oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Masyarakat dan mahasiswa
tidak perlu ingin mengulang “demonstrasi dahsyat 1998”. Cukup satu kali kita
menggulingkan pemerintahan dengan cara seperti itu. Memang saat itu kondisinya mengharuskan
“siap mati”. Pemerintahan Soeharto sangat represif, rakyat tidak boleh bicara berbeda
dengan pemerintah, orang bisa hilang tiba-tiba (oleh sebab itu lahir KontraS),
korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) menjamur di mana-mana, kekuasaan politik sentralistik,
semua orang dibungkam, tuduhan PKI mudah sekali keluar (siswa kesiangan saja
disebut PKI, orang joget depan panggung aja disebut PKI), kekuasaan militer,
polisi, lembaga pendidikan sangat dikuasai dan sangat menakutkan rakyat, jarak
Si Miskin dan Si Kaya sangat lebar. Ujungnya, krisis moneter yang berubah
menjadi krisis ekonomi, kemudian meluas krisis multidimensi. Tak bisa dihindari
bahwa darah harus tertumpah dan nyawa harus hilang. Cukup satu kali dan tidak
boleh ada lagi. Kalau mau menggulingkan pemerintahan sekarang, gunakan
cara-cara yang konstitusional. Itu sah.
Kalau mau demonstrasi, ya demonstrasi saja. Itu hak dan
dilindungi undang-undang, tetapi jangan anarkis, memprovokasi aparat untuk tawuran. Sampaikan melalui orasi atau
aksi teatrikal. Itu bagus. Saya juga dulu begitu kok. Demonstrasi damai dan
berhasil. Paling tidak, kalau tidak salah, saya ikut tiga kali demonstrasi
dengan isu besar, yaitu soal penghapusan perjudian, penghentian pembantaian
muslim Bosnia oleh militer Serbia-Kroasia, dan penyelesaian pembantaian
terhadap muslim Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar. Dua berhasil, soal
perjudian dan pembantaian muslim Bosnia. Satu lagi soal Rohingya belum berhasil
hingga hari ini. Demonstrasinya damai, tidak ada saling pukul dengan polisi.
Tidak ada saling maki atau saling hina. Malah polisi menjaga agar demonstrasi
bisa berjalan, lalu lintas tetap tidak terganggu.
Mungkin masih banyak yang ingat bahwa dulu di Indonesia
marak sekali dengan perjudian. Setiap hari dan setiap minggu orang-orang pasang
nomor judi, hiburan katanya. Nama perjudiannya “Porkas” yang berasal dari
bahasa Inggris “Forecast”, artinya
‘dugaan’ atau ‘ramalan’. Akan tetapi, banyak penentangan dari para ulama, kiyai
ustadz, dai, atau mubaligh. Akhirnya, pemerintah mengganti namanya menjadi
Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Dalih adanya perjudian itu untuk
membiayai kegiatan olah raga di Indonesia, seperti, sepakbola, bulutangkis,
atletik, dan catur. Malah, sebagian pejabat ada
yang mengatakan bahwa itu bukan judi, melainkan sumbangan. Kami,
mahasiswa, berpendapat kalau judulnya sumbangan, ya jangan pakai embel-embel
“berhadiah”. Orang pikirannya bukan mau menyumbang, tetapi ingin mendapatkan
hadiah. Itulah judi. Haram.
Demonstrasinya damai. Orasi di depan aula kampus
Universitas Padjadjaran Bandung, lalu ke luar sambil teriak-teriak di Jln.
Dipatiukur, Teuku Umar, H. Djuanda, Sangkuriang, Taman Sari, Ganesa, balik lagi
ke kampus. Selesai. Yang punya jadwal kuliah, ya pada kuliah lagi. Empat hari
sejak demonstrasi itu, pemerintah menjawab akan menghentikannya. Memang
berhenti bertahap hingga hari ini tidak ada lagi perjudian yang dilakukan
pemerintah dengan dalih apa pun. Kalau masih ada, perjudian itu pasti ilegal
dan melanggar hukum.
Soal pembantaian muslim Bosnia Herzegovina pun demikian.
Demonstrasi dilakukan dengan damai. Mahasiswa orasi, shalawat badar, mengaji,
dan siap berjihad ke Bosnia. Saya juga berusaha daftar kok untuk jihad bertaruh nyawa ke
Bosnia karena memang genosida, “ethnic
cleansing”, pembantaian ras, dan pembantaian muslim terjadi dengan sangat
mengerikan.
Akan tetapi, pemerintah Soeharto melarang mahasiswa untuk
berjihad ke Bosnia dengan alasan yang lucu, pikaseurieun, “Jangan pergi
berjihad karena mereka itu orang-orang bule. Orang Bosnia dan orang Serbia
sama-sama bule, nanti tertukar. Kita sulit membedakan mereka. Nanti kita malah
membunuh sesama muslim.”
Memangnya mahasiswa itu bodoh?
Masa berangkat dari Indonesia ke Bosnia, pas turun dari
pesawat, lalu lihat orang bule langsung kita bunuh?
Kan pastinya juga ada jaringan kerja dari Indonesia dan
yang berada di Bosnia, pasti ada koordinator yang mengurus hal itu. Mereka
pasti mengatur dan melakukan pembinaan, mana kawan mana lawan.
Larangan itu membuat mahasiswa mayoritas tidak berangkat
meskipun sudah ada yang berangkat juga sih. Meskipun tidak ikut berperang, saya
masih ikut berpartisipasi. Saya berusaha daftar untuk mengadopsi anak-anak
Bosnia korban perang. Banyak anak yang menjadi yatim piatu karena ayah dan
ibunya mati dibantai. Saya berharap dapat mengadopsi anak Bosnia yang
perempuan, rambutnya pirang, usianya tujuh belas tahun, cantik, tinggi, dan
tubuhnya menarik hati.
Teman saya bilang, “Kamu
mah bukan mau mengadopsi, tapi cari cewek!”
“Memang iya, mau saya nikah. Itu juga menolong, sama-sama
ibadah!” jawab saya, jujur aja.
“Menolong kok harus sama yang cantik.”
“Biarin.”
Akan tetapi, tidak ada yang bisa saya adopsi. Mungkin
yang cantik-cantik mah sudah sama orang lain yang ganteng dan kaya raya. Da aku
mah apah atuh. Yang jelas mah bukan takdir.
Meskipun pemerintah melarang, tetapi membuka pintu
hubungan Bosnia-RI lebih dekat. Bahkan, Presiden Bosnia pun datang ke
Indonesia, berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang telah memberikan banyak
dukungan, terutama makanan, pakaian, dan uang. Pemerintah Indonesia pun aktif
membantu Bosnia di ruang-ruang internasional. Bahkan, Presiden Soeharto datang
langsung ke Bosnia. Akan tetapi, ketika ia ingin ke wilayah-wilayah tempat
terjadinya pembantaian, pasukan PBB tidak bisa menjamin keamanannya karena
memang perang masih berlangsung. Meskipun demikian, Presiden Soeharto
menguatkan rakyat Bosnia dengan membangun masjid di sana, namanya Masjid
Istqlal sama dengan nama masjid nasional yang ada di Indonesia. Sampai sekarang
masjidnya masih ada dan menjadi pusat aktivitas keislaman di Bosnia.
Intinya, demonstrasi berjalan damai. Tak ada perkelahian
dengan aparat, tak ada yang mati. Semua tenang dan berhasil. Bosnia kembali
aman, kehidupan berjalan dengan baik. Sementara itu, para jenderal Serbia yang
melakukan pembantaian didakwa sebagai “penjahat perang” dan dihukum dengan
hukuman teramat berat. Kabarnya, ada yang dihukum mati. Nggak tahu juga sih,
pokoknya dihukum berat.
Demonstrasi damai ternyata berhasil. Hal itu disebabkan
karena masalahnya jelas, mahasiswa mengerti jelas apa yang diperjuangkan,
fakta-faktanya tidak bisa didebat, murni moral
force, tak ada yang dibayar serupiah pun.
Memang siapa yang diuntungkan secara ekonomi dengan
membela Bosnia dan menghentikan perjudian?
Itu murni “jihad fi
sabilillah”. Bahkan, kita yang mengeluarkan uang untuk ongkos dan
memberikan sumbangan.
Soal tidak kebagian mengadopsi cewek bule cantik, itu mah
urusan takdir.
Ketika demonstrasi aksi membela Rohingya pun demikian,
berjalan damai. Sayangnya, hingga hari ini soal Rohingya belum bisa selesai.
Pembahasan soal ini mah beda lagi. Banyak peneliti yang melakukan penelitian
soal sulit selesainya kasus pembantaian di Rohingya. Entar lagi soal ini mah.
Demonstrasi itu bisa menggunakan orasi, aksi teatrikal,
atau aksi lainnya yang beradab. Jangan memprovokasi aparat dan golongan
masyarakat lain untuk tawuran karena jika terjadi beradu fisik, kerugian ditanggung
semua.
Sampurasun.