Sunday 10 October 2010

Jualan Terorisme

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Terorisme itu cuma barang dagangan. Terorisme itu cuma belanjaan yang ditawarkan di supermarket kapitalis. Kalau kita tidak mau, para salesnya akan maksa kita, mulai dengan sales yang tampan-tampan, lalu yang cantik-cantik, kemudian kalimatnya diucapkan sampai berbusa-busa. Kalau kita masih belum tertarik, akan ditawarkan hadiah yang menggiurkan dan menyenangkan tanpa perlu diundi, bisa dibawa pulang saat itu juga melebihi harga barang yang namanya teroris itu sendiri. Kalau masih juga tidak mau, perusahaan itu, akan menciptakan kondisi palsu agar kita mau membelinya. Misalnya, kita ditawari alarm antirampok, tetapi kita tidak membutuhkannya dan kita memang tidak membelinya. Perusahaan itu akan dengan sekuat tenaga membuat kita membutuhkannya dengan melakukan perampokan ke rumah kita dengan menggunakan orang-orang suruhan. Akibatnya, kita menyadari bahwa memang alarm itu dibutuhkan. Kalau kita masih juga tidak mau membelinya karena memiliki cara lain dalam mencegah perampokan, kita akhirnya yang akan dituduh perampok dengan memasukkan secara diam-diam barang-barang orang lain ke rumah kita. Kemudian, melakukan tindakan hukum terhadap kita dengan bekerja sama dengan pihak yang berkuasa. Begitulah perusahaan itu bekerja. Jalan terakhir adalah stick and carrot, ‘kalau tidak mau dikasih wortel, ya harus dipukul’.

Perhatikan kata-kata Soekarno berikut ini.

“Ideologi, isme, paham, hanyalah kulit dari pokok-pokok hakiki yang menjadi motor peperangan. Demokrasi dan fasisme hanyalah kulit belaka. Demokrasi dan fasisme hanyalah ideologi geschut belaka, ‘meriam fikiran belaka’, yang menurut tiap-tiap ahli perang adalah sedikitnya sama dengan meriam besi dan meriam waja. Peperangan ini adalah tabrakan antara kepentingan dan kepentingan, belang dengan belang, realiteiten dengan realiteiten. Peperangan ini memakai semboyan ideologi dan fasisme oleh karena realiteit itu berkata bahwa pada tingkat dunia sekarang ini ideologi demokrasi dan ideologi fasismelah yang paling bermanfaat buat dipakai semboyan peperangan. Ya, malahan, pada hakikatnya sistem parlementaire democratie dan sistim fascistische dictatuur itu adalah ‘kepentingan mentah’ pula, ‘rauwe belangen’ pula!”

Soekarno mengajarkan bahwa isme apa pun, ideologi apa pun, paham bagaimanapun yang ditawarkan untuk menggerakan perang adalah sebuah barang dagangan untuk kepentingan bisnis, untuk kepentingan ekonomi, untuk kepentingan materi, untuk kepentingan uang, ujung-ujungnya duit. Saat Soekarno menulis itu, terjadi perang antara demokrasi-kapitalis dan fasis. Mereka berperang dengan mengeluarkan semboyan-semboyannya untuk menjatuhkan lawannya. Dari pihak demokrasi menyerang kesewenang-wenangan fasis dan menyatakan bahwa fasis adalah harus dihancurkan karena tidak manusiawi. Demikian pula fasis membela diri dengan seluruh kekuatannya dan keyakinannya bahwa fasis adalah yang terbaik. Kedua kekuatan itu seolah-olah ingin menyelamatkan manusia dan kemanusiaan, padahal kedua-keduanya hanyalah berperang dan bertarung rebutan makanan.

Waktu pun berputar, perang terus terjadi. Namun, kali ini fasisme tidak lagi laku untuk dijual. Yang laku dijual adalah demokrasi dan komunis. Kedua kekuatan ini adu tegang urat leher menyatakan yang terbaik bagi umat manusia. Demokrasi menyerang komunis anti -Tuhan dan kejam gemar membunuh. Komunis menyerang demokrasi-kapitalis sebagai perampok hak-hak orang miskin, korup, dan menggunakan agama untuk kepentingannya. Keduanya memasuki berbagai negara dengan kalimat-kalimat indah yang tampak di luarnya sebagai pembela kemanusiaan. Padahal, kalau mau dilihat lebih dalam, keduanya sama-sama rebutan benda dan makanan. Perang ini tidak ada yang menang mutlak, keduanya tetap tegak berdiri di negeri-negeri yang telah terpengaruh oleh salah satunya.

Tampak sekali benturan rebutan benda dan makanan ini pada saat ini. Mereka tak lagi berperang, tetapi saling memahami. Lantas semboyan-semboyan perang, tudingan-tudingan yang dulu membahana sampai mengorbankan puluhan juta umat manusia itu bagaimana? Masihkah bertahan? Tampaknya, sudah tidak lagi digunakan karena itu hanya amunisi untuk membohongi orang-orang bodoh, malahan mereka sudah bekerja sama dengan erat, bersahabat karib. Tak akan terjadi pembunuhan jika warga komunis berada di dalam negeri kapitalis, begitu juga sebaliknya. Berbeda dibandingkan dahulu yang bisa saling bunuh di mana saja mereka bertemu. Yang menyedihkan adalah Indonesia yang sampai kini masih terjebak dalam propaganda perang antara kapitalis dan komunis dahulu, padahal penyebar propagandanya sudah pada akur. Kita masih ribut dengan urusan komunis dengan sejarah yang tidak jelas itu. Kita masih beranggapan bahwa perang yang dulu melawan komunis sampai menimbulkan korban jutaan itu benar-benar perlawanan terhadap Pancasila, padahal cuma perang import dari pertarungan antara kapitalis dan komunis dunia. Kita memang tidak pernah waspada dan gemar sekali mengikuti isu.

Saat ini komunisme tidak lagi laku untuk dijual. Oleh sebab itu, diciptakan isme baru yang menjadi musuh kapitalisme dalam arti mengancam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi kapitalis. Setelah redanya perang dingin, kapitalisme begitu khawatir dengan ghirah Islam yang tinggi, baik di negara-negara berpenduduk muslim maupun di negeri-negeri kapitalis sendiri, terutama kalangan muda dan intelektual Islam. Adanya kesadaran mencolok dari kaum intelektual muda Islam ini untuk kembali pada Islam yang utuh menimbulkan kekhawatiran di kalangan kapitalis. Maklum, Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan bagaimana menata kehidupan bernegara yang baik plus menjalankan roda ekonomi yang baik dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, Islam pun memang pernah berkuasa di muka Bumi menjalankan roda pemerintahan hampir di dua per tiga luas seluruh Bumi. Hal ini sangat mungkin menggusur ide-ide kapitalisme yang sampai saat ini membuat para kapitalis senang-senang. Kapitalis itu kan sangat menyembah dan memuja terhadap pemusatan modal pada kalangan tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Mereka khawatir Islam akan kembali menguasai Bumi dengan cara yang lebih islami dibandingkan dahulu.

Yang tak kalah menarik untuk diperhatikan adalah kapitalis memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap minyak yang ada di negeri-negeri berpenduduk muslim. Dengan jualan terorisme yang kemudian laku keras, mereka mendapat kesempatan untuk mengejar teroris ke negeri-negeri tersebut yang kaya minyak dengan harapan bisa berkuasa dan dapat kembali mencoleng harta kekayaannya.

Sesungguhnya, bukan agama Islam dengan berbagai ritualnya yang membuat mereka cemas, melainkan terganggunya kepentingan materialistis mereka oleh sistem-sistem ekonomi yang ada dalam ajaran Islam dan itu mulai muncul ke permukaan. Untuk memusuhi Islam secara frontal, mereka tidak berani. Mereka sangat bergantung juga pada negara-negara Islam, terutama soal minyak dan pemasaran barang. Namun, mereka tetap merasa terganggu. Oleh sebab itu, diciptakanlah isme baru yang Islam seolah-olah berada di belakangnya, yaitu terorisme setelah sebelumnya melakukan dahulu aksi teatrikal dengan penyerangan ke menara kembar WTC, kemudian memperkenalkan tokoh baru Osama bin Laden dan Al Qaeda.

Sejak saat itulah, mulai dijual barang dagangan baru, yaitu demokrasi-kapitalis lawan terorisme-Islam. Indonesia pun kembali terjebak dalam perang itu, padahal pada waktu yang lalu akibat dari jebakan itu masih terasa saat membeli barang dagangan yang namanya demokrasi-kapitalis lawan komunisme-anti-Tuhan.

Satu lagi dari Soekarno.

“Kaum nasionalis harus dikejar, Kaum Pan-Islam juga harus diburu!

Kita ingat ini semuanya. Kita mengakui hak yang demikian itu dan kita hanya tersenyum. Kita di sini hanya menetapkan feitnya saja. Kita ingat bagaimana sesudah pemberontakan, kaum sana meneriaki setinggi langit pergerakan Pan-Islam sebelum dan sesudah kongres di Pekalongan. Bagaimana sesudah pemberontakan, mereka menunjukkan tabiat serendah-rendahnya dengan mengotorkan nama prive saudara kita. Dr. Soetomo. Mereka membencanai saudara kita, dr. Tjipto Mangunkusumo..... Kita mengerti bahwa ini sudah semestinya. Kita hanya tersenyum dan mengambil pelajaran. Pelajaran bahwa sikap kaum itu terhadap kita bukanlah bergantung dari beginsel kita, bukanlah bergantung dari azas kita, bukanlah bergantung dari bahaya ‘isme’ kita, tetapi bergantung dari besarnya bahaya yang mengancam kepentingan oleh sikap dan gerak kita adanya!”


Soekarno mengajarkan bahwa para kapitalis itu menyerang dan memburu bukan karena isme yang kita miliki, bukan karena agama yang kita anut, bukan sistem yang kita pergunakan, namun karena kekhawatiran kepentingan materialistis mereka terganggu. Perhatikan, teroris itu ada di mana-mana dengan nama yang banyak dan isme yang beragam. Akan tetapi, yang mereka perangi adalah teroris yang dengan menggunakan kata Islam, padahal Islam sendiri bukan teroris. Teroris-Islam itu hanya diciptakan mereka sendiri agar tumbuh keyakinan bahwa Islam itu memang mengajarkan teror dan berbahaya bagi umat manusia. Padahal, sungguh upaya itu tidak pernah akan berhasil dan mereka akan kelelahan sendiri sebelum akhirnya hancur berantakan.

Mereka dan kita semua mestinya ingat ketika bagaimana dengan angkuhnya mereka menyebarkan propaganda jahat bahwa orang-orang kulit putih itu lebih tertib dan beradab dibandingkan kulit berwarna yang disebutnya primitif. Dengan propaganda itu, mereka seolah-olah memiliki hak untuk memasuki tanah orang lain, kemudian menjajahnya. Sebetulnya, yang terjadi adalah mereka butuh makanan, barang mentah yang murah, dan tenaga kerja yang juga murah, kalau bisa, gratis. Namun, propaganda dan penjajah angkuh itu harus berakhir dengan kekalahan seluruh penjajah di muka Bumi ini dan menghancurkan propaganda serta ajaran sesat mereka.

Sungguh demokrasi-kapitalis itu jahat. Mereka itu musuh dalam selimut, menohok kawan seiring, dan menggunting kain dalam lipatan.

No comments:

Post a Comment