Monday 28 March 2011

Negeriku Makin Kusut Gara-Gara Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Selepas SBY-JK, kepemimpinan eksekutif dikuasai oleh pasangan SBY Boediono. Lagi-lagi pasangan ini diharapkan dapat membawa perubahan yang berarti dalam berbagai hal untuk kemajuan Indonesia. Akan tetapi, suasana stabil pun tidak juga tercipta, bahkan semakin buruk. Pada masa ini, sampai tulisan ini disusun, setidaknya sudah ada beberapa masalah besar yang menjauhkan negeri ini dari gotong royong. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu saja menyedot perhatian dan energi yang banyak, bukan hanya elit, melainkan pula kalangan rakyat biasa.

Kekisruhan, huru-hara pemilihan kepala daerah langsung (pemilihan Kadal) terus terjadi di sejumlah daerah. Hal itu mengakibatkan beberapa daerah melakukan pemilihan ulang yang jelas membutuhkan dana, waktu, dan kesiapan mental masyarakat yang tidak sedikit. Para kontestan pemilihan Kadal terus mengorganisasikan para pendukungnya untuk mengalahkan saingannya. Di samping itu, kekacauan bertambah-tambah dengan berbagai kasus nasional, yaitu: kasus Century dan Gayus. Kedua kasus itu kemudian menjadi pemicu ketidakharmonisan dan saling curiga di antara elit politik. Kasus Bank Century telah menyeret berbagai institusi hukum di Indonesia, seperti halnya KPK, Polri, dan DPR (http://karodalnet.blogspot.com).

Maswadi Rauf, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI, dalam http://suar.okezone.com yang dikutip http://ngedots.abatasa.com menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kasus Bank Century. Kasus Bank Century menjadi berita utama media massa setelah selesainya perseteruan Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Barangkali ada yang mengatakan bahwa perseteruan itu belum selesai sepenuhnya karena adanya gugatan praperadilan oleh sejumlah ahli hukum terhadap surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh kejaksaan karena mereka melihat alasan yang digunakan tidak tepat. Namun, pemberitaan di media massa telah beralih ke kasus Bank Century.

Kasus Bank Century adalah kasus hukum karena adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah dalam mengeluarkan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun bagi bank yang bermasalah itu pada 2008.

Dalam kasus tersebut juga muncul dugaan bahwa sebagian dana talangan tadi mengalir ke sejumlah pejabat politik dan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Bahkan, ada organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang menyebut nama sejumlah tokoh yang menerima sejumlah uang secara terang-terangan. Tuduhan ini kemudian diadukan ke Kepolisian Daerah (Polda) Jakarta Raya untuk diproses secara hukum.

Kasus Bank Century berkembang menjadi isu politik karena yang membuat kebijakan tersebut adalah sejumlah pejabat pemerintah sehingga kebijakan itu menjadi kebijakan publik. Kebijakan publik yang diartikan sebagai kebijakan pemerintah adalah salah satu objek terpenting dalam politik sehingga bergulirnya kasus Bank Century menjadi isu politik adalah suatu hal yang wajar.

Aroma politik dari kasus Bank Century menjadi sangat kental karena yang dipersoalkan adalah uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Kasus Bank Century ini dengan segera membentuk opini publik di dalam masyarakat bahwa ada sejumlah tokoh penting di republik ini yang memanfaatkan dana talangan tersebut untuk kepentingan politik mereka.

Gerakan massa yang ingin menuntaskan kasus Bank Century memanfaatkan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009 lalu untuk menyuarakan tuntutan mereka secara gamblang. Warna politik kasus Bank Century semakin mengental oleh adanya pernyataan Presiden SBY di depan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat bahwa gerakan antikorupsi telah ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga tujuannya tidak lagi murni antikorupsi karena bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden SBY.

Kasus Bank Century telah menghasilkan perkembangan politik yang aneh karena telah terjadi pertentangan politik antara dua kelompok yang sama-sama ingin memberantas korupsi di Indonesia. Kelompok pertama adalah kelompok Ormas yang mengadakan acara peringatan 9 Desember 2009 yang sangat bersemangat untuk mengungkap kasus Bank Century sebagai kasus korupsi yang paling baru di Indonesia.

Di dalam kelompok ini juga termasuk sejumlah anggota DPR, baik yang termasuk dalam Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century DPR maupun tidak. Kelompok kedua adalah kelompok SBY yang juga secara terang-terangan menyatakan sikap mereka yang antikorupsi dan ingin segera menuntaskan kasus Bank Century dengan membuka kasus seluas-luasnya, tetapi menaruh kecurigaan terhadap kelompok pertama.

Kedua kelompok mempunyai tujuan yang sama, tetapi terlibat dalam pertentangan politik. Faktor penyebab pertentangan antara kedua kelompok ini adalah perbedaan sikap menghadapi kasus Bank Century. Kelompok pertama telah menyatakan sejak awal bahwa kasus Bank Century perlu ditangani oleh DPR (melalui Pansus Hak Angket Bank Century) sebagai bagian dari usaha untuk mengungkapkan kasus Bank Century karena bagi mereka kasus tersebut telah cukup jelas.

Di pihak lain, Partai Demokrat dan beberapa partai koalisi pemerintah tidak mau membentuk Pansus Hak Angket Bank Century di DPR sebelum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil auditnya. Kelompok ini kemudian menyatakan dukungannya terhadap Pansus Hak Angket Bank Century setelah Presiden SBY menyatakan dukungannya terhadap pengungkapan kasus Bank Century dan pembentukan Pansus di DPR.

Faktor penyebab kedua adalah perbedaan pandangan dalam melihat kemungkinan pelanggaran hukum oleh pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan keputusan pengucuran dana talangan bagi Bank Century. Kelompok pertama merasa yakin telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Sebaliknya, kelompok kedua tidak yakin telah terjadi tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, mereka menolak anggapan bahwa telah terjadi aliran dana Bank Century kepada sejumlah pejabat pemerintah dan kubu Partai Demokrat.

Memang harus diakui telah terbentuk opini publik bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century yang melibatkan dana dalam jumlah yang amat besar. Opini publik ini diperkuat penemuan BPK yang telah melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Masalahnya, adalah dana tersebut tidak jelas ke mana perginya dan siapa saja yang menikmatinya? Ketidakjelasan yang berkepanjangan memunculkan berbagai spekulasi di dalam masyarakat. Ketidakjelasan itu juga semakin memperkuat tuduhan sebagian warga masyarakat bahwa telah terjadi korupsi dalam jumlah yang fantastis yang berujung pada tuduhan terhadap pemerintah karena keputusan tersebut oleh pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait dengan keuangan dan perbankan.

Dengan demikian, perkembangan kasus Bank Century di dalam masyarakat menjurus ke arah terpojoknya pemerintah. Sangat disayangkan pemerintah bereaksi terhadap tuduhan tersebut dengan mengatakan tuduhan itu sebagai fitnah. Sikap defensif yang berlebihan yang ditunjukkan oleh pemerintah malah memperhebat pertentangan antara kedua kelompok.

Kasus lainnya yang mengguncangkan adalah kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan yang jelas secara terang benderang menggambarkan adanya penyuapan dan korupsi. Informasi yang telah beredar di tengah masyarakat menyebutkan bahwa ada 149 perusahaan yang ditangani oleh Gayus dan sekitar 50 persennya adalah perusahaan besar dan terkenal. Tercatat ada beberapa perusahaan besar dan cukup terkenal yang disinyalir ditangani Gayus Tambunan, antara lain, PT Exelcomindo Pratama, PT Bukaka, PT Newmont Nusantara, PT Syun Hyundai, PT Prudential, PT Pertamina Dana Sentitas, PT BUMI, PT Tegas Exporindo Java, PT Indah Kiat Pulp and Paper, PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Kapuas Prima Coal, PT Wijaya Karya, PT BUMI Resources, dan PT Arutmin.

Secara gamblang Gayus telah menyatakan bahwa jumlah yg paling besar dia terima adalah dari wajib pajak Grup Bakrie (KPC, Bumi Resources, Arutmin). Dalam sebuah kesaksian sidang terungkap jumlah tersebut mencapai 100 milyar, namun hal ini berkali-kali dibantah oleh kelompok Bakrie (http://hukum.kompasiana.com).

Kasus dana talangan Bank Century dan kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan sama-sama menjadi ‘mainan’ politisi DPR. Dua partai besar masing-masing Demokrat dan Golkar seperti memainkan kasus ini sebagai senjata.

Perputaran kasus Bank Century bahkan bisa mengancam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 184 (4) UU Nomor 17 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Hal ini dibuktikan ketika keputusan MK belum berumur sehari, 126 anggota DPR sudah membubuhkan tanda tangan mendukung pernyataan pendapat terkait penanganan kasus Bank Century. Mereka berasal dari Partai Golkar, Gerindra, Hanura, dan PDIP, yang selama ini memang menjadi lawan politik Demokrat.

Partai Golkar meskipun masuk dalam Setgab, tetapi dalam kasus Century selalu berada di depan. Hal ini diduga untuk mengimbangi kasus Gayus yang selalu diolah Partai Demokrat. Kasus ini sering dikait-kaitkan dengan keberadaan petinggi Golkar.

Pieter Zulkifli, anggota DPR dari Partai Demokrat, meminta Panja Mafia Pajak untuk memanggil Gayus Tambunan. Sementara itu, Bacharudin dari FPKB menegaskan menolak untuk menggunakan hak itu. PKB konsisten dengan keputusan bahwa dalam kebijakan itu (dana talangan Century) tidak melanggar. PKB berpendapat kalau ada pelanggaran, harus dibiarkan diproses secara hukum.

Ketua MK Mahfud MD mengatakan keputusan MK sama sekali tidak dimaksudkan untuk memakzulkan Pimpinan Nasional. Namun, memang dengan putusan MK, upaya pemakzulan lebih terang dan mudah (http://www.poskota.co.id).

Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Rudy Satriyo (2010) dalam http://kabarnet.wordpress.com, banyak sekali pihak yang berkepentingan dalam kasus Gayus. Sejumlah pejabat harus menyelamatkan kepentingan pribadi, sejumlah pengusaha harus menyelamatkan kepentingan bisnis, dan sejumlah politisi harus menyelamatkan kepentingan politiknya.

Oleh karena polisi dan jaksa juga terlibat dalam kepentingan-kepentingan tersebut, maka penanganan kasus ini jadi tidak berjalan lurus. Misi penegakan hukum diabaikan. Polisi, jaksa dan KPK, jelas terikat oleh kepentingan-kepentingan tadi.

Sejak awal kasus Gayus memang banyak muatan kepentingan, baik kepentingan pribadi, kepentingan kelompok di masyarakat. Yang paling jelas terlihat adalah kepentingan para pengusaha, baik pengusaha nasional maupun pengusaha multinasional. Untuk kepentingan pribadi, dalam kasus ini bagaimana menguasai dana yang ada, sedangkan kepentingan kelompok dan pengusaha adalah masalah perpajakan.

Persoalan politik dalam kasus ini adalah wakil-wakil rakyat justru membela mati-matian sebagian lainnya untuk menjatuhkan yang lainnya. Ini tentu sesuatu yang aneh. Komisi III DPR yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat di parlemen bisa membela kepentingan rakyat, justru lebih membela kepentingan partai politiknya dan pengusaha. DPR seharusnya lebih bisa menggiring atau mendorong perlindungan atas penegakan hukum yang baik dan benar. Akan tetapi, yang muncul kemudian adalah adanya politik dagang sapi.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, Aburizal Bakrie (Ical), menilai persoalan Gayus Tambunan hanyalah intrik politik yang digunakan untuk menyerang tiga pihak, yakni: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Polri, dan dirinya atau Partai Golkar:

"Ini hanya suatu intrik politik yang tidak baik. Saya melihat ada serangan ke tiga arah di mana Gayus hanya dipakai. Pertama, serangan ke arah Presiden SBY. Kedua, serangan ke polisi. Ketiga, serangan kepada saya dan Golkar,"

Meskipun demikian, Ical tidak mengetahui dari mana sumber serangan itu berasal (http://www.republika.co.id).

Adapun Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa kasus Gayus akan menjadi bargaining politik yang lama-lama ujung-ujungnya Pilpres 2014 (http://www.pdiperjuangan-jabar.com). Kasus tersebut hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dengan menyerang pihak lain,

Hal senada diungkapkan oleh Hendardi, Ketua Badan Pekerja Setara Institute dalam http://m.beritasatu.com. Menurutnya, Gayus telah menjadi martil untuk menekan pihak lain yang memiliki sumber daya politik kuat dan potensial yang mengancam kekuasaan partai yang sedang berkuasa pada Pemilu Presiden 2014.

Golkar adalah kekuatan politik yang tak bisa dianggap remeh. Golkar di bawah kendali Aburizal Bakrie memiliki sumber dana paling kuat dan Bakrie dicurigai banyak pihak pernah menggunakan jasa Gayus dalam urusan pajak.

Berlarutnya persoalan mafia pajak menggulirkan usulan Hak Angket Mafia Pajak di DPR. Hak angket sendiri merupakan hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap suatu kasus. Menguatnya wacana hak angket memaksa DPR melakukan voting untuk memastikan apakah hak angket ini bisa dijalankan atau tidak.

Dari hasil voting, didapat kepastian bahwa sebanyak 266 anggota DPR menolak, sementara 264 anggota lainnya menerima hak angket. Di antara yang menolak adalah Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB, dan Gerindra. Sementara itu, yang menerima adalah Partai Golkar, PDI-P, PKS, dan Hanura. Di antara partai- partai yang menerima, dua di antaranya adalah partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah di Setgab, yakni Partai Golkar dan PKS.

Perbedaan sikap politik yang terjadi di antara partai koalisi pendukung pemerintah, membuat elit Partai Demokrat gerah. Sebagai motor Setgab, Partai Demokrat "mendesak" Presiden untuk mengevaluasi kabinet. Partai-partai yang sikap politiknya tak sejalan lagi dengan rel pemerintah diminta dicabut porsinya dalam kabinet.

Seperti diketahui sebelumnya, Partai Golkar dan PKS juga berseberangan sikap dengan sikap pemerintah terkait Hak Angket Bank Century. Terkait kegelisahan ini, Ketua DPR yang juga elit penting Partai Demokrat, Marzuki Ali, telah melaporkannya kepada SBY (Abdul Hakim MS, 2011, dalam http://suarapembaca.detik.com).

Usulan angket sebenarnya mengandung unsur positif, yaitu: ingin membenahi kebijakan perpajakan agar lebih adil, transparan, akuntabel, dan berorientasi kepentingan publik. Ini penting karena pajak penyumbang utama APBN. Kebocoran penerimaan pajak yang sekitar Rp380 miliar setahun sungguh merupakan kerugian negara yang amat besar. Oleh karena itu, pembasmian atas mafia perpajakan adalah suatu keniscayaan.

Namun, awalnya ada niat lain dari Demokrat dalam mengajukan hak angket. Bukan perbaikan sistem yang jadi fokus utama, melainkan bagaimana ”menghabisi secara politik” Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang tiga perusahaan keluarganya disebut-sebut terkait mafia pajak dan memberikan uang kepada Gayus Tambunan senilai 3 juta dollar AS.

Jika kita lihat, Demokrat mundur teratur karena ada kekhawatiran, di antara 148 dari 151 perusahaan yang disebut terkait Gayus, bukan tak mungkin ada yang jadi penyumbang dana kampanye bagi Demokrat. Demokrat tampaknya tak ingin usulan angket mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, kegagalan Golkar mendulang dukungan dalam pengusulan angket, antara lain, karena blunder politik

Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso yang menyatakan pengusulan angket oleh Golkar terkait ”misi suci” Golkar membersihkan nama baik ketua umumnya (Ikrar Nusa Bakti, 2011, dalam http://nasional.kompas.com).

Dari berbagai peristiwa di dalam Demokrasi Masa Reformasi sampai saat penelitian ini dilakukan, 2011, suasana gotong royong sama sekali tidak terlihat. Hal itu berarti situasi politik nasional berada jauh di luar dari intisari nilai Pancasila, yaitu gotong royong sebagaimana yang disampaikan Founding Father Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidato filsafat negara bahwa rumusan dasar Negara Indonesia merdeka adalah:

1. Kebangsaan Indonesia-Nasionalisme
2. Perikemanusiaan-Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Lima asas atau dasar tersebut atas petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa—oleh Soekarno—diberi nama Pancasila. Konsep dasar yang diajukan Soekarno dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:

1. Socio-Nationalisme, perasan sila 1 dan 2
2. Socio-Democratis, perasan sila 3 dan 4
3. Ketuhanan

Ketiga sila itu dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong (Hasan, 2002 : 56-57 dalam Soeprapto : 2004).

Adapun gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org).

Gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).

Di samping itu, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.

Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, serta tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.

Sistem politik Demokrasi Masa Reformasi pun tidak mampu secara efektif menyelesaikan berbagai masalah yang ada tanpa menimbulkan konflik-konflik baru, sebagaimana pengertian efektivitas dalam ensiklopedia administrasi:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Memang ada konflik-konflik yang terselesaikan dengan baik, yaitu persoalan disintegrasi bangsa, seperti, Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua. Akan tetapi, timbul masalah baru, yaitu pertentangan di tingkat elit yang menjurus ke kalangan rakyat akibat pemilihan Kadal dan konflik perbedaan partai yang berdasarkan perbedaan kepentingan.

Untuk menyelesaikan konflik akibat pemilihan Kadal, negara telah berupaya membentuk MK. Namun, belakangan MK pun dicederai sejumlah tuduhan bahwa ada oknum-oknum hakim MK yang menerima suap. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap MK pun menjadi berkurang. Itu artinya, hasil penyelesaiannya pun dirasakan kurang efektif. Kalaupun MK, dipandang cukup berhasil meredam konflik akibat pemilihan Kadal, konflik-konflik yang terjadi di pusat terkait kasus-kasus besar, seperti, Century, Mafia Pajak, dan Mafia Hukum akan tidak bisa diselesaikan karena melibatkan banyak jaringan, dana, dan kekuatan politik yang sangat besar. Konflik-konflik itu akan terus berlarut-larut dengan berbagai bentuknya sehingga membuat Indonesia tidak berada dalam keadaan stabil sebagaimana laporan pertangungjawaban Presiden ke-2 RI Soeharto pada 12 Maret 1973:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Kondisi politik negara yang tidak stabil akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari sisi hubungan internasional, konflik-konflik yang terjadi di antara berbagai kepentingan politik akan sangat merugikan Indonesia. Hal itu disebabkan konflik-konflik tersebut bisa dimanfaatkan pihak asing, terutama asing kapitalis dengan harapan dapat menikmati berbagai keuntungan dari Indonesia melalui berbagai proses legislasi. Ikut campurnya pihak asing tersebut dapat dilihat dari tanda-tandanya, yaitu sejak kepemimpinan Megawati sampai SBY pihak asing sering sekali ikut campur berupaya menikmati potensi-potensi dalam negeri Indonesia yang seharusnya dinikmati oleh rakyat banyak.

Ciri Khas Demokrasi Adalah Kegoncangan dan Huru-Hara

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Menjelang Pemilihan Presiden 2009, suasana yang menjauhkan situasi dan kondisi bangsa dari gotong royong kembali terjadi, yaitu persoalan pelaksanaan Pemilu. Di sejumlah daerah terjadi kekisruhan Pemilu legislatif 2009. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di Nias Selatan, Sumatera Utara. Dalam http://niasonline.net, digambarkan bahwa kekisruhan diawali karena pendistribusian yang tidak merata dan tidak terkoordinir. Lalu, terjadi penggelembungan suara hingga melebihi angka Daftar Pemilih tetap (DPT). Dalam kasus itu, Ketua KPUD Nias Selatan dinilai telah lalai dan tak mampu mengoordinir agar Pemilu di Nias Selatan berlangsung baik sesuai tahapan.

Pasangan SBY-Kalla yang memimpin Indonesia pun mengalami ketidakcocokan. Slogan “bersama kita bisa” berubah menjadi “tidak bersama, kita bisa”. Berpisahnya duet tersebut mengemuka setelah Partai Golkar yang dipimpin Jusuf Kalla memutuskan untuk mengusung kader sendiri sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden. Keputusan itu sangat mengejutkan karena sebelumnya sebagian besar elite di partai itu masih berusaha mempertahankan duet SBY-Kalla. Ketua DPD I Golkar Sumatera Selatan Alex Noerdin menilai bahwa koalisi dengan Partai Demokrat tidak perlu dipertahankan karena merugikan Golkar (http://opinisaya.wordpress.com).

Setelah berpisahnya duet SBY-JK dalam kepemimpinan nasional, apalagi setelah JK menjadi rival SBY dalam helatan pemilihan presiden, kedua tokoh ini sering dibanding-badingkan, terutama dari pihak pro-JK dengan semboyan yang sangat terkenal itu “lebih cepat lebih baik”. Semboyan (tagline) ini tidak saja menerangkan karakter JK, tetapi sebagai pembeda dengan SBY. Semboyan ini sekaligus juga mengatakan bahwa “SBY tidak cepat, lamban, dan tentu tidak lebih baik daripada JK”. Pertarungan sungguh sengit dengan melibatkan citra kedua tokoh tersebut (http://politik.kompasiana.com).

Kekisruhan pelaksanaan Pemilu legislatif 2009 pun telah mendorong Forum Rektor Indonesia (FRI) bersuara. Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, selaku Ketua FRI dalam http://pemilu2009.forumrektor.uii.ac.id mengumumkan siaran persnya bahwa sejumlah persoalan masih menyelimuti proses persiapan menuju pelaksanaan Pemilu, 9 April 2009. Beberapa persoalan yang mengemuka adalah kontroversi menyangkut daftar pemilih tetap (DPT) akibat tiadanya kejelasan/akurasi data lapangan. Persoalan yang berawal dari birokrasi yang buruk dalam pendataan pemilih memicu perdebatan politis di antara peserta Pemilu. Masalah lain adalah terkait kelengkapan, akurasi, dan distribusi logistik Pemilu khususnya surat suara yang masih dipertanyakan oleh berbagai pihak.

Sementara itu, pada pelaksanaan kampanye terbuka yang diadakan oleh partai politik dan para calon anggota legislatif, pelanggaran terjadi di hampir semua kegiatan tersebut, terutama disertakannya anak-anak, konvoi yang mengganggu tertib lalu lintas, dan iklan politik di media yang tidak mencerahkan pemilih. Sepertinya, tidak ada upaya serius dari peserta Pemilu untuk mematuhi aturan yang ada sedangkan lembaga pengawas Pemilu belum dapat bertindak secara memadai (http://www.koraninternet.com).

Menanggapi berbagai kritik dari sejumlah partai politik menyangkut penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato secara khusus di Istana Negara, Jakarta Pusat. Presiden Yudhoyono menegaskan, berbagai kasus seperti kisruh daftar pemilih tetap atau DPT menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum.

Menurut Yudhoyono, peran pemerintah dan unsur lainnya sifatnya hanya sebatas membantu KPU sesuai undang-undang. Yudhoyono pun menyatakan peran pemerintah memang dibatasi UU, tetapi pemerintah memberikan bantuan kepada KPU berupa peraturan penunjang. Selain itu, Presiden mengakui Pemilu 2009 sangat kompleksitas.

Presiden juga mengakui pelanggaran telah terjadi seperti soal DPT sehingga muncul berbagai protes dan gugatan di sejumlah daerah. Namun, Kepala Negara mengingatkan, semua pelanggaran harus diselesaikan secara adil karena Indonesia adalah negara hukum. Yudhoyono menyebutkan bahwa sejauh ini tercatat pelanggaran administratif lebih dari 1.500 dan pelanggaran pidana sekitar 1.000 (http://berita.liputan6.com).

Hendardi (2009), selaku Ketua Badan Pengurus Setara Institute, mengatakan, “Menteri Dalam Negeri dan KPU meminta maaf kepada masyarakat dengan memberikan klarifikasi menyeluruh atas kisruh DPT dan kinerja minimum KPU.”

Langkah ini diyakini akan mampu menekan kemarahan publik sehingga agenda lanjutan tetap bisa berjalan.

Presiden Susilo Bambang Yudhyono, selaku pimpinan tertinggi, tidak cukup hanya menunjukkan keprihatinan atas kisruh DPT, tetapi harus mengambil tindakan politik dengan mengerahkan jajaran pemerintahan membantu perbaikan DPT dengan tetap memastikan independensi KPU. Sayang, Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang justru melempar kesalahan pada KPU, padahal publik sangat mafhum bahwa persoalan ini dipicu oleh pemerintah yang tidak serius menyediakan data kependudukan (http://www.koraninternet.com).

Peserta pemilu merasa ada masalah. Semua pihak seperti yang terlihat di media massa cetak dan elektronik memperlihatkan ada masalah. Bahkan, media Kompas (17/4/2009) secara eksplisit memuat pernyataan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Ini berarti menunjukkan memang ada masalah. Adanya masalah seperti ini berakibat langsung pada pemilihan presiden dan wakil presiden karena data-datanya diambil pula dari data Pemilu legislatif (http://mattkhay.com).

Kekisruhan yang terus berlarut membuat pula para mantan aktivis '98 protes. Mereka menyerukan penolakan Pemilu dan pemboikotan Pilpres.

“Pemilu harus diulang karena adanya cacat DPT atau boikot pilpres 2009. Kini kita berada di tengah krisis konstitusi ketatanegaraan," kata Mantan Ketua Senat Universitas Mercubuana A. Rohman, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jl. Lapangan Banteng, Jakpus, Senin (20/4/2009).

A. Rohman menghendaki penghitungan suara harus dihentikan, Presiden mengatakan bahwa itu kesalahan KPU, tetapi data kependudukan disediakan oleh pemerintah, jadi pemerintah yang harus bertanggung jawab.

Kekusutan-kekusutan tersebut membuat para pemimpin politik mengadakan berbagai pertemuan, salah satunya, pertemuan kelompok Teuku Umar. Kelompok Teuku Umar, antara lain, Megawati, Prabowo, Wiranto, Gus Dur, dan pimpinan partai-partai yang protes hasil Pemilu 2009.

Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto bertandang ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Wiranto, selain bertemu dengan Mega, dirinya telah melakukan pertemuan dengan beberapa partai lain. Pertemuan tersebut membahas tentang pelaksanaan Pemilu legislatif yang dianggap amburadul. Mereka pun berupaya mengancam untuk memboikot Pilpres.

Wiranto menegaskan kelompok Teuku Umar ini diambil bukan karena takut kalah dengan SBY. Akan tetapi, semata-mata ingin menegakkan substansi demokrasi yang berlandaskan fairness.

Permasalahan berkembang bukan hanya diakibatkan oleh DPT, melainkan pula sistem penghitungan tabulasi online. PDIP mempertanyakan efektivitas tabulasi online (real count) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berjalan sangat lamban. PDIP meminta DPR mengevaluasi tabulasi nasional Pemilu 2009 yang digelar KPU di Hotel Borobudur.

Sementara itu, Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan bahwa tabulasi tidak banyak berpengaruh karena yang paling penting adalah penghitungan secara manual (http://kesaktianpeduligenerasi.blogspot.com).

Kesemrawutan Pemilu legislatif 9 April 2009 tersebut membuat pula PDIP menyalahkan langsung Presiden dan KPU. Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI Perjuangan mendesak Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk bertanggung jawab. Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga ditekankan menjadi pihak yang ikut bertanggung jawab (http://entertainment.kompas.com).

Saat pemilihan presiden 2009 tinggal lima hari lagi polemik Pemilu legislatif ternyata belum berakhir. Polemik tersebut terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengulang Pemilu legislatif di 37 kecamatan.

Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) Ferry Mursyidan Baldan menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Hasil Pemilihan Legislatif Ulang tidak sesuai dengan UU Pemilu. Oleh karenanya, jika tetap menjalankan keputusan MK, KPU akan melanggar UU Pemilu. Ia pun menganggap bahwa MK hanya berwenang memutus perkara perselisihan dan bukan soal posisi hukum alias legal standing UU Pemilu (http://nasional.kontan.co.id).

Saat semakin mendekati pemilihan presiden, Trio Malarangeng mengusung pasangan SBY-Boediono, dengan tekad kuat sesuai dengan pernyataan Andi Malarangeng dalam http://www.jakartapress.com yang jauh dari sikap gotong royong:

“Ketika SBY diserang, maka itu tugas saya untuk membela. Tapi saat Boediono yang diserang, maka Rizal yang maju. Jika kampanye-kampanye yang diserang, maka Zulkarnain Mallarangeng yang akan menghadapi.”

Sesungguhnya, teramat banyak peristiwa yang jauh dari suasana Pancasilais, gotong royong, yang terjadi selama kepemimpinan SBY-Kalla, tetapi pemaparan tadi sudah lebih dari cukup untuk menjadi cerminan berbagai peristiwa yang tidak tertulis dalam blog ini. Suasana dan peristiwa berbagai kesemrawutan tersebut membuat Indonesia jauh dari Pancasila atau goyong royong yang membuat sulit Indonesia mencapai tujuan pembangunan nasional karena syaratnya adalah terciptanya kestabilan dalam kehidupan politik.

Thursday 24 March 2011

Dikiranya Bakal Stabil, Padahal Tipu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


Setelah habis masa jabatan Megawati-Hamzah Haz, digelar Pemilihan Presiden Langsung. Pemilihan ini diselenggarakan untuk menghindari money politics, suap, korupsi dan kolusi akibat dari pemilihan tidak langsung. Pemilihan presiden secara tidak langsung memang membuka peluang money politics terhadap pihak-pihak yang memiliki hak pilih. Pemilihan secara langsung dimaksudkan agar setiap kontestan tidak memiliki kemampuan lagi untuk menyuap karena akan sangat besar uang yang harus dikeluarkan untuk rakyat yang memiliki hak pilih.

Fahmy Idris dalam wawancara di SCTV (2004) mengatakan, “Kalau menyuap anggota DPR/MPR, itu mudah karena jumlahnya sedikit. Kalau menyuap rakyat, itu sulit. Bayangkan, berapa besar uang Anda yang harus dikeluarkan untuk menyuap rakyat yang banyak itu.”

Pada 2004 dilangsungkanlah Pilpres secara langsung one man one vote. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden didampingi Jusuf Kalla, selaku wakil presiden. Pada 20 Oktober 2004 keduanya dilantik dalam sebuah Sidang Paripurna MPR RI di Jakarta.

Seluruh masyarakat mengharapkan duet SBY-Kalla ini dapat berhasil mengatasi kesulitan bangsa dan membawa bangsa menuju kemakmuran sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional. Untuk mewujudkan semua itu, dibentuk Kabinet Bersatu.

Pada awal duet kepemimpinan ini semuanya berjalan relatif tenang, seluruh elemen bangsa tampaknya menghormati keputusan rakyat banyak yang menghendaki kepemimpinan SBY-JK. Diharapkan timbul sinergi dan gotong royong di antara elemen bangsa untuk membangun masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, ternyata situasi yang diharapkan tersebut tidak pernah terjadi. Semua orang menyangka kondisi akan aman dan stabil karena ini merupakan proses tertinggi yang melibatkan seluruh rakyat per individu. Namun, ternyata demokrasi itu sistem politik yang menipu, keadaan malah terjadi lebih buruk. Kini bukan hanya elit yang berkonflik ria, melainkan rakyat kecil pun ikut bertengkar karena proses-proses demokrasi.

Memang pada tingkat pusat terjadi ketenangan sementara yang seolah-olah menjurus ke arah suasana Pancasilais dalam arti gotong royong, tetapi pada akhirnya kegotongroyongan itu tidak pernah terlaksana. Kegoncangan terjadi justru di daerah-daerah akibat diselenggarakannya pemilihan Kadal (pemilihan kepala daerah langsung).

Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid (2005) dalam http://berita.kapanlagi.com menilai proses pemilihan Kadal secara langsung yang rusuh di sejumlah daerah dapat diartikan telah mengkhianati amanat rakyat dan Undang Undang Dasar 1945.

Pemicu kerusuhan dan huru-hara di berbagai daerah tersebut diakibatkan oleh banyak hal, di antaranya, perbedaan tipis jumlah suara, buruknya kepemimpinan incumbent yang menjadi pemenang, kegagalan KPUD dalam mengawal proses pemilihan Kadal, serta kekecewaan atas kekalahan jago-jagonya. Adapun bentuk-bentuk kerusuhan yang terjadi, di antaranya, bentrok fisik antarpendukung yang bersaingan, perusakan rumah pribadi, penganiayaan, perusakan kantor-kantor pemerintah, serta kendaraan dinas dan pribadi.

Sementara proses-proses pemilihan Kadal berlangsung rusuh, di tingkat elit mulai lagi terjadi keretakan. Hal itu diakibatkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan pihak-pihak asing. Berbagai sumber daya alam dan potensi lainnya dinikmati sebagian besar oleh korporasi-korporasi asing.

Amien Rais (2008) yang menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional menjelaskan, “Masalah pokok bangsa kita adalah bahwa semangat kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian kita sudah hilang untuk kurun waktu yang cukup lama, terlebih-lebih pada era sekarang ini. Indonesia telah tergadaikan ke pihak asing lewat proses state capture corruption atau state hijacked corruption. Gara-gara sebagian besar pemegang amanat rakyat tidak berhasil memerdekakan diri dari mentalitas inlander.”

Selanjutnya, ia menerangkan mengenai state capture corruption, “Campur tangan korporasi asing dalam membuat rancangan berbagai naskah UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Di atas telah diuraikan cara paling efektif yang dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam, kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat ‘pembelian’ legislasi. Sekali lagi, inilah yang dinamakan state capture corruption.”

Senada dengan Amien Rais, Permadi yang kini menjadi pengurus di Partai Gerindra (2010) menyatakan bahwa banyaknya legislasi pesanan asing itu disebabkan pula oleh para anggota legislatif kita yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri. Dengan demikian, tak heran Amien Rais (2008) di Hotel Savoy Homann, Bandung, menandaskan bahwa pemerintahan SBY-Kalla sebagai “pemerintahan yang gagal”.

Jelas bukan bahwa demokrasi itu sistem politik yang menipu? Nilai-nilai utopisnya memang agung, khayalannya spektakuler, tetapi kenyataannya acak adut. Pancasila sudah sangat jauh dengan bangsa karena gotong royong sudah terkoyak hampir habis. Konflik menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat. Pertengkaran dan adu bacot, debat, adalah situasi yang terpelajar. Kompetisi merupakan kemajuan kemanusiaan. Gotong royong adalah produk kuno, kolot, dan terbelakang. Akibatnya, jelas kondisi negara tidak stabil. Kalau tidak stabil, pasti tidak akan pernah mencapai cita-cita pembangunan nasional. Jadi, alinea keempat dalam Preambul UUD 1945 menjadi cita-cita yang dijauhkan dari bangsa Indonesia karena negeri ini percaya pisan sama yang namanya demokrasi.

Saat Demokrasi di Indonesia Dipimpin Teman AS Vs Teman Libya

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Yang dimaksud Teman AS itu Presiden Megawati dan Teman Libya itu Wakil Presiden Hamzah Haz. Yang dimaksud Vs itu adalah konflik di antara keduanya saat memimpin Indonesia. Demokrasi memang sangat mengizinkan siapa pun untuk berkonflik pada saat yang seharusnya bergotong royong, bersama-sama.

Sayang sekali, Megawati pada awal pemerintahannya tampak terlalu berbeda dengan ayah kandungnya yang proklamator. Kalau dulu Soekarno menolak agressor Amerika Serikat dengan mengatakannya sebagai Nekolim, Megawati malah dengan rendah hati berhiba kepada negara adikuasa ini. Bukankah Amerika Serikat juga mempunyai keterikatan dengan Indonesia? (Innu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Pemerintahan di bawah Presiden Megawati Soekarnoputeri menerbitkan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu pilar agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi adalah privatisasi BUMN. UU tersebut adalah UU yang pertama di Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Namun, sayangnya, yang masuk dalam UU tersebut adalah privatisasi konsep dasar yang pro-Konsensus Washington daripada yang ditujukan bagi kedaulatan dan kemakmuran rakyat banyak (Amien Rais : 2004).

Kedekatan Megawati dengan AS dan IMF inilah yang membuat banyak pihak tidak menyukainya. Di samping itu, Presiden Megawati kurang sering melakukan komunikasi politik. Ia terlalu sering diam sehingga buruk dalam berkomunikasi.

Keretakan hubungan di tingkat pemimpin nasional pun terjadi, yaitu antara Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Ketika Megawati dekat dengan AS, Hamzah Haz malah tampil sebaliknya. Hamzah Haz bahkan memperbesar isu akan pergi ke musuh AS, yaitu Libya bersamaan dengan terjadinya konflik antara AS dan Osama bin Laden (Innu Kencana Syafiie, Azhari, 2005).

Ketika masyarakat beramai-ramai menyatakan simpati terhadap AS setelah terjadi tragedi 11 September 1999 di Washington DC, Hamzah Haz justru meminta pemerintah AS untuk mawas diri dan introspeksi. Lontaran Hamzah Haz tersebut membuat Megawati kerepotan saat mengunjungi AS saat tragedi berlangsung. Anggota Kongres AS sempat mempertanyakan pernyataan Wapres Hamzah Haz yang seolah-olah menunjukkan ketidakkompakkannya dengan Megawati. Padahal, saat itu Megawati tengah merintis hubungan dengan Washington. Akan tetapi, Hamzah Haz terus tetap pada langkah-langkahnya mesti dipandang bertentangan, misalnya, bereaksi keras ketika AS menyerbu Afghanistan.

Langkah Hamzah Haz lainnya adalah mengunjungi Jafar Umar Thalib, Ketua Komando Jihad, yang tengah menjalani proses pemeriksaan di Mabes Polri.

Ia mengatakan (2001), “Saya menyatakan prihatin atas penahanan Ustadz Jafar Umar. Saya berharap Polri bertindak profesional.”

Affan Gafar, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001), mengatakan, “Wajar jika ada orang yang menganggap kunjungan Hamzah Haz itu merupakan pengumuman terbuka menantang Megawati.”

Pengamat politik Fachry Ali (2001) menambahkan bahwa langkah Hamzah Haz itu tidak lebih dari bagian pentas politik. Sama saja dengan penangkapan Jafar itu sendiri sehingga Hamzah Haz, sebagai Ketua Umum PPP, memanfaatkannya dengan pertemuan sebagai sinyal bahwa partainya mampu mengakomodasikan kelompok radikal. Hamzah Haz memposisikan diri sebagai tokoh Islam yang bisa diterima oleh semua kalangan Islam, termasuk Islam radikal.

Kekecewaan ini merupakan kelanjutan dari kekecewaan sebelumnya, yaitu menyangkut masalah kader PPP yang ia pimpin. Adalah Samudera Sukardi yang gagal menjadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia setelah kalah dalam pemilihan direksi. Bagi kalangan PPP, tidak terpilihnya Samudera Sukardi merupakan hal yang menyakitkan. Mereka merasa dilecehkan, seolah-olah orang profesional dari PPP tidak mumpuni. Berbeda dengan orang-orang pilihan PDIP yang dalam pandangan mereka dengan mudah melenggang ke kursi direksi BUMN, sementara kader PPP dianggap ketimun bungkuk yang tidak laku di kursi BUMN.

PPP juga kecewa setelah La Ode Kamaludin gagal menjadi Sekretaris Wapres (Seswapres). Padahal, secara de facto La Ode berperan sebagai Seswapres sejak Hamzah Haz dilantik menjadi Wapres selama sembilan bulan. Alasannya, Seswapres yang dijabat Bambang Kesowo tidak pernah berfungsi maksimal. Hamzah Haz telah berulang kali mengusulkan La Ode menjadi Seswapres, termasuk kepada Megawati, tetapi selalu ditolak.

Berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan itulah yang membuat Hamzah Haz kecewa berat. Untuk memperlihatkan eksistensinya, Hamzah haz mempertontonkan aksi yang dianggap di luar kelaziman pejabat negara. Kunjungannya ke Mabes Polri seakan-akan menunjukkan diri kepada PDIP bahwa ia memiliki kartu Islam politik yang sangat penting dalam menunjang stabilitas politik (Gatra, 2001).

Memang situasi itu merupakan situasi yang tidak lazim dan tidak normal, apalagi bagi bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila. Pancasila itu intinya adalah gotong royong, bukan konflik. Dengan adanya keretakan dalam puncak pimpinan tersebut, sudah jelas jauh dari nilai luhur Pancasila dan menunjukkan situasi yang tidak stabil. Situasi yang tidak stabil jelas teramat menghambat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Akan tetapi, karena semua orang hampir terjangkiti wabah penyakit demokrasi, memandang hal itu wajar terjadi karena semua elit memiliki partai yang juga memiliki kepentingan yang harus diperjuangkan. Kebanyakan malah menilai hal itu dari sudut pandang demokrasi, bukan dari sudut pandang Pancasila. Artinya, menjelas-jelaskan hal tersebut dalam sistem demokrasi, kemudian mencari argumen untuk bisa dipahami banyak orang bahwa itu memang wajar dan bisa saja sangat mungkin untuk terjadi. Padahal, sungguh, Pancasila tidak menginginkan hal itu terjadi.

Gus Dur Terjerat Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sikap dan situasi menjauhi gotong royong yang merupakan intisari dari keluhuran nilai Pancasila dapat dilihat dalam masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Hal tersebut disebabkan perilaku demokrasi yang mempersulit para elit untuk dapat bersatu hati membentuk kebijakan yang menguntungkan semua pihak dalam arti seluruh bangsa. Situasi tersebut tampak sekali di tingkat pemimpin puncak. Di antara Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada lagi kerja sama yang baik. Bahkan, Megawati beserta PDIP merasa kecewa berat karena tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri, misalnya, kader PDIP Laksamana Sukardi diberhentikan dari jabatan menteri BUMN tanpa sepengetahuan Megawati. Sejak saat itu, Megawati secara nyata mengambil jarak politik dengan Gus Dur.

Eskalasi politik pun bergeser cepat 180 derajat. Partai-partai berbasis massa Islam (PPP, PAN, PBB, PK, dll.) memanfaatkan jarak renggang Mega-Gus Dur dengan membentuk “aliansi” kesepahaman politik baru dengan PDIP. Hal itu disebabkan partai-partai berbasis massa Islam itu sudah lebih dulu disepelekan Gus Dur. Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sudah lebih dulu didepak dari kabinet. Kemudian, menyusul Bambang Sudibyo (PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Nurmahmudi Ismail (PK) masing-masing dipecat dari jabatan Menkeu, Menkeh, dan Menhutbun. Lalu, Bomer Pasaribu dan Mahadi Sinambela dari Partai Golkar diberhentikan dari jabatan Menaker dan Menpora.

Ketika menggelinding kasus Buloggate yang melibatkan Gus Dur dan lingkarannya, PDIP berseberangan dengan Gus Dur dan PKB-nya (Budi dkk. : 2004). Terbentuklah Pansus Buloggate yang di dalamnya santer wacana sidang istimewa untuk menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Sepak terjang partai yang semakin membesar tersebut membuat posisi Gus Dur terancam. Oleh sebab itu, Gus Dur pun melakukan perlawanan yang merupakan antisipasi menguatnya sidang istimewa yang membahayakan posisinya. Bentuk perlawanan tersebut berupa rencana dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen.

Menurut Gus Dur, apabila Presiden dijatuhkan melalui Memorandum I, II, dan seterusnya Sidang Istimewa MPR RI, keadaan menjadi kalut (darurat). Oleh sebab itu, sebaiknya dikeluarkan dekrit.

Berbeda dengan pendapat Ketua MPR RI Amien Rais. Menurutnya, apabila MPR dibubarkan oleh Presiden, hal tersebut menyalahi konstitusi karena Presiden dipilih oleh MPR.

Berkaitan dengan wakilnya, Presiden Gus Dur mengatakan bahwa Megawati tidak menciptakan dwitunggal jika membiarkan partainya menggelar sidang istimewa kendati menurut Megawati hal tersebut dapat dilakukan sepanjang konstitusional.

Di tingkat grassroot pendukung Gus Dur dari berbagai daerah berdatangan ke Jakarta. Mereka memberikan dorongan penuh pada kebijakan-kebijakan Gus Dur sekaligus siap sedia untuk melakukan apa saja yang diperintahkan untuk membuktikan dukungannya tersebut.

Situasi politik terus bergulir. Akhirnya, Gus Dur digulingkan juga melalui kasus Brunaigate dan Buloggate yang dikonstitusionalkan melalui Memorandum I, II, dan SI MPR. Dengan demikian, posisi Presiden RI diisi dengan mulus oleh Megawati Soekarnoputeri.

Dengan naiknya Megawati menjadi presiden, kursi wakil presiden menjadi kosong. Untuk mengisi posisi tersebut, MPRI RI telah memilih Hamzah Haz dari PPP.

Dalam masa pemerintahan Abdurahman Wahid kita menyaksikan pertarungan yang luar biasa ulet. Baik pihak yang pro maupun yang anti Gus Dur bunyinya sama, yaitu untuk kepentingan rakyat. Akan tetapi, situasi itu merupakan hal yang aneh untuk dipersembahkan kepada rakyat atau memang mungkin kekacauan itulah yang dimaksudkan untuk rakyat, yaitu berbangga dengan demokrasi yang bisa kapan saja melakukan apa saja meskipun membuat negara berguncang keras hingga kestabilan tidak pernah tercipta dan membuat sulit mencapai tujuan pembangunan nasional.

Pancasila Bangkit Sebentar, Lalu Jatuh Lagi Gara-Gara Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Selepas Orde Baru dan Soehartonya dilengserkan atau dalam bahasa Sunda dilungsurkeun, Habibie sebagai Wakil Presiden Soeharto diangkat MPR untuk menjadi presiden. Kepemimpinannya tidak lama, namun telah banyak yang dilakukannya, seperti, membebaskan tahanan politik, pencabutan UU subversi, menjamin kebebasan berbicara dan pers, serta menyelenggarakan Pemilu yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyayangkan bahwa pada masa kepemimpinannya Timor Timur lepas dari NKRI.

Kekuatan Orde Baru dalam arti Demokrasi Pancasila yang sudah tidak lagi dikehendaki oleh rakyat harus diganti oleh kekuatan baru yang benar-benar merupakan aspirasi rakyat. Oleh sebab itu, Presiden Habibie ditekan untuk segera menyelenggarakan Pemilu agar lahir pemerintahan yang baru. Untuk terselenggaranya Pemilu yang dapat menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah memperbolehkan rakyat membentuk partai-partai. Dengan demikian, fusi yang pernah dilakukan semasa Demokrasi Pancasila menjadi tidak berlaku. Masyarakat pun memiliki kesempatan untuk membangun partai-partai. Hasilnya, terdapat 48 partai yang telah disahkan untuk mengikuti Pemilu 1999.

Melalui Pemilu 1999, dari 48 partai, hasilnya hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. PDI Perjuangan menjadi pemenang, tetapi tidak mutlak. Golkar mampu mengimbanginya. Hasil tersebut mengecewakan banyak pihak. Tak urung Amien Rais pun yang getol mendorong Pemilu ini mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, rakyat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah arti demokrasi di negara yang sebesar Indonesia ini (Inu Kencana Syafiie, Azhari: 2005).

Dalam Sidang Istimewa anggota MPR RI hasil Pemilu 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Habibie yang sekaligus menghentikan Habibie untuk menjadi presiden berikutnya.

Selanjutnya, MPR RI memilih presiden dan Wapres untuk menjalankan pemerintahan. Hasilnya, pada sidang paripurna ke-13 MPR RI, Rabu 20 Oktober 1999 melalui voting, Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden, sedangkan wakilnya adalah Megawati yang sebenarnya pemenang Pemilu 1999. Hal itu dimungkinkan karena sistem Pilpres dilangsungkan tidak secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh MPR RI.

Sampai peristiwa ini, tampak ada suasana gotong royong di antara elemen politik bangsa untuk mewujudkan pemerintahan yang baru selepas pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa lebih kurang 32 tahun. Meskipun demikian, ada satu golongan atau partai yang harus kecewa, yaitu Golkar yang kehilangan calon presidennya karena dulu mengusung Habibie yang kemudian ternyata ditolak oleh MPR RI. Akan tetapi, hal itu tidak menimbulkan gejolak yang berarti sehingga pada akhirnya Golkar pun bersedia untuk tetap bersama-sama membentuk pemerintahan yang baru. Di samping itu, Megawati yang partainya pemenang Pemilu tetap rela berada di posisi kedua karena mengikuti mekanisme yang ada dengan tetap menjaga keutuhan bangsa.

Perilaku elit saat itu mencerminkan sikap gotong royong yang baik sehingga segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat (http://pajriblog.blogspot.com). Ada harapan Pancasila sudah mulai bangkit lagi menjadi sumber inspirasi seluruh bangsa.

Situasi itu pun mendorong bangsa Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari gotong royong, yaitu meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, dan tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar (Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id).

Di samping itu, situasi menunjukkan adanya efektivitas yang tinggi dalam menyelesaikan konflik-konflik yang pernah terjadi. Dengan demikian, bangsa Indonesia memiliki harapan bahwa stabilitas politik nasional dapat terwujud sebagai syarat mencapai pembangunan nasional.

Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Sikap dan situasi yang menjauhi gotong royong justru dimulai dalam masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Situasi tersebut tampak sekali di tingkat pemimpin puncak. Di antara Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada lagi kerja sama yang baik. Bahkan, Megawati beserta PDIP merasa kecewa berat karena tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri, misalnya, kader PDIP Laksamana Sukardi diberhentikan dari jabatan menteri BUMN tanpa sepengetahuan Megawati. Sejak saat itu, Megawati secara nyata mengambil jarak politik dengan Gus Dur.

Suasana gotong royong yang merupakan jiwa dari Pancasila pun jatuh lagi, terkubur berbagai kepentingan politik. Sebentar sekali ternyata para elit ini bisa akur. Akibatnya, rakyat pun tidak akur dan pastinya sulit untuk makmur. Semua jadi gelisah dan bingung, mau apa dan bagaimana pada masa depan.

Masa Demokrasi Pancasila: Lain di Mulut Lain di Perbuatan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Demokrasi Pancasila mengambil kutub yang berlawanan dengan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Pancasila retorika politik yang dicanangkan adalah melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen.

Pada masa ini penguasa menginginkan kondisi negara benar-benar dalam keadaan stabil sehingga dapat melaksanakan pembangunan dengan lebih lancar. Penguasa, Jenderal Soeharto, benar-benar menciptakan kondisi yang stabil sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Pada awal kelahirannya Demokrasi Pancasila sudah menunjukkan sikap dan sifat yang jauh dari jiwa Pancasila, yaitu gotong royong. Pada masa ini negara sudah terbagi ke dalam dua kutub besar, yaitu Kutub Soekarno dan Kutub Soeharto.

Ketika hubungan Malaysia hendak dipulihkan kembali oleh Pemimpin Orde Baru, Soeharto, Soekarno merasa terancam kedudukannya. Oleh sebab itu, dalam keadaan terjepit, Soekarno menyadari bahwa masih ada satu kekuatan untuk menyelamatkannya, yaitu Pemilu. Upaya itu merupakan usaha terakhir mempertaruhkan popularitasnya dalam melawan Soeharto dan Angkatan Darat. Dalam pidato 17 Agustus 1966 yang berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Soekarno berkata lantang menantang:

“Berkali-kali sudah aku katakan bahwa kita harus menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin karena pemilihan umum adalah satu-satunya cara mengetahui kehendak rakyat, mengetahui keinginan rakyat yang sebenarnya, mencari penjelasan tentang tuntutan-tuntutan yang dikemukakan atas nama rakyat dan untuk memperbaiki anggota-anggota lembaga-lembaga negara ....”

Untuk menyelenggarakan Pemilu, diperlukan RUU yang dapat menjadi payung hukumnya. Akan tetapi, kekuatan Orde baru menolaknya. Konferensi Kerja Kasi Djaja dan Delegasi Kami Konsulat Bandung menolaknya dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi Tritura dan Orde Baru.

Pemilu pun tertunda-tunda, sampai 10 Januari 1968 Pejabat Presiden Soeharto melaporkan bahwa Pemilu hanya dapat dilaksanakan selambat-lambatnya sampai 5 Juli 1971. Hal ini mencerminkan kepentingan-kepentingan partai politik dan angkatan bersenjata. Partai politik adalah yang paling bergairah dengan dilaksanakannya Pemilu karena melihat bahwa PKI telah musnah dan meninggalkan banyak kursi untuk diduduki, sedangkan militer sangat berhati-hati dengan Pemilu. Mereka tidak mau kehilangan atas kendali negara yang telah dipegangnya dan jika perlu akan dipertahankan dengan main keras. Angkatan Darat memang setuju dengan Pemilu, tetapi dengan syarat “kekuatan-kekuatan Pancasila” harus menang. Yang dimaksud dengan kekuatan-kekuatan Pancasila adalah pihak yang dekat dengan Soeharto dan tentara.

Untuk menjamin kepastian kemenangan tersebut, beberapa Parpol yang dianggap bisa menjadi penghalang bagi keinginan pemerintah dan tentara “digarap” secara negatif. Pertama-tama, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang terkenal dekat dengan Bung Karno. Bulan April 1966 PNI didesak oleh pemerintah untuk mengadakan kongres partai. Surat-surat kuasa untuk memasuki ruang sidang diperiksa ketat oleh tentara. Hasil kongres adalah disingkirkannya para pemimpin yang masih setia kepada Bung Karno.

Sejak 1967 ada kampanye “pengordebaruan” oleh Pangdam VIII, Jasin, di Jawa Timur tempat PNI mendapat anggota terbanyak yang juga merupakan tempat terbanyak pendukung Soekarno. Kampanye “pengordebaruan” ini praktis melumpuhkan PNI. Banyak cabang-cabangnya ditutup, dilarang rapat-rapat terbuka, beberapa Ormas mahasiswanya dibekukan. Kampanye yang sama dilakukan di Sumatera Utara. Malahan, di sana dianjurkan secara sukarela untuk membekukan diri. Demikian pula di Aceh.

Partai lain yang mendapat incaran untuk digarap adalah partai-partai Islam. Para bekas anggota Partai Masjumi yang dibubarkan oleh Soekarno ingin menghidupkan kembali partai tersebut. Pada mulanya tidak mendapat izin, tetapi akhirnya diizinkan dengan syarat gembong-gembong lama tidak boleh menduduki pemimpin partai. Akhirnya, Masjumi boleh membuat partai dengan nama baru, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Mohamad Roem terpilih sebagai ketua. Akan tetapi, karena desakan pemerintah, ketua terpilih mengundurkan diri, kemudian diganti oleh seseorang yang mendapat tempat di kalangan pemerintah dan tentara.

Bukan hanya itu yang dilakukan untuk menjamin kemenangan pemerintah dan tentara. Sebagai tangan sipil bagi tentara dalam lingkaran politik, digunakanlah organ lama yang pernah digunakan untuk mengimbangi PKI, yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Jenderal Soeharto memberikan instruksi kepada seluruh angkatan bersenjata untuk memberikan fasilitas seluas-luasnya kepada Golkar di tingkat pusat dan daerah. Golkar dianggap saudara kandung angkatan bersenjata.

Langkah selanjutnya adalah menjadikan Golkar sebagai pemenang Pemilu. Pegawai negeri yang dulunya basis PNI dipaksa untuk loyal kepada pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 yang berupaya memurnikan Golkar di DT I dan DT II. Aturan itu ditentang keras oleh Wakil Ketua MPRS Subchan Z.E. sebagai tindakan melawan hukum dari pemegang kekuasaan. Protes-protes lain bermunculan berupa walk out Parpol-parpol DT I dan DT II di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun demikian, Mendagri jalan terus dengan mengeluarkan formulir edaran agar pegawai negeri tidak menjadi anggota partai atau Ormas dan mengatakan siapa saja yang tidak patuh untuk keluar dari pegawai negeri. Pegawai negeri harus menjadi Korps Karyawan Pemerintahan Dalam Negeri (Kokarmendagri).

Di samping itu, untuk mengimbangi Islam, pemerintah menghidupkan kembali GUPPI. Dengan GUPPI dan Kokarmendagri, militer mengintimidasi desa-desa yang dulunya pendukung PKI yang merupakan orang-orang paling lemah. Pemerintah telah menjadi buldozer untuk meratakan jalan menuju kemenangan Golkar dalam Pemilu.

Perilaku pemerintah dan tentara tersebut telah membuat Parpol menjadi terancam hidupnya. Mereka yang dulunya bergairah dengan Pemilu menjadi gentar.

Hadisubeno dari PNI dengan keras melanggar larangan pemerintah menyebarkan ajaran Bung Karno dengan kata-kata kasar, “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal, tidak dapat menyamai satu Soekarno!”

Tidak lama kemudian, pemimpin PNI itu menemui ajalnya.

Kalangan mahasiswa pun merasa tertekan dengan kampanye yang dilancarkan pemerintah. Oleh sebab itu, mereka mengorganisasikan diri, kemudian pada 28 Mei 1971 mencetuskan Golongan Putih (Golput). Gerakan protes sindiran ini menjangkit ke mana-mana, di antaranya, Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (Daniel Dhakidae : 1986).

Menurut seorang pengamat politik (2008), dalam Metro TV, mengatakan,
“Para mahasiswa itu, kami, mengusung Golput karena menganggap sudah tidak perlu lagi ada Pemilu. Buat apa Pemilu? Sudah saja langsung pemenangnya adalah Golkar.”

Pada 1973 atas saran pemerintah, partai-partai melakukan fusi. Dengan demikian, kontestan untuk Pemilu 1977 tinggal dua Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditambah satu Golkar.

Penyederhanaan Parpol ini awalnya merupakan upaya pemerintah untuk dapat mengontro Parpol, sebagaimana yang dikatakan Soeprapto (2004), "Pada masa Orde Baru Golkar menjadi mesin politik guna mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya, PPP dan PDI hanya menjadi boneka agar tercipta image sebagai negara demokrasi.”

Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintah sendiri sempat terkejut karena PPP mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Dengan demikian, pada masa itu terjadi duel antara PPP dan Golkar. Sementara itu, PDI hanya menjadi underdog. PPP menjadi sangat kuat karena memiliki identitas yang jelas sebagai partai Islam sehingga mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Identitas PPP yang berhasil tumbuh dan identifikasi massa pemilih Islam yang berhasil ditanam serta merta menimbulkan kekhawatiran pada diri penguasa sehingga Kaskopkamtib Soedomo meminta PPP untuk tidak lagi berkampanye dengan soal yang berhubungan dengan masalah keagamaan.

Golkar pun melawan dengan spanduk-spanduk yang berisi Tidak benar bahwa orang yang masuk Golkar adalah kafir. Usaha Golkar itu adalah untuk mementahkan proses identifikasi massa Islam dengan PPP.

Dengan demikian, kampanye Pemilu 1977 merupakan pertarungan dua kekuatan utama, yaitu Golkar dan PPP. Keduanya membuat manuver-manuver tersendiri. Kalau perlu, saling menuduh bahwa pihak lain curang, menyalahi hukum. Dari pihak pemerintah dan Golkar datang tuduhan bahwa PPP memalsukan surat suara, ada komando jihad, adanya bantuan senjata asing (Libya). Dari pihak PPP menuduh Golkar rekanan dengan tentara dan pemerintah, anggota PPP ditembak mati di Situbondo, Jawa Timur, ketika akan menghadiri kampanye PPP, terjadinya pemukulan, intimidasi, penahanan, dan lain sebagainya. Dibandingkan 1971, Pemilu 1977 cukup bukti bahwa lebih banyak diwarnai oleh kekerasan (Daniel Dhakidae : 1986).

Upaya pemerintah dan tentara tersebut terus berlangsung dari Pemilu ke Pemilu sampai 1997. Keberhasilan mereka telah mengukuhkan Soeharto untuk menjadi presiden terus-menerus. Strateginya adalah dengan menunjuk para anggota MPR khusus untuk daerah dan utusan golongan, yaitu para gubernur, para panglima Kodam, para rektor, para menteri, para istri dan anak menteri untuk duduk di lembaga konstitutif ini (yang sudah tentu dekat dengan Soeharto) sehingga setiap Pemilu Soeharto diangkat menjadi presiden dengan kebulatan tekad (Inu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Pada 1995 Soeharto menyadari bahwa Megawati Soekarnoputeri, Ketua Umum DPP PDI, tidak akan menolerir bila Golkar melakukan tindakan kecurangan dalam Pemilu 1997.

Oleh sebab itu, kedudukan Megawati mulai didongkel, sebagaimana yang dituturkan Soetjipto, Sekjen DPP PDI-P, “Semuanya itu diciptakan oleh penguasa, pemerintahnya sendiri, Pak Harto, dan militer. Sampai waktu itu utusan Kongres Luar Biasa (KLB) ditawari uang oleh Soeharto untuk meninggalkan KLB. Tapi, teman-teman tetap gigih, loyal, dan berdedikasi tinggi.”

Pemerintah membuat pengurus PDI tandingan dengan menggelar kongres di Medan. Dalam muktamar tersebut, terpilih Suryadi sebagai ketua umum PDI. Pemerintah pun menyetujuinya.

Untuk menjamin kemenangannya, pemerintah tidak hanya bekerja sama dengan tentara dan Golkar, tetapi menambah kekuatan baru, yaitu kelompok preman. Kantor DPP PDI yang terletak di Jl. Diponegoro, Jakarta, diserbu pemerintah dengan menggunakan kekuatan aparat dan preman yang diberi baju merah PDI bergambar Suryadi pada 27 Juli 1996 agar terkesan bahwa yang terjadi adalah bentrok antar-PDI. Sebagian penyerbu lagi diarahkan untuk membuat kerusuhan di tengah kota (Inu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Perilaku pemerintah, Golkar, tentara, plus preman yang membungkam aspirasi politik dan bermain politik seperti itu membuat mahasiswa, akademisi, dan rakyat marah. Oleh sebab itu, melalui gerakan reformasi besar-besaran yang menimbulkan banyak korban jiwa, pemerintah dijatuhkan. Demokrasi Pancasila pun harus berhenti yang dimulai dengan pengunduran Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1998.

Dari runtunan peristiwa dalam masa Demokrasi Pancasila, kita bisa menyaksikan bahwa negeri ini sudah jauh dari nilai intisari Pancasila, yaitu gotong royong. Pembekuan Ormas dan partai, penggiringan dan pemaksaan pemilih, intimidasi, termasuk fusi Parpol dengan alasan demi stabilitas sangatlah tidak tepat untuk mewujudkan situasi harmonis dan gotong royong bernilai Pancasila. Selintas memang bisa dipahami bahwa upaya-upaya tersebut bertujuan agar masyarakat tidak terfokus dan terombang-ambing oleh hiruk pikuk politik, tetapi lebih konsentrasi terhadap pembangunan ekonomi berdasarkan Pancasila atau gotong royong. Akan tetapi, gotong royong itu sendiri tidak bisa dibangun dengan berbagai upaya penekanan atau intimidasi. Gotong royong itu harus atas dasar sukarela sebagaimana yang ditulis dalam pajriblog.blogspot.com bahwa gotong royong merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Karena tidak adanya rasa suka rela di antara kekuatan politik yang ada, terjadi ketidakpuasan, kemarahan terpendam, kecemburuan, serta tidak berkembangtumbuhnya keadilan politik yang sewajarnya sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila yang akhirnya menimbulkan goncangan-goncangan politik yang menghalangi bangsa ini untuk mencapai tujuan nasionalnya. Itu artinya, apa yang terjadi dalam Demokrasi Pancasila sangat bertentangan dengan pemahaman tentang stabilitas politik yang diungkapkan oleh pemimpin Demokrasi Pancasila itu sendiri, Soeharto (1973), yaitu:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Itulah yang saya maksudkan lain di mulut lain di perbuatan.

Hal tersebut pun menunjukkan bahwa pemerintah dalam sistem politik Demokrasi Pancasila tidak mampu secara efektif menyelesaikan konflik-konflik yang ada. Bahkan, upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut menimbulkan konflik baru. Hal tersebut bertentangan dengan pengertian efektivitas dalam ensiklopedia administrasi:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Hal itu bisa dilihat bahwa Demokrasi Pancasila berniat meredam konflik-konflik yang berasal dari zaman Demokrasi Terpimpin, tetapi cara-cara yang dilakukannya justru menimbulkan konflik baru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Demokrasi Pancasila tidak efektif dalam mewujudkan stabilitas politik nasional sebagai syarat mencapai tujuan pembangunan nasional.

Dari sisi hubungan internasional, Indonesia berada dalam posisi rugi karena dipandang sebagai negara yang melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul, dan menyalurkan aspirasi politik. Padahal, UUD 1945 telah melindungi setiap warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.

Demokrasi Dimulai Konflik pun Dimulai

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pada awal kelahirannya saja di negeri ini demokrasi sudah menunjukkan tabiatnya yang keliru, jauh dari gotong royong dan menimbulkan konflik. Pada 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat X (baca: eks) oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta ketika Presiden RI Soekarno berada di luar kota. Maklumat tersebut memberikan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di samping membentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari.

Selanjutnya, pada 3 November 1945 dikeluarkan pula Maklumat Wakil Presiden yang mengizinkan dibentuknya partai-partai. Oleh sebab itu, tumbuhlah banyak partai yang menandai Indonesia sebagai negara dengan sistem multipartai.

Pada 14 November 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab kepada KNIP. Mohammad Hatta, selaku wakil presiden, menyetujui usulan tersebut, kemudian memutuskan agar Sutan Sjahrir membentuk kabinet yang baru. Oleh sebab itulah, terbentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai subtitut MPR/DPR.

Akibat dari pembentukan kabinet yang baru itu, selama satu dua hari Indonesia memiliki dua kelompok menteri yang masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang resmi (A. Suprijatna).

Ketika kekacauan sudah terjadi, Soekarno diminta menyelesaikannya. Artinya, pekerjaan Hatta dan Sjahrir yang menimbulkan konflik harus diselesaikan Soekarno. Karena mendahulukan keselamatan bangsa dan Republik Indonesia, Soekarno menyetujui kabinet yang telah dibentuk Sjahrir meskipun harus rela kehilangan kekuasaannya.

Hanya dalam waktu empat minggu, Sjahrir yang didukung penuh Hatta telah menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang memiliki kekuasaan absolut menjadi presiden “pajangan” saja. Kemudian, selama empat tahun perang kemerdekaan, peranan terpenting, baik sebagai administrator maupun negosiator dikuasai sepenuhnya oleh Hatta dan Sjahrir.

Kejadian selanjutnya, dalam masa pemerintahan kabinet parlementer itu terus terjadi pertentangan di antara pemimpin bangsa, terutama antara Soekarno dan Sjahrir yang mendapat dukungan Hatta.

Indonesia telah merdeka, tetapi Belanda bersikeras untuk tetap bertahan. Oleh sebab itu, upaya mempertahankan kemerdekaan terus dilakukan dengan menggunakan jalur diplomasi di samping jalur perang fisik. Dalam jalur diplomasi, Belanda hendak memperlemah Indonesia dengan tawaran politiknya, yaitu:

Mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen, tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.

Ir. Soekarno, selaku presiden, menolak hal tersebut, sementara Sutan Sjahrir, selaku perdana menteri, menerimanya. Mohammad Hatta mendukung Sutan Sjahrir. Bahkan, pada 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, Gubernur Jenderal Belanda, yang menganjurkan bahwa ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonesia menyetujui federasi Indonesia-bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini (http://id.wikipedia.org).

Kebijakan Sjahrir yang bertentangan dengan Soekarno ini mengakibatkan terjadinya penculikan terhadapnya. Sjahrir dicap sebagai pengkhianat yang menjual tanah airnya. Sjahrir diculik di Surakarta ketika berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian, ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang Pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.

Peristiwa penting lainnya yaitu Perjanjian Linggarjati. Isi dari perjanjian tersebut adalah (1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949, (2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia, (3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Hasil dari perjanjian tersebut menimbulkan kekisruhan di antara kekuatan politik yang ada. Ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo) dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNIP menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedangkan pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya. Ketika anggota KNIP yang anti-Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S.M. Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo. S.M. Kartoseowirjo saat itu berada di kubu Masyumi.

Pada 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, isinya:
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda;
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama);
  5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan Parpol-parpol di Republik.

Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan “aksi polisionil” mereka yang pertama. Aksi ini dikenal dengan Agresi Militer I.

Melihat aksi Belanda tersebut, Sjahrir yang diangkat lagi menjadi PM setelah diculik, bingung dan putus asa. Oleh sebab itu, pada Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.

Kejadian lain yang menimbulkan konflik adalah Perjanjian Renville. Bahkan, lebih parah karena menurut hasil perjanjian, wilayah Republik Indonesia itu terbatas pada Yogyakarta dan delapan keresidenan di sekitarnya. Pada masa ini Amir Syarifudin menggantikan Sjahrir sebagai perdana menteri. Awalnya, Amir Syarifudin adalah Menteri Pertahanan.

Akibat dari disetujuinya Perjanjian Renville, seluruh anggota kabinet yang berasal dari PNI dan Masyumi meletakkan jabatannya. Kemudian, Amir sendiri meletakan jabatan PM pada 23 Januari 1948.

Hal ini menimbulkan akibat yang lebih buruk, yaitu terlegitimasinya S.M. Kartosoewiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) setelah sebelumnya menolak untuk menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Amir Syarifudin.

Dalam sebuah wawancara, seorang pemimpin aktivis NII (2010) menuturkan:

“NII didirikan untuk melindungi Negara Indonesia karena setelah Perjanjian Renville, wilayah Republik Indonesia hanyalah Yogyakarta dan beberapa karesidenan di sekitarnya. Sementara itu, rakyat dan wilayah yang berada di luar RI sesuai Renville tidak ada yang melindungi dari penjajahan Belanda.”

Demikian pula penuturan Prof. Dr. Hj. Nina Lubis pada seminar buku Mengenal Gubernur Jawa Barat dari Masa ke Masa di Bandung (2010):

“S.M. Kartosoewirjo mendirikan NII tidak untuk melakukan perampokan dan kerusuhan dengan menggunakan gerombolan bersenjata. Dia melakukan itu untuk melindungi rakyat yang berada di luar wilayah RI sebagai akibat dari Perjanjian Renville. Rakyat di luar Yogyakarta tidak ada yang melindungi. Akan tetapi, pada masa selanjutnya memang NII pun melakukan perilaku-perilaku gerombolan seperti yang sudah diketahui masyarakat.”

Selepas itu, Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin suatu kabinet presidensil darurat (1948-1949). Seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai presiden.

Hatta mengambil anggota kabinetnya berasal dari golongan tengah, terutama terdiri atas orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri menjadi pihak oposisi. Sikap oposisi yang diambil Amir membuat Sjahrir dan para pengikutnya mempertegas perpecahan dengan kelompok Amir. Sjahrir membentuk partai tersendiri, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada Februari 1948 dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.

Pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 dilangsungkan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda di Den Haag. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan:

  1. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat,
  2. Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

Pertemuan itu menyatakan ketegasan bahwa Indonesia berbentuk negara serikat. Bentuk negara itu mendapatkan tentangan keras dari rakyat. Oleh sebab itu, di berbagai daerah rakyat melakukan demonstrasi menuntut dikembalikannya negara ke bentuk kesatuan.

Melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada 15 Agustus 1950.

Sejak saat itu Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Akan tetapi, sampai dengan 1959 lembaga ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya karena banyaknya perdebatan dan kepentingan kelompok di dalamnya.

Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini.
  1. 1950-1951 - Kabinet Natsir
  2. 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
  3. 1952-1953 - Kabinet Wilopo
  4. 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
  5. 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
  6. 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
  7. 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Jika diperhatikan, pergantian kabinet tersebut menunjukkan ketidakstabilan politik yang tinggi. Waktu kerja kabinet pendek-pendek dan tidak teratur. Salah satu penyebab terbesar dari jatuh-bangunnya kabinet tersebut diakibatkan oleh proses demokrasi dalam hal tarik ulur persoalan Pemilu. Mereka yang belum berkuasa ingin segera berkuasa, sedangkan yang sedang berkuasa khawatir copot kekuasaannya.

Daniel Dhakidae (1986) mengilustrasikan bahwa pemilihan umum menjadi isu politik yang penting dalam percaturan politik pada masa-masa itu. Dalam masa-masa setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, hampir setiap kabinet yang berkuasa menjanjikan atau merencanakan Pemilu sebagai program kerjanya.

Kabinet Hatta berencana menyelenggarakan Pemilu sehingga suatu Dewan Konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah negara akan berbentuk kesatuan atau federal. Akan tetapi, batal karena rakyat sudah sangat kuat menginginkan negara kesatuan. Kabinet Natsir menyusulnya dengan mengajukan suatu rencana undang-undang pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun, kabinet tersebut jatuh sebelum rencana undang-undang dibicarakan dalam parlemen. Kabinet Sukiman yang menggantikannya menyepakati agar rencana undang-undang yang diajukan Kabinet Natsir diterima. Akan tetapi, pada 1 Agustus 1951 rencana undang-undang tersebut ditolak parlemen karena parlemen menghendaki suatu Pemilu langsung. Sampai jatuhnya pada Februari 1952, Kabinet Sukiman tidak lagi mengajukan rencana undang-undang Pemilu.

Ketika Kabinet Wilopo menduduki kursi pemerintahan, tampaknya bakal ada tanda-tanda bahwa tekanan pada pentingnya Pemilu diberikan lagi. Pada Juli 1952 kabinet mengajukan RUU untuk pendaftaran para pemilih. Namun, fraksi-fraksi dalam parlemen tidak mendiskusikannya sampai September 1952. Hasil diskusi bulan itu menolak RUU tersebut.

Kita lihat bahwa harapan dan penggarapan persiapan Pemilu selalu tidak pernah sejalan, selalu mendapat rintangan. Setelah suatu kabinet berkuasa, Pemilu selalu ditunda-tunda tak menentu. Oleh karena itu, hampir bisa diduga bahwa pihak oposisi dalam parlemen selalu memegang isu Pemilu sebagai senjata melawan pemerintah dengan mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya sengaja menunda-nunda dilaksanakannya Pemilu.

Sikap parlemen yang tidak menentu dan tidak begitu setuju dengan Pemilu, menurut Herbert Feith dalam Daniel Dhakidae (1986), ada empat alasan yang bisa dikemukakan:

Pertama, banyak anggota parlemen mendapat kursi karena keadaan dan situasi yang belum normal setelah revolusi. Mereka sadar Pemilu akan mencopot kursinya. Kelompok ini bukan saja terdiri atas golongan independen dan anggota partai kecil, melainkan pula dalam kalangan anggota partai besar yang merasa kurang mendapat restu dari pemimpin partainya. Kedua, kekhawatiran bahwa Pemilu akan menggeser negara ke dalam kekuasaan partai-partai Islam. Ketakutan ini terutama menghinggapi Partai Nasional Indonesia (PNI). Pemilu yang terlalu awal bakal menguntungkan Masyumi. Ketiga, sistem Pemilu yang konsisten dengan UUDS 1950 akan menghasilkan perwakilan yang lemah bagi daerah-daerah luar Jawa. Keempat, kekhawatiran tumbuhnya partai politik terlalu besar.

Akhirnya, Pemilu lebih merupakan isu politik dibandingkan suatu program politik. Oleh sebab itu, tidak heran bila dikatakan bahwa Pemilu merupakan ping pong antara kabinet dan parlemen. Setiap RUU Pemilu ditolak parlemen. Sebaliknya, kabinet khawatir adanya Pemilu. Tidak ada pihak yang berani melaksanakan pemilihan. Ketakutan ini melanda sejumlah besar Parpol, termasuk sejumlah partai yang memerintah.

Pada Oktober 1952 terjadi perdebatan-perdebatan sengit yang terjadi di parlemen, terutama terkait masalah Angkatan Perang. Di antara mereka terjadi tuduh-menuduh bahwa ada partai atau golongan tertentu yang hendak menguasai Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan. Bahkan, ada tudingan akan terjadinya kudeta oleh militer (Ginandjar Kartasasmita : 1981).

Perilaku DPR itu sangat mengecewakan rakyat. Oleh sebab itu, pada 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Sekitar 5.000 orang menuntut pembubaran parlemen, pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan diselenggarakannya Pemilu. Mereka membawa bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang bernada antikabinet dan anti-Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang bertuliskan Anggota DPR bukan wakil rakyat-DPR sudah menjadi Dewan Penipu Rakyat sebab yang dibicarakan adalah kebanyakan kepentingan kawan-kawan dan kelompoknya sendiri, sedangkan rakyat makin lama makin menderita dan yang senang hanya mereka yang menduduki kursi-kursi DPR dan kementerian yang empuk-empuk, jumlahnya makin lama makin membesar (Daniel Dhakidae : 1986).

Kekacauan itu membuat Kabinet Wilopo tersudut. Oleh sebab itu, hanya empat hari setelah peristiwa itu, 21 Oktober 1952, kabinet mengambil keputusan resmi untuk mempercepat pemilihan bagi Dewan Konstituante dan DPR. Kemudian, menyerahkan RUU-nya kepada parlemen.

Kabinet Wilopo telah menyusun RUU Pemilu, mengesahkannya, kemudian harus meletakkan jabatan. Penggantinya adalah Kabinet Ali I atau Ali-Wongso. Pada masa ini sempat berlangsung kampanye Pemilu, namun tidak sampai pada pelaksanaan Pemilu. Kabinet ini harus jatuh karena ada mosi tidak percaya dari beberapa anggota parlemen terkait pergantian pimpinan AD yang dikenal dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”.

Kabinet berikutnya adalah Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini adalah koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedangkan PNI berada pada pihak oposisi. Dalam masa inilah dilangsungkan Pemilu yang pertama, yaitu pada 29 September 1955.

Pemilu tersebut menghasilkan empat besar, yaitu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Hasil tersebut menjadi awal bagi terkuburnya Kabinet Burhanuddin karena PNI sebagai oposisi keluar sebagai pemenang dan NU akan bersama PNI untuk membentuk kabinet yang baru. Dengan demikian, jelas Kabinet Burhanuddin yang berintikan Masyumi kalah besar.

Hasil Pemilu itu pun menyebabkan polarisasi yang cukup tajam antara parta-partai agama dan nonagama. Di Jawa, kecuali Jakarta Raya, gabungan kekuatan partai nonagama lebih kuat daripada gabungan kekuatan partai agama (Islam). Adapun di luar Jawa gabungan kekuatan agama (Islam) jauh lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan partai nonagama.

Kestabilan politik yang diharapkan setelah Pemilu, tidak juga diperoleh. Parlemen yang baru pun tidak meningkatkan rasa puas. Demikian pula kabinet tidak dapat bertahan lama dan harus diganti dengan Kabinet Ali II (Daniel Dhakidae : 1986).

Ternyata, Kabinet Ali II tidak berumur panjang juga, tidak lebih dari satu tahun karena DPR hasil Pemilu terpecah-pecah dalam sekian banyak partai. Oleh sebab itu, setiap kabinet menjadi bergantung kepada dukungan partai yang turut serta dalam koalisi (Ginandjar Kartasasmita : 1981).

Kasus lain yang mengagetkan adalah mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta dari jabatannya pada 1 Desember 1956. Dalam masa revolusi kemerdekaan, mitos Dwitunggal begitu menyihir seluruh perjuangan. Keduanya, Soekarno-Hatta, mampu bergotong royong mencurahkan energi yang dimiliki untuk memimpin bangsa mencapai kemerdekaannya. Akan tetapi, ketika dimulai sistem politik demokrasi, sikap gotong royong itu mulai pudar berganti dengan kecurigaan dan perpecahan. Mitos Dwitunggal sudah sangat samar.

Dimulainya praktik Demokrasi Awal Kemerdekaan sebagaimana yang ditulis A. Suprijatna dalam Bung Karno Milik Rakyat Semua adalah pada 16 Oktober 1945 ketika dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden X (baca: eks) yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Juga dibentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari. Saat itu Soekarno sedang berada di luar Kota Jakarta. Artinya, kekuasaan ada di tangan Hatta.

Kemudian, pada 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Wapres yang memberikan izin untuk mendirikan partai-partai politik. Maklumat itu makin menjauhkan negara dari sistem pemerintahan yang diinginkan Soekarno.

Pada pertengahan November 1945 Hatta menyetujui pembentukan kabinet yang bertanggung jawab terhadap KNIP. Hatta kemudian menunjuk Sjahrir untuk membentuk kabinet. Akan tetapi, kabinet lama menolak hal itu. Akibatnya, negara dalam satu dua hari memiliki dua kabinet yang masing-masing mengaku sebagai pemerintahan yang sah.

Ketika kekacauan sudah terjadi, Soekarno diminta menyelesaikannya. Artinya, pekerjaan Hatta dan Sjahrir yang menimbulkan konflik harus diselesaikan Soekarno. Karena mendahulukan keselamatan bangsa dan Republik Indonesia, Soekarno menyetujui kabinet yang telah dibentuk Sjahrir meskipun harus rela kehilangan kekuasaannya.

Hanya dalam waktu empat minggu, Sjahrir yang didukung penuh Hatta telah menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang memiliki kekuasaan absolut menjadi presiden “pajangan” saja.
Selama empat tahun perang kemerdekaan, peranan terpenting, baik sebagai administrator maupun negosiator dikuasai sepenuhnya oleh Hatta dan Sjahrir. Ujungnya adalah setelah mewakili RI dalam KMB, Hatta berkuasa sepenuhnya sebagai Perdana Menteri RIS, namun rakyat tidak menyukainya dan lebih memilih negara kesatuan.

Sejak kejatuhan RIS, peranan Hatta benar-benar surut, sedangkan Soekarno bertambah besar. Hatta seolah-olah merasa kalah oleh Soekarno, sebagaimana yang dia katakan sendiri dalam risalahnya, Demokrasi Kita (A. Suprijatna):

“Bagi saya yang sudah lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan.”

Pernyataan Hatta tersebut mengingatkan kita bahwa dirinya dan Sjahrir sudah memperjuangkan gagasan-gagasannya, namun terbentur RIS yang tidak laku di kalangan rakyat. Kemudian, ia memberikan ruang yang lebih bebas kepada Soekarno dan gagasan-gagasannya. Dengan demikian, Soekarno tak ada lagi yang merecokinya.

Setelah Kabinet Ali II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk Soewirjo menjadi formatur. Dua kali Soewirjo berusaha, tetapi gagal. Akhirnya, Soekarno menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur.
Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstraparlementer dengan Djuanda sebagai perdana menteri. Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan Bersenjata.

Konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956 mengenai UUD 1945 dalam keadaan negara diliputi awan gelap yang ditimbulkan oleh pergolakan-pergolakan di daerah. Seperti juga DPR hasil Pemilu 1955, anggota-anggota konstituante terdiri atas wakil-wakil dari puluhan partai. Partai-partai tersebut terpecah-pecah ke dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan sehingga setelah lebih dari dua tahun bersidang, dewan ini belum juga dapat menghasilkan UUD. Bahkan, gagal.

Bukan hanya itu sebenarnya konstituante gagal dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk rakyat. Dalam hal lain pun sering sekali gagal karena banyaknya perdebatan. Pada masa yang dikenal sebagai demokrasi liberal tersebut, perangai politik lama malahan bertambah merusak. Perdebatan di parlemen memang hebat-hebat, tetapi karena asyik berdebat, jarang sekali menghasilkan sesuatu yang diharapkan masyarakat banyak. Pertikaian yang berlarut-larut menyebabkan seringnya kabinet atau pemerintahan berganti sehingga kebijaksanaan sering pula berubah-ubah. Sistem banyak partai yang diperkirakan akan lenyap dengan Pemilu 1955, ternyata tidak bisa dihindari. Pemilu itu telah membuka pintu yang lebar bagi pertentangan ideologi yang tajam sehingga memperdalam rasa saling curiga yang tambah mempersulit mencari konsensus (Alfian : 1986).

Kegagalan konstituante untuk menetapkan UUD serta perdebatan-perdebatan di dalamnya menyebabkan situasi politik di dalam negeri yang telah bergolak karena adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah dan gangguan-gangguan keamanan menjadi semakin gawat.

Setelah konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi UUD RI, Presiden Soekarno menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dengan suatu dekrit pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut mendapat dukungan penuh dari masyarakat. KSAD mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung kemudian juga membenarkan Dekrit Presiden tersebut. DPR hasil Pemilu dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945.

Dengan adanya dekrit, berakhirlah episode Demokrasi Awal Kemerdekaan.

Dari paparan sejarah tadi, jelas Demokrasi Awal Kemerdekaan sejak mula sekali sudah menjauhkan para elit politik dari sikap gotong royong. Sesuai dengan perjalanan bangsa, sikap menjauhi gotong royong tersebut bukan hanya berada pada tingkat elit, melainkan pula merembet ke masyarakat luas yang ditandai dengan pengelompokan masyarakat ke dalam berbagai partai politik yang memiliki perbedaan ideologi sangat tajam serta menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di daerah.

Suasana politik pada masa itu benar-benar kacau karena setiap kelompok sudah mementingkan kelompoknya masing-masing bukan lagi rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan situasi pada masa memperjuangkan kemerdekaan, setiap kelompok berjuang untuk kepentingan bersama, yaitu merdeka.

Karena tidak berada dalam situasi gotong royong, situasi politik nasional berada jauh di luar intisari nilai Pancasila, sebagaimana yang disampaikan Founding Father Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidato filsafat negara bahwa rumusan dasar Negara Indonesia merdeka adalah:
1. Kebangsaan Indonesia-Nasionalisme
2. Perikemanusiaan-Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Lima asas atau dasar tersebut atas petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa—oleh Soekarno—diberi nama Pancasila. Konsep dasar yang diajukan Soekarno dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
1. Socio-Nationalisme, perasan sila 1 dan 2
2. Socio-Democratis, perasan sila 3 dan 4
3. Ketuhanan

Ketiga sila itu dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong (Hasan, 2002 : 56-57 dalam Soeprapto : 2004).

Adapun gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org).

Gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).

Di samping itu, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.

Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, serta tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.

Sistem politik Demokrasi Awal Kemerdekaan pun ternyata tidak efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik politik yang terjadi, bahkan menimbulkan konflik baru. Sistem politik demokrasi di Indonesia dapat dipandang efektif jika berhasil menyelesaikan konflik tanpa menimbulkan konflik baru. Konflik-konflik dianggap selesai atau teratasi jika sudah tercipta stabilitas politik nasional sebagaimana yang diharapkan oleh UUD 1945 dan Pancasila tanpa adanya kekisruhan politik yang meruncing dan menggoncangkan negara sebagaimana laporan pertangungjawaban Presiden ke-2 RI Soeharto pada 12 Maret 1973:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Keefektifan (effectiveness) sendiri dalam Sukarno (2010) berasal dari kata efektif yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977 : 296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Dalam ensiklopedia administrasi dijelaskan:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Dengan demikian, Demokrasi Awal Kemerdekaan sangat tidak efektif mewujudkan stabilitas politik nasional sebagai syarat mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dipandang dari segi hubungan internasional, Demokrasi Awal Kemerdekaan sama sekali tidak menguntungkan bagi kepentingan dalam negeri Indonesia. Dengan diberlakukannya demokrasi, Belanda memiliki ruang untuk kembali mendapatkan keuntungan dari Indonesia secara curang. Hal itu dilakukannya dengan mengadakan berbagai perundingan dengan pihak Indonesia yang dikuasai oleh Hatta dan Sjahrir. Hal tersebut bisa dilihat dari upaya Belanda dalam mengotak-kotakan wilayah Indonesia sebagai isi dari perjanjian, termasuk di dalamnya hasil KMB yang telah membuat Indonesia menjadi negara serikat. Padahal, pada 18 Agustus 1945 telah disepakati dalam UUD 1945 Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan teori politik luar negeri yang disampaikan Muhammad Musa (2003 : 24), yaitu bahwa politik luar negeri merupakan:

Desain kepentingan pada tiap-tiap negara yang melakukan penyelarasan, bertolak dari pandangan hidup (way life) dan pandangan strategis-nya (strategic views) atau dalam rangka merealisasikan berbagai manfaat untuk umat secara keseluruhan ataupun untuk salah satu kelompok umat, serta mendesain kepentingan tersebut untuk mencapai target-target yang achiavable dengan membuat hubungan kausalitas antara apa yang ada dan apa yang hendak direalisir.

Artinya, upaya apapun yang dilakukan pemerintah dalam hubungan internasional haruslah untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan dalam negeri, bukan untuk menghambat kepentingan nasional, apalagi menguntungkan pihak asing.

Demokrasi dari awal sejarahnya sudah menunjukkan sifatnya yang jauh dari kebaikan. Mestinya kita belajar dari sejarah dan tidak perlu jatuh ke dalam jurang yang sama. Kalau sudah belajar dan tahu bahwa demokrasi itu adalah sistem yang rusak dan merusakkan, tetapi masih juga percaya, berarti otak manusianya yang sudah rusak dan suatu saat akan juga merusakkan orang lain.