oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Saat ini Jakarta sudah menjadi kota semrawut yang dikeluhkan, baik oleh penduduk aslinya sendiri maupun oleh mereka yang memiliki aktivitas di kota ini. Saya sebetulnya sudah sangat mengeluh beberapa tahun lalu ketika mendapatkan tugas atau beraktivitas di Kota Jakarta. Sungguh, Kota Jakarta bagi saya bukanlah tempat tinggal yang nyaman dan mengenakkan. Saya lebih suka tinggal di Kota Bandung yang lebih sejuk, nyaman, dan leluasa. Kalau tidak perlu-perlu amat, saya tidak ingin ke Jakarta. Akan tetapi, sekarang pun Kota Bandung sudah mulai sesak sehingga saya memutuskan untuk pindah ke Kabupaten Bandung yang jauh lebih segar, luas, dan murah.
Bagaimana tidak mengeluh? Di Jakarta untuk sampai ke tempat tujuan, harus berputar-putar dulu sambil terjebak dalam macet, padahal tempat tujuan itu tidak jauh-jauh amat. Itu sungguh memakan waktu dan sangat mengesalkan. Untuk kemacetan ini, orang-orang Jakarta dan yang sering berada di Jakarta akan lebih sempurna menggambarkan kekusutan Kota Jakarta.
Kemacetan
Melihat kemacetan, kesemrawutan, dan kekusutan Jakarta yang pernah dibahas di stasiun televisi berskala internasional Al Jazeera, saya jadi teringat Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., penggagas Bappenas dan Bappeda yang merampungkan desertasi dengan fokus penelitian “koordinasi”. Dalam tulisannya itu, ia menggambarkan bahwa saat itu tidak ada koordinasi yang baik antara Dinas Perhubungan (Dishub), Telkom, Pekerjaan Umum (PU), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Prof. Ateng melukiskan jalan raya yang merana. Jalan itu awalnya telah dibangun dengan baik dan rapi serta mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, baru saja beberapa saat selesai dan masyarakat mulai menikmatinya, tiba-tiba ada lagi program kerja resmi, yaitu membangun instalasi listrik yang membuat jalan itu harus dibongkar kembali. Artinya, jalan itu rusak lagi. Selepas itu, ada lagi pembangunan pemasangan jalur telekomunikasi yang membuat jalan tersebut kembali dirusak. Kemudian, ada lagi pekerjaan untuk membangun drainase. Artinya, jalan tersebut semakin parah. Rusak. Padahal, baru saja selesai dibuat.
Hal tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antarinstansi. Bahkan, Prof. Ateng menggambarkannya sebagai egoisme instansi. Jelas hal itu merugikan masyarakat karena pembangunan-pembangunan itu menggunakan uang rakyat. Belum lagi jika jalan itu diperbaiki, ikut pula listrik, telekomunikasi, dan drainase memperbaiki instalasinya. Artinya, terjadi pemborosan dana dan pembangunan jalan yang tidak dinikmati masyarakat secara utuh. Masyarakat terus terganggu oleh pembangunan-pembangunan itu.
Sang Profesor menyarankan agar ada koordinasi yang baik antarinstansi dan menghilangkan egoisme masing-masing untuk kepentingan pembangunan yang ujung-ujungnya memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Misalnya, sebelum jalan itu dibangun, maka terlebih dahulu dibangun instalasi listrik, telekomunikasi, drainase, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembangunan jalan. Selepas sarana-sarana itu dibangun, jalan pun dibuat. Dengan demikian, terjadi manfaat yang lebih baik lagi dirasakan oleh masyarakat. Nah, hal tersebut memerlukan koordinasi yang baik dan terpadu antarinstansi.
Agaknya, hal-hal yang terkait koordinasi yang pernah ditulis Prof. Ateng tersebut masih sangat berguna untuk menganalisa kekacauan Kota Jakarta. Kita bisa melihat dengan pasti bahwa luas tanah yang digunakan sebagai jalan sama sekali tidak bertambah. Akan tetapi, jumlah kendaraan terus bertambah. Yang baru semakin berjubel dan yang lama masih dapat digunakan untuk sarana transportasi. Jelas hal itu menimbulkan kemacetan yang rumit. Di sini terlihat jelas sekali tidak adanya koordinasi yang baik antara Dishub, kepolisian, Disperindag, dan instansi lain terkait dengan pengadaan kendaraan.
Tenggelam
Akhir-akhir ini mengemuka isu bahwa Jakarta bisa tenggelam atau runtuh. Hal itu disebabkan oleh pembangunan-pembangunan fisik yang tidak selaras dengan lingkungan. Artinya, pembangunan-pembangunan itu merusakkan alam sekitar. Wajar saja jika terjadi penurunan tanah, amblasnya jalan raya, atau runtuhnya bangunan secara tiba-tiba.
Hal ini pun sangat terkait erat dengan tidak adanya koordinasi yang baik dalam pembangunan-pembangunan tersebut. Di samping itu, sangat menyengat pula bau korupsi di dalamnya.
Solusi
Saat ini ada isu yang mengemuka bahwa untuk mengatasi kesemrawutan Jakarta, solusinya adalah memindahkan ibukota negara ke kota lain yang lebih baik untuk itu. Sesungguhnya, itu bukanlah solusi terbaik. Itu memang salah satu solusi, tetapi sama sekali tidak memecahkan masalah. Pemindahan ibukota hanyalah akan menambah masalah baru, baik sosial maupun ekonomi jika prioritas, mekanisme pembangunan, dan sistem politik tetap seperti hari ini.
Secara sosial, akan timbul keanehan dan kecemburuan masyarakat dengan pemindahan ibukota tersebut. Bagaimana tidak? Di tengah-tengah kemiskinan yang melanda dengan berbagai tragedi yang mewarnai, misalnya, ada satu keluarga yang bunuh diri karena himpitan ekonomi, terpaksa menjual keperawanan, merampok dan mencuri karena sudah tak tahan lapar, jualan Narkoba untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan melakukan tindakan kriminal lainnya yang dilakukan bukan karena ingin, pemindahan ibukota hanyalah sebuah upaya menciptakan kekisruhan yang baru dan gejolak yang lebih keras di tengah-tengah masyarakat. Secara ekonomi, jelas itu merupakan pemborosan yang mengada-ada dan hanya menguntungkan segelintir manusia yang dari dulu sudah kaya. Hal itu akan mendorong pula gejolak kemarahan yang luar biasa dari masyarakat. Dilihat dari sistem politik saat ini, pemindahan ibukota hanya akan menjadi pesta rebutan makanan bagi para elit serakah dan berjiwa korup. Demokrasi memang menciptakan politisi-politisi pendusta dan berjiwa tamak karena memang untuk bisa ikut ambil bagian dalam kekuasaan, harus memiliki uang banyak. Mantan menteri, Sonny Keraf, menyatakan bahwa sulit sekali penguasa atau pejabat yang sedang manggung untuk mampu mengontrol pembangunan karena pada saat kampanye, baik itu Pemilihan Kadal maupun Pileg dan Pil-pil lainnya, banyak disuntik dana oleh para pengusaha yang sekarang meramaikan pembangunan-pembangunan fisik di Ibukota. Di samping itu, bukan tak mungkin para elit itu mendapatkan dana lagi dalam pembangunan-pembangunan itu untuk saku pribadinya.
Selain itu, pemindahan ibukota hanya akan menjadikan kota yang baru yang dipindahi menjadi kota semrawut baru karena mekanisme pembangunannya akan sama persis dengan pembangunan Kota Jakarta yang kini merana, bising, dan membingungkan.
Solusi yang sangat tepat adalah menggiatkan ekonomi di pedesaan di luar Kota Jakarta dengan percepatan luar biasa dan menghentikan terlebih dahulu pembangunan di Kota Jakarta yang tidak perlu-perlu amat. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi arus urbanisasi. Mengapa harus datang ke Jakarta? Toh, di desa pun pembangunan berjalan cepat. Bahkan, jika pembangunan di luar Kota Jakarta dilipatgandakan, baik kecepatan maupun jenisnya, banyak warga Jakarta yang pindah ke daerah lain. Hal itu akan sangat mengurangi kekacauan di Jakarta.
Solusi lainnya adalah menciptakan koordinasi yang baik antarinstansi, baik dalam pembangunan fisik maupun dalam pengadaan kendaraan. Hilangkan egoisme instansi, lebih utamakan kepentingan rakyat banyak. Jangan jadikan ekonomi sebagai rujukan utama, sebagaimana yang pernah dikatakan Gubernur DKI Fauzi Bowo bahwa industri dan perdagangan otomotif adalah salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Pikiran seperti itu menandakan kita sudah terjebak dalam budaya materialistis yang menyandarkan kehidupan pada hal yang sangat rendah, yaitu uang.
Solusi ketiga adalah ubah sistem politik sekarang ini jangan tanggung-tanggung. Jangan gunakan lagi demokrasi karena demokrasi hanya menyumbangkan kesusahan dan kepusingan di dalam negeri kita. Negeri ini akan sangat kuat jika tidak menggunakan sistem demokrasi. Negeri ini akan menjadi negeri yang besar, kuat, dan makmur jika membuang demokrasi dalam septictank perpolitikan, lalu kembali pada sistem politik yang berasal dari dalam jiwa bangsa sendiri. Kita tidak bisa mengingkari kalau Indonesia adalah negeri-negeri yang berjaya penuh masa keemasan ketika sama sekali tidak mengenal sistem politik demokrasi yang kampungan dan menyedihkan itu.
Insyaallah, jika kita berani, tentunya dimulai di tingkat elit, Jakarta akan menjadi Ibukota Indonesia yang disegani, makmur, aman, dan nyaman. Hal itu akan mendorong pula kemakmuran, keamanan, dan kenyamanan di daerah-daerah lain. Amin.
Bagaimana tidak mengeluh? Di Jakarta untuk sampai ke tempat tujuan, harus berputar-putar dulu sambil terjebak dalam macet, padahal tempat tujuan itu tidak jauh-jauh amat. Itu sungguh memakan waktu dan sangat mengesalkan. Untuk kemacetan ini, orang-orang Jakarta dan yang sering berada di Jakarta akan lebih sempurna menggambarkan kekusutan Kota Jakarta.
Kemacetan
Melihat kemacetan, kesemrawutan, dan kekusutan Jakarta yang pernah dibahas di stasiun televisi berskala internasional Al Jazeera, saya jadi teringat Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., penggagas Bappenas dan Bappeda yang merampungkan desertasi dengan fokus penelitian “koordinasi”. Dalam tulisannya itu, ia menggambarkan bahwa saat itu tidak ada koordinasi yang baik antara Dinas Perhubungan (Dishub), Telkom, Pekerjaan Umum (PU), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Prof. Ateng melukiskan jalan raya yang merana. Jalan itu awalnya telah dibangun dengan baik dan rapi serta mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, baru saja beberapa saat selesai dan masyarakat mulai menikmatinya, tiba-tiba ada lagi program kerja resmi, yaitu membangun instalasi listrik yang membuat jalan itu harus dibongkar kembali. Artinya, jalan itu rusak lagi. Selepas itu, ada lagi pembangunan pemasangan jalur telekomunikasi yang membuat jalan tersebut kembali dirusak. Kemudian, ada lagi pekerjaan untuk membangun drainase. Artinya, jalan tersebut semakin parah. Rusak. Padahal, baru saja selesai dibuat.
Hal tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antarinstansi. Bahkan, Prof. Ateng menggambarkannya sebagai egoisme instansi. Jelas hal itu merugikan masyarakat karena pembangunan-pembangunan itu menggunakan uang rakyat. Belum lagi jika jalan itu diperbaiki, ikut pula listrik, telekomunikasi, dan drainase memperbaiki instalasinya. Artinya, terjadi pemborosan dana dan pembangunan jalan yang tidak dinikmati masyarakat secara utuh. Masyarakat terus terganggu oleh pembangunan-pembangunan itu.
Sang Profesor menyarankan agar ada koordinasi yang baik antarinstansi dan menghilangkan egoisme masing-masing untuk kepentingan pembangunan yang ujung-ujungnya memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Misalnya, sebelum jalan itu dibangun, maka terlebih dahulu dibangun instalasi listrik, telekomunikasi, drainase, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembangunan jalan. Selepas sarana-sarana itu dibangun, jalan pun dibuat. Dengan demikian, terjadi manfaat yang lebih baik lagi dirasakan oleh masyarakat. Nah, hal tersebut memerlukan koordinasi yang baik dan terpadu antarinstansi.
Agaknya, hal-hal yang terkait koordinasi yang pernah ditulis Prof. Ateng tersebut masih sangat berguna untuk menganalisa kekacauan Kota Jakarta. Kita bisa melihat dengan pasti bahwa luas tanah yang digunakan sebagai jalan sama sekali tidak bertambah. Akan tetapi, jumlah kendaraan terus bertambah. Yang baru semakin berjubel dan yang lama masih dapat digunakan untuk sarana transportasi. Jelas hal itu menimbulkan kemacetan yang rumit. Di sini terlihat jelas sekali tidak adanya koordinasi yang baik antara Dishub, kepolisian, Disperindag, dan instansi lain terkait dengan pengadaan kendaraan.
Tenggelam
Akhir-akhir ini mengemuka isu bahwa Jakarta bisa tenggelam atau runtuh. Hal itu disebabkan oleh pembangunan-pembangunan fisik yang tidak selaras dengan lingkungan. Artinya, pembangunan-pembangunan itu merusakkan alam sekitar. Wajar saja jika terjadi penurunan tanah, amblasnya jalan raya, atau runtuhnya bangunan secara tiba-tiba.
Hal ini pun sangat terkait erat dengan tidak adanya koordinasi yang baik dalam pembangunan-pembangunan tersebut. Di samping itu, sangat menyengat pula bau korupsi di dalamnya.
Solusi
Saat ini ada isu yang mengemuka bahwa untuk mengatasi kesemrawutan Jakarta, solusinya adalah memindahkan ibukota negara ke kota lain yang lebih baik untuk itu. Sesungguhnya, itu bukanlah solusi terbaik. Itu memang salah satu solusi, tetapi sama sekali tidak memecahkan masalah. Pemindahan ibukota hanyalah akan menambah masalah baru, baik sosial maupun ekonomi jika prioritas, mekanisme pembangunan, dan sistem politik tetap seperti hari ini.
Secara sosial, akan timbul keanehan dan kecemburuan masyarakat dengan pemindahan ibukota tersebut. Bagaimana tidak? Di tengah-tengah kemiskinan yang melanda dengan berbagai tragedi yang mewarnai, misalnya, ada satu keluarga yang bunuh diri karena himpitan ekonomi, terpaksa menjual keperawanan, merampok dan mencuri karena sudah tak tahan lapar, jualan Narkoba untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan melakukan tindakan kriminal lainnya yang dilakukan bukan karena ingin, pemindahan ibukota hanyalah sebuah upaya menciptakan kekisruhan yang baru dan gejolak yang lebih keras di tengah-tengah masyarakat. Secara ekonomi, jelas itu merupakan pemborosan yang mengada-ada dan hanya menguntungkan segelintir manusia yang dari dulu sudah kaya. Hal itu akan mendorong pula gejolak kemarahan yang luar biasa dari masyarakat. Dilihat dari sistem politik saat ini, pemindahan ibukota hanya akan menjadi pesta rebutan makanan bagi para elit serakah dan berjiwa korup. Demokrasi memang menciptakan politisi-politisi pendusta dan berjiwa tamak karena memang untuk bisa ikut ambil bagian dalam kekuasaan, harus memiliki uang banyak. Mantan menteri, Sonny Keraf, menyatakan bahwa sulit sekali penguasa atau pejabat yang sedang manggung untuk mampu mengontrol pembangunan karena pada saat kampanye, baik itu Pemilihan Kadal maupun Pileg dan Pil-pil lainnya, banyak disuntik dana oleh para pengusaha yang sekarang meramaikan pembangunan-pembangunan fisik di Ibukota. Di samping itu, bukan tak mungkin para elit itu mendapatkan dana lagi dalam pembangunan-pembangunan itu untuk saku pribadinya.
Selain itu, pemindahan ibukota hanya akan menjadikan kota yang baru yang dipindahi menjadi kota semrawut baru karena mekanisme pembangunannya akan sama persis dengan pembangunan Kota Jakarta yang kini merana, bising, dan membingungkan.
Solusi yang sangat tepat adalah menggiatkan ekonomi di pedesaan di luar Kota Jakarta dengan percepatan luar biasa dan menghentikan terlebih dahulu pembangunan di Kota Jakarta yang tidak perlu-perlu amat. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi arus urbanisasi. Mengapa harus datang ke Jakarta? Toh, di desa pun pembangunan berjalan cepat. Bahkan, jika pembangunan di luar Kota Jakarta dilipatgandakan, baik kecepatan maupun jenisnya, banyak warga Jakarta yang pindah ke daerah lain. Hal itu akan sangat mengurangi kekacauan di Jakarta.
Solusi lainnya adalah menciptakan koordinasi yang baik antarinstansi, baik dalam pembangunan fisik maupun dalam pengadaan kendaraan. Hilangkan egoisme instansi, lebih utamakan kepentingan rakyat banyak. Jangan jadikan ekonomi sebagai rujukan utama, sebagaimana yang pernah dikatakan Gubernur DKI Fauzi Bowo bahwa industri dan perdagangan otomotif adalah salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Pikiran seperti itu menandakan kita sudah terjebak dalam budaya materialistis yang menyandarkan kehidupan pada hal yang sangat rendah, yaitu uang.
Solusi ketiga adalah ubah sistem politik sekarang ini jangan tanggung-tanggung. Jangan gunakan lagi demokrasi karena demokrasi hanya menyumbangkan kesusahan dan kepusingan di dalam negeri kita. Negeri ini akan sangat kuat jika tidak menggunakan sistem demokrasi. Negeri ini akan menjadi negeri yang besar, kuat, dan makmur jika membuang demokrasi dalam septictank perpolitikan, lalu kembali pada sistem politik yang berasal dari dalam jiwa bangsa sendiri. Kita tidak bisa mengingkari kalau Indonesia adalah negeri-negeri yang berjaya penuh masa keemasan ketika sama sekali tidak mengenal sistem politik demokrasi yang kampungan dan menyedihkan itu.
Insyaallah, jika kita berani, tentunya dimulai di tingkat elit, Jakarta akan menjadi Ibukota Indonesia yang disegani, makmur, aman, dan nyaman. Hal itu akan mendorong pula kemakmuran, keamanan, dan kenyamanan di daerah-daerah lain. Amin.
No comments:
Post a Comment