oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Orang-orang gagal tes
wawasan kebangsaan (TWK) di KPK yang di dalamnya termasuk Novel Baswedan
sejumlah 56 orang itu mendapat perhatian dari Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo
Sigit Prabowo, M.Si.. Listyo Sigit berencana untuk menampung mereka yang gagal itu
untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Polri. Hal ini
tampaknya sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden RI Jokowi.
Rencana Listyo Sigit itu tampaknya melihat dari sisi
kemanusiaan. Secara manusiawi Listyo merasa kasihan kepada mereka yang gagal
itu. Baik Listyo maupun Jokowi cukup bijaksana melihat hal itu semua. Wajar
mereka bersikap seperti itu.
Memang kasihan sih mereka. Setelah dipecat dari KPK,
mereka bisa jadi tidak punya kerjaan, menjadi pengangguran. Akan tetapi, jangan
lupa pula bahwa mereka itu adalah orang yang gagal tes. Untuk menjadikan mereka
ASN di kepolisian, tetap harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku, jangan
sampai karena rasa kasihan, kepolisian justru
menabrak undang-undang.
Selain
itu pun, harus dipertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Banyak, ribuan, bahkan
mungkin jutaan orang yang ingin menjadi polisi atau ASN di kepolisian, tetapi
mereka tidak diterima oleh kepolisian. Masyarakat lain ketika ditolak
kepolisian, memang kecewa pastinya, tetapi tidak melakukan aksi-aksi rendahan
atau memaksa presiden agar mereka menjadi polisi atau ASN. Mereka mungkin
mempersiapkan diri untuk tes periode berikutnya atau beralih ke bidang lainnya.
Mereka baik-baik saja tidak mempermalukan dirinya dengan membuat huru-hara. Biasa
saja.
Artinya,
kalau 56 orang gagal tes menjadi ASN itu diberi keistimewaan untuk berada di
lingkungan kepolisian, rakyat harus dibuat mengerti kenapa orang-orang itu bisa
diterima, sementara rakyat yang baik-baik saja dan sama-sama gagal, ditolak.
Apa
keistimewaan 56 orang itu dibandingkan rakyat biasa, toh sama-sama gagal tes?
Jangan
sampai rakyat merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Hal yang
harus diingat pula adalah 56 orang gagal tes itu dulu menolak pegawai KPK untuk
dijadikan ASN. Akan tetapi, ketika gagal tes, mereka ngotot menjadi ASN. Dulu tidak mau, sekarang mau, malahan ngotot. “Bangbung
ranggaek, tadi embung ayeuna daek”.
Kalaulah
memang bisa, tidak menabrak undang-undang, dan tidak melukai rasa keadilan
rakyat, bolehlah orang-orang gagal itu menjadi ASN di lingkungan kepolisian.
Akan tetapi, banyak pihak yang meragukan mereka akan menjadi orang-orang baik
di kepolisian. Banyak yang menduga mereka bisa menjadi duri dalam daging di
dalam tubuh kepolisian.
Untuk
mengatasi hal itu, kalaulah memang bisa dan merekanya juga mau di kepolisian,
sebaiknya mereka disebar saja di seluruh provinsi di Indonesia. Ada yang di
Polda-polda, Polres-polres, atau Polsek-polsek. Mau di Papua, Sulawesi, NTT,
dan atau yang lainnya. Jangan disatukan di dalam satu kantor. Kalau dalam satu
kantor, wajar jika banyak pihak yang merasa khawatir mereka akan bersepakat
untuk melakukan hal-hal yang aneh lagi. Kalau disebar di seluruh Indonesia, kan
setiap Polda, Polres, atau Polsek dapat sekalian membina kebangsaan mereka yang
jelas berhubungan dengan ideologi Pancasila.
Itu
pun kalau orang-orang gagal itu mau dan tidak malu berada di kepolisian karena
dulu mereka sering menyerang dan mengerdilkan kredibilitas kepolisian.
Yah,
begitulah, mau bagaimana lagi?
Keinginan
Listyo Sigit dan persetujuan dari Jokowi sangat bagus asal tidak melanggar
undang-undang, tidak melukai rasa keadilan rakyat, dan orang-orang gagal itu
sendiri mau dibina dan bekerja di dalam tubuh kepolisian.
No comments:
Post a Comment