Wednesday, 2 March 2022

Toa Haram Yang Kini Dipuja

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kenapa?

Kaget kalau saya bilang Toa haram?

Marah dan mau bilang saya sebagai penista agama?

Silakan laporkan saya ke polisi sebagai seorang penista agama. Saya hanya akan tertawa keras dan enak sekali menggunakan Toa untuk menertawakan kebegoan kalian.

Memangnya Toa ajaran Islam?

Toa itu adalah merk dagang sebuah alat elektronik dari perusahaan Jepang. Nabi Muhammad saw tidak pernah menggunakan itu dan tidak pernah membicarakan Toa.

Salah satu arti kata “haram” adalah “terlarang”. Tidak perlu susah untuk tahu arti kata itu, tinggal buka saja kamus, ada sederet arti, selesai.

Toa memang pernah diharamkan, tetapi itu dulu, bukan sekarang. Toa sempat diharamkan karena memang kebiasaan kita kalau ada sesuatu yang baru itu, sangat reaktif menyikapinya serta sangat sedikit orang yang bisa berpikir tenang dan memahami dengan lebih luas dan dalam.

Sedikit sejarah Toa ini saya dapatkan dari penuturan Habib Ben Shohib (HBS). Indonesia, khususnya Jakarta mulai mengenal Toa pada 1930-an. Sebetulnya, bukan Toa juga sih, melainkan pengeras suara. Bahasa yang lebih singkat dan tepat seharusnya “pelantang” yang berarti alat untuk melantangkan suara, membuat suara lebih lantang, keras, dan nyaring. Merknya bisa rupa-rupa, bukan hanya Toa.

Pada tahun 1930-an itu terjadi pro kontra di antara umat Islam terkait penggunaan pelantang di masjid. Sangat banyak yang mengharamkannya.

Tiga puluh tahun kemudian atau tepatnya sekitar 1960-an, mulai masuk pelantang dengan merk dagang Toa dari Jepang. Sejak saat itu mulai banyak masjid yang menggunakan Toa meskipun banyak juga yang masih mengharamkannya dan menolak untuk menggunakannya.

Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, yang selesai dibangun pada 1958 pun tidak pernah menggunakan Toa. Baru sepuluh tahun lebih kemudian, sekitar 1970, mulai menggunakan Toa.

Sejak saat itu penggunaan Toa mulai meluas dan seolah-olah menjadi bagian peribadatan di masjid dan mushala. Entah bagaimana ceriteranya situasi menjadi semakin aneh karena memang aneh jika ada masjid atau mushala tidak menggunakan Toa dalam aktivitasnya. Bahkan, satu masjid bukan hanya menggunakan satu Toa, melainkan ada yang sampai dua belas toa di menara-menaranya mengarah ke seluruh penjuru mata angin.

Hal tersebut tentu saja membuat gembira perusahaan Toa di Jepang. Indonesia yang memiliki jumlah masjid terbanyak di dunia adalah pasar raksasa bagi perusahaan Toa Jepang. Mereka untung banyak dari umat Islam Indonesia.

Saat ini malah semakin aneh dengan adanya aturan dari Menag RI Gus Yaqut tentang pengaturan volume suara di masjid dan mushala, Toa semakin terkenal. Toa yang dulu diharamkan kini dipuja-puja, dibela habis-habisan. Ada sekelompok orang yang protes atas kebijakan Gus Yaqut dengan mengadakan gerakan “Hari Toa” dengan cara membuat kebisingan dengan suara sepeda motor dan membawa-bawa Toa supaya lebih keras lagi suaranya. Tentu saja hal ini akan membuat pabrik Toa berjoget ria karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk promosi, tetapi mendapatkan keuntungan sangat besar dari orang-orang yang protes itu. Orang-orang pembuat Toa mungkin sekarang sedang dangdutan atau menyewa penyanyi kelas dunia untuk merayakan kemenangan pemasaran Toa di Indonesia.

Sedihnya, umat Islam yang membela habis Toa itu tidak dapat serupiah pun dari Toa.

Dapet uang berapa sih dari Toa?

Saya yakin tidak ada serupiah pun. Malah mungkin mereka mengeluarkan uang sendiri untuk gerakan-gerakan aneh itu. Kalau saya mau mengadakan Hari Toa, pasti akan bikin proposal yang bagus ke perusahaan Toa agar pabrik itu mengeluarkan uangnya buat biaya promosi yang akan saya gelar sehingga saya punya untung banyak dan berbagi rezeki dengan anggota gerakan Hari Toa.

Hal yang lebih lucu adalah ada orang yang mengeluarkan samurai seolah-olah mengancam menebas Gus Yaqut yang mengatur volume Toa. Dia bilang darahnya mendidih karena adzan diusik-usik dan merugikan umat Islam. Sesungguhnya, yang dia bela itu bukan Islam, bukan ajaran Islam, dan bukan adzan, melainkan membela Toa tanpa dirinya menyadarinya. Lucu banget dia. Mungkin dia sekarang sedang diuber Banser.

Bukankah adzan tidak berubah?

Pelafalan adzan tetap, waktunya tetap, pakai Toa boleh. Hal yang diatur itu adalah volumenya.

Fahimtum?

Sebagaimana yang saya bilang, kita itu punya kebiasaan reaktif terhadap hal baru. Dulu reaktif sehingga mengharamkan pelantang. Sekarang reaktif lagi ketika pelantang yang dulu diharamkan itu diatur volume suaranya.

Sebetulnya, reaktif itu tidak apa-apa jika sebatas perbedaan pendapat, tetapi jadi bahaya, memalukan, bahkan lucu jika berlebihan.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment