Saturday 3 September 2022

Teriakan Presiden Jokowi K*nt*l!

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Demonstrasi boleh, protes boleh, tetapi harus tetap cerdas dan mencerahkan. Apalagi mahasiswa yang harus menunjukkan intelektualitasnya di hadapan masyarakat banyak karena diharapkan mereka akan menggantikan posisi para orang tua yang sekarang menduduki jabatan penting di Indonesia.

            Kalau cuma bisa berkata kasar, kotor, dan menjijikkan, apa gunanya dia ngaji, sekolah, dan kuliah?

            Berteriak k*nt*l saja sudah menjijikan, viral lagi, ditulis dan tayang pada berbagai media sosial dan mainstream. Apalagi disematkan kepada Presiden Jokowi yang dipilih mayoritas rakyat Indonesia dan diharapkan lagi menjabat hingga tiga periode. Ini beneran bukan perilaku mahasiswa.

            Namanya Yunus Pasau. Dia mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Ketua Hima Prodi Ilmu Komunikasi. Berasal dari Pohuwato, Sulawesi Utara. Foto Yunus Pasau saya dapatkan dari Kendalku-Pikiran Rakyat.


Yunus Pasau (Foto: Kendalku-Pikiran Rakyat)


            Dia berdemo dengan teriakan “teu nyakola” di Simpang Lima Gorontalo memprotes kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dia seperti cerdas, tetapi tolol dan bodohnya bukan main.

            Saya penasaran, apakah dia mahasiswa penerima beasiswa atau bukan. Kalau dia penerima beasiswa, lebih kurang ajar benar dia. Kuliahnya dibantu uang rakyat yang disalurkan negara untuk dia, tetapi perilakunya tidak mencerminkan harapan rakyat. Rakyat berharap bahwa uangnya yang disalurkan untuk beasiswa mahasiswa adalah agar mahasiswa itu menjadi orang yang baik, bermanfaat, dan mampu memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain. Kalau dia mengkhianati keinginan rakyat, dia bisa termasuk koruptor.

            Kalau dia mahasiswa saya, sudah saya coret namanya dan saya usulkan ke pihak rektorat agar rektor menghentikan biaya kuliahnya yang berasal dari negara, bahkan saya usul agar dipecat saja dari statusnya sebagai mahasiswa. Pada program studi yang saya pimpin memang ada lima hal yang wajib dilaksanakan oleh mahasiswa Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Al Ghifari, khususnya penerima beasiswa. Salah satu kewajiban dari yang lima itu adalah “menjaga etika yang baik” mulai etika kepada orangtua, teman, dosen, lembaga pendidikan, dan terhadap sesama manusia.  Jika beretika buruk, saya ajukan untuk dicabut beasiswanya sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk melanjutkan kuliahnya.

            Hal yang diteriakkan Yunus Pasau bukanlah pendapat, bukan pula kritikan, melainkan kata-kata kotor dan menjijikan yang tidak memiliki tempat untuk diperdebatkan. Kalau kritikan meskipun keras, kita bisa paham dan bisa terima. Misalnya, saya dikritik “bodoh tidak bisa bekerja”, “tolol mengurus mahasiswa”, “kuliah aja tinggi-tinggi, tetapi kerja nggak becus”, “shalat terus-terusan, tetapi korupsi”, saya sih biasa-biasa saja asal ada buktinya, saya terima dan menjadi vitamin bagi diri saya. Kalau enggak ada buktinya, itu fitnah, siap-siap saja saya masukan ke penjara.

            Kini sudah banyak yang usul agar perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak menerima Yunus Pasau untuk bekerja di perusahaannya. Dia pun tidak perlu melamar menjadi ASN karena pemimpin negara saja sudah dihinanya dengan kata-kata menjijikan. Sekali lagi, kalau kritikan cerdas, bagus. Kalau menjijikan, jijik menyaksikannya.

            Sudah seharusnya Yunus Pasau mendapatkan sanksi dari orangtuanya, lingkungannya, guru ngajinya, dosen-dosennya, dan Rektor UNG. Kalau tidak, Mas Menteri Nadiem harus melakukan tindakan pada UNG. Kalau tidak, ini membuktikan hal yang telah dijelaskan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa radikalisme itu mendapatkan binaan dari orangtua, guru, dan Medsos. Kalau tidak ada sanksi atau tindakan terhadap Yunus Pasau, bisa jadi memang dia diajari ajaran radikal dan kotor oleh gurunya, dosennya, orangtuanya, perguruan tingginya, dan lingkungannya.

            Kita lihat nanti apa tindakan yang dikenakan terhadap Yunus Pasau mahasiswa yang memalukan ini.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment