Tuesday 9 November 2021

Wakil Rakyat Lemah Kritik


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu, Fahri Hamzah yang sudah menjadikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai mantannya mengaku bahwa dirinya pernah ditanya oleh Presiden RI Jokowi. Dia ditanya kenapa saat ini wakil rakyat yang menjadi oposisi sangat lemah kritikannya, bahkan mungkin tidak terdengar lagi. Kalau dibilang oposisi, ya hanya PKS dan Demokrat karena yang lain sudah bergabung dengan kekuatan politik Jokowi. Jokowi sangat mengharapkan kritik keras seperti yang dilakukan Fahri dulu kepada dirinya hingga Jokowi menganugerahkan penghargaan kepada Fahri karena kritikannya sangat bermanfaat. Jokowi merindukan kritik karena banyak menteri yang harus diawasi, banyak pejabat negara yang harus dikontrol. Kini Jokowi merasa kehilangan itu.

            Saya pribadi, sebagai rakyat, memang juga menginginkan kritikan keras kepada pemerintah sehingga rakyat disuguhi perdebatan yang mencerdaskan dan mengasyikan yang dipertontonkan oleh orang-orang berkuasa yang cerdas itu. Hal itu, sungguh hampir tidak ada kalaupun ada kritik, isinya remeh, kurang data, tidak mencerdaskan, seperti, pemindahan ibukota, banyak hutang, omnibus law, asing, aseng, pembangunan infrastruktur yang mudah sekali dipatahkan dan tidak mempengaruhi kebijakan apa pun selain berisik dan menghambur-hamburkan banyak uang sia-sia. Demonstrasi yang nggak jelas itu menghamburkan uang sia-sia karena harus menerjunkan aparat untuk mengamankan situasi.

            Kritikan keras yang saya sukai justru datang dari para akademisi dan dari para buzzer, misalnya, kritikan soal pembebasan lahan untuk pembangunan kereta secepat peluru itu dan tes PCR jika kita hendak bepergian menggunakan pesawat terbang. Kritikan keras semacam itu justru seharusnya datang dari PKS dan Demokrat karena mereka oposisi, tetapi mereka diam saja, padahal mereka digaji adalah untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah.

            Kritikan apa yang mereka buat untuk mendorong kebijakan pemerintah agar lebih baik lagi?

            Tidak ada. Bisa juga ada, tetapi saya tidak tahu dan banyak orang juga tidak tahu saking lemahnya kritikan.

            Saya sendiri, orang seukuran saya, dua kali mengkritik pemerintah dan itu mendorong presiden untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kritikan. Pertama, ketika ada penghinaan kepada Nabi Muhammad saw di Perancis, Presiden Emanuel Macron malah mendukung penghinaan sebagai bentuk kebebasan. Saya protes keras dalam tulisan di internet bahwa meskipun Jokowi bersahabat dengan Macron dan Indonesia bersahabat dengan Perancis, Jokowi harus keras bersuara soal penghinaan itu dan menawarkan kepada dunia bahwa penghinaan bukanlah bagian dari kebebasan berpendapat. Besoknya, saya geer saja, setelah saya protes, Jokowi bersuara keras secara resmi di Istana yang diserukan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia mengecam aksi penghinaan yang telah terjadi di Perancis. Tuh, kritikan manusia kayak saya saja bisa mendorong presiden untuk melakukan sesuatu yang nyata.

            Kedua,  soal tes PCR sebelum menggunakan pesawat terbang, saya protes karena di samping membingungkan, ada indikasi pemerasan, juga berbiaya tinggi.

            Untuk apa lagi tes PCR bagi mereka yang sudah dua kali divaksin dan punya kartu atau sertifikat telah divaksin?

            Apakah pemerintah tidak percaya pada vaksin yang telah menjadi programnya sendiri itu?

            Lantas, vaksin buat apa kalau begitu?

            Di samping itu, tes PCR harganya mahal, Rp500.000,-. Meskipun telah diturunkan menjadi Rp300.000,-, tetap saja mahal.  Coba bayangkan jika saya mau main ke Bali sekeluarga, saya harus mengeluarkan uang Rp1.500.000,- untuk tes PCR saja karena saya sekeluarga adalah lima orang. Itu kan sudah sama dengan harga satu tiket pesawat terbang sekelas Garuda.

            Para buzzer yang biasanya membela habis Jokowi, tetapi untuk soal tes PCR protes keras pada presiden. Meskipun mereka adalah pembela Jokowi, tetap ingat bahwa rakyat harus dibela jika pemerintah salah.

            Setelah banyak protes, kewajiban untuk tes PCR pun dihentikan. Artinya, kritikan keras rakyat ternyata telah mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Presiden dan pemerintah sadar bahwa ada hal yang harus diperbaiki dalam program-programnya dan kerja-kerjanya. Nah, kritikan keras seperti ini seharusnya datang dari oposisi: PKS dan Demokrat, bukan dari manusia seperti saya atau dari para buzzer itu. Wakil rakyat kan sudah seharusnya protes keras jika pemerintah salah bukan mikirin kedudukannya sendiri saja.

            Saya jadi curiga jangan-jangan mereka tidak protes karena mereka pun terlibat dalam bisnis PCR dan mendapatkan untung dari bisnis itu meskipun membingungkan dan menyusahkan rakyat.

            Coba deh para wakil rakyat itu protes dengan menggunakan data yang benar, fakta yang nyata, dan analisis yang akurat sehingga bisa mendorong pemerintah untuk bekerja lebih baik lagi. Hentikan menggunakan kata-kata aneh untuk mencitrakan diri seperti orang shaleh, seperti, kata-kata dzalim, dajjal, iblis, sorga, neraka, dan lain sebagainya untuk menyerang pemerintah. Itu tidak ada gunanya, cuma keberisikan hampa, kosong, tidak bernilai.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment