Sunday 7 May 2023

Para Habib Harus Berani Tes DNA

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya mudah saja menyelesaikan soal perhabiban ini. Namun, dibuat rumit karena tidak terbiasa berdebat ilmiah, tidak terbiasa berbicara secara terpelajar, dan tidak terbiasa berbesar hati.

            Kan sudah sudah jelas bahwa nasab para habib di Indonesia ini diragukan karena tidak ada buktinya mereka itu adalah keturunan Nabi Muhammad saw. Hal itu disebabkan dalam kitab abad ke 5-6 Hijriyah “As Sajarah al Mubarokah” Imam Fakhrurrazi menjelaskan bahwa Ahmad bin Isa hanya mempunyai anak tiga orang, yaitu: Muhammad, Ali, dan Husein. Selama berabad-abad seperti itu. Akan tetapi, tiba-tiba muncul nama “Ubaidillah” pada sekitar tahun 1700-1800-an, ada yang menyebutnya tiba-tiba muncul pada abad 10. Inilah yang dipermasalahkan oleh Kiyai Imaduddin Utsman Al Bantani.

            Dari kitab abad awal yang mana nama Ubaidillah ini disebutkan sebagai anak dari Ahmad bin Isa?

            Kalau memang benar anaknya, seharusnya tertulis juga pada abad-abad yang awal. Akan tetapi, dalam kitab awal itu Ahmad bin Isa hanya punya anak tiga dan tidak ada yang bernama Ubaidillah. Artinya, menurut Kiyai Imad, nasabnya terputus, tidak nyambung ke Nabi Muhammad saw. Akibatnya, seluruh para habib di Indonesia ini pun terputus, tidak nyambung ke Nabi Muhammad saw.

            Sebetulnya, mudah diselesaikannya. Tunjukkan saja sumbernya, kitab abad awal yang mana yang menjadi rujukan bahwa Ubaidillah itu anak dari Ahmad bin Isa. Kesulitannya adalah sampai hari ini kitab itu tidak ada. Artinya, tidak ada sumber ilmu yang menjelaskannya. Terputuslah silsilah itu sampai ditemukan buktinya. Diragukanlah bahwa para habib di Indonesia ini merupakan keturunan Nabi Muhammad saw.

            Sesungguhnya, kalaulah buku atau kitab rujukan itu tidak ada, masih ada jalan lain untuk membuktikan hubungan nasab itu sampai kepada Rasulullah saw. Sayyid Zulfikar Basyaiban menjelaskan bahwa hubungan nasab itu harus ada syahadah atau semacam sertifikat dari negara asal para habib itu, misalnya, dari Maroko, Mesir, Iran, atau Irak, dan bukan dari Indonesia. Masalahnya, para habib itu hanya punya catatan atau buku dari Rabithah Alawiyah yang ada di Indonesia yang berdiri pada 1928. Kalau ada dari negara asalnya, itu bisa menjadi bukti pengakuan dari internasional. Kalau tidak ada, ya pasti diragukan hubungan nasab itu tersambung ke Nabi Muhammad saw.

            Sebenarnya, kalau bukti kitab abad awal tidak ada dan sertifikat internasional tidak ada, masih ada jalan lain untuk membuktikan hubungan nasab itu, yaitu dengan tes DNA, sebagaimana yang dikatakan Kiyai Imad. Itu lebih mudah sebenarnya. Sayangnya, para habib itu tidak ada yang melakukannya, tampaknya mereka takut dengan hasilnya jika tidak tersambung secara ilmiah ke Nabi Muhammad saw. Pada tulisan yang lalu saya sudah bilang bahwa Najwa Shihab itu setelah tes DNA, ternyata jangankan dekat ke Nabi Muhammad saw, ke Arab saja sudah jauh. Najwa malah lebih dekat ke Asia Selatan atau India.

            Berbeda jauh dengan para kiyai keturunan wali songo. Mereka tanpa diminta pun sudah melakukan tes DNA sendiri untuk keperluan sendiri, mengonfirmasi kebenaran catatan kuno mereka. Mereka tidak yakin bahwa dirinya merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Soalnya, mereka merasa aneh secara fisik. Nabi Muhammad saw itu orang Arab, badannya besar, hidungnya mancung, tinggi, sementara itu mereka kulitnya coklat, pendek, sebagian kurus, dan hidungnya pesek. Untuk itu, mereka berinisiatif tes DNA sendiri.

            Contohnya, cicit Kiyai Sepuh Genggong, Probolinggo, yaitu K.H. Hasan Akhsan Malik melakukan tes DNA sendiri dengan mengirimkan air liurnya ke perusahaan tes DNA “Family Tree DNA” yang bermarkas di Houston, Texas, Amerika Serikat. Hasilnya, menurut Ketua Umum Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT) K.H. R. Ilzamuddin Sholeh, ternyata nasabnya tersambung ke Syekh Abdul Qadir  Al Jaelani. Ke atasnya, tersambung ke Sayyidina Hasan yang jelas ahlul bait. Hasilnya jelas bahwa keturunan Kiyai Sepuh Genggong adalah keturunan Nabi Muhammad saw.

DNA (deoxyribonucleic acid) sendiri merupakan molekul yang menyimpan semua informasi genetik dan membawa instruksi untuk fungsi tubuh. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat khusus dari tubuh manusia.

Kiyai saja berani tes DNA, masa habib tidak. Akan tetapi, kalaupun tidak mau tes DNA, tidak apa-apa. Itu hak, tetapi jangan salahkan orang lain jika pengakuannya selama ini sebagai keturunan Nabi Muhammad saw diragukan.

Kitab sumber pada abad awal tidak ada, sertifikat dari negara asal tidak ada, tes DNA tidak mau.

Bagaimana atuh?

Apa bukti yang mendasari bahwa mereka itu adalah keturunan Nabi Muhammad saw?

Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang biasa dipanggil Gus Yahya tampaknya tahu ini semua. Untuk meredam isu ini yang juga menyelamatkan harga diri para habib, Gus Yahya mengambil sikap dengan menyatakan bahwa dirinya percaya bahwa Ba Alawi adalah keturunan Rasulullah saw. Hal ini didasarkan bahwa banyak barokah atau manfaat yang dirasakan bangsa Indonesia dari para habib ini. Pernyataannya itu tidak bisa dipungkiri bahwa memang sangat banyak aktivitas dari Ba Alawi yang bermanfaat bagi Indonesia. Kepercayaan semacam ini oleh netizen disebut sebagai kepercayaan lewat jalur barokah. Sementara itu, menurut Kiyai Imad sendiri kepercayaan seperti ini adalah kepercayaan berdasarkan “prasangka” tanpa bukti data. Itu adalah hak setiap orang. Mau percaya tanpa bukti boleh, mau tidak percaya jika tak ada bukti juga boleh.

Seharusnya, oknum Ba Alawi yang sering teriak-teriak nasab itu meredam kebiasaannya supaya situasi pun menjadi ikut lebih kondusif sehingga perdebatan itu tidak terus berlanjut. Jangan sampai justru oknum-oknum habib ini malah terus bikin narasi yang provokatif, misalnya, mengatakan bahwa lembaga nasab di luar Rabithah Alawiyah adalah palsu atau menuding Kiyai Imad dan siapa pun yang meragukan nasab Ba Alawi adalah munafik, anak haram hasil perzinahan, anak yang lahir dari hubungan seks ketika ibunya haid, syiah, yahudi, dzalim, kafir, dan lain sebagainya. Itu tidak menjernihkan situasi. Itu bisa membuat semakin hari semakin besar kebencian dan kemarahan yang tumbuh, ini sangat berbahaya.

Kalau memang ingin benar-benar diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad saw, tes DNA segera, jangan takut. Terimalah hasil ilmu pengetahuan.

Gus Fuad Plered saja ingin tes DNA meskipun diakui banyak orang sebagai keturunan Sunan Ampel. Dia sendiri masih belum yakin penuh tentang dirinya.

“Saya juga ingin tes DNA. Bisa saja saya ini sebetulnya keturunan Petruk Gareng,” begitu kata Gus Fuad.

Kalau tidak mau tes DNA, buatlah situasi yang lebih tenang sehingga situasi lebih kondusif dan jauh dari pertengkaran yang bisa mengakibatkan huru-hara. Ini Indonesia, hiduplah sebagaimana bangsa Indonesia. Jangan merasa diri lebih tinggi atau menciptakan kasta-kasta dalam masyarakat yang tidak perlu dan tidak masuk akal. Allah swt sendiri yang akan menentukan siapa yang paling tinggi dan mulia berdasarkan ilmunya, ketakwaannya, dan manfaatnya bagi manusia lainnya, bahkan bagi alam semesta.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment