Thursday, 3 March 2022

Habib Pindah Rumah Gara-Gara Toa Memekakkan Telinga

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya, yang disampaikan Menag RI Gus Yaqut kurang lengkap karena seolah-olah persoalan bunyi pelantang yang terlalu keras dari masjid dan mushala ini hanya untuk menghormati nonmuslim dan menciptakan suasana lebih harmonis di antara umat beragama. Hal itu disebabkan banyak juga sebetulnya umat Islam yang merasa terganggu oleh suara-suara itu. Saya bisa menceriterakan satu per satu orang-orang yang pernah terganggu itu pada sepanjang hidup saya dan seingat saya. Akan tetapi, kali ini saya ingin mengisahkan gangguan yang dialami oleh keluarga habib berdasarkan pengakuan Habib Ben Shohib (HBS).

            HBS memiliki paman yang sudah berusia tujuh puluh tahun lebih. Pamannya itu pernah meminta pengurus mushala di dekat rumahnya agar mengecilkan volume Toa karena terlalu memekakkan telinga. Akan tetapi, yang terjadi justru adalah perdebatan.

            Pengurus mushala menanggapi permintaan itu dengan nada yang sinis, “Oh, aneh juga ya. Bapak tidak menyukai suara adzan dan dzikir. Bukankah Bapak muslim?”

            Mendapat respon seperti itu, tentu saja paman HBS merasa geram dan balik bertanya, “Anda seorang muslim, saya yakin Anda menyukai ayat-ayat suci Al Quran, tetapi bagimana seandainya saya membacakannya keras-keras di telinga Anda?”

            Perdebatan singkat itu berhenti. Pengurus mushala berjanji akan mengecilkan volume suara Toa. Sayangnya, janji itu tidak pernah dipenuhi. Suara Toa tetap selalu keras memekakan telinga. Akhirnya, paman HBS memilih pindah rumah meninggalkan rumahnya dan memilih tempat lain, menjauh dari mushala yang memekakan telinga itu.

             Kisah yang berikutnya adalah seorang kenalan HBS, yaitu seorang habib tasawuf yang sangat luas ilmunya. Habib ini adalah seorang pengurus yayasan sosial yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu. Di rumahnya, habib ini banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku dan bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya.

            Pada suatu waktu mulai ada pembangunan mushala di belakang rumahnya. Toa mushala itu berbunyi sangat keras dan sering sekali. Bunyi yang sangat keras itu berasal dari berbagai kegiatannya, mulai pembacaan Al Quran, dzikir, tarhim, adzan, shalat hingga khutbah. Siang hari Toa itu menyiarkan acara majelis taklim ibu-ibu. Apalagi saat tiba bulan Ramadhan, Toa itu bertambah sering berbunyi sangat keras karena kegiatannya bertambah banyak semisal shalat, tarawih, wirid, dan ceramah-ceramah. Pada pukul 02.00 dini hari Toa itu digunakan lagi untuk membangunkan sahur dengan cara seperti orang yang membentak-bentak. Ketika malam takbiran, nonstop takbiran sejak setelah Isya hingga menjelang Shubuh.

            Kondisi itu membuat Sang Habib merasa sangat terganggu setiap mendengar suara keras dari mushala dan masjid. Akhirnya, dia memilih menjual rumahnya dan membeli rumah di daerah pedesaan dengan tanah yang lebih luas. Sebagian tanahnya ia wakafkan untuk membangun mushala bagi warga sekitar. Di mushala itu berbagai kegiatan keagamaan dilaksanakan, seperti, shalat, pembacaan Al Quran, dzikir, pengajian, dan maulidan. Akan tetapi, mushala itu sama sekali tidak menggunakan Toa karena menurutnya, Nabi Muhammad saw adalah seorang yang menyukai kelembutan, ketenangan, dan menjaga kenyamanan orang lain.

            Begitulah kisah yang dituturkan Habib Ben Shohib. Tidak semua orang merasa terganggu, tetapi ada banyak yang merasa terganggu. Kalau kita mau jujur, banyak orang yang merasa terganggu, tetapi lebih memilih diam karena jika menyatakan perasaannya, takut disebut kafir, murtad, munafik, dzalim, dan lain sebagainya. Rumah saya sendiri berdekatan dengan empat masjid, ditambah satu pesantren di samping rumah. Sangat sering mendengar suara-suara itu, tetapi keluarga saya tidak pernah merasa terganggu. Akan tetapi, saya tidak bisa membuat diri saya sebagai standar bagi orang lain karena setiap orang itu berbeda-beda. Saya tidak boleh membuat orang lain menjadi seperti saya. Kita harus berempati kepada kondisi orang lain yang tidak seperti kita. Mungkin mereka terganggu dan kita harus memahami kondisi mereka.

            Saya juga pengurus masjid yang selalu menyerukan dalam setiap rapat dengan pengurus lain untuk jangan selalu menyalahkan orang lain jika jarang ke masjid dan tidak menggunakan masjid sebagai tempat ibadat. Warga lebih memilih shalat, membaca Al Quran, dzikir, dan berbagai ibadat ritual lain di rumahnya masing-masing. Hal itu bisa jadi ada masalah yang harus diperbaiki dalam diri-diri pengurus masjid sehingga membuat orang dapat lebih tertarik dan merasa nyaman beribadat di dalam masjid.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment