Nabi Muhammad saw adalah
seorang yang menyukai kelembutan, ketenangan, dan menjaga kenyamanan orang
lain.
Begitulah kisah yang dituturkan Habib Ben Shohib. Tidak
semua orang merasa terganggu, tetapi ada banyak yang merasa terganggu. Kalau
kita mau jujur, banyak orang yang merasa terganggu, tetapi lebih memilih diam
karena jika menyatakan perasaannya, takut disebut kafir, murtad, munafik,
dzalim, dan lain sebagainya. Rumah saya sendiri berdekatan dengan empat masjid,
ditambah satu pesantren di samping rumah. Sangat sering mendengar suara-suara
itu, tetapi keluarga saya tidak pernah merasa terganggu. Akan tetapi, saya
tidak bisa membuat diri saya sebagai standar bagi orang lain karena setiap
orang itu berbeda-beda. Saya tidak boleh membuat orang lain menjadi seperti
saya. Kita harus berempati kepada kondisi orang lain yang tidak seperti kita.
Mungkin mereka terganggu dan kita harus memahami kondisi mereka.
Saya juga pengurus masjid yang selalu menyerukan dalam
setiap rapat dengan pengurus lain untuk jangan selalu menyalahkan orang lain
jika jarang ke masjid dan tidak menggunakan masjid sebagai tempat ibadat. Warga
lebih memilih shalat, membaca Al Quran, dzikir, dan berbagai ibadat ritual lain
di rumahnya masing-masing. Hal itu bisa jadi ada masalah yang harus diperbaiki dalam
diri-diri pengurus masjid sehingga membuat orang dapat lebih tertarik dan
merasa nyaman beribadat di dalam masjid.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment