oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam berbagai catatan
sejarah pada rupa-rupa buku, bahkan kalau kita googling, perumus awal Pancasila
adalah hanya tiga orang, yaitu Prof. Soepomo, Mohamad Yamin, dan Ir. Soekarno.
Padahal, di sana ada keterlibatan ulama hebat di negeri ini. Sepertinya, hal
ini harus dimasukkan dalam buku sejarah dan diajarkan pada generasi muda di
bangku sekolah dan kuliah.
Tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya telah terjadi diskusi
yang panjang di rumah Mohamad Yamin yang melibatkan para ulama. Mereka adalah
Kiyai Wahid Hasym dari Nahdlatul Ulama (NU); Kiyai Masykur, Komandan Pasukan
Sabilillah; Kiyai Kahar Muzakir dari Partai Islam Indonesia (PII). Mereka
berdiskusi bersama Ir. Soekarno pada akhir Mei 1945.
Pada 22 Juni 1945 muncul Piagam Jakarta yang menuliskan
sila dengan kalimat “Ketuhanan dengan
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Akan tetapi,
kalimat ini mendapatkan protes dari A.A. Maramis dan utusan-utusan dari
Indonesia bagian timur. Mereka berpendapat bahwa frasa “syariat Islam” bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Adanya protes itu membuat Wapres RI Mohammad Hatta
memangil empat ulama, yaitu: Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, Kasman
Singodimedjo dari Muhammadiyah, Teuku Muhammad Hasan dari Aceh, dan Kiyai Wahid
Hasyim dari NU. Dalam pertemuan untuk menanggapi protes itu, Kiyai Wahid Hasyim
mengganti kalimat dalam sila itu menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kata “esa”
menunjukkan penekanan keyakinan terhadap ajaran tauhid.
Setelah Wahid Hasyim menggantinya, tak ada lagi protes,
semua menyepakatinya. Para ulama sangat paham bahwa nilai persatuan adalah
sangat penting bagi Indonesia yang majemuk dan beragam keyakinan ini. Jika
ngotot-ngototan, dikhawatirkan Indonesia terpecah dan bagian timur Indonesia
memisahkan diri yang diwarnai banyak pertikaian serta konflik di antara saudara
sebangsa dan setanah air sendiri. Itu merugikan dan membahayakan semuanya. Para
ulama itu memang cerdas, bijak, dan berilmu tinggi, mampu menilai secara arif
apa yang akan terjadi pada masa depan. Jadilah Pancasila seperti yang kita
kenal sekarang ini.
Hal ini mirip dengan yang terjadi pada zaman Nabi
Muhammad Rasulullah saw ketika terjadi Perdamaian Hudaibiyah. Draft konsep
perdamaian ditulis oleh Ali bin Abi Thalib ra dengan menyertakan kalimat “Bismillaahirrahmaannirraahiim” dan “Muhammad Rasulullah”. Kalimat itu
diprotes oleh para pemuka kaum Quraisy Mekah. Mereka tidak mengenal kalimat itu
dan tidak mengakui kenabian Muhammad saw. Tentu saja, protes mereka membuat
marah kaum muslimin, para sahabat Nabi.
Apa yang Nabi Muhammad saw lakukan atas kejadian itu?
Muhammad saw menghapus kalimat itu dengan tangannya
sendiri. Lalu kalimat Muhammad Rasulullah diganti dengan kalimat “Muhammad bin Abdillah”. Bagi Nabi saw,
kalimat-kalimat yang diributkan itu tidak penting. Sang Nabi lebih mementingkan
perdamaian dan keselamatan semua orang. Jika ngotot-ngototan, perdamaian tidak
akan tercapai, konflik berlanjut, pertikaian tak berhenti, serta pembunuhan
demi pembunuhan akan terus terjadi. Dia adalah Nabi yang punya hubungan
istimewa dengan Allah swt menghapus kalimat yang diributkan itu dan
menggantinya dengan kalimat yang disepakati semua orang. Dia memang patonah.
Kembali ke Indonesia dan Pancasila. Para ulama yang saya
sebutkan itulah para ulama Pancasilais sejati yang memiliki kecintaan kepada
Allah swt, kekuatan keyakinan tinggi terhadap Islam, serta mencintai tanah
airnya Indonesia.
So, saya heran jika ada orang yang saat ini mengaku atau
diakui ulama, tetapi ingin mengganti dasar negara Pancasila yang dipikirkan,
didiskusikan, dipertimbangkan, dan disepakati oleh para ulama terdahulu yang
sangat bijak dan cerdas serta terbukti pengorbanannya dalam menyelamatkan anugerah
Allah swt yang berupa Negara Indonesia ini.
Memangnya siapa mereka ingin mengganti Pancasila?
Apa yang telah mereka korbankan untuk rakyat Indonesia?
Jangan-jangan mereka cuma menawarkan khayalan dan
mengambil keuntungan pribadi dari rakyat Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment