oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sebenarnya, istilah demokrasi tanpa embel-embel bukanlah istilah resmi. Tak pernah pemerintah menyatakan istilah ini. Istilah ini diambil dari pernyataan Amien Rais, Lokomotif Reformasi, yang menginginkan sebuah sistem politik demokrasi yang bukan terpimpin dan bukan Pancasila.
Kejatuhan Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun disyukuri banyak pihak, terutama para pejuang reformasi. Mereka memang sudah bosan dengan Soeharto. Rakyat seluruhnya sulit berkembang secara mandiri. Semuanya bisa dikatakan terpusat. Seorang yang pandai akan tampak pandai jika pemerintah memberikan kesempatan padanya untuk berkembang. Akan tetapi, jika kesempatan itu tidak dibuka, jadilah dia orang pandai yang merugi, hidup tak ubahnya sebagaimana masyarakat lain yang kepandaiannya jauh di bawah dia. Seorang yang bodoh akan tampak pandai jika pemerintah memfasilitasinya. Sebaliknya, seorang bodoh hanya akan menjadi mainan jika pemerintah sama sekali tidak memperhatikannya.
Pada era ini yang juga dikenal sebagai era reformasi, rakyat dilepaskan benar-benar untuk berpikir, berpendapat, dan menjatuhkan pilihannya sesuai selera masing-masing. Parpol dibiarkan berdiri sebanyak mungkin untuk bisa menampung aspirasi rakyat seluruhnya. Namun, untuk bisa menjadi peserta Pemilu tentu diatur dengan cermat agar Parpol yang ada betul-betul serius, bukan jadi-jadian akibat ephoria reformasi.
Selintas rakyat berharap banyak dari sistem politik yang baru dibangun ini. Dengan jatuhnya Soeharto, berarti jatuh pula Orde Baru. Selanjutnya, setiap orang diperbolehkan berbicara menunjukkan aspirasinya. Harta-harta negara yang sebenarnya milik rakyat itu bisa benar-benar sampai kepada masyarakat di samping yang telah dikorupsi dapat diambil kembali untuk kepentingan bersama. Adapun para koruptor dapat dihukum seadil-adilnya. Masyarakat pun dapat memilih pemimpin sesuai dengan kehendak masing-masing. Dalam alam demokrasi, tentunya partai atau orang yang memiliki suara terbanyaklah yang boleh memimpin. Pengangkatan-pengangkatan dibatasi untuk kemudian dihilangkan sama sekali. Dengan demikian, kemakmuran lahir batin dapat tercipta.
Pada awal-awal reformasi yang menggusur Demokrasi Pancasila digembar-gemborkan lagi tentang kesuksesan Pemilu 1955. Pemilu itu benar-benar dianggap paling demokratis dan memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan banyak Parpol. Padahal, hasilnya, seperti yang disebutkan pada beberapa tulisan yang lalu di blog ini, PKI menjadi partai terkemuka di dunia dan memperkuat gagasan Nasakom yang ujung-ujungnya G-30-S. Selanjutnya, negeri ini jadi sibuk sendiri, runyam sendiri, dan kusut samut.
Dimulailah praktik demokrasi dalam rangka trial and error, ‘coba-coba’, sebagaimana yang sering diungkapkan Amien Rais dan Nurcholish Madjid selepas Demokrasi Pancasila.
Dengan mencontoh kebesaran Pemilu 1955, hampir pula terjadi keburukan yang sama, yaitu jatuh bangun kabinet. Pada masa ini terjadi jatuh bangun presiden. Habibie hanya dua bulan, diganti Gus Dur setengah main, sisa waktunya diganti Megawati. Beruntung hanya sampai di situ, tidak keterusan. Orang bisa berkilah macam-macam dengan kejadian ini, namun ini terjadi meskipun dengan alasan yang logis. Dulu juga sama, ketika jatuh bangun kabinet, alasannya logis-logis.
Habibie yang menggantikan Soeharto mampu dengan baik mengantarkan negeri ini ke gerbang Pemilu yang demokratis sangat adil. Pemilu 1999 tersebut diikuti oleh 48 partai. Hasilnya, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. PDI Perjuangan menjadi pemenang, tetapi tidak mutlak. Golkar mampu mengimbanginya.
Hasil tersebut mengecewakan banyak pihak. Partai-partai yang diisi oleh banyak intelektual, orang-orang cerdas, dan punya ghirah Islam tinggi tidak punya suara yang signifikan. Jauh di bawah kedua partai besar yang sudah lama besar sejak lama itu.
Tak urung Amien Rais pun yang getol mendorong Pemilu ini mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, rakyat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah arti demokrasi di negara yang sebesar Indonesia ini (Inu Kencana Syafiie, Azhari: 2002).
Sudah dapat dibayangkan dan memang sudah pula menjadi kenyataan bahwa negeri ini kesulitan untuk mengadili para koruptor, menghentikan laju korupsi, menjerat para penjahat kemanusiaan, memiliki pemerintah yang berwibawa, menggali potensi sumber daya untuk kemakmuran negeri. Rakyat harus bersabar, entah sampai kapan.
Hasil Pemilu 1999 mengantarkan Abdurahman Wahid menjadi Presiden. Banyak perubahan dalam masa kepemimpinannya. Ia pun berhasil melemahkan TNI/Polri dan mendudukkannya di tempat yang semestinya, tidak ikut-ikutan lagi politik. Karena dipandang kontroversial, ia diturunkan. Sisa waktunya dihabiskan Megawati yang memang menjabat sebagai wakilnya.
Pada masa ini kentara sekali kedekatan dengan kapitalis Amerika. Kalau Soekarno dulu menolak Amerika dan menghardiknya dengan kata-kata Nekolim. Megawati, puterinya, tampak akur dengan Amerika. Amerika pun tampak senang karena punya banyak kepentingan di Indonesia. Dengan tenang Freeport, Mc Moran, Exxon Mobil, Chevron, dan lain-lain memperkaya dirinya.
Di samping itu, tim ekonomi Indonesia tunduk patuh sendiko dawuh kepada IFIs (International Financial Institutions). Privatisasi menjadi kultus globalisasi yang sangat merusakkan kekuatan ekonomi negara serta lebih menguntungkan investor dan pelaku keuangan asing. Kasus listing Telkom di NYSE, Semen Gresik, dan Indosat adalah contohnya (Amien Rais: 2008).
Rakyat sudah mulai pupus harapan. Banyak di antara mereka kebingungan dan kecewa, milih ini salah, milih itu salah. Rakyat mulai skeptis dengan Pemilu. Ukurannya bisa dilihat dengan angka Golput yang semakin tinggi.
Namun, sebagaimana keyakinan yang tinggi bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini menjadi lebih maju, rakyat dibesarkan harapannya dengan akan adanya Pemilu berikutnya yang pengennya menghasilkan pemimpin-pemimpin adil dan mampu menjadikan Indonesia ke arah lebih baik.
Pemilu pun digelar. Hasilnya, tidak beda-beda amat. Perbedaan yang mencolok adalah dilangsungkannya pemilihan presiden dan wakilnya secara langsung oleh rakyat, one man one vote. Rakyat punya harapan besar. Dari seluruh calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kala yang terpilih mengalahkan saingannya. Bahkan, Amien Rais yang berpasangan dengan Siswono mendapatkan suara yang kecil.
Dengan hadirnya mantan militer & pengusaha, sebagai pemimpin puncak eksekutif, rakyat berharap Indonesia dapat lebih jelas menapaki masa depan. Buktinya, sekarang hidup tambah susah. Tidak perlu dengan angka-angka, cukup lihat itu yang makan nasi aking, makanan kadaluarsa, BBM naik, kasus bunuh diri, gas langka, kriminalitas meningkat, Narkoba merajalela, korupsi makin menjalar, penyelundupan tak henti-henti, ilegal loging jadi trendi, tak jelas mau ke mana negeri ini.
Pengaruh kekuatan asing semakin jelas pada masa ini. Kekuatan asing itu mencengkeram Indonesia sehingga tak juga mampu mengatasi krisis yang berkepanjangan ini. Bukan saja dalam bidang ekonomi, melainkan pula bidang luar negeri, diplomasi, dan Hankam di bawah kontrol asing. Pengelolaan hutan, Migas, sumber laut, telekomunikasi, kerja sama pertahanan, supermarket, perbankan nasional, tenaga listrik, tenaga nuklir, pertanian, pendidikan, dan pengelolaan lain-lainnya rata-rata menguntungkan pihak asing. Sementara itu, rakyat kita melarat hampir sekarat, bahkan ada yang sedang sekarat karena lapar.
Itulah hasil dari demokrasi. Orang bisa bilang bahwa bukan demokrasi yang salah, melainkan orang-orangnya yang salah. Orang-orangnya itu siapa? Siapa yang salah? Pemimpin dan pejabat terpilih? Rakyat? Penyelenggara?
Orang bisa bilang Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila sebenarnya tidak ada demokrasi, semuanya otoriter. Lalu, demokrasi pra-Terpimpin apa hasilnya? Jatuh bangun kabinet, perdebatan tak berujung, persaingan perebutan kekuasaan, pertunjukkan hidup mewah oleh parlemen, suhu politik terus memanas. Pemilu 1955 yang menghasilkan PKI itu tak bertahan lama, terbentur RIS yang tidak laku dan tentunya tak menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Tak pernahkah kita berpikir bahwa melepaskan masyarakat Indonesia yang sebenarnya harus dituntun, diayomi, dilindungi, dikasihi, dan dicintai sama dengan menyerahkannya ke pangkuan anak buah Dajjal dan Iblis?
Dengan dibiarkannya rakyat Indonesia mendirikan berbagai macam partai warna-warni, Dajjal dan Iblis beserta anak buahnya dengan lebih leluasa untuk meluaskan pengaruhnya. Dari seluruh partai yang terbentuk, yakinkah kita bahwa itu adalah aspirasi murni masyarakat, bukan pesanan pihak asing?
Kebebasan yang begitu membahana bisa membuat bebas pula pihak-pihak asing mendirikan partai dengan tujuan bermacam-macam. Mereka bisa menggunakan jaringan dan dananya yang kuat di dalam negeri untuk mendirikan partai dengan harapan bisa menang. Kalaupun tidak menang, minimal bisa memecahkan suara. Pihak asing yang saya sebut itu adalah bisa kapitalis, bisa pula komunis. Di samping mendirikan partai, bisa pula mereka mendirikan LSM-LSM atau membiayainya untuk kepentingan mereka sendiri.
Bukan hanya mendirikan partai yang mungkin mampu mereka lakukan, melainkan pula memberi sokongan dana dan jaringannnya untuk partai-partai yang sedang manggung di Indonesia. Jika partai yang didanainya menang, mereka akan meminta bagian atas jasa-jasanya. Demikian pula dengan pemilihan presiden atau kepala daerah. Karena calon-calon pemimpin ini sudah kebelet ingin menang, tetapi butuh dana besar untuk proses demokrasi, bisa saja menggadaikan harga dirinya sendiri dan harga diri bangsa kepada pihak asing. Jika menang, pantas saja banyak sumber daya atau aset-aset Indonesia yang dikuasai pihak luar dan dinikmati oleh pemenang itu dengan konco-konconya. Rakyat biarlah untuk sementara dipending dulu. Yang paling urgen dilaksanakan adalah pembagian hasil jerih payah selama kampanye kemarin-kemarin.
Belum lagi syetan-syetan halus yang membisiki ke dalam dada agar terus tamak, melakukan aksi tipu-tipu, dan sebagainya. Rakyat biarlah sedikit menderita, hitung-hitung mengurangi jumlah penduduk agar tak terlalu banyak beban. Bukankah harus ada yang menderita agar yang lain bisa bahagia, harus ada yang menangis agar ada yang bisa tertawa, harus ada yang miskin agar yang lain bisa kaya, harus ada yang menanggung beban agar yang lain bisa hidup ringan, harus ada yang mati agar yang lain bisa hidup, harus ada yang lapar agar ada yang bisa kenyang, harus ada yang sedih agar yang lain bisa gembira, dan harus ada yang sakit agar yang lain bisa sehat? Iya kan? Iya benar begitu kalau kita adalah bangsawan Eropa masa lalu. Masa kini juga tidak beda-beda amat. Agar mereka bisa senang, negara lain yang harus jadi sasaran penderitaan.
Bukan cuma pihak asing yang bisa melakukan itu semua, para koruptor dan orang-orang bermasalah di dalam negeri pun mampu melakukannya. Mereka berharap masalahnya dapat diselesaikan secara politis yang tentunya lebih mengenakan dan uangnya tak perlu dikembalikan kepada negara kan sudah digunakan untuk membantu kampanye partai.
Jika mau, keburukan-keburukan demokrasi bisa ditulis dalam berbab-bab dan berbuku-buku.
Kejatuhan Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun disyukuri banyak pihak, terutama para pejuang reformasi. Mereka memang sudah bosan dengan Soeharto. Rakyat seluruhnya sulit berkembang secara mandiri. Semuanya bisa dikatakan terpusat. Seorang yang pandai akan tampak pandai jika pemerintah memberikan kesempatan padanya untuk berkembang. Akan tetapi, jika kesempatan itu tidak dibuka, jadilah dia orang pandai yang merugi, hidup tak ubahnya sebagaimana masyarakat lain yang kepandaiannya jauh di bawah dia. Seorang yang bodoh akan tampak pandai jika pemerintah memfasilitasinya. Sebaliknya, seorang bodoh hanya akan menjadi mainan jika pemerintah sama sekali tidak memperhatikannya.
Pada era ini yang juga dikenal sebagai era reformasi, rakyat dilepaskan benar-benar untuk berpikir, berpendapat, dan menjatuhkan pilihannya sesuai selera masing-masing. Parpol dibiarkan berdiri sebanyak mungkin untuk bisa menampung aspirasi rakyat seluruhnya. Namun, untuk bisa menjadi peserta Pemilu tentu diatur dengan cermat agar Parpol yang ada betul-betul serius, bukan jadi-jadian akibat ephoria reformasi.
Selintas rakyat berharap banyak dari sistem politik yang baru dibangun ini. Dengan jatuhnya Soeharto, berarti jatuh pula Orde Baru. Selanjutnya, setiap orang diperbolehkan berbicara menunjukkan aspirasinya. Harta-harta negara yang sebenarnya milik rakyat itu bisa benar-benar sampai kepada masyarakat di samping yang telah dikorupsi dapat diambil kembali untuk kepentingan bersama. Adapun para koruptor dapat dihukum seadil-adilnya. Masyarakat pun dapat memilih pemimpin sesuai dengan kehendak masing-masing. Dalam alam demokrasi, tentunya partai atau orang yang memiliki suara terbanyaklah yang boleh memimpin. Pengangkatan-pengangkatan dibatasi untuk kemudian dihilangkan sama sekali. Dengan demikian, kemakmuran lahir batin dapat tercipta.
Pada awal-awal reformasi yang menggusur Demokrasi Pancasila digembar-gemborkan lagi tentang kesuksesan Pemilu 1955. Pemilu itu benar-benar dianggap paling demokratis dan memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan banyak Parpol. Padahal, hasilnya, seperti yang disebutkan pada beberapa tulisan yang lalu di blog ini, PKI menjadi partai terkemuka di dunia dan memperkuat gagasan Nasakom yang ujung-ujungnya G-30-S. Selanjutnya, negeri ini jadi sibuk sendiri, runyam sendiri, dan kusut samut.
Dimulailah praktik demokrasi dalam rangka trial and error, ‘coba-coba’, sebagaimana yang sering diungkapkan Amien Rais dan Nurcholish Madjid selepas Demokrasi Pancasila.
Dengan mencontoh kebesaran Pemilu 1955, hampir pula terjadi keburukan yang sama, yaitu jatuh bangun kabinet. Pada masa ini terjadi jatuh bangun presiden. Habibie hanya dua bulan, diganti Gus Dur setengah main, sisa waktunya diganti Megawati. Beruntung hanya sampai di situ, tidak keterusan. Orang bisa berkilah macam-macam dengan kejadian ini, namun ini terjadi meskipun dengan alasan yang logis. Dulu juga sama, ketika jatuh bangun kabinet, alasannya logis-logis.
Habibie yang menggantikan Soeharto mampu dengan baik mengantarkan negeri ini ke gerbang Pemilu yang demokratis sangat adil. Pemilu 1999 tersebut diikuti oleh 48 partai. Hasilnya, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. PDI Perjuangan menjadi pemenang, tetapi tidak mutlak. Golkar mampu mengimbanginya.
Hasil tersebut mengecewakan banyak pihak. Partai-partai yang diisi oleh banyak intelektual, orang-orang cerdas, dan punya ghirah Islam tinggi tidak punya suara yang signifikan. Jauh di bawah kedua partai besar yang sudah lama besar sejak lama itu.
Tak urung Amien Rais pun yang getol mendorong Pemilu ini mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, rakyat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah arti demokrasi di negara yang sebesar Indonesia ini (Inu Kencana Syafiie, Azhari: 2002).
Sudah dapat dibayangkan dan memang sudah pula menjadi kenyataan bahwa negeri ini kesulitan untuk mengadili para koruptor, menghentikan laju korupsi, menjerat para penjahat kemanusiaan, memiliki pemerintah yang berwibawa, menggali potensi sumber daya untuk kemakmuran negeri. Rakyat harus bersabar, entah sampai kapan.
Hasil Pemilu 1999 mengantarkan Abdurahman Wahid menjadi Presiden. Banyak perubahan dalam masa kepemimpinannya. Ia pun berhasil melemahkan TNI/Polri dan mendudukkannya di tempat yang semestinya, tidak ikut-ikutan lagi politik. Karena dipandang kontroversial, ia diturunkan. Sisa waktunya dihabiskan Megawati yang memang menjabat sebagai wakilnya.
Pada masa ini kentara sekali kedekatan dengan kapitalis Amerika. Kalau Soekarno dulu menolak Amerika dan menghardiknya dengan kata-kata Nekolim. Megawati, puterinya, tampak akur dengan Amerika. Amerika pun tampak senang karena punya banyak kepentingan di Indonesia. Dengan tenang Freeport, Mc Moran, Exxon Mobil, Chevron, dan lain-lain memperkaya dirinya.
Di samping itu, tim ekonomi Indonesia tunduk patuh sendiko dawuh kepada IFIs (International Financial Institutions). Privatisasi menjadi kultus globalisasi yang sangat merusakkan kekuatan ekonomi negara serta lebih menguntungkan investor dan pelaku keuangan asing. Kasus listing Telkom di NYSE, Semen Gresik, dan Indosat adalah contohnya (Amien Rais: 2008).
Rakyat sudah mulai pupus harapan. Banyak di antara mereka kebingungan dan kecewa, milih ini salah, milih itu salah. Rakyat mulai skeptis dengan Pemilu. Ukurannya bisa dilihat dengan angka Golput yang semakin tinggi.
Namun, sebagaimana keyakinan yang tinggi bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini menjadi lebih maju, rakyat dibesarkan harapannya dengan akan adanya Pemilu berikutnya yang pengennya menghasilkan pemimpin-pemimpin adil dan mampu menjadikan Indonesia ke arah lebih baik.
Pemilu pun digelar. Hasilnya, tidak beda-beda amat. Perbedaan yang mencolok adalah dilangsungkannya pemilihan presiden dan wakilnya secara langsung oleh rakyat, one man one vote. Rakyat punya harapan besar. Dari seluruh calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kala yang terpilih mengalahkan saingannya. Bahkan, Amien Rais yang berpasangan dengan Siswono mendapatkan suara yang kecil.
Dengan hadirnya mantan militer & pengusaha, sebagai pemimpin puncak eksekutif, rakyat berharap Indonesia dapat lebih jelas menapaki masa depan. Buktinya, sekarang hidup tambah susah. Tidak perlu dengan angka-angka, cukup lihat itu yang makan nasi aking, makanan kadaluarsa, BBM naik, kasus bunuh diri, gas langka, kriminalitas meningkat, Narkoba merajalela, korupsi makin menjalar, penyelundupan tak henti-henti, ilegal loging jadi trendi, tak jelas mau ke mana negeri ini.
Pengaruh kekuatan asing semakin jelas pada masa ini. Kekuatan asing itu mencengkeram Indonesia sehingga tak juga mampu mengatasi krisis yang berkepanjangan ini. Bukan saja dalam bidang ekonomi, melainkan pula bidang luar negeri, diplomasi, dan Hankam di bawah kontrol asing. Pengelolaan hutan, Migas, sumber laut, telekomunikasi, kerja sama pertahanan, supermarket, perbankan nasional, tenaga listrik, tenaga nuklir, pertanian, pendidikan, dan pengelolaan lain-lainnya rata-rata menguntungkan pihak asing. Sementara itu, rakyat kita melarat hampir sekarat, bahkan ada yang sedang sekarat karena lapar.
Itulah hasil dari demokrasi. Orang bisa bilang bahwa bukan demokrasi yang salah, melainkan orang-orangnya yang salah. Orang-orangnya itu siapa? Siapa yang salah? Pemimpin dan pejabat terpilih? Rakyat? Penyelenggara?
Orang bisa bilang Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila sebenarnya tidak ada demokrasi, semuanya otoriter. Lalu, demokrasi pra-Terpimpin apa hasilnya? Jatuh bangun kabinet, perdebatan tak berujung, persaingan perebutan kekuasaan, pertunjukkan hidup mewah oleh parlemen, suhu politik terus memanas. Pemilu 1955 yang menghasilkan PKI itu tak bertahan lama, terbentur RIS yang tidak laku dan tentunya tak menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Tak pernahkah kita berpikir bahwa melepaskan masyarakat Indonesia yang sebenarnya harus dituntun, diayomi, dilindungi, dikasihi, dan dicintai sama dengan menyerahkannya ke pangkuan anak buah Dajjal dan Iblis?
Dengan dibiarkannya rakyat Indonesia mendirikan berbagai macam partai warna-warni, Dajjal dan Iblis beserta anak buahnya dengan lebih leluasa untuk meluaskan pengaruhnya. Dari seluruh partai yang terbentuk, yakinkah kita bahwa itu adalah aspirasi murni masyarakat, bukan pesanan pihak asing?
Kebebasan yang begitu membahana bisa membuat bebas pula pihak-pihak asing mendirikan partai dengan tujuan bermacam-macam. Mereka bisa menggunakan jaringan dan dananya yang kuat di dalam negeri untuk mendirikan partai dengan harapan bisa menang. Kalaupun tidak menang, minimal bisa memecahkan suara. Pihak asing yang saya sebut itu adalah bisa kapitalis, bisa pula komunis. Di samping mendirikan partai, bisa pula mereka mendirikan LSM-LSM atau membiayainya untuk kepentingan mereka sendiri.
Bukan hanya mendirikan partai yang mungkin mampu mereka lakukan, melainkan pula memberi sokongan dana dan jaringannnya untuk partai-partai yang sedang manggung di Indonesia. Jika partai yang didanainya menang, mereka akan meminta bagian atas jasa-jasanya. Demikian pula dengan pemilihan presiden atau kepala daerah. Karena calon-calon pemimpin ini sudah kebelet ingin menang, tetapi butuh dana besar untuk proses demokrasi, bisa saja menggadaikan harga dirinya sendiri dan harga diri bangsa kepada pihak asing. Jika menang, pantas saja banyak sumber daya atau aset-aset Indonesia yang dikuasai pihak luar dan dinikmati oleh pemenang itu dengan konco-konconya. Rakyat biarlah untuk sementara dipending dulu. Yang paling urgen dilaksanakan adalah pembagian hasil jerih payah selama kampanye kemarin-kemarin.
Belum lagi syetan-syetan halus yang membisiki ke dalam dada agar terus tamak, melakukan aksi tipu-tipu, dan sebagainya. Rakyat biarlah sedikit menderita, hitung-hitung mengurangi jumlah penduduk agar tak terlalu banyak beban. Bukankah harus ada yang menderita agar yang lain bisa bahagia, harus ada yang menangis agar ada yang bisa tertawa, harus ada yang miskin agar yang lain bisa kaya, harus ada yang menanggung beban agar yang lain bisa hidup ringan, harus ada yang mati agar yang lain bisa hidup, harus ada yang lapar agar ada yang bisa kenyang, harus ada yang sedih agar yang lain bisa gembira, dan harus ada yang sakit agar yang lain bisa sehat? Iya kan? Iya benar begitu kalau kita adalah bangsawan Eropa masa lalu. Masa kini juga tidak beda-beda amat. Agar mereka bisa senang, negara lain yang harus jadi sasaran penderitaan.
Bukan cuma pihak asing yang bisa melakukan itu semua, para koruptor dan orang-orang bermasalah di dalam negeri pun mampu melakukannya. Mereka berharap masalahnya dapat diselesaikan secara politis yang tentunya lebih mengenakan dan uangnya tak perlu dikembalikan kepada negara kan sudah digunakan untuk membantu kampanye partai.
Jika mau, keburukan-keburukan demokrasi bisa ditulis dalam berbab-bab dan berbuku-buku.