oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya saya malas mengomentari
soal Si Saifudin Ibrahim ini karena sudah pasti sesatnya, tololnya, dan bodohnya.
Sebego apa pun orang-orang seperti ini berbicara tentang Islam, saya sudah
nggak mau lagi memperhatikan.
Buat apa saya perhatikan?
Mereka nonmuslim, tetapi berbicara Islam. Sudah pasti
salahnya. Saya juga sudah mulai kebal dengan pikiran orang-orang seperti itu,
sekasar apa pun mereka menghina Islam. Itu karena mereka sesat dan saya tidak
tertarik untuk menyelamatkan pikirannya. Sudah sangat banyak saya berdebat dan
berdiskusi dengan orang-orang semacam itu dari berbagai negara di dunia ini,
seperti, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Jepang, India, dan dari
Indonesia sendiri. Kalau dihitung, mungkin saya sudah berdebat dengan sekitar
208 orang. Kebanyakan dari mereka merasa sudah mengerti dan tahu benar tentang
Islam dengan pikirannya yang terbatas itu. Beberapa dari mereka paham dan mulai
lebih baik lagi untuk memahami Islam. Mereka memang kebanyakan ateis, agnostik,
Kristen, Hindu, dan Budha. Jadi, Si Saifudin ini sudah pasti sama dengan
mereka.
Saya memang sudah tidak tertarik kepada mereka, kecuali
jika mereka sendiri yang bertanya dan menginginkan pendapat saya. Kalau mereka cuma
ngomong sendiri, biarin saja. Berbeda dengan sikap saya terhadap sesama muslim,
jika saya melihat sesama muslim salah dalam berpikir dan bertindak, saya pasti
bereaksi kepada sesama muslim. Hal itu disebabkan saya memiliki kewajiban untuk
mengembalikan mereka ke jalan yang benar sepanjang saya yakin bahwa saya tahu
yang benarnya itu. Kalau saya tidak tahu, ya diam atau cari tahu dulu masalah
tersebut dengan lebih baik.
Si Saifudin ini memang viral karena meminta Menteri Agama
RI Gus Yaqut menghapus 300 ayat dalam Al Quran yang dipandang membuat kekacauan
di Indonesia. Dalam videonya yang panjang itu, saya cukup hanya beberapa detik
untuk memahami pikiran dia. Hal itu adalah ketika Si Saifudin ini mengatakan
bahwa dia dulunya adalah muslim dan menjadi pengajar di Pesantren Al Zaytun,
Indramayu. Lalu, murtad dan menjadi pendeta. Kalimat itu sudah membuat saya
mengerti mengapa dia murtad dan berpikiran kacau. Ya sudah, segitu saja cukup
paham dan saya tidak perlu lagi memperhatikan dia.
Saya menulis ini karena ada seorang mahasiswa saya yang
bertanya kepada saya. Saat itu saya baru selesai makan siang dari pemberian
mereka juga.
Baru juga saya selesai minum, mereka berkumpul di depan
meja tempat saya makan sambil bertanya, “Pak, menurut Bapak, bagaimana
Saifudin?”
“Saifudin? Saifudin mana? Ooh, yang pendeta itu ya?”
“Iya, Pak.”
“Dia itu bodor, pelawak,” jawab saya ringkas.
Mereka masih ingin tambahan komentar dari saya.
“Begini, dia itu dulu adalah guru di Pesantren Al Zaytun.
Sepertinya, dia bingung, lalu banyak mencari tahu dari orang-orang Al Zaytun.
Pasti tambah pusing karena Al Zaytun itu dulu bermasalah dengan ideologi Pancasila
dan menjadi pesantren pendukung Negara Islam Indonesia. Jadi, dalam pemikiran
mereka banyak penafsiran radikal dan menyimpang, misalnya, selalu menafsirkan ayat-ayat
jihad dengan perang, padahal jihad itu artinya adalah ‘bersungguh-sunguh, fokus,
konsentrasi’. Adapun perang itu istilah tepatnya adalah qital. Kalian kuliah
dengan sungguh-sungguh juga adalah jihad sebenarnya.”
Jawaban saya cukup segitu dan para mahasiswa tampaknya
paham.
Akan tetapi, saya jadi penasaran. Saya cari-cari tahu
siapa Si Saifudin ini sebenarnya. Semakin saya perhatikan dia, semakin sering
saya tertawa. Dia ini memang bingung dan menganggap dirinya benar. Kalimatnya
sering bertabrakan makna antara satu dengan yang lainnya, pernyataan yang satu
berbeda, malahan menantang pernyataan lainnya, padahal dia sendiri yang
berbicara. Dalam hal berbicara di depan publik masih jauh lebih baik anaknya,
Ustadz Saddam Husein yang tampak runut dan mudah dipahami. Anaknya tetap muslim
dan mengajarkan Islam.
Si Saifudin ini memuji setinggi langit Menag RI Gus Yaqut
sebagai menteri yang sangat toleran terhadap kaum minoritas. Dia minta Gus
Yaqut untuk memperbaiki pesantren karena pesantren menghasilkan para teroris.
Kelihatan tidak begonya?
Dia bilang pesantren menghasilkan teroris dan memuji-muji
Gus Yaqut, padahal Gus Yaqut adalah jebolan pesantren juga. Bodor memang dia
mah. Kebodoran lainnya sungguh banyak kalau saya mau tulis di sini mah.
Sudah,
jangan diperhatikan lagi dia mah, Pelawak Ngaco. Lagian, tidak ada satu pun
organisasi gereja dan organisasi kependetaan di Indonesia ini yang mengakui dia
sebagai pendeta. Terus, dia malah dilaporkan ke polisi oleh umat kristiani
sendiri yang merasa resah terhadap pernyataan-pernyataan Si Saifudin. Hal yang
lebih jelas adalah Menkopolhukam Mahfud M.D. sudah memerintahkan kepolisian
untuk menangkap Si Saifudin.
Dia
kini kabur ke Amerika Serikat. Takut.
Dia
bilang kalau 300 ayat dalam Al Quran itu tidak dihapus, Indonesia selalu tidak
aman, kacau, dan dipenuhi para radikalis, dia merasa selalu ketakutan dan
terancam hidup di Indonesia.
Akan
tetapi, pada kalimat lainnya, dia bilang, “Saya nyaman tinggal di Indonesia.”
Yang
benar yang mana? Takut, terancam, atau nyaman?
Sudahlah
jangan diperhatikan lagi. Dia sudah harus berhadapan dengan hukum. Dia itu
Pelawak Ngaco.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment