oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya mudah saja
menyelesaikan soal perhabiban ini. Namun, dibuat rumit karena tidak terbiasa
berdebat ilmiah, tidak terbiasa berbicara secara terpelajar, dan tidak terbiasa
berbesar hati.
Kan sudah sudah jelas bahwa nasab para habib di Indonesia
ini diragukan karena tidak ada buktinya mereka itu adalah keturunan Nabi
Muhammad saw. Hal itu disebabkan dalam kitab abad ke 5-6 Hijriyah “As Sajarah al Mubarokah” Imam Fakhrurrazi
menjelaskan bahwa Ahmad bin Isa hanya mempunyai anak tiga orang, yaitu:
Muhammad, Ali, dan Husein. Selama berabad-abad seperti itu. Akan tetapi,
tiba-tiba muncul nama “Ubaidillah” pada sekitar tahun 1700-1800-an, ada yang
menyebutnya tiba-tiba muncul pada abad 10. Inilah yang dipermasalahkan oleh
Kiyai Imaduddin Utsman Al Bantani.
Dari kitab abad awal yang mana nama Ubaidillah ini
disebutkan sebagai anak dari Ahmad bin Isa?
Kalau memang benar anaknya, seharusnya tertulis juga pada
abad-abad yang awal. Akan tetapi, dalam kitab awal itu Ahmad bin Isa hanya
punya anak tiga dan tidak ada yang bernama Ubaidillah. Artinya, menurut Kiyai
Imad, nasabnya terputus, tidak nyambung ke Nabi Muhammad saw. Akibatnya,
seluruh para habib di Indonesia ini pun terputus, tidak nyambung ke Nabi
Muhammad saw.
Sebetulnya, mudah diselesaikannya. Tunjukkan saja
sumbernya, kitab abad awal yang mana yang menjadi rujukan bahwa Ubaidillah itu
anak dari Ahmad bin Isa. Kesulitannya adalah sampai hari ini kitab itu tidak
ada. Artinya, tidak ada sumber ilmu yang menjelaskannya. Terputuslah silsilah
itu sampai ditemukan buktinya. Diragukanlah bahwa para habib di Indonesia ini
merupakan keturunan Nabi Muhammad saw.
Sesungguhnya, kalaulah buku atau kitab rujukan itu tidak
ada, masih ada jalan lain untuk membuktikan hubungan nasab itu sampai kepada
Rasulullah saw. Sayyid Zulfikar Basyaiban menjelaskan bahwa hubungan nasab itu
harus ada syahadah atau semacam sertifikat dari negara asal para habib itu,
misalnya, dari Maroko, Mesir, Iran, atau Irak, dan bukan dari Indonesia.
Masalahnya, para habib itu hanya punya catatan atau buku dari Rabithah Alawiyah
yang ada di Indonesia yang berdiri pada 1928. Kalau ada dari negara asalnya,
itu bisa menjadi bukti pengakuan dari internasional. Kalau tidak ada, ya pasti
diragukan hubungan nasab itu tersambung ke Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya, kalau bukti kitab abad awal tidak ada dan
sertifikat internasional tidak ada, masih ada jalan lain untuk membuktikan
hubungan nasab itu, yaitu dengan tes DNA, sebagaimana yang dikatakan Kiyai
Imad. Itu lebih mudah sebenarnya. Sayangnya, para habib itu tidak ada yang
melakukannya, tampaknya mereka takut dengan hasilnya jika tidak tersambung
secara ilmiah ke Nabi Muhammad saw. Pada tulisan yang lalu saya sudah bilang
bahwa Najwa Shihab itu setelah tes DNA, ternyata jangankan dekat ke Nabi
Muhammad saw, ke Arab saja sudah jauh. Najwa malah lebih dekat ke Asia Selatan
atau India.
Berbeda jauh dengan para kiyai keturunan wali songo.
Mereka tanpa diminta pun sudah melakukan tes DNA sendiri untuk keperluan
sendiri, mengonfirmasi kebenaran catatan kuno mereka. Mereka tidak yakin bahwa
dirinya merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Soalnya, mereka merasa aneh
secara fisik. Nabi Muhammad saw itu orang Arab, badannya besar, hidungnya
mancung, tinggi, sementara itu mereka kulitnya coklat, pendek, sebagian kurus,
dan hidungnya pesek. Untuk itu, mereka berinisiatif tes DNA sendiri.
Contohnya, cicit Kiyai Sepuh Genggong, Probolinggo, yaitu
K.H. Hasan Akhsan Malik melakukan tes DNA sendiri dengan mengirimkan air
liurnya ke perusahaan tes DNA “Family
Tree DNA” yang bermarkas di Houston, Texas, Amerika Serikat. Hasilnya,
menurut Ketua Umum Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT) K.H. R. Ilzamuddin
Sholeh, ternyata nasabnya tersambung ke Syekh Abdul Qadir Al Jaelani. Ke atasnya, tersambung ke
Sayyidina Hasan yang jelas ahlul bait. Hasilnya jelas bahwa keturunan Kiyai
Sepuh Genggong adalah keturunan Nabi Muhammad saw.
DNA
(deoxyribonucleic acid) sendiri
merupakan molekul yang menyimpan semua informasi genetik dan membawa instruksi
untuk fungsi tubuh. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit, dan
sifat-sifat khusus dari tubuh manusia.
Kiyai
saja berani tes DNA, masa habib tidak. Akan tetapi, kalaupun tidak mau tes DNA,
tidak apa-apa. Itu hak, tetapi jangan salahkan orang lain jika pengakuannya
selama ini sebagai keturunan Nabi Muhammad saw diragukan.
Kitab
sumber pada abad awal tidak ada, sertifikat dari negara asal tidak ada, tes DNA
tidak mau.
Bagaimana
atuh?
Apa
bukti yang mendasari bahwa mereka itu adalah keturunan Nabi Muhammad saw?
Ketua
Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang biasa dipanggil Gus Yahya tampaknya tahu ini
semua. Untuk meredam isu ini yang juga menyelamatkan harga diri para habib, Gus
Yahya mengambil sikap dengan menyatakan bahwa dirinya percaya bahwa Ba Alawi
adalah keturunan Rasulullah saw. Hal ini didasarkan bahwa banyak barokah atau
manfaat yang dirasakan bangsa Indonesia dari para habib ini. Pernyataannya itu
tidak bisa dipungkiri bahwa memang sangat banyak aktivitas dari Ba Alawi yang
bermanfaat bagi Indonesia. Kepercayaan semacam ini oleh netizen disebut sebagai
kepercayaan lewat jalur barokah. Sementara itu, menurut Kiyai Imad sendiri
kepercayaan seperti ini adalah kepercayaan berdasarkan “prasangka” tanpa bukti
data. Itu adalah hak setiap orang. Mau percaya tanpa bukti boleh, mau tidak percaya
jika tak ada bukti juga boleh.
Seharusnya,
oknum Ba Alawi yang sering teriak-teriak nasab itu meredam kebiasaannya supaya
situasi pun menjadi ikut lebih kondusif sehingga perdebatan itu tidak terus
berlanjut. Jangan sampai justru oknum-oknum habib ini malah terus bikin narasi
yang provokatif, misalnya, mengatakan bahwa lembaga nasab di luar Rabithah
Alawiyah adalah palsu atau menuding Kiyai Imad dan siapa pun yang meragukan
nasab Ba Alawi adalah munafik, anak haram hasil perzinahan, anak yang lahir dari
hubungan seks ketika ibunya haid, syiah, yahudi, dzalim, kafir, dan lain
sebagainya. Itu tidak menjernihkan situasi. Itu bisa membuat semakin hari
semakin besar kebencian dan kemarahan yang tumbuh, ini sangat berbahaya.
Kalau
memang ingin benar-benar diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad saw, tes DNA
segera, jangan takut. Terimalah hasil ilmu pengetahuan.
Gus
Fuad Plered saja ingin tes DNA meskipun diakui banyak orang sebagai keturunan
Sunan Ampel. Dia sendiri masih belum yakin penuh tentang dirinya.
“Saya
juga ingin tes DNA. Bisa saja saya ini sebetulnya keturunan Petruk Gareng,”
begitu kata Gus Fuad.
Kalau
tidak mau tes DNA, buatlah situasi yang lebih tenang sehingga situasi lebih
kondusif dan jauh dari pertengkaran yang bisa mengakibatkan huru-hara. Ini
Indonesia, hiduplah sebagaimana bangsa Indonesia. Jangan merasa diri lebih
tinggi atau menciptakan kasta-kasta dalam masyarakat yang tidak perlu dan tidak
masuk akal. Allah swt sendiri yang akan menentukan siapa yang paling tinggi dan
mulia berdasarkan ilmunya, ketakwaannya, dan manfaatnya bagi manusia lainnya,
bahkan bagi alam semesta.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment