oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kalau ada yang tidak bingung
tentang pembatasan usia di Indonesia ini, saya bilang pasti orang pintar. Kalau
saya sih, masih sangat bingung.
Apa sih yang menjadi dasar pembatasan usia seseorang
disebut anak-anak dan dewasa sehingga berimplikasi pada bidang hukum?
Ketika seseorang melakukan pembunuhan, pemerkosaan,
penggunaan dan pengedaran Narkoba, serta kriminalitas lainnya disebut anak-anak
hanya karena belum mencapai usia 18 tahun. Padahal, kejahatannya sama dengan
yang dilakukan orang yang sudah lebih 18 tahun, bahkan lebih sadis. Akibatnya,
dia diperlakukan sebagai anak-anak dan dianggap telah melakukan kenakalan,
padahal perilakunya sudah termasuk kejahatan besar.
Ketika ada pasangan yang belum berusia 18 tahun
melangsungkan pernikahan, akan ada banyak pasal atau hukum yang bisa menjerat
mereka dan orangtuanya. Bisa tentang pernikahan di bawah umur atau tentang
penjualan manusia dan anak-anak. Mereka yang belum berusia 18 tahun dianggap
belum pantas untuk melakukan pernikahan. Artinya, mereka dianggap masih
anak-anak.
Anehnya, ketika seseorang baru mencapai 16 tahun, boleh
memiliki SIM C untuk sepeda motor dan ketika 17 tahun sudah boleh memiliki SIM
A. Mereka diperbolehkan memiliki SIM karena dianggap sudah dewasa.
Lebih aneh lagi ketika usianya masih 17 sudah boleh
memilih dalam Pemilu. Katanya sudah dewasa.
Bagi saya sih membingungkan. Pembatasan usia itu sangat
sarat kepentingan politik dan ekonomi serta bukan untuk pembinaan dan
kesejahteraan rakyat. Ketika harus dihukum, disebut anak-anak karena belum 18
tahun. Ketika menikah di bawah 18 tahun, melanggar undang-undang karena masih
anak-anak. Akan tetapi, untuk SIM A dan SIM C, dianggap sudah dewasa. Begitu
pula untuk menjadi pemilih, disebut sudah dewasa. Aneh bin ajaib.
Saya menduga keras ada kepentingan ekonomi dan politik
dalam pembatasan usia itu. Para pengedar dan pengguna Narkoba sangat
diuntungkan dengan hal itu. Mereka menggunakan orang-orang yang usianya belum
18 tahun untuk mengedarkan dan menggunakan Narkoba. Para pelaku kejahatan
seksual dan kejahatan lainnya pun diuntungkan. Hal itu disebabkan kalau mereka
ditangkap, hukumannya adalah sebagaimana hukuman kepada anak-anak yang pasti
lebih ringan dibandingkan orang dewasa.
Demikian halnya dengan tidak bolehnya mereka yang masih
berusia di bawah 18 tahun untuk menikah. Ada banyak kepentingan di sana,
terutama untuk membatasi jumlah manusia dan jumlah kaum muslimin di dunia.
Mereka khawatir jika kaum muslimin dan manusia makin banyak, semakin sulit pula
para pencoleng sumber daya alam untuk bersaing dan menguasai banyak sektor
kehidupan.
Berbeda halnya dengan diperbolehkannya mereka yang
berusia 16 tahun untuk memiliki SIM C dan yang berusia 17 tahun untuk memiliki
SIM A. Dengan batas usia itu, penjualan motor dan mobil semakin meningkat. Ada
banyak perusahaan yang diuntungkan dengan hal itu. Padahal, mereka masih
anak-anak.
Hal yang sama pun terjadi pada usia pemilih pemula yang
berusia 17 tahun. Ada banyak kekuatan politik yang sangat diuntungkan, terutama
dalam hal memperbanyak para pemilih dan memperbanyak orang-orang yang bisa
ditipu untuk digiring memilih mereka. Mudah sekali menipu mereka. Beri saja mereka
dongeng-dongeng palsu, terutama mereka yang hidup di pedesaan. Mereka pun akan
mudah untuk dikondisikan. Mereka kan masih anak-anak dan belum banyak
pengetahuan di kepalanya.
Bisa terlihat kan bagaimana membingungkannya pembatasan
usia ini?
Pada satu sisi disebut masih anak-anak, tetapi pada sisi
lain disebut sudah dewasa. Kacau.
Eh … tetapi itu menurut saya lho yang kebingungan. Kalau
kalian tidak bingung, saya bilang kalian pintar sekali. He he he ….
Batasan
Imam Syafii
Saya lebih suka batasan usia
menurut Imam Syafii. Menurutnya, batasan usia dewasa antara laki-laki dan
perempuan itu berbeda. Ia menggariskan bahwa usia 15 tahun untuk laki-laki
adalah awal menjadi dewasa. Adapun bagi perempuan batas usia mulai dewasa
adalah 9 tahun.
Usia 15 tahun untuk laki-laki disebabkan secara fisik
mulai sempurna dan akalnya sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Ia sudah bukan anak-anak lagi karena sudah tahu bahwa memperkosa itu
buruk, mabuk itu salah, membunuh itu dosa, menganiaya orang lain itu adalah
kejahatan. Ia pun sudah mampu beretika ketika berhadapan dengan orang lain. Di
samping itu, dirinya sudah mulai mampu bekerja secara fisik dengan penghasilan
yang bisa sama dengan orang dewasa.
Sayangnya, lingkungan yang membentuk kita memvonis mereka
masih anak-anak sehingga kita membina mereka seperti terhadap anak-anak,
padahal mereka sudah bisa diajak bicara banyak dan mampu membantu banyak hal
dalam kehidupan ini. Para pejuang Indonesia pada masa lalu rata-rata dimulai
pada usia SMP sudah mengangkat senjata. Beberapa di antara mereka sudah menikah.
Dorongan seksualnya sudah mulai meningkat dan sulit ditahan dengan larangan.
Menghalangi dorongan birahi mereka sama saja dengan mengkhianati kemanusiaan.
Mereka harus mendapatkan penjelasan yang utuh mengenai hubungan seksual dan
kewajiban yang harus ditanggung. Pemahaman terhadap hal itu akan membuat mereka
berpikir untuk kemudian memilih masa depannya sendiri. Dengan demikian, masa
depan mereka bukan dikekang oleh aturan, melainkan dikendalikan oleh
pengetahuan.
Usia 9 tahun untuk perempuan didasarkan pada pernikahan
yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan Siti Aisyah ra. Nabi Muhammad saw
menikahi Aisyah ra ketika Aisyah ra berusia 6 tahun. Ibunya mengambil Aisyah ra
yang sedang bermain-main tanah untuk diperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw.
Setelah diperlihatkan, ibunya kembali membiarkan Aisyah ra ke luar rumah untuk bermain-main
dengan tanah.
Setelah Aisyah ra berusia 9 tahun, segera pindah ke rumah
Nabi Muhammad saw. Hal itu disebabkan pada usia itu Aisyah ra sudah memasuki masa
subur.
Hal ini pun menjadi standar pada dunia kedokteran bahwa
awal usia subur perempuan adalah 9 tahun. Apabila ada perempuan yang haid pada
usia 9 tahun, itu termasuk normal. Apabila haid terjadi sebelum usia 9 tahun,
dipastikan ada kelainan pada perempuan tersebut.
Aisyah ra terlalu kecil menikah pada usia 6 tahun dan
serumah dengan Nabi Muhammad saw pada 9 tahun?
O ya, pasti terlalu kecil bagi kita yang hidup pada abad
ini yang selalu menginginkan anak-anaknya menjadi sarjana dan bekerja sebelum
menikah. Akan tetapi, sebenarnya, mulai usia 9 tahun anak perempuan sudah
memiliki banyak perubahan. Dia mulai punya rasa cinta kepada lawan jenis,
dorongan seksualnya sudah meningkat, masa subur mulai memasukinya atau akan
segera memasukinya, mulai penasaran dengan hal-hal baru, dan jika sudah
memasuki usia subur, dia sudah bisa hamil.
Masih menganggap mereka kecil?
Tanya mereka sendiri, jangan berdasarkan pendapat kita.
Tanya para polisi yang melakukan razia Hp di SMP-SMP. Di
dalam Hp anak-anak perempuan kelas 7 s.d 9 itu sudah banyak yang menyimpan
video-video porno dan adegan mesra dirinya dengan kekasihnya.
Apa itu?
Kita tidak bisa melawan hal yang telah Allah swt gariskan
bahwa mulai usia 9 tahun, perempuan sudah memasuki masa dewasa, terutama
fisiknya. Memperlakukan mereka seperti anak-anak adalah salah besar. Mereka
sudah bukan anak-anak lagi. Ada banyak hal yang harus mereka mengerti dan
mereka pelajari. Menghalangi kedewasaan fisik dan emosi perempuan adalah sama
dengan menipu diri kita sendiri. Kita akan selalu dikecewakan oleh keadaan.
Menganggap perempuan yang sudah mulai dewasa sebagai anak-anak adalah kesalahan.
Laju hidup mereka tidak bisa ditahan oleh larangan dan hukuman, tetapi harus
dikendalikan oleh pengetahuan. Setelah mereka mendapatkan pengetahuan yang
tepat, mereka bisa memilih dan menanggung risiko dari pilihannya. Apa pun itu.
Masih menganggap anak perempuan usia 9 tahun terlalu
kecil?
Kalian memang bandel! Tidak mau mengerti!
Aisyah ra yang sudah serumah dengan Nabi Muhammad saw
pada usia 9 tahun menjadi bahan ejekan orang-orang anti-Islam. Mereka menghina Nabi
Muhammad saw sebagai pedofil. Mereka hapal sekali peristiwa itu, lalu
membumbuinya dengan banyak kebohongan agar manusia tersesat serta membenci
Islam dan kaum Muslimin. Akan tetapi, lucunya, mereka hapal pernikahan Nabi
Muhammad saw dengan Aisyah ra, tetapi sama sekali tidak mengetahui sejarah
mereka sendiri. Ketika saya beberkan sejarah mereka sendiri soal pernikahan
leluhur mereka, mereka pun terdiam.
Saya kasih tahu soal leluhur mereka sendiri sekalian
memberi tahu pembaca sekalian yang masih menganggap kecil anak perempuan yang
sudah memasuki usia subur.
Perhatikan ini.
Theodora Kommene lahir pada 1145 di Yerusalem. Pada usia
13 dia menjadi istri King Baldwin III. Silakan sebut Si Baldwin sebagai
pedofil.
Pada abad 12, tepatnya 14 September 1169, Kaisar Roma
Alexius Comneus II menikahi Agnes yang masih berusia 9 tahun. Silakan sebut Si
Alexius sebagai pedofil.
Siti Maryam ra melahirkan Yesus as pada usia 13 tahun.
Nggak boleh melahirkan pada usia 13?
Itu buktinya Nabi Isa as lahir dari perempuan berusia 13,
Siti Maryam ra.
Pada 1184 Margaret, Puteri Hongaria, menikahi Kaisar Roma
Isac II. Saat itu Margaret berusia 9 tahun. Silakan sebut Si Isac II sebagai
pedofil.
Dalam karya Shakespeare, Romeo dan Juliet. Dalam ceritera
terkenal itu Juliet berusia 13 tahun.
Mereka dilarang menikah bukan karena usia, tetapi karena
perseteruan keluarga.
Mau menyebut Romeo sebagai pedofil?
Di Amerika Serikat batas usia paling rendah bagi
perempuan untuk menikah adalah 13 tahun. Tentu saja setiap negara bagian
memiliki batas yang berbeda. New Hampshire 13 tahun, Texas 14 tahun, Missouri
dan Missisipi 15 tahun, Spanyol 12-13 tahun. Adapun di Kanada pada seratus
tahun yang lalu batasnya adalah 11 tahun.
Jadi, siapa bilang bahwa batas terendah usia perempuan yang
terbaik itu adalah 18 tahun?
Kalau sudah siap menikah dan mau menanggung risiko,
mengapa harus dihalangi?
Kalau mau selesai dulu kuliah sampai menjadi sarjana dan
bekerja, kemudian menikah, itu adalah pilihan. Syaratnya, harus mampu
mengendalikan diri agar tidak terjerumus ke dalam perzinahan, bahkan jangan
sedikit pun mendekati zina. Bahaya.
Dengan demikian, kita harus segera mengubah pandangan
kita bahwa anak perempuan usia 9 tahun itu masih anak-anak. Mereka sesungguhnya
bukan lagi anak-anak. Kita harus membina dan mengarahkannya sebagai perempuan
yang mulai dewasa. Hal itu disebabkan ketika kita melihatnya sebagai anak-anak,
padahal mereka sudah mulai melakukan hal-hal yang tidak bisa disebut anak-anak
lagi, baik itu terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Kalau soal SIM C dan A, meskipun mereka bisa
mengendalikan motor maupun mobil, ya jangan dulu karena sekarang ini jalanan sudah
sangat macet. Kalau mereka boleh mengendarai kendaraan bermotor, jalanan lebih
semrawut. Sebaiknya, semua pemohon dan pemilik SIM diubah batas usianya,
menjadi 21 tahun. Mereka yang diizinkan untuk memiliki SIM apa pun minimal 21
tahun. Dengan demikian, jalanan tidak terlalu macet dan lebih tertib.
Pengendara-pengendara yang sering membuat gangguan, kebanyakan mereka yang
masih 16 s.d. 19 tahun. Kalau sudah 21 tahun kan lebih dewasa.
Sekarang ini jadi lucu, kemacetan ingin diatasi, tetapi
usia kepemilikan SIM semakin dipermuda. Makin banyak yang punya SIM kan pasti
lebih banyak yang pakai kendaraan. Ini logika yang sangat sederhana.
Mengenai soal pembatasan usia, sebaiknya jadikan batasan
dari Imam Syafii sebagai rujukan dan pertimbangan utama. Dengan demikian, kita
tidak dikecohkan oleh kenyataan dan tidak dipermainkan oleh kehidupan. Kita
harus selaras dengan kehidupan.
Soal seksualitas, di Sunda banyak orang tua yang
mengatakan jika anaknya sudah menikah sebagai sudah selamat. Maksudnya, selamat dari perzinahan dan perkosaan.
Pernikahan itu menyelamatkan harga diri.
Kalau pasangan sudah ada dan siap, lalu para orangtuanya
bersedia menanggung risiko untuk membina hubungan, segera laksanakan pernikahan
supaya selamat di dunia dan di
akhirat.