oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu, Fahri
Hamzah yang sudah menjadikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai mantannya
mengaku bahwa dirinya pernah ditanya oleh Presiden RI Jokowi. Dia ditanya
kenapa saat ini wakil rakyat yang menjadi oposisi sangat lemah kritikannya,
bahkan mungkin tidak terdengar lagi. Kalau dibilang oposisi, ya hanya PKS dan
Demokrat karena yang lain sudah bergabung dengan kekuatan politik Jokowi.
Jokowi sangat mengharapkan kritik keras seperti yang dilakukan Fahri dulu
kepada dirinya hingga Jokowi menganugerahkan penghargaan kepada Fahri karena
kritikannya sangat bermanfaat. Jokowi merindukan kritik karena banyak menteri
yang harus diawasi, banyak pejabat negara yang harus dikontrol. Kini Jokowi
merasa kehilangan itu.
Saya pribadi, sebagai rakyat, memang juga menginginkan
kritikan keras kepada pemerintah sehingga rakyat disuguhi perdebatan yang
mencerdaskan dan mengasyikan yang dipertontonkan oleh orang-orang berkuasa yang
cerdas itu. Hal itu, sungguh hampir tidak ada kalaupun ada kritik, isinya
remeh, kurang data, tidak mencerdaskan, seperti, pemindahan ibukota, banyak
hutang, omnibus law, asing, aseng, pembangunan infrastruktur yang mudah sekali
dipatahkan dan tidak mempengaruhi kebijakan apa pun selain berisik dan
menghambur-hamburkan banyak uang sia-sia. Demonstrasi yang nggak jelas itu
menghamburkan uang sia-sia karena harus menerjunkan aparat untuk mengamankan
situasi.
Kritikan keras yang saya sukai justru datang dari para
akademisi dan dari para buzzer, misalnya, kritikan soal pembebasan lahan untuk
pembangunan kereta secepat peluru itu dan tes PCR jika kita hendak bepergian
menggunakan pesawat terbang. Kritikan keras semacam itu justru seharusnya
datang dari PKS dan Demokrat karena mereka oposisi, tetapi mereka diam saja,
padahal mereka digaji adalah untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah.
Kritikan apa yang mereka buat untuk mendorong kebijakan
pemerintah agar lebih baik lagi?
Tidak ada. Bisa juga ada, tetapi saya tidak tahu dan
banyak orang juga tidak tahu saking lemahnya kritikan.
Saya sendiri, orang seukuran saya, dua kali mengkritik
pemerintah dan itu mendorong presiden untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
kritikan. Pertama, ketika ada
penghinaan kepada Nabi Muhammad saw di Perancis, Presiden Emanuel Macron malah
mendukung penghinaan sebagai bentuk kebebasan. Saya protes keras dalam tulisan
di internet bahwa meskipun Jokowi bersahabat dengan Macron dan Indonesia
bersahabat dengan Perancis, Jokowi harus keras bersuara soal penghinaan itu dan
menawarkan kepada dunia bahwa penghinaan bukanlah bagian dari kebebasan
berpendapat. Besoknya, saya geer saja,
setelah saya protes, Jokowi bersuara keras secara resmi di Istana yang
diserukan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia mengecam aksi penghinaan yang
telah terjadi di Perancis. Tuh, kritikan manusia kayak saya saja bisa mendorong
presiden untuk melakukan sesuatu yang nyata.
Kedua, soal tes PCR sebelum menggunakan pesawat
terbang, saya protes karena di samping membingungkan, ada indikasi pemerasan, juga
berbiaya tinggi.
Untuk apa lagi tes PCR bagi mereka yang sudah dua kali
divaksin dan punya kartu atau sertifikat telah divaksin?
Apakah pemerintah tidak percaya pada vaksin yang telah
menjadi programnya sendiri itu?
Lantas, vaksin buat apa kalau begitu?
Di samping itu, tes PCR harganya mahal, Rp500.000,-.
Meskipun telah diturunkan menjadi Rp300.000,-, tetap saja mahal. Coba bayangkan jika saya mau main ke Bali
sekeluarga, saya harus mengeluarkan uang Rp1.500.000,- untuk tes PCR saja
karena saya sekeluarga adalah lima orang. Itu kan sudah sama dengan harga satu
tiket pesawat terbang sekelas Garuda.
Para buzzer yang biasanya membela habis Jokowi, tetapi untuk
soal tes PCR protes keras pada presiden. Meskipun mereka adalah pembela Jokowi,
tetap ingat bahwa rakyat harus dibela jika pemerintah salah.
Setelah banyak protes, kewajiban untuk tes PCR pun
dihentikan. Artinya, kritikan keras rakyat ternyata telah mampu mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Presiden dan pemerintah sadar bahwa ada hal yang harus
diperbaiki dalam program-programnya dan kerja-kerjanya. Nah, kritikan keras
seperti ini seharusnya datang dari oposisi: PKS dan Demokrat, bukan dari
manusia seperti saya atau dari para buzzer itu. Wakil rakyat kan sudah
seharusnya protes keras jika pemerintah salah bukan mikirin kedudukannya
sendiri saja.
Saya jadi curiga jangan-jangan mereka tidak protes karena
mereka pun terlibat dalam bisnis PCR dan mendapatkan untung dari bisnis itu
meskipun membingungkan dan menyusahkan rakyat.
Coba deh para wakil rakyat itu protes dengan menggunakan
data yang benar, fakta yang nyata, dan analisis yang akurat sehingga bisa
mendorong pemerintah untuk bekerja lebih baik lagi. Hentikan menggunakan
kata-kata aneh untuk mencitrakan diri seperti orang shaleh, seperti, kata-kata
dzalim, dajjal, iblis, sorga, neraka, dan lain sebagainya untuk menyerang
pemerintah. Itu tidak ada gunanya, cuma keberisikan hampa, kosong, tidak
bernilai.
No comments:
Post a Comment