oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia yang telah
selesai menggelar Pemiihan Presiden RI, 17 April 2019, ternyata masih belum
beranjak dari situasi keterbelahan masyarakat. Sebetulnya, polarisasi itu sudah
sangat mengecil, hanya di bawah 15% yang masih belum menerima kenyataan bahwa
pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Amin yang telah memenangkan Pilpres tersebut.
Akan tetapi, meskipun semakin mengecil, suara mereka membisingkan banyak orang
dan dikhawatirkan memicu gejolak sosial yang negatif, seperti, kebencian yang kemudian
berlanjut ke arah pertarungan fisik, terutama antarormas.
Sulitnya rekonsiliasi ini diakui oleh para elit politik
yang sudah move on dari situasi
kampanye dan berusaha bergerak ke masa depan dengan berbagai rencana membangun
bangsa dan negara. Mereka paham bahwa sudah tidak perlu lagi ada polarisasi di
tengah masyarakat maupun di kalangan sebagian kecil elit.
Tak kurang dari mantan Jubir BPN 02 Andre Rosiade
menjelaskan bahwa situasi keterbelahan masyarakat ini karena masih ada elit dan
masyarakat yang merasa kecewa akibat dari kekalahan Prabowo-Sandi oleh
Jokowi-Amin. Oleh sebab itu, Andre memohon maklum atas masih banyaknya
kekecewaan itu. Dia sendiri mengakui sempat sakit selama dua hari
pasca-pembacaan keputusan sidang Mahkamah Konstitusi yang memenangkan pasangan
Jokowi-Maruf Amin.
Dia mengatakan hal itu ketika menjadi narasumber acara talk show di stasiun televisi MetroTV, Senin, 8 Juli 2019.
Berdasarkan penjelasan dan pengakuan Andre Rosiade tersebut,
masyarakat yang mayoritas sudah move on dari
suasana Pilpres RI harus bersabar membiarkan situasi menjadi tenang mengikuti
perjalanan waktu. Hal itu sebagaimana pepatah “biarkan waktu yang menyelesaikannya”. Meskipun demikian, tidak
bisa kita hanya memaklumi mereka yang masih kecewa terus-menerus. Harus ada
langkah-langkah nyata dari para petinggi partai dan Ormas pendukung
Prabowo-Sandi yang berupaya keras untuk menenangkan situasi agar semakin cepat
menyadari kenyataan bahwa Jokowi-Amin adalah pasangan yang legitimate untuk
memimpin Indonesia hingga 2024. Bukan malah sebaliknya, semakin memanas-manasi
situasi sehingga justru membuat semakin semrawut, baik pemikiran maupun
tindakan.
Mayoritas masyarakat harus maklum, tetapi para petinggi
yang minoritas yang masih kecewa harus juga berperan keras untuk lebih membuat
adem dan teduh situasi. Ingat, kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia jauh
lebih penting daripada terus-menerus mengumbar kekecewaan dan mendiskusikannya
berulang-ulang tanpa ada langkah berarti untuk mengakhirinya.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment