Friday, 30 October 2020

Rindu Jokowi, Bukan Pemerintah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ketika perasaan umat Islam terhina, tersinggung, dan marah, sudah seharusnya para pemimpin muslim di mana pun menangkap perasaan umat dan menyuarakannya untuk mewakili umatnya. Demikian pula, Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sangat wajar jika berharap pemimpinnya, Presiden RI Jokowi, memberikan kecaman, teguran, atau paling tidak nasihat untuk Presiden Perancis Emmanuel Macron yang telah menghina Islam dan kaum muslimin. Bahkan, Macron mengatakan bahwa Samuel Paty, guru sejarah yang dipenggal gara-gara mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad saw itu sebagai martir. Tidak perlu kaget jika banyak umat Islam pun menganggap Abdoullakh Anzorov yang memenggal kepala Samuel Paty pun sebagai martir. Itu akan membuat “chaos” baru.

            Pemerintah RI sudah cukup bagus melalui Kemenlu RI melakukan kecaman dan protes dengan cara memanggil Duta Besar Perancis Olivier Chambard untuk menjelaskan sikap dan posisi Indonesia terhadap masalah itu. Akan tetapi, itu kan pemerintah yang sifatnya kolektif kolegial. Bagi rakyat Indonesia, itu belum cukup terwakili. Rakyat menginginkan Jokowi yang bersuara. Rakyat rindu sosok Jokowi untuk bersuara terkait masalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Suara Jokowi itu akan lebih kuat tekanannya dibandingkan ribuan gerombolan demonstran. Ucapannya akan lebih didengar. Rakyat pun akan mendapatkan harga diri yang lebih tinggi jika pemimpinnya berbicara mewakili perasaannya untuk disampaikan pada dunia, terutama terhadap Macron.

            Sampai tulisan ini disusun, belum terdengar Jokowi berbicara hal itu. Rakyat mulai bertanya-tanya dan itu tidak bagus karena akan banyak dugaan terhadap penyebab Jokowi belum juga bersuara.

            Apakah Jokowi merasa cukup suaranya diwakilkan kepada Kementerian Luar Negeri RI?

            Seperti saya bilang tadi, tidak cukup.

            Rakyat ingin mendengar dari Jokowi langsung. Pemerintah memang sudah bersikap dan itu bagus, tetapi rakyat menginginkan mendengar suara Jokowi. Hal itu bisa diperhatikan dari desakan yang disuarakan partai-partai pendukung pemerintah sendiri, seperti, Nasdem dan PDIP. Demikian pula Ormas sekelas GP Ansor pun berharap hal yang sama. Saya yakin banyak elemen masyarakat lain yang menginginkan Jokowi bersuara jelas terkait penghinaan yang dilakukan Macron.

            Kalaulah Jokowi merasa “heurin ku letah”, ‘susah bicara’, terhadap Macron karena Perancis adalah sahabat Indonesia, berbincanglah sebagai sahabat karena sahabat yang baik adalah sahabat yang mengingatkan sahabatnya ketika sahabatnya itu melakukan kesalahan. Dalam hal ini, Perancis adalah sahabat yang sedang melakukan kesalahan yang kalau mengikuti pendapat Menkopolhukam RI Mahfudz M.D., Macron sedang krisis gagal paham terhadap Islam. Jelas Macron sedang kusut pikiran dan melakukan kesalahan yang mengganggu ketenangan dunia.

            Di samping itu, jika terjadi perbincangan dengan Macron, Jokowi bisa ekspor nilai-nilai Pancasila terhadap Perancis dengan menunjukkan adanya UU anti penghinaan, anti penistaan, atau anti penyerangan terhadap agama untuk membina kerukunan umat beragama di Indonesia. Perancis bisa belajar dari hal itu jika ingin lebih tenang dan harus menahan kebiasaan dirinya untuk gemar menistakan agama. Itu adalah hal yang bagus.

            Bisa pula Jokowi bersikap tegas dan keras seperti kepada Cina. Meskipun Indonesia banyak melakukan hubungan bisnis dengan Cina, Jokowi tetap tegas soal kedaulatan negara di Laut Natuna Utara. Jokowi mengharapkan pasukannya untuk dapat menjaga dan mengamankan Laut Natuna Utara dari gangguan Cina. Sikap dia sangat jelas, baik dalam perkataannya maupun dalam sikapnya tentang kedaulatan negara.

            Masa terhadap Cina bisa tegas, tetapi terhadap Macron tidak bisa tegas nyata?

            Rakyat merindukan suara Jokowi, bukan suara pemerintah. Suara pemerintah sudah terdengar dan itu perlu diapresiasi. Suara sosok Jokowi yang belum terdengar. Jangan sampai rakyat menduga-duga penyebab Jokowi tidak bersuara. Itu tidak baik.

            Mau bersuara atau tidak, dalam arti diam saja, Jokowi harus menjelaskan sikapnya itu kepada masyarakat. Dengan demikian, rakyat bisa paham dan lebih tenang. Jika tidak, akan banyak pertanyaan di masyarakat tentang sosok Jokowi. Bisa-bisa timbul banyak hoax, ujaran kebencian, dan penyesatan pikiran jika Jokowi tidak menjelaskan sikapnya.

            Rakyat rindu suara Jokowi.

            Sampurasun.

Blunder Politik Macron

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Emmanuel Macron adalah Presiden Perancis, sudah pasti dia adalah politisi. Sebagai politisi, dia harus menghadapi Pemilu yang akan datang serta ingin dirinya dan partainya menang. Hal itu lumrah terjadi pada diri seorang politisi.

            Kita tidak tahu apakah pidato Macron yang mengaitkan terorisme, radikalisme, dan Islam itu adalah dalam rangka pembenahan keamanan di Perancis atau memang sedang mengangkat isu yang dianggapnya seksi untuk mendorongnya kembali dalam kepemimpinan di Perancis. Pemenggalan kepala seorang guru sejarah di Perancis oleh seorang pemuda muslim dianggapnya sebagai perlawanan terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. Isi pidatonya jelas sekali mengatakan hal tersebut. Dia pun menjelaskan bahwa rakyat Perancis memiliki hak untuk menistakan (agama). Itulah yang membuat banyak orang marah, terutama muslim. Padahal, pembiaran terhadap penistaan (agama) ini telah mengakibatkan saling bunuh di Perancis.

            Sekitar seminggu yang lalu dua wanita berjilbab ditusuk di bawah Menara Eifel sambil dimaki-maki, “Orang Arab Kotor! Tempat kalian bukan di sini!”

            Beruntung kedua wanita itu tidak tewas. Mereka dilarikan polisi ke rumah sakit.

            Kemudian, guru sejarah dipenggal kepalanya gara-gara mempertontonkan karikatur Muhammad saw. Pelakunya ditangkap polisi. Hal itu berlanjut dengan penusukan dan penggorokan leher di gereja di Nice, Perancis.

            Kalaulah hal-hal itu diangkat sebagai isu untuk mendongkrak popularitas dirinya menjelang Pemilu di Perancis dengan mendiskreditkan Islam sebagai “agama yang sedang mengalami krisis”, sungguh itu merupakan langkah politik blunder. Sebetulnya, dari isi pidatonya awalnya bagus bahwa dia memusuhi gerakan terorisme dan radikal Islam yang mengganggu ketenangan warga. Semua negara pun sedang memusuhi itu. Akan tetapi, ketika hal itu dikaitkan dengan ajaran Islam, itu adalah sebuah kesalahan fatal. Apalagi penghinaan kepada Nabi saw itu dianggap kebebasan berekspresi dan perlu dilindungi sebagai cara hidup warga Perancis.

            Warga dunia dan warga Perancis sebetulnya sudah tidak mempedulikan perbedaan agama itu, mayoritas semua ingin hidup damai dan kerja sama yang saling menguntungkan, kecuali segelintir orang yang hidupnya memang dari provokasi dan menebar konflik. Hal itu bisa dilihat di konten-konten youtube yang dibuat para pemuda Amerika Serikat (AS) dan di Perancis sendiri. Seorang pemuda Amerika Serikat keturunan Arab bikin banyak video tentang pandangan kehidupan beragama di AS. Semua yang dia wawancarai menghendaki adanya perdamaian, saling menghormati, menghilangkan permusuhan karena perbedaan agama, adanya kerja sama yang baik, bisnis yang lancar tanpa harus dihalangi perbedaan agama. Di Perancis sendiri saya lihat banyak pemuda yang membuat video “prank” dengan cara mem-bully perempuan muslim berjilbab di taman, di jalan, di kampus, dan di keramaian lainnya. Ketika perempuan berjilbab itu di-bully dan dihina agamanya yang Islam itu, banyak sekali pemuda nonmuslim yang membelanya, bahkan hampir berkelahi dengan para pem-bully itu. Ketika diberi tahu bahwa tindakan itu hanya “prank” dan bermaksud untuk mengetahui sejauh mana sikap nonmuslim terhadap muslim yang sedang teraniaya, mereka semua tertawa-tawa. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan agama sudah tidak lagi menjadi kendala untuk hidup bersama dan para pemuda itu tidak saling melakukan penghinaan dan permusuhan atas dasar perbedaan keyakinan. Jumlah generasi muda yang sudah sangat toleran ini semakin banyak dan kita bisa mencobanya sendiri berhubungan dengan orang-orang asing dalam kerja sama tertentu, misalnya, budaya atau teknologi. Perbedaan agama itu tidak menjadi masalah yang berarti.

            Dengan melihat perkembangan toleransi yang makin menguat di dunia, kecuali beberapa gelintir para provokator, isu yang digunakan Macron dengan mengaitkan Islam dan radikalisme untuk mendapatkan keuntungan politik adalah blunder. Orang sudah semakin paham bahwa terorisme dan Islam adalah dua hal yang berbeda, sama sekali tidak ada kaitannya. Meskipun jumlah umat Islam di Perancis bisa dikatakan minoritas, mayoritas warga Perancis sudah tidak mau lagi percaya dengan isu-isu menyesatkan tentang Islam dan terorisme, terutama kaum mudanya. Mereka toh sudah menjalani hidup bersama dan mayoritas baik-baik saja, kecuali sedikit orang-orang bebal. Isu yang diangkat Macron bukannya akan meningkatkan popularitasnya, melainkan sebaliknya, berpotensi menurunkan elektabilitasnya. Hal itu diperparah dengan adanya kasus-kasus kekerasan dan kematian atas dasar keagamaan serta adanya seruan untuk memboikot produk-produk Perancis. Jika upaya boikot ini berhasil dan konsisten dilakukan dunia, terutama negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, ekonomi Perancis akan terganggu, para pengusaha akan menderita kerugian. Hal itu akan mendorong turunnya popularitas Macron di Perancis. Hal-hal ini pun akan digunakan sebagai amunisi bagi saingan Macron dan partainya untuk menghantam pemerintah sehingga Macron dan para pendukungnya jatuh dari kursi pemerintahan.

            Begitu kira-kira analisis saya. Kalau mau berkomentar, berkomentarlah yang baik dan nyambung dengan isi artikel. Komentar yang buruk dan tidak nyambung akan saya hapus.

            Sampurasun.

Jenis-Jenis Gerakan Sosial

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

David Aberle dalam Sunarto (2004) dalam Kun Maryati dan Juju  Suryawati (2013) mengklasifikasikan jenis-jenis gerakan sosial.

 

1. Alternative Movement

Gerakan ini dimaksudkan untuk mengubah sebagian perilaku seseorang atau masyarakat. Contohnya, kampanye antirokok, antialkohol, antinarkoba, antiseks bebas, dan gerakan menikah setelah lulus kuliah.

 

2. Redemptive Movement

Gerakan ini berupa gerakan yang betujuan mengubah seluruh perilaku seseorang atau masyarakat. Misalnya, gerakan keagamaan untuk membimbing manusia ke jalan Tuhan Sang Maha Pencipta.

 

3. Reformative Movement

Gerakan ini diharapkan dapat mengubah masyarakat dalam ruang lingkup tertentu, misalnya, emansipasi wanita, perbaikan pelaksanaan Pemilu, penyempurnaan undang-undang buruh, dan gerakan orang tua asuh.

 

4. Transformative Movement

Gerakan ini bertujuan untuk mengubah bukan hanya perilaku masyarakat, melainkan pula mengubah struktur masyarakat, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Contohnya, gerakan komunis cina yang mengubah kekaisaran Cina dengan struktur komunisme.

 

            Demikian empat jenis gerakan sosial yang diklasifikasikan David Aberle.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Wednesday, 28 October 2020

Kriteria Hubungan Antarkelompok

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Berbagai kelompok hadir di tengah masyarakatnya dengan identitas dan perilakunya masing-masing. Setiap kelompok dapat berhubungan dengan kelompok lainnya. Hubungannya bisa positif, bisa pula negatif. Hubungan yang terjadi bisa berupa kerja sama, persaingan, ataupun konflik. Dalam pandangan Kinloch dalam Kun Maryati & Juju  Suryawati (2014), kriteria dalam hubungan kelompok adalah:

            Pertama, kriteria fisiologis. Hal yang mendasarkan kriteria ini adalah persamaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), usia (tua, muda), dan ras.

            Kedua, kriteria kebudayaan. Dasar dari kriteria ini adalah ikatan kebudayaan, misalnya, kelompok etnik (Sunda, Jawa, Batak, Minangkabau, Ambon, Bugis). Di samping itu, pengelompokkan berdasarkan kesamaan agama pun kerap digolongkan pada kriteria ini.

            Ketiga, kriteria ekonomi. Kriteria ini didasarkan pada kelompok yang menguasai ekonomi dan tidak memiliki kekuasaan terhadap faktor-faktor ekonomi.

            Keempat, kriteria perilaku. Dasar pengelompokan kriteria ini adalah cacat mental, cacat fisik, dan penyimpangan terhadap aturan-aturan masyarakat.

            Demikian empat kriteria hubungan antarkelompok yang terjadi di masyarakat.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka:

Wijayanti, Fitria; Rahmawati, Farida; Irawan, Hanif; Sosiologi: untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Maryati, Kun; Suryawati, Juju; 2014, Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Pembunuhan Atas Nama Cinta Nabi Muhammad saw

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa tahun lalu, saya sering “chit chat” di youtube dengan orang asing, orang luar negeri dengan beragam keyakinan. Ada yang berasal dari Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, India, Italia, dan Australia; paling banyak dari Inggris. Pernah saya hitung, mereka yang chit-chat dengan saya itu sekitar 208 orang. Mereka beragam keyakinannya, ada yang ateis, Katolik, Hindu, dan Budha; paling banyak ateis. Di negaranya mereka gemar sekali menghina Islam dan Nabi Muhammad saw. Mereka membuat video-video bohong, dusta, dan berbagai penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka banyak yang mem-bully saya sebagai anggota Isis, imigran gelap, dan tidak berperikemanusiaan. Hal itu disebabkan saat itu memang Isis berada pada puncak kekuasaannya, di Inggris sedang terjadi kampanye pemilihan walikota London yang kemudian dimenangkan oleh orang Islam bernama Sadiq Khan, dan di Indonesia sedang dilaksanakan persiapan hukuman mati bagi delapan pengedar Narkoba dari berbagai negara. Hal itu membuat mereka marah dan melakukan banyak penghinaan kepada Islam dan kepada diri saya juga. Percakapan saya dengan mereka bisa dilihat di Google+ saya. Sayangnya, Google+ saya sudah tidak aktif.

            Hal yang aneh adalah mereka itu marah pada keadaan, tetapi menyalahkan Islam dan Muhammad saw. Padahal, jika ada orang yang salah, mereka benci dan kebetulan beragam Islam, seharusnya orangnya atau kelompoknya saja yang disalahkan, dibenci, dan dihukum. Jangan menghina Islam dan Muhammad saw karena hal itu berbahaya, membuat masalah menjadi makin luas dan mengerikan.

            Meskipun mereka mem-bully saya. Saya sih tenang-tenang saja. Kalaupun saya marah, nggak ada penyelesaiannya. Saya di Bandung, Indonesia, sedangkan mereka ada di negara mereka dan di kotanya masing-masing. Kami hanya chit chat lewat youtube. Pengennya sih saya hajar mereka, tetapi kan susah, jauh.

            Saya ingatkan mereka, “Jangan menghina Muhammad saw. Umat Islam itu lebih cinta Muhammad dibandingkan dirinya sendiri. Kalau kalian berperilaku seperti itu, kita tidak tahu akan ada orang yang marah di negara kalian. Lalu, masuk kamar kalian ketika kalian tidur dan leher kalian digoroknya.”

            Mereka nggak mau tahu, malah menjawab, “Negara kami adalah negara maju dan punya alat untuk mendeteksi kejahatan seperti itu.”

            Ya, sudah. Saya sudah mengingatkan.

            Saya jawab saja, “Bagus kalian punya alat seperti itu.”

            Sayangnya, alat itu tidak pernah ada dan hanya celoteh kosong mereka saja. Dua hari kemudian, ada berita bahwa di Amerika Serikat terjadi penembakan terhadap ketua panitia lomba menggambar karikatur Nabi Muhammad saw. Itu tandanya alat itu tidak pernah ada. Mereka cuma cari penyakit.

            Mereka pun bertanya lagi sama saya, ”Mengapa Muhammad tidak boleh digambar? Itu kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi!”

            Yakin sekali mereka dengan kebebasan berekspresi kampungan itu.

            Saya jawab saja, “Kalian membuat karikatur Muhammad saw dengan pose-pose yang sangat buruk dan itu menyakiti perasaan umat Islam.”

            Mereka tetap berkilah bahwa itu adalah kebebasan berekspresi.

            Ya sudah, saya tanya mereka dengan pertanyaan kasar dan sangat ekstrim, “Kalau ibu kalian digambar sedang telanjang di kandang babi dan melakukan hubungan seks dengan babi, hukuman apa yang akan kalian lakukan terhadap orang yang menggambar ibu kalian itu?”

            Saya yakin dalam hati mereka akan menjawab “hukuman mati”. Akan tetapi, mereka tidak mau menjawab dan tidak pernah ada jawaban sampai hari ini.

            Sekarang sedang viral pembunuhan seorang guru sejarah di Perancis yang mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad saw oleh seorang muslim Rusia, Chechen. Itu juga atas nama kebebasan berekspresi yang menimbulkan kemarahan dan kematian.

            Betul kan hal yang saya ingatkan kepada mereka?

            “Jangan menghina Nabi Muhammad saw karena kita tidak pernah tahu akan ada orang yang marah dan menggorok leher kalian dengan tiba-tiba”.

            Perancis perlu meniru Jerman yang menerapkan hukuman kepada para penghina Muhammad saw.

            Sampurasun.

Sunday, 25 October 2020

Imitasi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Salah satu faktor pendorong interaksi sosial adalah “imitasi”. Imitasi adalah tindakan meniru orang lain. Orang yang melakukan proses imitasi, baik sadar maupun tidak, harus memiliki ketertarikan terhadap orang yang ditirunya. Menurut A.M.J. Chorus dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013), syarat yang diperlukan dalam proses imitasi adalah sikap menerima, mengagumi, minat atau perhatian terhadap objek yang ditirunya. Misalnya, seorang anak yang sering melihat ayahnya atau ibunya menyetir mobil akan bermain-main mobil-mobilan di rumahnya mirip ayah atau ibunya yang sedang menyetir mobil.

            Orang yang ditirunya biasanya adalah orang yang sangat dicintai, disukai, dihormati, atau dibanggakan. Misalnya, orangtua, leluhur, guru, tokoh masyarakat, artis, aktor, tokoh dunia, dsb.. Misalnya, di Indonesia banyak yang menggemari Raja Dangdut Rhoma Irama. Para penggemarnya kerap meniru gayanya dalam berbicara, bernyanyi, berpakaian, bahkan mode rambut dan janggutnya yang khas.

            Proses imitasi sangat penting dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Tindakan mengimitasi seseorang yang patuh pada norma, nilai, dan aturan positif di masyarakat akan menghasilkan pribadi-pribadi yang positif. Demikian pula jika mengimitasi orang-orang yang banyak melakukan pelanggaran hukum, nilai, norma, dan berperilaku negatif akan menghasilkan pribadi-pribadi negatif yang meresahkan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Lebih jauh lagi, dapat menimbulkan tindakan kriminal dan pembangkangan terhadap hukum di masyarakatnya.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka

Irawan, Hanif; Rahmawati, Farida; Febriyanto, Alfian; Muhammad Kusumantoro, Sri, Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial; untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Monday, 5 October 2020

Pembangunan Ekonomi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB) suatu negara atau daerah melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.

            Dalam pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan harus dapat meningkatkan struktur sosial dan sikap masyarakat. Pembangunan ekonomi pun bertujuan membangun perbaikan terhadap hal-hal di luar ekonomi, misalnya, perbaikan pemerintah, pelayanan terhadap masyarakat, pelayanan kesehatan, perubahan sikap dan cara pandang, serta memperkecil jurang pemisah antara Si Kaya dan Si Miskin.

            Pemahaman terhadap pembangunan ekonomi adalah mengacu pada seluruh proses kegiatan ekonomi secara keseluruhan, bukan sebagian kecil dari suatu daerah. Misalnya, sebuah desa terpencil sedang membangun, tidak dapat dikatakan bahwa keseluruhan negara sedang membangun. Pembangunan ekonomi hanya mencakup perubahan ke tingkat yang lebih tinggi.

            Prof. Denis Goulet berpendapat bahwa terdapat tiga nilai inti dari pembangunan. Ketiga nilai itu adalah:

            Pertama, rezeki kehidupan. Kehidupan manusia bisa bertahan ketika kebutuhan-kebutuhan dasar untuk hidup terpenuhi. Misalnya, pakaian, makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, terjadilah keterbelakangan.

            Kedua, harga diri. Harga diri merupakan perasaan berharga, mandiri, dan dipentingkan oleh pihak lain. Suatu negara yang dijajah atau dikendalikan oleh negara lain, negara tersebut tidak memiliki harga diri. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi suatu negara pun salah satunya bertujuan untuk meningkatkan harga diri.

            Ketiga, kebebasan dari perbudakan. Bebas dari perbudakan berarti pula bebas dari kebodohan, kejahatan, dan pengekangan. Setiap manusia bebas berekspresi, berpandangan politik, kesamaan di hadapan hukum, kesempatan yang sama dalam bekerja, dan keluasan berpartisipasi dalam pembangunan.

            Demikian pemahaman sederhana mengenai pembangunan ekonomi.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka:

Hastyorini, Irim Rismi; Novasari, Yunita; Sari, Kartika; Jawangga, Yan Hanif (editor), Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Semester I: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2016, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Jenis Barang Berdasarkan Cara Penggunaan dan Hubungan Pemakaiannya

 


 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dilihat dari cara penggunaannya, barang dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu:

            Pertama, barang pribadi. Barang ini adalah barang yang dimiliki oleh pribadi dan digunakan oleh pribadi atau perorangan. Contohnya, kendaraan, rumah, dan simpanan uang di bank.

            Kedua, barang publik. Barang ini adalah barang yang dimiliki dan dipergunakan oleh masyarakat secara umum. Contohnya, sekolah, jalan raya, tempat ibadat, jembatan, dan taman bermain.

            Apabila dilihat dari hubungan pemakaiannya, barang dapat dibedakan menjadi dua kategori pula, yaitu:

            Pertama, barang substitusi. Barang ini adalah barang yang dapat menggantikan barang lain. Misalnya, karena harga beras mahal, orang dapat menggantinya dengan jagung, ubi, atau singkong; jika harga tiket pesawat mahal, orang bisa menggantinya dengan kereta api atau kendaraan umum lainnya.

            Kedua, barang komplementer. Barang ini adalah barang yang kegunaannya semakin bertambah jika digunakan dengan barang lainnya. Misalnya, sepatu dengan kaos kaki, kertas dengan pulpen, kemeja dengan celana panjang, kendaraan dengan bensin, serta kertas warna dengan lem.

            Demikianlah jenis barang jika dilihat dari cara penggunaan dan hubungan pemakaiannya.

            Sampurasun.

 

Sumber Pustaka:

Novasari, Yunita; Jawangga, Yan Hanif; Setiadi, Inung Oni; Hastyorini, Irim Rismi (editor); Ekonomi untuk SMA/MA Kelas X Semester I: Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2013, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta