Wednesday 20 January 2016

Jangan Terlalu Menyalahkan Para Teroris

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Teroris memang jelas salah. Kita jelas harus menyalahkannya, tetapi jangan sampai keterlaluan menyalahkan yang justru membuat kita salah langkah dalam mengantisipasinya.

            Setelah kejadian teror di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016, pemerintah dan orang-orang kesal sehingga merasa harus meningkatkan antisipasi, pencegahan, dan penanganannya. Berbagai peningkatan itu memang sangat diperlukan, tetapi dari seluruh pendapat atau komentar yang menjadi dasar perlunya peningkatan penanganan yang ditandai dengan keinginan untuk melakukan revisi UU antiterorisme, hanya berada pada seputar penyimpangan ideologi para teroris, penyebaran paham-paham radikal, serta sempitnya pemahaman terhadap ajaran Islam. Seluruhnya mengarah pada kesalahan para teroris itu yang sebetulnya saudara kita sebangsa setanah air Indonesia. Mereka sesungguhnya hanya perlu mendapatkan pemahaman dan pendidikan yang lebih luas mengenai ajaran Islam serta keadilan dalam menjalani hidupnya.

            Saya sangat kurang menyukai jika keseluruhan kesalahan ditimpakan kepada para teroris Indonesia itu. Hal itu disebabkan ada faktor eksternal yang memicu mereka menjadi teroris. Minimal ada dua faktor eksternal tersebut, yaitu dana operasional teror dan ketidakhadiran negara dalam menjaga dan melindungi harga diri umat Islam yang sesungguhnya mayoritas di Indonesia.


Dana Teror

            Teroris ada di Indonesia karena memang ada yang membuatnya dan ada yang mendanainya. Berbagai lembaga di Indonesia mengatakan bahwa mereka yang menjadi teroris adalah rata-rata relatif orang-orang pinggiran dengan ekonomi yang rendah serta berpendidikan rendah dan atau pemahaman agama yang juga minim. Akan tetapi, mereka ternyata memiliki cukup banyak uang untuk membeli senjata, tiket pesawat terbang, bahan-bahan peledak, pulsa buat internet, dan lain sebagainya.

            Dari mana mereka mendapatkan uang yang sangat banyak?

            Kalaulah memang benar Isis yang melakukannya, berarti mereka mendapatkan dana dari Isis.

            Dari mana Isis mendapatkan uang?

            Para netizen di luar negeri telunjuknya sudah mengarah pada Amerika Serikat. Presiden Rusia Vladimir Putin mengarahkan telunjuknya ke Turki dan Nato. Nato itu organisasi yang diikuti banyak negara.

            Indonesia telunjuknya mengarah ke siapa?

            Belum mengarah ke siapa-siapa kan?

            Kenapa?

            Takut?

            Apa yang ditakutkan?

            Dari Indonesia, hanya Salim Said, pengamat militer dan dunia, serta Mahfud Siddiq, anggota Komisi I DPR yang mampu lebih tegas mengarahkan dugaannya. Salim Said menduga keras ada dukungan dana dari Amerika Serikat dan Arab Saudi. Mahfud Siddiq mengarahkan telunjuknya ke arah kesalahan yang dilakukan pihak intelijen Amerika Serikat, Inggris, dan Israel.

            Pemerintah Indonesia belum mengarahkan telunjuknya ke siapa-siapa. Padahal, ini sangat penting. Dengan mengetahui dari mana dana Isis berasal, Indonesia bisa lebih aktif mencegah dana itu mengalir ke Indonesia dan menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia tidak takut kepada siapa-siapa. Dengan mampu mencegah dana-dana berdarah itu mengalir ke Indonesia, ruang gerak para teroris akan lebih sempit dan membuat para teroris kembali pada jalan yang benar.

            Artinya, pihak-pihak yang mendanai terorisme entah itu negara, swasta, ataupun perorangan harus pula menjadi pihak yang teramat sangat disalahkan. Jangan melulu menyalahkan saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang kebetulan terpengaruh oleh dana dan bujuk rayu para penyandang dana.

            Meskipun demikian, kita patut mengapresiasi pada PPATK bahwa telah ditemukan aliran dana mencurigakan dari Australia untuk para teroris. Kita hanya tinggal perlu tahu siapa pihak yang menyalurkan dana itu dari Australia.


Kekuranghadiran Pemerintah

            Di samping itu, selain faktor eksternal adanya dana untuk membiayai terorisme, juga kekuranghadiran pemerintah dalam menjaga dan melindungi harga diri umat Islam dan agama Islam di Indonesia. Misalnya, ketika ada rumah ibadat nonmuslim yang dibakar umat Islam, pemerintah dan pendapat publik langsung menyalahkan umat Islam yang mayoritas dengan tuduhan intoleransi. Padahal, bisa sangat mungkin umat Islam marah karena rumah ibadat itu dibangun tanpa mengikuti peraturan yang berlaku dan atau perjanjian yang telah disepakati. Umat Islam marah karena pemerintah kurang tanggap dalam mengatasi hal tersebut.

            Kekuranghadiran pemerintah dalam melindungi umat Islam tersebut, bisa memicu pendapat bahwa memang pemerintah dan aparat Indonesia adalah thoghut. Kemudian, orang-orang yang marah mendapatkan “pencerahan” dari para teroris. Artinya, mereka menjadi teroris karena kesal dengan situasi dan tidak mendapatkan keyakinan bahwa mereka dibela oleh pemerintah dan aparat Indonesia, malahan disalahkan sebagai intoleransi.

            Hal yang paling membuat saya sangat prihatin adalah sangat banyaknya tayangan di youtube yang isinya merupakan penghinaan kepada Allah swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum muslimin. Video-video itu dibuat oleh orang Indonesia dan bertebaran dengan bebasnya. Padahal, kita memiliki undang-undang yang bisa menjerat mereka, misalnya, penghinaan atas suku, agama, dan ras. Akan tetapi, video-video semacam itu semakin semarak.

            Saya suka mengingatkan pada para pembuat video itu untuk tidak melakukan penghinaan-penghinaan itu karena sebagai bangsa Indonesia yang ber-Pancasila harus selalu menjaga kerukunan dan perdamaian. Akan tetapi, mereka tidak menggubrisnya, malahan “menantang” saya berdebat. Saya malas sebenarnya berdebat dengan orang Indonesia, tetapi saya layani juga. Hasilnya, selalu sama, saya tidak pernah kalah.

            Ada yang mau berdebat dengan saya sekarang?

            Ada yang ingin saya permalukan?

            Saya benar-benar bisa membuat malu kalian semua!

            Ada yang yakin bisa menang berdebat dengan saya?

            Saya tunggu!

            Saya malas berdebat dengan orang Indonesia karena di samping memang kita tidak perlu berdebat serta harus selalu menjaga perasaan orang lain dan saling menghormati, juga karena anti-Islam di Indonesia itu kebanyakan nyontek dari orang-orang luar negeri, baik isi videonya, maupun kalimat-kalimat yang mereka gunakan ketika berdebat dengan saya. Kebanyakan mereka nyontek dari video dan kata-kata orang-orang ateis. Sementara itu, banyak orang ateis luar negeri dari berbagai negara sudah saya kalahkan.

            Jadi, buat apa saya berdebat dengan orang-orang Indonesia yang nyontek dari orang-orang luar negeri yang sudah saya kalahkan?

            Kita bisa lihat bagaimana saling ejek antara orang Islam dengan orang non-Islam dalam video-video yang isinya menghina Islam di Indonesia ini. Kalimat-kalimat yang mereka gunakan sangat tidak beradab dan jauh dari Pancasila. Anak-anak muda Islam yang nggak sabaran mengeluarkan kata-kata kasar mengomentari video penghinaan itu. Lalu dibalas lagi sama kasarnya oleh orang-orang non-Islam.

            Video-video penghinaan itu tentu saja sangat mengganggu dan menyinggung perasaan. Akan tetapi, video-video itu tetap ada gentayangan di dunia maya. Isi dari video-video yang sangat menyinggung itu bisa menjadi pemicu kemarahan dari anak-anak muda Islam yang kemudian merasa harus “melakukan sesuatu” untuk menghentikan penghinaan itu. Harus diingat bahwa penghinaan kepada Allah swt dan Nabi Muhammad saw itu hukumannya adalah “mati”.

            Anak-anak muda yang marah itu harus menyalurkan kemarahannya. Dalam kondisi seperti itu sangat mungkin mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia membiarkan penghinaan itu terjadi karena memang terus terjadi. Saat itulah sangat rentan mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia adalah thoghut. Kemudian, mereka bertemu dengan para penganjur “teror”. Jadilah, mereka teroris.

            Artinya, mereka menjadi teroris disebabkan ketidakhadiran negara dalam melindungi dan menjaga harga diri umat Islam. Padahal, sudah ada undang-undangnya untuk mencegah dan memberantas penghinaan-penghinaan seperti itu. Negara seharusnya mengambil alih kemarahan anak-anak muda itu dengan menghukum para penghina dan atau pembuat video yang berisi tentang penghinaan terhadap agama.

            Kalaupun tidak menjadi teroris terorganisasi, mereka bisa menjadi “pembunuh mandiri”. Mereka akan mencari cara sendiri dan bertanggung jawab sendiri dengan membunuh para penghina Islam. Ini pernah terjadi di London, Inggris. Saya tahu kisahnya dari orang-orang ateis Inggris yang berdebat dengan saya. Mereka mengatakan bahwa orang Islam itu jahat karena telah melakukan pembunuhan terhadap orang yang telah menghina Islam di internet.

Saya menjawabnya enteng saja, “Don’t do something stupid if yo do not want to wretch.”

‘Jangan melakukan sesuatu yang bodoh jika kamu tidak ingin celaka’.

Artinya, jangan menghina orang Islam jika kamu tidak mau dibunuh oleh orang Islam.

Pembunuhan terhadap penghina Islam di internet itu membuat orang-orang Inggris ketakutan dan untuk sementara waktu, menghentikan penghinaan mereka terhadap Islam. Mereka lebih berhati-hati berbicara. Memang cukup efektif ternyata pembunuhan terhadap penghina Islam itu. Saya memperhatikan para penghina Islam itu saling mengingatkan untuk lebih berhati-hati karena bisa dibunuh serta banyak pula dari penghina Islam itu yang justru kemudian masuk Islam. Bahkan, anak pembuat salah satu film yang menghina Islam di Inggris masuk Islam juga.

Akan tetapi, ada lagi yang membangkitkan semangat para penghina Islam Inggris itu. Mereka membuat video dengan judul Society of Cowards, ‘Masyarakat Pengecut’. Orator dalam video itu bernama Pat Codell. Ia menghina warga Inggris yang ketakutan akibat pembunuhan yang dilakukan muslim Inggris di Inggris. Saya pernah berdebat dengan dia dan saya kalahkan dia. Bahkan, orang-orang nonmuslim Amerika Serikat ikut juga mengejek dia.

Sampai hari ini alhamdulillah di Indonesia tidak terjadi pembunuhan seperti itu.

Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin bahwa hal itu tidak akan terjadi di Indonesia?

Ataukah pemerintah menunggu dulu ada yang mati digorok di tempat tidurnya karena telah menghina Islam, baru video-video penghinaan itu ditertibkan?

Saya sangat prihatin ada petinggi Polri yang mengatakan bahwa polisi tidak selalu mau untuk mengurus hal-hal seperti itu. Padahal, hal-hal yang tidak mau mereka urus itu bisa memicu pemahaman yang salah terhadap Negara Indonesia.

Polisi sebenarnya tidak perlu menunggu laporan dari yang merasa tersinggung untuk masalah Sara ini. Begitu ada yang melakukan penghinaan, tangkap saja langsung. Kalau belum ada undang-undangnya, ya segera bikin dulu. Jadi, di samping situasi lebih aman dan tertib, juga salah satu penyebab seseorang menjadi teroris telah hilang.

Para penghina itu sama sekali bukan ingin mendapatkan kebenaran, tetapi kebanyakan mengganggu dan berharap menyulut emosi massa sehingga khususnya umat Islam marah. Setelah muslim marah, telunjuk mereka jelas mengejek bahwa muslim itu intoleransi dan teroris.


Perlu Ruang Debat Terkontrol

            Untuk masalah perdebatan agama ini, memang tidak bisa dicegah. Setiap agama berharap orang lain mengikuti agamanya. Salah satu caranya adalah membandingkan bahwa agama yang dianutnya lebih baik dibandingkan agama yang lain. Ini jelas harus disalurkan dan dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah bisa menyiapkan situs, web, atau apalah namanya di dunia maya untuk menyalurkan perdebatan ini sekaligus mengontrolnya.

Biarkan perdebatan berlangsung dalam situs-situs yang disediakan pemerintah sehingga bisa dikontrol dengan baik. Selama perdebatan itu berlangsung dengan baik dan penuh pengetahuan, biarkan saja berkembang dengan baik pula. Akan tetapi, jika perdebatan itu mengarah pada penghinaan dan fitnah tak berdasar, itu harus segera ditindak.

Jangan biarkan para penghina itu membuat situs, web, blog, ataupun tayangan video sendiri. Hal itu disebabkan situasi perdebatan dan pertengkaran menjadi tidak terkontrol dan sulit dideteksi. Akhirnya, bisa menjadi perselisihan di dunia nyata yang malahan berakibat lebih fatal daripada sekedar perselisihan.


Larang keras setiap perdebatan yang berada di luar jalur resmi. Dengan demikian, perdebatan akan lebih menyempit dan setiap pendebat akan menyiapkan dirinya dengan berbagai pengetahuan yang berguna, bukan kebohongan, fitnah, atau penghinaan yang menjijikan. 

No comments:

Post a Comment