Saturday, 2 October 2021

Orang-Orang Gagal Tes Itu Ditampung Polri

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Orang-orang gagal tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK yang di dalamnya termasuk Novel Baswedan sejumlah 56 orang itu mendapat perhatian dari Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.. Listyo Sigit berencana untuk menampung mereka yang gagal itu untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Polri. Hal ini tampaknya sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden RI Jokowi.

            Rencana Listyo Sigit itu tampaknya melihat dari sisi kemanusiaan. Secara manusiawi Listyo merasa kasihan kepada mereka yang gagal itu. Baik Listyo maupun Jokowi cukup bijaksana melihat hal itu semua. Wajar mereka bersikap seperti itu.

            Memang kasihan sih mereka. Setelah dipecat dari KPK, mereka bisa jadi tidak punya kerjaan, menjadi pengangguran. Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa mereka itu adalah orang yang gagal tes. Untuk menjadikan mereka ASN di kepolisian, tetap harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku, jangan sampai karena rasa kasihan, kepolisian  justru menabrak undang-undang.

Selain itu pun, harus dipertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Banyak, ribuan, bahkan mungkin jutaan orang yang ingin menjadi polisi atau ASN di kepolisian, tetapi mereka tidak diterima oleh kepolisian. Masyarakat lain ketika ditolak kepolisian, memang kecewa pastinya, tetapi tidak melakukan aksi-aksi rendahan atau memaksa presiden agar mereka menjadi polisi atau ASN. Mereka mungkin mempersiapkan diri untuk tes periode berikutnya atau beralih ke bidang lainnya. Mereka baik-baik saja tidak mempermalukan dirinya dengan membuat huru-hara. Biasa saja.

Artinya, kalau 56 orang gagal tes menjadi ASN itu diberi keistimewaan untuk berada di lingkungan kepolisian, rakyat harus dibuat mengerti kenapa orang-orang itu bisa diterima, sementara rakyat yang baik-baik saja dan sama-sama gagal, ditolak.

Apa keistimewaan 56 orang itu dibandingkan rakyat biasa, toh sama-sama gagal tes?

Jangan sampai rakyat merasa tidak diperlakukan dengan adil.

Hal yang harus diingat pula adalah 56 orang gagal tes itu dulu menolak pegawai KPK untuk dijadikan ASN. Akan tetapi, ketika gagal tes, mereka ngotot menjadi ASN. Dulu tidak mau, sekarang mau, malahan ngotot. “Bangbung ranggaek, tadi embung ayeuna daek”.

Kalaulah memang bisa, tidak menabrak undang-undang, dan tidak melukai rasa keadilan rakyat, bolehlah orang-orang gagal itu menjadi ASN di lingkungan kepolisian. Akan tetapi, banyak pihak yang meragukan mereka akan menjadi orang-orang baik di kepolisian. Banyak yang menduga mereka bisa menjadi duri dalam daging di dalam tubuh kepolisian.

Untuk mengatasi hal itu, kalaulah memang bisa dan merekanya juga mau di kepolisian, sebaiknya mereka disebar saja di seluruh provinsi di Indonesia. Ada yang di Polda-polda, Polres-polres, atau Polsek-polsek. Mau di Papua, Sulawesi, NTT, dan atau yang lainnya. Jangan disatukan di dalam satu kantor. Kalau dalam satu kantor, wajar jika banyak pihak yang merasa khawatir mereka akan bersepakat untuk melakukan hal-hal yang aneh lagi. Kalau disebar di seluruh Indonesia, kan setiap Polda, Polres, atau Polsek dapat sekalian membina kebangsaan mereka yang jelas berhubungan dengan ideologi Pancasila.

Itu pun kalau orang-orang gagal itu mau dan tidak malu berada di kepolisian karena dulu mereka sering menyerang dan mengerdilkan kredibilitas kepolisian.

Yah, begitulah, mau bagaimana lagi?

Keinginan Listyo Sigit dan persetujuan dari Jokowi sangat bagus asal tidak melanggar undang-undang, tidak melukai rasa keadilan rakyat, dan orang-orang gagal itu sendiri mau dibina dan bekerja di dalam tubuh kepolisian.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment