oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setelah Jenderal Andika
Perkasa diusulkan Presiden RI Jokowi untuk menjadi Panglima Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
menyetujuinya, semakin jelaslah posisi yang akan diduduki Andika Perkasa.
Dengan posisi barunya itu, Andika Perkasa jelas meninggalkan jabatan lamanya,
yaitu Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad).
Karena meninggalkan posisi Kasad, jelas pula harus ada
prajurit lain untuk mengisinya. Prajurit yang santer diberitakan akan mengganti
Andika, sebagai Kasad, adalah Jenderal Dudung Abdurachman yang masih menjadi Pangdam
Jaya. Berita ini membuat naik pitam HRS. Wajar HRS marah karena Dudung adalah
orang yang memerintahkan pembongkaran baligo bergambar dirinya yang dipasang
oleh Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan itu. Oleh sebab itu, HRS
marah dan dari dalam penjara mengeluarkan seruan kepada para pendukungnya untuk
memboikot Dudung. Di samping itu, HRS pun sekalian menyerukan memboikot Kapolda
Metro Jaya Muhammad Fadil Imran. Fadil memang sangat berperan dalam pembubaran
FPI demi penegakan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Awalnya saya bingung, bagaimana bisa HRS memboikot Dudung
dan Fadil?
Siapa sih dia?
Sehebat apa sih dia?
Setelah saya cari-cari informasi, ternyata ada dua cara
memboikot Dudung dan Fadil. Saya memahaminya dan menganggapnya bagus.
Cara boikot pertama,
para pengikutnya dilarang mengundang Dudung dan Fadil jika mengadakan
acara-acara. Itu normal, bagus juga sih karena kalau diundang pun mereka belum
tentu mau datang karena kesibukan. Saya sendiri sering mengadakan acara dengan
mengundang gubernur atau walikota, terkadang mereka tidak bisa hadir karena
kesibukan atau karena dipanggil atasannya, dipanggil presiden, misalnya. Kalau
tidak bisa hadir, mereka biasanya mengutus wakilnya untuk menghadiri undangan
kita. Itu masih beruntung jika wakilnya yang hadir, tetapi wakil pun kadang
tidak bisa hadir, lalu mengutus bawahannya yang setingkat kepala biro. Kita harus
puas dengan hal itu. Demikian pula dengan Dudung dan Fadil yang pejabat tinggi
di kesatuannya, mereka orang sibuk. Kalau diundang, bisa hadir ataupun tidak. Jadi,
cara boikot seperti itu biasa-biasa saja, nggak ada masalah apa pun.
Cara boikot kedua, kalau
ada acara yang diadakan pihak lain,tetapi dihadiri pula oleh pengikut HRS, kemudian
hadir Dudung atau Fadil dalam acara itu, pengikut HRS harus bubar. Itu juga
tidak mengapa, biasa saja. Wajar marah kalau organisasinya dibubarkan, asal
jangan disalurkan kemarahannya dengan cara melanggar hukum karena akan menjadi
masalah baru.
Ada
bagusnya juga sih. Kalau dalam suatu acara ada hal-hal yang dianggap Dudung
atau Fadil cenderung mengarah pada ketidaktertiban atau pelanggaran pada
aturan, tinggal datang saja Dudung atau Fadil atau keduanya bersamaan, otomatis
acara itu akan bubar dengan sendirinya. Jadi, tidak perlu banyak menurunkan
pasukan dan mengeluarkan dana banyak untuk membubarkan mereka. Cukup hadir
Dudung atau Fadil, bubar semua.
Ini
sesuatu yang wajar, negeri ini perlu terus menyesuaikan diri untuk mendapatkan adjustment yang diperlukan untuk
memperkuat integrasi bangsa. Kalau tidak mampu menyesuaikan diri di dalam tubuh
negara sendiri, yang terjadi adalah maladjustment
dan mengarah pada disorganisasi, disintegrasi, perpecahan, dan kehancuran.
Kita bisa menyaksikan bagaimana negara-negara yang telah mengalami perpecahan
dan kerusakan, penuh dengan penderitaan.
Growing pain,
kata orang barat, “tumbuh dewasa itu menyakitkan”, kita memang harus mengalami
rasa sakit untuk menjadi manusia-manusia yang lebih baik lagi. Dalam proses
penyesuaian ini, semua orang harus paham dan mengerti bahwa semuanya harus
memproses diri ke arah perbaikan. Kalau gagal, menyesuaikan diri, yang terjadi
adalah saling mengalahkan serta ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.
Jika mampu menyesuaikan diri, kita akan mendapatkan suasana yang win win solution, semuanya menang dan
mendapatkan manfaat yang sama.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment