oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak orang yang
mengartikan habib. Ada yang mengartikan secara bahasa, secara makna, secara
sosial, secara rasa, dan lain sebagainya.
Kali ini saya tulis dua arti yang disampaikan dua habib,
lalu kita bisa bersandar pada pendapat keduanya. Pertama, Habib Luthfi bin Yahya. Kedua, Quraish Shihab. Mereka berdua berasal dari Ba Alawi.
Sekalian juga tulisan ini untuk membantah mereka yang menyangka atau menuduh
saya adalah pembenci para habib. Tuisan saya ini bersandar pada habib. Tidak
benar saya membenci habib. Saya itu membenci perilaku yang salah. Perilakunya
yang saya benci, orangnya mah tidak.
Menurut Habib Luthfi, kata habib bermakna “kekasih”.
Gelar habib bisa diberikan kepada orang yang dicintai atau dikasihi.
Menurut Quraish Shihab, habib artinya “orang yang
dicintai karena mencintai”. Oleh sebab itu, Quraish Shihab selalu tidak mau
disebut habib karena merasa belum bisa “mencintai umat”. Ini soal rasa.
Akan tetapi, ketika didesak puterinya, Najwa Shihab yang
reporter itu, Quraish Shihab memperbolehkan Najwa dan saudaranya, termasuk
istrinya untuk memanggilnya habib karena Quraish Shihab merasa bisa mencintai
istri dan anak-anaknya, tetapi tidak bersedia dipanggil habib oleh orang lain dengan
alasan belum mampu mencintai umat. Padahal, cintanya kepada umat luar biasa besar
dengan karya besarnya tafsir Al Misbah.
Kita lihat dari pendapat keduanya. Ada kata “kekasih,
cinta, dan mencintai”. Saya tidak menggunakan pendapat sekelompok orang yang
sering mengartikan habib adalah “keturunan Nabi Muhammad saw”.
Orang
yang dicintai itu harus sudah terbukti mencintai terlebih dahulu. Artinya, seseorang
yang layak disebut habib itu harus sudah terbukti dahulu mencintai umat. Cinta
itu harus dibuktikan, bukan hanya di omongan, teriakan kasar, ataupun paksaan. Seorang
laki-laki yang mencintai seorang perempuan harus membuktikan dahulu cintanya sehingga
perempuan itu balik mencintainya. Misalnya, Si Pria selalu menanyakan kabarnya,
berupaya memenuhi kebutuhannya, membantunya, memecahkan kesulitannya,
melindunginya, berkorban untuknya, membimbingnya untuk lebih baik, dan selalu
ada untuknya jika diperlukan. Begitu pula sebaliknya. Itu contoh bukti cinta.
Jika mengikuti pendapat Habib Luthfi dan Quraish Shihab,
orang yang layak disebut habib itu adalah orang yang sudah terbukti cintanya kepada
umat sehingga layak untuk dicintai. Menurut Habib Zen bin Smith, para habib itu
seharusnya melayani umat, mengayomi, melindungi, memberikan contoh yang baik; kalau
ada orang membungkuk kepadanya, habib harus lebih membungkuk kepada orang itu.
Contoh menarik adalah disampaikan oleh Ustadz Suparman
yang melihat langsung banyak orang nonmuslim, khususnya Kristen yang hanya memandang
wajah Habib Luthfi saja sudah menangis. Orang Islam lebih banyak lagi yang
merasa teduh memandang Habib Luthfi. Kalau saya sendiri sih, selalu bersemangat
kalau melihat Habib Luthfi. Itu soal rasa. Hal itu disebabkan Habib Luthfi
sudah menunjukkan rasa cintanya bukan hanya kepada umat Islam melainkan pula
umat nonmuslim yang merasa terlindungi dan terjamin ketenangannya sebagai warga
Negara Indonesia minoritas.
Wajar kalau mereka disebut habib karena orang sudah merasa
mendapatkan cintanya. Demikian pula dengan Habib Jindan, Habib Husein Baagil,
dan habib-habib lain yang selalu positif berdakwah dan berperilaku.
Sangatlah aneh jika ada orang-orang dari keturunan mana
pun yang teriak-teriak memaksa agar dirinya dihormati dan dimuliakan, padahal
tidak ada bukti cinta apa pun dari mereka kepada umat. Bahkan, mereka memaksa orang
lain untuk mencintainya tanpa mereka harus mencintai orang lain. Mereka kerap
melakukan promosi mendapatkan “syafaat Nabi saw” kalau orang mencintai mereka.
Jika orang tidak memuliakan mereka, tidak akan mendapatkan syafaat Nabi saw.
Begitu
kan iklan promo mereka berulang-ulang?
Sekarang
sudah banyak orang yang sangat kesal dengan promo tak berdasar itu, apalagi
setelah ada penelitian dari Kiyai Imad bahwa mereka yang sering teriak nasab
nasab itu diragukan nasabnya tersambung ke Nabi Muhammad saw. Syafaat Nabi saw
itu akan turun kepada orang yang bertakwa, menjalankan Islam dengan benar, dan
memberikan banyak manfaat bagi manusia seluruhnya. Itulah rahmatan lil alamin.
Jadi,
jika mengikuti pendapat Habib Luthfi dan Quraish Shihab, sangatlah layak
menyebut habib kepada orang yang sudah terbukti cintanya kepada umat. Sama
sekali tidak layak memanggil habib kepada orang yang tidak mencintai umat,
bahkan membuat umat berhati keras, berkepala batu, dan penuh kebencian.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment