oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kenapa?
Kaget kalau saya bilang Toa
haram?
Marah dan mau bilang saya
sebagai penista agama?
Silakan
laporkan saya ke polisi sebagai seorang penista agama. Saya hanya akan tertawa
keras dan enak sekali menggunakan Toa untuk menertawakan kebegoan kalian.
Memangnya Toa ajaran Islam?
Toa
itu adalah merk dagang sebuah alat elektronik dari perusahaan Jepang. Nabi
Muhammad saw tidak pernah menggunakan itu dan tidak pernah membicarakan Toa.
Salah
satu arti kata “haram” adalah “terlarang”. Tidak perlu susah untuk tahu arti
kata itu, tinggal buka saja kamus, ada sederet arti, selesai.
Toa
memang pernah diharamkan, tetapi itu dulu, bukan sekarang. Toa sempat
diharamkan karena memang kebiasaan kita kalau ada sesuatu yang baru itu, sangat
reaktif menyikapinya serta sangat sedikit orang yang bisa berpikir tenang dan memahami
dengan lebih luas dan dalam.
Sedikit
sejarah Toa ini saya dapatkan dari penuturan Habib Ben Shohib (HBS). Indonesia,
khususnya Jakarta mulai mengenal Toa pada 1930-an. Sebetulnya, bukan Toa juga
sih, melainkan pengeras suara. Bahasa yang lebih singkat dan tepat seharusnya “pelantang”
yang berarti alat untuk melantangkan suara, membuat suara lebih lantang, keras,
dan nyaring. Merknya bisa rupa-rupa, bukan hanya Toa.
Pada
tahun 1930-an itu terjadi pro kontra di antara umat Islam terkait penggunaan
pelantang di masjid. Sangat banyak yang mengharamkannya.
Tiga
puluh tahun kemudian atau tepatnya sekitar 1960-an, mulai masuk pelantang
dengan merk dagang Toa dari Jepang. Sejak saat itu mulai banyak masjid yang
menggunakan Toa meskipun banyak juga yang masih mengharamkannya dan menolak
untuk menggunakannya.
Masjid
Agung Al Azhar, Jakarta, yang selesai dibangun pada 1958 pun tidak pernah
menggunakan Toa. Baru sepuluh tahun lebih kemudian, sekitar 1970, mulai
menggunakan Toa.
Sejak
saat itu penggunaan Toa mulai meluas dan seolah-olah menjadi bagian peribadatan
di masjid dan mushala. Entah bagaimana ceriteranya situasi menjadi semakin aneh
karena memang aneh jika ada masjid atau mushala tidak menggunakan Toa dalam
aktivitasnya. Bahkan, satu masjid bukan hanya menggunakan satu Toa, melainkan
ada yang sampai dua belas toa di menara-menaranya mengarah ke seluruh penjuru
mata angin.
Hal tersebut
tentu saja membuat gembira perusahaan Toa di Jepang. Indonesia yang memiliki
jumlah masjid terbanyak di dunia adalah pasar raksasa bagi perusahaan Toa
Jepang. Mereka untung banyak dari umat Islam Indonesia.
Saat
ini malah semakin aneh dengan adanya aturan dari Menag RI Gus Yaqut tentang
pengaturan volume suara di masjid dan mushala, Toa semakin terkenal. Toa yang
dulu diharamkan kini dipuja-puja, dibela habis-habisan. Ada sekelompok orang
yang protes atas kebijakan Gus Yaqut dengan mengadakan gerakan “Hari Toa”
dengan cara membuat kebisingan dengan suara sepeda motor dan membawa-bawa Toa
supaya lebih keras lagi suaranya. Tentu saja hal ini akan membuat pabrik Toa
berjoget ria karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk promosi, tetapi
mendapatkan keuntungan sangat besar dari orang-orang yang protes itu.
Orang-orang pembuat Toa mungkin sekarang sedang dangdutan atau menyewa penyanyi
kelas dunia untuk merayakan kemenangan pemasaran Toa di Indonesia.
Sedihnya,
umat Islam yang membela habis Toa itu tidak dapat serupiah pun dari Toa.
Dapet
uang berapa sih dari Toa?
Saya
yakin tidak ada serupiah pun. Malah mungkin mereka mengeluarkan uang sendiri
untuk gerakan-gerakan aneh itu. Kalau saya mau mengadakan Hari Toa, pasti akan
bikin proposal yang bagus ke perusahaan Toa agar pabrik itu mengeluarkan
uangnya buat biaya promosi yang akan saya gelar sehingga saya punya untung
banyak dan berbagi rezeki dengan anggota gerakan Hari Toa.
Hal
yang lebih lucu adalah ada orang yang mengeluarkan samurai seolah-olah
mengancam menebas Gus Yaqut yang mengatur volume Toa. Dia bilang darahnya mendidih
karena adzan diusik-usik dan merugikan umat Islam. Sesungguhnya, yang dia bela
itu bukan Islam, bukan ajaran Islam, dan bukan adzan, melainkan membela Toa
tanpa dirinya menyadarinya. Lucu banget dia. Mungkin dia sekarang sedang diuber
Banser.
Bukankah
adzan tidak berubah?
Pelafalan
adzan tetap, waktunya tetap, pakai Toa boleh. Hal yang diatur itu adalah
volumenya.
Fahimtum?
Sebagaimana
yang saya bilang, kita itu punya kebiasaan reaktif terhadap hal baru. Dulu
reaktif sehingga mengharamkan pelantang. Sekarang reaktif lagi ketika pelantang
yang dulu diharamkan itu diatur volume suaranya.
Sebetulnya,
reaktif itu tidak apa-apa jika sebatas perbedaan pendapat, tetapi jadi bahaya,
memalukan, bahkan lucu jika berlebihan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment