Saturday, 19 April 2025

Preman Jakarta Hampir Saya Tonjok

 


 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya, agak males juga ngomongin soal premanisme itu karena mereka itu hanya manusia berperilaku sampah yang mengganggu dan harus diusir dari pandangan kita. Mereka itu hanya gangguan dalam hidup dan tidak perlu jadi hitungan atau topik pembicaraan. Akan tetapi, dengan adanya kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang disingkat KDM (Kang Dedi Mulyadi) membentuk Satgas antipremanisme, masyarakat menjadi punya perlindungan atau harapan untuk terbebas dari perilaku premanisme yang meresahkan dan merugikan. Banyak masyarakat yang melaporkan aksi premanisme melalui media sosial mereka. Sayangnya, masih banyak perilaku premanisme yang terjadi. Mungkin karena sudah terlalu lama hidup mengandalkan aksi premanisme, para preman itu kebingungan mau mengerjakan apa untuk menopang hidupnya. Hal-hal seperti itu mendorong saya menuliskan pengalaman saya soal aksi premanisme ini. Mereka memang tidak terpelajar, bodoh, dan mengesalkan.

            Kejadiannya, hari ketiga Idul Fitri atau lebaran 2025 saya mengunjungi bibi saya di Tangerang untuk bersilaturahmi. Pulangnya, tentu saja lewat Jakarta. Sebelum pulang ke Bandung, mau main dulu ke beberapa tempat wisata di Jakarta. Jadi, jelas keluar dari tol dalam kota untuk menuju ke tempat-tempat itu. Sayangnya, di jalanan Jembatan II, Jakarta, yang kalau belok ke kanan menuju Kota Tua tiba-tiba kabel kopling mobil saya putus. Mobil saya tidak bisa lagi bergerak. Saya ke pinggirkan mobil saya agar tidak mengganggu lalu lintas. Saya dan anak-anak saya coba cari-cari bengkel mobil yang buka. Akan tetapi, masih libur, tak satupun toko alat-alat mobil di Jakarta ada yang buka, bengkel yang ada pun tidak sanggup memperbaiki karena ada barang yang harus dibeli dulu. Kami semua sempat kebingungan, apalagi hari mulai menuju sore, situasi menjadi tambah sulit.

            Situasi itu mulai memaksa saya dan anak-anak untuk memperbaiki sendiri.

Ketika kami sedang memperbaiki sendiri, tiba-tiba ada preman penuh tato yang datang sambil bertanya, “Mogok, Bang?”

            Saya jawab, “Iya.”

            Kirain dia mau bantuin, tetapi tiba-tiba dia meminta uang untuk dirinya dan teman-temannya untuk minum kopi. Saya mulai kesal sekaligus kasihan juga sih. Kesal karena saya lagi bingung dan berusaha memperbaiki mobil, dia malah bikin tambah susah dengan memalak saya. Meskipun begitu, saya juga merasa kasihan karena mungkin saja memang dia tidak punya uang.

            Anak laki-laki saya yang bungsu, masih kelas 3 SMA, langsung emosi bicara lantang sama preman itu, “Jangan minta uang! Nih, saya kasih rokok saja!”

            Si Preman itu bilang, “Pengen beli kopi sama teman-teman!”

            Melihat situasi itu, saya bilang sama Si Preman, “Udah, nih saya kasih sepuluh ribu.”

            “Dua puluh ribu, Bang,” dia nawar.

            Mulai saya pengen nonjok dia. Kalau saya tonjok, dia pasti langsung jatuh karena badannya juga kelihatan tidak sehat, tidak stabil. Akan tetapi, daripada ribut, terus mengganggu lalu lintas, saya kasih lima belas ribu.

            Udah dikasih lima belas ribu, dia minta lagi rokok ke anak saya. Saya kasih kode agar anak saya memberikan rokok buat preman itu, jangan berkelahi. Akhirnya, preman itu pergi.

            Setelah Si Preman pergi, anak saya yang bungsu itu segera bilang ke kakak laki-lakinya yang baru lulus kuliah, “A, kalau dia datang lagi sama teman-temannya, kita hajar mereka. Masa kita bertiga nggak bisa ngalahin mereka?”

            Agak beda memang anak saya yang bungsu ini. Dia mudah berkelahi kalau soal kehormatan. Lagian, dia suka berlatih MMA.

            Begitulah kejadian saya hampir menonjok preman Jakarta. Saya dari Bandung mau silaturahmi dan sebentar berwisata di Jakarta, malah mendapatkan ketidakamanan. Ini akan membuat citra DKI Jakarta menjadi buruk. Gubernur dan aparat kepolisian harus paham ini. Kan tidak bagus kalau Jakarta dibiarkan dipenuhi para preman dan tidak nyaman, males ke DKI Jakarta.

            Sebetulnya, Si Preman itu bisa mendapatkan uang lebih banyak dari saya. Jika dia datang membantu memperbaiki mobil, apa saja dia bisa bantu, mencarikan montir, mencari koran atau dus untuk tempat duduk saya, atau hal positif lainnya, dia akan lebih banyak dapat uang, beneran. Nggak perlu meminta pun, pasti saya kasih.

            Ketika anak-anak saya bisa menyambungkan kembali kabel kopling yang putus itu, mobil saya bisa kembali bergerak, tetapi saya ragu untuk bisa pulang ke Bandung lewat tol, takut putus di tengah tol. Akhirnya, saya minta tolong ke kantor Pemadam Kebakaran di Penjaringan, Jakarta, untuk sebentar ikut parkir.

Kebetulan di dekat situ ada tambal ban dan cuci motor yang buka. Saya pinjam beberapa alat untuk lebih baik memperbaiki kabel kopling. Tanpa disangka, orang-orang di sana segera memberikan bantuan, ikut mencari barang-barang yang saya butuhkan. Kantor Damkar pun membolehkan saya dan anak-anak untuk menggunakan fasilitas di sana, seperti, kamar mandi, mushala, kursi, dan charger Hp. Malah, ibu-ibu di sana ikut menemani ngobrol. Menyenangkan sekali.

Karena saya merasa senang, saya berterima kasih kepada mereka dan memberikan sejumlah uang, jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang saya berikan kepada Si Preman.

“Terima kasih, Pak De!” kata mereka setelah semuanya selesai.

Setelah itu, kami bisa sebentar jalan-jalan di Jakarta, lalu pulang ke Bandung.

Tuh, kan jadi tambah saudara kalau begitu. Saya orang Bandung. Mereka orang Jakarta, baru ketemu saat itu, tetapi mereka memanggil saya “Pak De”. Itu artinya terjalin persaudaraan. Begitu seharusnya, tumbuh silaturahmi dan mengalirkan rezeki, bukan dengan cara premanisme, memalak orang.

Apakah aparat DKI Jakarta tidak malu kalau ada orang Bandung yang memukuli preman Jakarta di tempatnya sendiri?

Cobalah kita semua harus mengadaptasi situasi yang baru, baik aparat, pejabat, maupun masyarakat untuk terbiasa hidup tanpa ada premanisme agar hidup menjadi lebih aman, lebih baik, dan harmonis.

Sampurasun.

Wednesday, 12 February 2025

Kabah Mekah = Sasaka Domas

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ada fungsi yang sama pada Kabah di Mekah dengan Sasaka Domas di Gunung Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat. Keduanya memiliki fungsi sebagai kiblat atau arah, bahkan pusat peribadatan.

Bagi orang Islam, Kabah adalah bangunan yang menjadi titik fokus konsentrasi ketika beribadat dan puncak peribadatannya ada pada bulan Dzulhijah yang disebut juga bulan Haji. Di mana pun orang Islam beribadat, arah dan fokusnya harus ke Kabah.

Foto Kabah saya dapatkan dari SMP Akhlak Cendekia Muslim


Kabah di Mekah (Foto: SMP Akhlak Cendekia Muslim)


Bagi orang Sunda Wiwitan, arah peribadatannya ke Sasaka Domas. Di sana ada situs megalitikum yang menjadi titik fokus konsentrasi peribadatan. Ada batu-batu menhir dan arca yang menjadi pusat konsentrasi. Puncak peribadatannya ada pada bulan Kalima.

Foto Sasaka Domas saya dapatkan dari Kompasiana com.


Sasaka Domas (Foto: Kompasiana com)


Kabah dan Sasaka Domas adalah arah atau kiblat peribadatan, bukan barang yang disembah. Muslim mengarah ke Kabah, Sunda Wiwitan mengarah ke Sasaka Domas. Kabah adalah bukan Allah swt, melainkan titik fokus konsentrasi peribadatan. Oleh sebab itu, sebagai penghormatan dan tempat yang diridhoi Allah swt untuk titik fokus, disebut “Rumah Allah swt”. Ingat, itu bukan berarti Allah swt berdiam di situ. Kalau masuk ke dalamnya juga, kosong atau ada permadani, sajadah, bantal atau hal lain yang juga digunakan untuk ritual. Itu hanyalah bangunan yang diridhoi Allah swt sebagai pusat ibadat.

Demikian pula Sasaka Domas bukan Tuhan, bukan Sang Hyang Tunggal, melainkan pusat titik konsentrasi ritual. Hal itu sudah ditegaskan bahwa Sang Hyang Tunggal tidak boleh diwakilkan ke dalam bentuk apa pun yang ada di dunia ini, bahkan dilarang untuk dibayangkan wujudnya. Hal itu disebabkan manusia adalah ciptaan yang terbatas, sedangkan Sang Hyang Tunggal adalah Pencipta yang tidak terbatas.

Baik Kabah maupun Sasaka Domas, adalah alat bantu untuk konsentrasi atau khusyuk beribadat ritual. Ketika seorang muslim biasa-biasa seperti saya ini melakukan shalat, akan terbayang bentuk Allah swt sebagaimana melayangnya imajinasi dan pikiran. Bentuk-bentuk yang tercipta dalam bayangan kita itu pasti salah dan berbeda-beda dengan orang lain. Itu bukanlah Allah swt dan bisa mengakibatkan shalat tidak khusyuk. Oleh sebab itu, agar lebih khusyuk, kita bisa membayangkan diri kita berada di depan Kabah sambil memahami apa yang kita baca. Dengan demikian, pikiran kita tidak akan terseret kesana-kemari. Insyaallah, Allah swt ridho.

Demikian pula ketika Sunda Wiwitan beribadat, mereka fokus melihat atau membayangkan Sasaka Domas agar terikat pada tempat itu sebagai tempat yang disucikan dan diberkati Sang Hyang Tunggal. Dengan demikian peribadatannya bisa lebih khusyuk, tidak membayangkan hal-hal yang tidak diperlukan.

So, Sang Hyang Tunggal dan Allah swt adalah merujuk pada “Zat Yang Sama”, zat yang tidak memperbolehkan diri-Nya dibayangkan. Zat yang hanya mengizinkan tempat-tempat tertentu sebagai alat bantu konsentrasi untuk beribadat ritual kepada diri-Nya.

Sampurasun

 

Monday, 20 January 2025

Tuhan Selalu Datang Tak Terdeteksi

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam ajaran Sunda Wiwitan, salah satu nama Tuhan adalah “Sang Hyang Raga Dewata”. Perilaku dan keadaannya sedikit dijelaskan dalam ajaran tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.  

            “Datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat, perkataan (senantiasa) benar. Rupa direka karena ada. Aku-lah yang menciptakan, tetapi tak terciptakan, Aku-lah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Aku-lah yang menggunakan, tetapi tidak digunakan.”

            Maksudnya adalah Dia kerap mendatangi ciptaan-Nya, apapun itu tanpa terdeteksi karena datang tanpa rupa, tanpa raga, dan tak terlihat oleh apapun ciptaan-Nya. Dia tentunya punya rupa, punya raga, punya wujud, tetapi tidak bisa dikenali oleh indera manusia. Dia tetap tersembunyi dan tidak bisa diamati karena wujud Dia adalah wujud pencipta, bukan ciptaan.

Seluruh wajah, seluruh rupa, seluruh bentuk yang ada di alam ini adalah hasil rekaan-Nya. Dia yang menciptakan berbagai rupa bentuk itu, tetapi tidak ada yang menciptakan Dia, tak ada yang mereka-reka Dia. Sang Hyang Raga Dewata adalah yang mengerjakan semuanya, tetapi tak ada seorang pun atau sesuatu pun yang membuat-Nya. Dia-lah yang menggunakan seluruh ciptaan-Nya untuk kepentingan-Nya sendiri dan terserah pada keinginan-Nya sendiri. Dia yang menguasai segala sesuatu, tetapi Dia tidak dikuasai oleh sesuatu pun.

Tak terdeteksi eksistensi-Nya, tetapi kekuasaan-Nya sangat meliputi segala sesuatu. Perkataan-Nya selalu benar, tidak pernah salah.

Sampurasun

Monday, 13 January 2025

Soal Nama Tuhan, Gimana Gue Aja

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Begitu kira-kira yang dikatakan Tuhan jika menggunakan bahasa slang. Soal nama Tuhan, ya terserah Tuhan sendiri. Mau menamai diri-Nya apa, terserah Dia. Mau menggunakan bahasa apapun, terserah Dia. Dia yang punya diri, Dia sendiri yang berhak menamai diri-Nya sendiri. Kita, manusia hanya perlu mengikuti-Nya, tidak perlu banyak berpikir tentang nama-Nya.

            Dia yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia berikut bahasanya. Jadi, Dia berhak tanpa ada yang mampu menghalangi untuk menggunakan bahasa apa saja. Mau pake bahasa Sunda, Jawa, Minang, Batak, Ibrani, Suryani, Latin, Romawi, Arab, Sansakerta, Indonesia, Inggris, Spanyol, Italia, Belanda, Papua, Tetun, atau apapun, terserah Dia.

            Dia pun menggunakan bahasa Sunda untuk menamai diri-Nya sendiri. Dia dengan sangat tegas berbicara tentang diri-Nya dalam naskah “Sang Hyang Raga Dewata”.

 

            “Hanteu nu ngayuga Aing. Hanteu manggawe Aing. Aing ngaranan maneh, Sanghiyang Raga Dewata.”

 

            Artinya.

 

            “Tidak ada yang menjadikan Aku. Tidak ada yang menciptakan Aku. Aku menamai diri sendiri, Sang Hyang Raga Dewata.”

 

            Begitu Dia menamai diri-Nya dalam bahasa Sunda agar orang-orang Sunda mengenal dan memahami diri-Nya. Arti dari Sang Hyang Raga Dewata tentunya harus orang ahli Sastra Sunda yang menjelaskannya. Akan tetapi, saya mencoba meraba-raba artinya adalah “Sesembahan yang Berwujud Tuhan”.

            Bagaimana wujudnya?

            Jangan dibayangkan dan jangan dipikirkan karena bayangan dan pikiran kita tentang wujud-Nya pasti salah total.

Ada banyak nama atau sesebutan untuk diri-Nya dalam bahasa Sunda. Insyaallah, jika bisa ditemukan, saya share lagi.

            Sampurasun.

Friday, 10 January 2025

Tuhan Sunda Paling Jujur

 

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak hal dan pengetahuan tentang ketuhanan dalam ajaran yang diklaim sebagai Sunda Wiwitan. Pengetahuan itu bisa dipahami dan dijelaskan jika kita mau dengan tenang mempelajarinya.

Salah satu pengetahuan itu tercatat dalam naskah “Jatiraga”. Dalam naskah itu disebutkan bahwa “Sang Hyang Jatiniskala” adalah Tuhan yang tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dikonkritkan. Niskala sendiri bisa berarti kokoh, kuat, agung, perkasa, tetapi tak terbayangkan, jauh di luar imajinasi manusia.

Berikut teks dari Sunda Wiwitan tentang Sang Hyang Jatiniskala, tetapi saya tidak menemukan teks berbahasa Sunda, mungkin penulisnya langsung menerjemahkan sendiri ke dalam bahasa Indonesia.

“Sebab Aku adalah asli dan dari keaslian. Tidak perlu diubah dalam bentuk benda alam yang tidak asli dan tidak jujur sebab Aku adalah jujurnya dari kejujuran.”

Begitu teksnya. Sang Hyang Jatiniskala adalah zat paling asli. Dia tidak ingin wujudnya diwakilkan atau diilustrasikan dalam bentuk lain atau dalam bentuk benda-benda yang Dia ciptakan sendiri. Hal itu disebabkan Dia adalah pencipta yang wujudnya tidak terjangkau oleh manusia yang sehari-hari hanya melihat dan membayangkan wujud ciptaan-Nya. Dia adalah pencipta dan di luar diri-Nya adalah ciptaan-Nya. Ciptaan pasi berbeda dengan Sang Pencipta. Ciptaan tak akan mampu menjangkau wujud Pencipta. Dia adalah wujud paling jujur, paling asli karena di luar diri-Nya hanyalah emanasi atau pelimpahan bentuk dari diri-Nya.

Sampurasun.

Thursday, 9 January 2025

Tuhan Sunda = Sang Hyang Tunggal

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan tentang salahnya orang yang berpendapat bahwa orang Sunda dulu menyembah patung, pohon, batu, gunung, jin, dan lain sebagainya. Orang Sunda tidak menyembah itu semua, tetapi menyembah Zat atau Sesuatu yang tunggal, tidak beranak, tidak punya teman, paling unggul dalam segala rupa hal. Sumber tulisan ini berasal dari tulisan-tulisan yang diklaim merupakan ajaran Sunda Wiwitan.

            Berikut ini ada pula tulisan tentang Tuhan yang disembah orang Sunda dengan nama “Sang Hyang Tunggal” beserta contoh sedikit hal yang Dia lakukan dalam hidup ini. Tentu saja, hal itu berupa penegasan bahwa Dia-lah pencipta segalanya. Tidak ada sesuatu yang  lain yang berperan sebagai pencipta di dunia ini. Hal ini dapat kita perhatikan dalam teks berbahasa Sunda berikut ini.

            "Utek, tongo, walang, taga, manusa, buta, detia, lukut, jukut, rungkun, kayu, keusik, karihkil, cadas, batu, cinyusu, talaga, sagara, Bumi, langit, jagat mahpar, angin leutik, angin puih, bentang rapang, bulan ngempray, sang herang ngenge nongtoreng, eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal, keur Inyanamah sarua kabeh oge taya bedana."

          Artinya.

          “Cacing-cacing, tungau, belalang, taga, manusia, raksasa, jin, lumut, rumput, semak-semak, kayu, kerikil, cadas, batu, mata air, danau, lautan, Bumi, langit, seluruh dunia, angin kecil, angin topan, bintang bertaburan, Bulan bercahaya, Matahari bersinar terik. Itu semua ciptaan Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Bagi-Nya semua itu tidak ada bedanya.”

            Ini merupakan bahwa Sang Hyang Tunggal adalah pencipta segalanya. Pencipta itu bernama Sang Hyang Tunggal yang dalam bahasa Indonesia dan tercantum dalam Pancasila Sila Pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dengan nama itulah yang disembah orang Sunda dari dulu hingga saat ini.

            Bagi-Nya, seluruh ciptaan tidak ada bedanya. Dia bisa mengadakan, menghilangkan, memuliakan, menghinakan, menyenangkan, menjijikan, ataupun menghancurkannya. Segalanya bagi Dia tidak berarti apa pun karena Dia berjalan dengan kehendak-Nya sendiri.

            Sampurasun.