Sunday, 31 January 2016

Antara Nabi Muhammad saw dan Borobudur

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Mana yang lebih dulu, kelahiran Nabi Muhammad saw atau pembangunan Borobudur?

Hayo tebak!

Jangan, jangan ditebak, sudah ada kok catatan sejarahnya.

Nabi Muhammad saw lahir di Mekah pada Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah dalam keadaan yatim. Kelahiran Nabi Muhammad saw bertepatan dengan 20 April 571 Masehi.

Catat itu, 571 Masehi!

Sekarang mari kita periksa pembangunan Borobudur.

J.G. de Casparis dalam disertasinya pada 1950 mengatakan bahwa Borobudur diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar tahun sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar tahun 847 Masehi.

Catat itu, kira-kira 824 Masehi!

Kira-kira!

Jadi, jelas bahwa Nabi Muhammad saw lahir lebih dulu dibandingkan pembangunan Candi Borobudur versi J.G. de Casparis. Selisih tahunnya adalah 253 tahun. Nabi Muhammad saw lahir dulu, lalu 253 tahun kemudian Borobudur dibangun.

Jelas ya!

Masuk akalkah?

Tentu saja tidak masuk akal.

Mengapa?

Borobudur itu bangunan megah ajaib yang dibangun dengan teknologi tinggi yang orang-orang hebat saat ini pun tidak mampu menerangkannya dengan jelas bagaimana Borobudur itu dibangun. Di dalamnya pun dipenuhi keajaiban seni, budaya, sejarah, matematika, fisika, astrologi, dan berbagai pengetahuan menakjubkan lainnya. Adapun bangunan-bangunan pada zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang tidak ada yang seajaib itu. Biasa-biasa saja. Malahan pada zaman Nabi Muhammad saw, bangunan-bangunan di dunia ini sangat kumuh dan buruk dibandingkan bangunan-bangunan yang ada saat ini. Berbeda jauh dengan Borobudur yang dipenuhi nilai-nilai artistik yang mengagumkan dan memesonakan.

Seluruh bangunan apa pun itu namanya yang dibangun sejak 0 Masehi sangat mudah dipelajari dan dipahami, bahkan dibuat ulang. Malahan, ada yang diperindah karena memang tampak buruk. Mestinya kan ada bangunan-bangunan lain yang seajaib Borobudur pada berbagai belahan dunia lain pada 800-an Masehi itu.

Akan tetapi, buktinya kan tidak ada. Kalaupun ada bangunan bagus, ya bangunan biasa saja, hanya dikenal sebagai bangunan megah dan besar, tetapi tidak ajaib dan tidak banyak memuat ilmu pengetahuan, baik fisik maupun spiritual, malahan seperti kata saya tadi, kesannya kumuh. Mudah sekali ditiru.

Mari kita lihat buktinya di seluruh dunia ini. Kehidupan agama adalah kehidupan sakral yang sangat dihormati di dunia ini. Artinya, bangunan keagamaan haruslah menjadi bangunan yang terhebat dalam masanya dan dalam kehidupan umatnya.

Kuil dan Sinagog Eliahu Hanabi yang dibangun 720 SM di Suriah saja bentuknya sangat kumuh. Tidak ada istimewanya. Buruh kuli-kuli bangunan di Indonesia saat ini pun bisa membuat bangunan seperti itu. Begitu pula sinagog-sinagog tua yang dibangun pada 5 Masehi lebih mirip rumah-rumah orang melarat tempat berkumpul orang-orang Yahudi. Malahan, ada sinagog kuno yang mirip sekali dengan paviliun rumah orang Indonesia saat ini, kumuhnya bukan main, temboknya juga tidak rata, kembung dan acak-acakan.

Yesus as kata orang-orang Kristen diperkirakan lahir pada awal musim gugur tahun 2 SM. Akan tetapi, gereja-gereja dibangun ratusan tahun setelah Yesus as tidak ada. Tidak ada catatan Yesus as membangun gereja ketika masih ada. Gereja tua Santa Maria in Transvere (Roma, Italia) dibangun pada 221 Masehi. Bangunannya biasa saja, tidak ajaib. Gereja Gua Santo Petrus yang didirikan pada abad 3 di Antonika, Turki malahan hanya berupa gua, bangunan yang sudah ada karena alam yang membuatnya. Gereja Makam Suci, Golgota, Yerusalem, yang dibangun 325 M, juga biasa saja, tidak berteknologi tinggi.

Demikian pula masjid tempat ibadat umat Islam. Masjid pertama dan masjid kedua yang dibangun oleh tangan Nabi Muhammad saw, yaitu Masjid Quba dan Masjid Nabawi juga bangunan biasa, malahan teramat kumuh. Masjid itu dibangun dengan bahan bangunan alakadarnya, tidak ada teknologi yang mencengangkan di masjid-masjid itu. Kalau tidak diperbaiki dan disempurnakan, masjid-masjid itu bisa hancur lebur. Sekarang masjid-masjid itu tentu saja menjadi bangunan yang sangat megah dan teramat indah karena terus-menerus dibangun dan diperindah tanpa henti.

Kita bisa melihat bukan bahwa bangunan-bangunan bersejarah kuno yang didirikan mulai 0 Masehi sangat minim teknologi dan mudah ditiru?

Artinya, manusia-manusia sekarang dapat memperhitungkan bagaimana cara pembuatannya dan sangat mampu membuat lagi bangunan serupa, bahkan lebih indah. Tidak perlu arsitek jenius untuk meniru bangunan-bangunan itu, orang sekelas mandor bangunan di Indonesia zaman sekarang juga bisa.

Akan tetapi, mengapa bangunan Candi Borobudur tidak bisa diperhitungkan dan tidak bisa diperkirakan bagaimana cara membuatnya?

Tidak diketahui pula teknologi apa yang digunakan untuk membangunnya. Semuanya serba misterius. Itulah sebabnya disebut ajaib.

Bukankah hal yang aneh sekaligus menggelikan ketika manusia bisa memahami dan membuat kembali bangunan-bangunan yang dibangun pada abad 1, 2, 3, 5, dan 6, tetapi tidak mampu memahami bangunan pada abad ke-8?

Seharusnya, logika mengatakan jika manusia mampu memahami bangunan pada abad 1, akan lebih mudah memahami bangunan yang didirikan abad 8.

Begitu kan?

Hal itu disebabkan para arsitek dunia akan menuliskan berbagai pengetahuannya dari zaman ke zaman sehingga mudah dipahami dan pasti diajarkan pada berbagai perguruan tinggi teknik. Namun, anehnya manusia mampu mengerti bangunan abad 1, tetapi tidak mengerti bangunan abad 8. Ini pasti ada yang salah.

Jadi, jelas ada yang salah.

Apa yang salah?

Yang salah adalah perhitungan dan penelitian yang dilakukan J.G. de Casparis. Karena perhitungan tahun pembangunan Borobudur salah, semua data yang ada dalam desertasinya pun menjadi salah. Tidak mungkin Borobudur dibangun pada abad 8. Kalau benar, pasti manusia sekarang memiliki teknologi itu dan mampu membuat detail-detailnya dengan lebih sempurna. Kenyataannya adalah sebaliknya, boro-boro bisa membangun dengan lebih sempurna, mengerti saja tidak.

Dengan demikian, sangat kuatlah hasil penelitian yang dilakukan K.H. Fahmi Basya bahwa Borobobudur itu adalah peninggalan Nabi Sulaiman as. Seluruh catatan kemegahan dan notasi teknologinya hancur lebur hilang dilanda banjir besar sebagai hukuman dari Allah swt atas dosa-dosa yang dilakukan bangsa Indonesia pada masa lalu.

Kalaulah ada orang yang menyanggah hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, sesungguhnya mereka itu cuma kaget, terbiasa punya otak dan jiwa sebagai manusia terjajah, tidak siap menerima ilmu pengetahuan baru, dan sebagian ada yang iri atau khawatir terbongkar rencana tipu dayanya. Hal itu disebabkan banyak sekali sejarah Indonesia ini yang diputarbalikan untuk kepentingan orang-orang tertentu, malahan untuk kepentingan orang-orang asing dalam menyebarluaskan hegemoni dan dominasi mereka.

Saya suka geli menyaksikan orang-orang seperti itu. Bukan hanya hasil penelitian K.H. Fahmi Basya yang mereka bantah, melainkan pula penelitian-penelitian lainnya. Akan tetapi, ada kesamaan dalam diri mereka itu, yaitu hanya bisa membantah, mengganggu, tidak mampu melakukan alasan akademis, serta minim data dan miskin argumentasi. Coba lihat saja penelitian K.H. Fahmi Basya yang komprehensif dibantah dengan artikel murahan yang isinya hanya beberapa paragraf atau pertanyaan-pertanyaan rendahan. Ini biasa. Harusnya, bikin lagi penelitian yang komprehensif yang mampu mematahkan hasil penelitian K.H. Fahmi Basya, sebagaimana penelitian K.H. Fahmi Basya yang mampu menghajar hasil penelitian yang ada dalam desertasi J.G. de Casparis.

Biasalah, orang-orang kurang pengetahuan ini suka tidak mau menerima kebenaran dan membuat ulah-ulah yang murahan. Kalaupun mereka punya modal, mereka biasanya bikin buku untuk membantah. Akan tetapi, buku itu selalu tipis dan miskin argumentasi, kebanyakan isinya emosional bukan akademis. Saya sering lihat buku-buku itu.

Peneliti aslinya selalu menyusun buku yang tebal-tebal karena sangat ingin meyakinkan pembaca tentang kebenaran penelitiannya. Mereka menulis berbagai hal dengan mengambil data dari berbagai sisi dan mengkomparasinya dengan berbagai pengetahuan serta mengujinya sendiri sehingga mendapatkan kebenaran yang lebih nyata. Berbeda dengan yang membantahnya, mereka hanya menulis kebingungan dirinya bersama fitnah-fitnah dan data-data kosong yang diharapkan dapat mempengaruhi pembaca untuk tidak mendapatkan pengetahuan baru yang ditulis penulis aslinya. Di toko-toko buku besar sering saya lihat hal itu. Misalnya, buku-buku tentang Imam Mahdi yang tebal-tebal dan penuh data dibantah oleh buku-buku tipis murahan yang isinya hanya tuduhan rendah dan fitnah tak berdasar. Demikian pula, buku-buku yang tebal tentang Atlantis dibantah oleh buku tipis yang kurang dari 50 halaman yang isinya cuma kemarahan dan ajakan untuk tidak mempercayai bahwa Atlantis terletak di dataran Sunda, Indonesia. Buku-buku seperti itu banyak, tetapi memang sangat tipis dan miskin informasi.





No comments:

Post a Comment