oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya, ketiga versi
harga Pertalite ini sudah mengemuka sebelum diumumkan kenaikan yang sebenarnya
adalah pengurangan subsidi BBM. Tadinya, tidak akan saya tulis karena sudah
banyak yang membahasnya, tetapi ternyata sangat banyak orang yang juga belum
paham, bahkan membuat orang lain jadi semakin tidak paham. Tulisan kecil ini
hanya mencoba untuk sedikit berbagi tentang hal yang saya pahami.
Pengurangan subsidi ini terjadi disebabkan berbagai hal.
Misalnya, harga minyak mentah dunia naik serta perang Rusia dan Ukraina.
Harga keekonomian Pertalite versi Presiden RI Jokowi
adalah Rp17.100,- per liter. Harga keekonomian itu adalah harga yang muncul
setelah dihitung dengan biaya produksi, gaji karyawan, biaya angkut, biaya
pikul, pajak, transportasi, dsb.. Jadi, ketika kita membeli Pertalite seharga
Rp7.650,- per liter, pemerintah membantu kita sebesar Rp9.450,- agar bisa
mencapai harga Rp17.100.-. Kalau kita membeli lebih dari satu liter, kalikan
saja jumlah liter dengan angka Rp9.450,-. Sejumlah itulah uang yang dikeluarkan
pemerintah untuk membantu kita.
Harga keekonomian versi Menteri Keuangan Sri Mulyani
adalah Rp14.400,- per liter. Jadi, ketika membeli satu liter Pertalite,
pemerintah membantu kita Rp6.750,-.
Harga keekonomian menurut Menteri Koordinator
Perekonomian Airlangga Hartarto adalah Rp13.500,-. Jadi, ketika kita membeli
satu liter pertalite, pemerintah membantu kita Rp5.850,-.
Tidak masalah soal perbedaan harga itu. Hal yang harus
kita pahami adalah dari dulu kita selalu membeli Pertalite di bawah harga yang
sebenarnya. Ketika uang negara masih ada, pemerintah selalu membantu kita untuk
membeli Pertalite. Kini dalam kondisi dunia yang semrawut, keuangan Negara
Indonesia menipis dan uangnya nggak ada lagi untuk membantu rakyatnya dengan
bantuan uang sebesar Rp502,4 triliun. Tak ada satu negara pun yang mampu
membantu rakyatnya sebanyak itu, kecuali Indonesia. Akan tetapi, Indonesia pun
ternyata terengah-engah. Oleh sebab itu, bantuannya dikurangi sehingga
masyarakat merasakannya sebagai kenaikan. Padahal, harga Pertalite Rp10.000,-
seperti sekarang ini pun masih di bawah harga sebenarnya seperti yang
disampaikan Jokowi, Sri Mulyani, dan Airlangga Hartarto tadi.
Hal yang membuat Indonesia semakin sulit soal pengaturan
BBM ini adalah ternyata orang-orang kaya pun membeli Pertalite yang seharusnya
untuk masyarakat kecil dan kendaraan roda dua. Kalau motor kan paling tinggi
juga umumnya 4 liter. Kalau kita beli Pertalite 4 liter sebelum naik, adalah Rp30.600,-,
jadi pemerintah hanya membantu kita sebesar Rp37.800,-. Berbeda dengan kendaraan roda
empat atau lebih. Mereka bisa membeli 50 liter dengan harga Rp382.500,-
sehingga uang negara yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk pemilik mobil
adalah Rp472.500,-.
Terlihat jelas kan perbedaannya yang sangat jauh?
Pemilik mobil jauh lebih besar menikmati bantuan
pemerintah dibandingkan pemilik motor. Rp472.500,- berbanding dengan
Rp37.800,-. Yang kaya makin nikmat, yang miskin tetap repot, bantuan uang dari negara
tidak tepat sasaran. Maksudnya membantu yang miskin, tetapi yang menikmati
adalah orang kaya.
Saya juga tidak mengerti kenapa negara begitu kesulitan
untuk mengatur jual-beli Pertalite ini. Pernah ada aturan mobil pemerintah,
mobil mewah, mobil dengan CC besar, dan mobil keluaran terbaru tidak boleh beli
Pertalite. Ada juga wacana aturan bahwa yang beli Pertalite harus pakai
aplikasi. Itu semua tidak efektif karena ternyata mobil-mobil mewah pun tetap
beli Pertalite. Seharusnya, mereka beli BBM yang tidak disubsidi agar bantuan
pemerintah tepat sasaran, pemerintah tidak harus kekurangan uang, pembangunan
pada bidang lain dananya cukup, rakyat pun dapat bergerak lebih lancar dan
leluasa.
Kalau saya sih ambil sederhananya, pemerintah harus
bertangan besi untuk hal ini. Pemerintah harus tegas dan bikin aturan bahwa
Pertalite itu hanya untuk roda dua dan Angkutan Umum. Adapun mobil pribadi,
mobil dinas, keluaran tahun berapa pun diharamkan untuk membeli Pertalite dan
wajib membeli BBM nonsubsidi. Kalau ada SPBU yang melanggar, izin usahanya
harus dicabut dan pembelinya juga harus diberi sanksi dengan denda yang sangat
besar.
Berani?
Bagaimana kalau begitu?
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment