oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Mana yang lebih dulu, kelahiran Nabi Muhammad saw atau
pembangunan Borobudur?
Hayo tebak!
Jangan, jangan ditebak,
sudah ada kok catatan sejarahnya.
Nabi Muhammad saw lahir di Mekah
pada Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah dalam keadaan yatim. Kelahiran
Nabi Muhammad saw bertepatan dengan 20 April 571 Masehi.
Catat itu, 571 Masehi!
Sekarang mari kita periksa
pembangunan Borobudur.
J.G. de Casparis dalam disertasinya pada 1950 mengatakan bahwa Borobudur
diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar
tahun sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru
dapat diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada
sekitar tahun 847 Masehi.
Catat itu, kira-kira 824
Masehi!
Kira-kira!
Jadi, jelas bahwa Nabi
Muhammad saw lahir lebih dulu dibandingkan pembangunan Candi Borobudur versi
J.G. de Casparis. Selisih tahunnya adalah 253 tahun. Nabi Muhammad saw lahir
dulu, lalu 253 tahun kemudian Borobudur dibangun.
Jelas ya!
Masuk akalkah?
Tentu saja tidak masuk akal.
Mengapa?
Borobudur itu bangunan megah
ajaib yang dibangun dengan teknologi tinggi yang orang-orang hebat saat ini pun
tidak mampu menerangkannya dengan jelas bagaimana Borobudur itu dibangun. Di
dalamnya pun dipenuhi keajaiban seni, budaya, sejarah, matematika, fisika,
astrologi, dan berbagai pengetahuan menakjubkan lainnya. Adapun
bangunan-bangunan pada zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang tidak ada yang
seajaib itu. Biasa-biasa saja. Malahan pada zaman Nabi Muhammad saw,
bangunan-bangunan di dunia ini sangat kumuh dan buruk dibandingkan
bangunan-bangunan yang ada saat ini. Berbeda jauh dengan Borobudur yang
dipenuhi nilai-nilai artistik yang mengagumkan dan memesonakan.
Seluruh bangunan apa pun itu
namanya yang dibangun sejak 0 Masehi sangat mudah dipelajari dan dipahami,
bahkan dibuat ulang. Malahan, ada yang diperindah karena memang tampak buruk. Mestinya
kan ada bangunan-bangunan lain yang seajaib Borobudur pada berbagai belahan
dunia lain pada 800-an Masehi itu.
Akan tetapi, buktinya kan
tidak ada. Kalaupun ada bangunan bagus, ya bangunan biasa saja, hanya dikenal
sebagai bangunan megah dan besar, tetapi tidak ajaib dan tidak banyak memuat
ilmu pengetahuan, baik fisik maupun spiritual, malahan seperti kata saya tadi,
kesannya kumuh. Mudah sekali ditiru.
Mari kita lihat buktinya di
seluruh dunia ini. Kehidupan agama adalah kehidupan sakral yang sangat
dihormati di dunia ini. Artinya, bangunan keagamaan haruslah menjadi bangunan
yang terhebat dalam masanya dan dalam kehidupan umatnya.
Kuil dan Sinagog Eliahu Hanabi yang dibangun 720
SM di Suriah saja bentuknya sangat kumuh. Tidak ada istimewanya. Buruh kuli-kuli
bangunan di Indonesia saat ini pun bisa membuat bangunan seperti itu. Begitu
pula sinagog-sinagog tua yang dibangun pada 5 Masehi lebih mirip rumah-rumah orang melarat
tempat berkumpul orang-orang Yahudi. Malahan, ada sinagog kuno yang mirip
sekali dengan paviliun rumah orang Indonesia saat ini, kumuhnya bukan main, temboknya
juga tidak rata, kembung dan acak-acakan.
Yesus as kata orang-orang Kristen
diperkirakan lahir pada awal musim gugur tahun 2 SM. Akan tetapi, gereja-gereja
dibangun ratusan tahun setelah Yesus as tidak ada. Tidak ada catatan Yesus as
membangun gereja ketika masih ada. Gereja tua Santa Maria in Transvere (Roma, Italia) dibangun pada 221 Masehi.
Bangunannya biasa saja, tidak ajaib. Gereja
Gua Santo Petrus yang didirikan pada abad 3 di Antonika, Turki malahan
hanya berupa gua, bangunan yang sudah ada karena alam yang membuatnya. Gereja Makam Suci, Golgota, Yerusalem,
yang dibangun 325 M, juga biasa saja, tidak berteknologi tinggi.
Demikian pula masjid tempat
ibadat umat Islam. Masjid pertama dan masjid kedua yang dibangun oleh tangan
Nabi Muhammad saw, yaitu Masjid Quba dan
Masjid Nabawi juga bangunan biasa,
malahan teramat kumuh. Masjid itu dibangun dengan bahan bangunan alakadarnya,
tidak ada teknologi yang mencengangkan di masjid-masjid itu. Kalau tidak
diperbaiki dan disempurnakan, masjid-masjid itu bisa hancur lebur. Sekarang
masjid-masjid itu tentu saja menjadi bangunan yang sangat megah dan teramat
indah karena terus-menerus dibangun dan diperindah tanpa henti.
Kita bisa melihat bukan
bahwa bangunan-bangunan bersejarah kuno yang didirikan mulai 0 Masehi sangat
minim teknologi dan mudah ditiru?
Artinya, manusia-manusia
sekarang dapat memperhitungkan bagaimana cara pembuatannya dan sangat mampu membuat
lagi bangunan serupa, bahkan lebih indah. Tidak perlu arsitek jenius untuk meniru
bangunan-bangunan itu, orang sekelas mandor bangunan di Indonesia zaman
sekarang juga bisa.
Akan tetapi, mengapa
bangunan Candi Borobudur tidak bisa diperhitungkan dan tidak bisa diperkirakan bagaimana
cara membuatnya?
Tidak diketahui pula
teknologi apa yang digunakan untuk membangunnya. Semuanya serba misterius.
Itulah sebabnya disebut ajaib.
Bukankah hal yang aneh
sekaligus menggelikan ketika manusia bisa memahami dan membuat kembali
bangunan-bangunan yang dibangun pada abad 1, 2, 3, 5, dan 6, tetapi tidak mampu
memahami bangunan pada abad ke-8?
Seharusnya, logika
mengatakan jika manusia mampu memahami bangunan pada abad 1, akan lebih mudah
memahami bangunan yang didirikan abad 8.
Begitu kan?
Hal itu disebabkan para
arsitek dunia akan menuliskan berbagai pengetahuannya dari zaman ke zaman
sehingga mudah dipahami dan pasti diajarkan pada berbagai perguruan tinggi
teknik. Namun, anehnya manusia mampu mengerti bangunan abad 1, tetapi tidak
mengerti bangunan abad 8. Ini pasti ada yang salah.
Jadi, jelas ada yang salah.
Apa yang salah?
Yang salah adalah
perhitungan dan penelitian yang dilakukan J.G. de Casparis. Karena perhitungan
tahun pembangunan Borobudur salah, semua data yang ada dalam desertasinya pun
menjadi salah. Tidak mungkin Borobudur dibangun pada abad 8. Kalau benar, pasti
manusia sekarang memiliki teknologi itu dan mampu membuat detail-detailnya
dengan lebih sempurna. Kenyataannya adalah sebaliknya, boro-boro bisa membangun
dengan lebih sempurna, mengerti saja tidak.
Dengan demikian, sangat
kuatlah hasil penelitian yang dilakukan K.H. Fahmi Basya bahwa Borobobudur itu
adalah peninggalan Nabi Sulaiman as. Seluruh catatan kemegahan dan notasi
teknologinya hancur lebur hilang dilanda banjir besar sebagai hukuman dari
Allah swt atas dosa-dosa yang dilakukan bangsa Indonesia pada masa lalu.
Kalaulah ada orang yang
menyanggah hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, sesungguhnya mereka itu cuma kaget,
terbiasa punya otak dan jiwa sebagai manusia terjajah, tidak siap menerima ilmu
pengetahuan baru, dan sebagian ada yang iri atau khawatir terbongkar rencana
tipu dayanya. Hal itu disebabkan banyak sekali sejarah Indonesia ini yang
diputarbalikan untuk kepentingan orang-orang tertentu, malahan untuk
kepentingan orang-orang asing dalam menyebarluaskan hegemoni dan dominasi mereka.
Saya suka geli menyaksikan
orang-orang seperti itu. Bukan hanya hasil penelitian K.H. Fahmi Basya yang
mereka bantah, melainkan pula penelitian-penelitian lainnya. Akan tetapi, ada
kesamaan dalam diri mereka itu, yaitu hanya bisa membantah, mengganggu, tidak
mampu melakukan alasan akademis, serta minim data dan miskin argumentasi. Coba
lihat saja penelitian K.H. Fahmi Basya yang komprehensif dibantah dengan
artikel murahan yang isinya hanya beberapa paragraf atau pertanyaan-pertanyaan
rendahan. Ini biasa. Harusnya, bikin lagi penelitian yang komprehensif yang
mampu mematahkan hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, sebagaimana penelitian K.H.
Fahmi Basya yang mampu menghajar hasil penelitian yang ada dalam desertasi J.G.
de Casparis.
Biasalah, orang-orang kurang
pengetahuan ini suka tidak mau menerima kebenaran dan membuat ulah-ulah yang
murahan. Kalaupun mereka punya modal, mereka biasanya bikin buku untuk
membantah. Akan tetapi, buku itu selalu tipis dan miskin argumentasi,
kebanyakan isinya emosional bukan akademis. Saya sering lihat buku-buku itu.
Peneliti aslinya selalu
menyusun buku yang tebal-tebal karena sangat ingin meyakinkan pembaca tentang
kebenaran penelitiannya. Mereka menulis berbagai hal dengan mengambil data dari
berbagai sisi dan mengkomparasinya dengan berbagai pengetahuan serta mengujinya
sendiri sehingga mendapatkan kebenaran yang lebih nyata. Berbeda dengan yang
membantahnya, mereka hanya menulis kebingungan dirinya bersama fitnah-fitnah dan
data-data kosong yang diharapkan dapat mempengaruhi pembaca untuk tidak
mendapatkan pengetahuan baru yang ditulis penulis aslinya. Di toko-toko buku
besar sering saya lihat hal itu. Misalnya, buku-buku tentang Imam Mahdi yang
tebal-tebal dan penuh data dibantah oleh buku-buku tipis murahan yang isinya
hanya tuduhan rendah dan fitnah tak berdasar. Demikian pula, buku-buku yang
tebal tentang Atlantis dibantah oleh buku tipis yang kurang dari 50 halaman
yang isinya cuma kemarahan dan ajakan untuk tidak mempercayai bahwa Atlantis
terletak di dataran Sunda, Indonesia. Buku-buku seperti itu banyak, tetapi
memang sangat tipis dan miskin informasi.