Tuesday, 31 October 2023

Marah-Marah Soal Gibran, Makin Aneh

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Mereka yang marah-marah soal Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Cawapres Prabowo Subianto semakin aneh, narasinya semakin tidak masuk akal dan berantakan. Narasi yang dibangun adalah pihak Jokowi dan Prabowo mengubah undang-undang atau peraturan tentang batas usia Cawapres dengan menggunakan kekuasaan Hakim Ketua MK Anwar Usman yang juga paman Gibran. Kemudian, Prabowo menggunakan perubahan peraturan itu untuk mencalonkan Gibran sebagai Cawapresnya dan Jokowi ingin melanggengkan kekuasaannya melalui anaknya, Gibran.

            Begitu kan?

            Koreksi kalau saya salah.

            Ini adalah narasi yang aneh. Saya coba cari tahu lebih dalam, baca sana baca sini. Ternyata, yang menggugat soal peraturan usia untuk Cawapres itu bukan Prabowo dan bukan Jokowi, apalagi Gibran. Orang yang menggugat peraturan batas usia untuk presiden dan Cawapres harus di atas 40 tahun itu adalah Almas Tsaqibbirru, mahasiswa angkatan 2019, Fakultas Hukum, Universitas Surakarta (Unsa).


Almas Tsaqibbirru (Foto: Kabar 24 - Bisnis.com)


            Dia memang pengagum Gibran. Sebagai orang Solo dia merasa bahwa Gibran telah melakukan banyak perbaikan positif untuk Kota Solo. Setelah berdiskusi dengan teman-temannya di kampusnya, dia ingin menguji pengetahuannya tentang hukum, yaitu dengan cara mengajukan gugatan ke Mahkaman Konstitusi (MK) agar calon presiden dan Cawapres itu tidak harus selalu berusia 40 tahun ke atas. Batas usia itu menghalangi anak-anak muda yang berprestasi untuk menjadi presiden atau Wapres. Dia menggugat bahwa anak muda yang telah mampu menjadi gubernur, bupati, atau walikota dapat menjadi presiden atau wakil presiden meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.

            Gugatannya ini ternyata diterima MK. Dia senang bukan main. Dia tidak menyangka bahwa gugatannya ini bakal viral dan dilaksanakan pada tahun ini juga. Dia mengaku tidak ada hubungannya dengan aktivitas politik Pilpres. Dia sendiri menolak kalau dijadikan Timses Gibran karena merasa itu bukan bidangnya. Dia merasa bahwa dirinya hanya cocok dalam aktivitas hukum, bukan politik. Foto Almas saya dapatkan dari Kabar 24 – Bisnis com.

            Jadi, jelas ya. Orang yang menggugat batas usia itu bukan Jokowi, Prabowo, maupun Gibran, melainkan Almas. Kalaupun Prabowo, Jokowi, dan Gibran menggunakan keputusan MK ini untuk mendorong Gibran menjadi Cawapres, itu sah secara hukum.

            Sekarang, soal Jokowi, Gibran, dan Kaesang menggunakan kekuasaan Anwar Usman yang juga keluarganya sebagai hakim MK untuk mengubah undang-undang tentang batas usia 40 itu. Hal ini pun sulit dipahami. Hakim itu bukan tentara yang harus selalu patuh kepada pemimpinnya meskipun perintahnya tidak dipahaminya. Kalau tentara itu, harus patuh kepada pemimpin meskipun dia tidak suka pada perintah itu. Berbeda dengan hakim. Hakim itu boleh berbeda pendapat, bisa jauh sekali pendapatnya di antara para hakim. Oleh sebab itu, hakim jumlahnya selalu ganjil, tidak pernah genap agar ada keputusan. Jumlah hakim itu selalu 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya dalam jumlah yang ganjil. Kalau genap, bisa tidak menghasilkan keputusan karena jika diambil suara terbanyak, bisa draw hasilnya, imbang sehingga tak ada kepastian.  Saya bisa salah soal ini karena bukan ahli hukum. Jika di antara pembaca yang ahli hukum, koreksi saya jika salah. Saya sangat menghargainya.

            Hakim MK itu jumlahnya 9 orang, ganjil. Kalaupun ketuanya setuju tentang perubahan batas usia presiden dan Wapres, tetapi yang lain tidak setuju, suara terbanyak adalah yang harus dijadikan keputusan. Melihat hasilnya, tentu saja keputusan untuk mengubah batas usia itu adalah hasil dari suara terbanyak di antara para hakim. Artinya, Gibran dan siapa pun juga boleh maju menjadi presiden atau Wapres. So, meskipun hakim ketuanya adalah keluarganya, hanyalah satu suara hakim di antara 9 hakim yang ada. Jika hakim lain tidak setuju, kalahlah dia.

            Paham ya?

            Kalaupun Prabowo, Jokowi, dan Gibran menggunakan kesempatan itu untuk ikut dalam Pilpres, sekali lagi, itu adalah haknya. Kalaulah Jokowi memang ingin meneruskan program kerjanya lewat anaknya, itu juga haknya. Pada akhirnya, rakyat juga yang menjadi penguasa pada saat pemilihan. Rakyatlah yang menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan Wapres berikutnya.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment