oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Demonstrasi boleh, protes
boleh, tetapi harus tetap cerdas dan mencerahkan. Apalagi mahasiswa yang harus
menunjukkan intelektualitasnya di hadapan masyarakat banyak karena diharapkan
mereka akan menggantikan posisi para orang tua yang sekarang menduduki jabatan
penting di Indonesia.
Kalau cuma bisa berkata kasar, kotor, dan menjijikkan,
apa gunanya dia ngaji, sekolah, dan kuliah?
Berteriak k*nt*l saja sudah menjijikan, viral lagi,
ditulis dan tayang pada berbagai media sosial dan mainstream. Apalagi
disematkan kepada Presiden Jokowi yang dipilih mayoritas rakyat Indonesia dan
diharapkan lagi menjabat hingga tiga periode. Ini beneran bukan perilaku
mahasiswa.
Namanya Yunus Pasau. Dia mahasiswa Universitas Negeri
Gorontalo (UNG). Ketua Hima Prodi Ilmu Komunikasi. Berasal dari Pohuwato,
Sulawesi Utara. Foto Yunus Pasau saya dapatkan dari Kendalku-Pikiran Rakyat.
Yunus Pasau (Foto: Kendalku-Pikiran Rakyat) |
Dia berdemo dengan teriakan “teu nyakola” di Simpang Lima Gorontalo memprotes kenaikan Bahan
Bakar Minyak (BBM). Dia seperti cerdas, tetapi tolol dan bodohnya bukan main.
Saya penasaran, apakah dia mahasiswa penerima beasiswa
atau bukan. Kalau dia penerima beasiswa, lebih kurang ajar benar dia. Kuliahnya
dibantu uang rakyat yang disalurkan negara untuk dia, tetapi perilakunya tidak
mencerminkan harapan rakyat. Rakyat berharap bahwa uangnya yang disalurkan
untuk beasiswa mahasiswa adalah agar mahasiswa itu menjadi orang yang baik,
bermanfaat, dan mampu memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain. Kalau dia
mengkhianati keinginan rakyat, dia bisa termasuk koruptor.
Kalau dia mahasiswa saya, sudah saya coret namanya dan
saya usulkan ke pihak rektorat agar rektor menghentikan biaya kuliahnya yang
berasal dari negara, bahkan saya usul agar dipecat saja dari statusnya sebagai
mahasiswa. Pada program studi yang saya pimpin memang ada lima hal yang wajib
dilaksanakan oleh mahasiswa Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Al
Ghifari, khususnya penerima beasiswa. Salah satu kewajiban dari yang lima itu
adalah “menjaga etika yang baik” mulai
etika kepada orangtua, teman, dosen, lembaga pendidikan, dan terhadap sesama
manusia. Jika beretika buruk, saya
ajukan untuk dicabut beasiswanya sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan
uang untuk melanjutkan kuliahnya.
Hal yang diteriakkan Yunus Pasau bukanlah pendapat, bukan
pula kritikan, melainkan kata-kata kotor dan menjijikan yang tidak memiliki
tempat untuk diperdebatkan. Kalau kritikan meskipun keras, kita bisa paham dan
bisa terima. Misalnya, saya dikritik “bodoh tidak bisa bekerja”, “tolol
mengurus mahasiswa”, “kuliah aja tinggi-tinggi, tetapi kerja nggak becus”, “shalat
terus-terusan, tetapi korupsi”, saya sih biasa-biasa saja asal ada buktinya,
saya terima dan menjadi vitamin bagi diri saya. Kalau enggak ada buktinya, itu
fitnah, siap-siap saja saya masukan ke penjara.
Kini sudah banyak yang usul agar perusahaan-perusahaan di
Indonesia tidak menerima Yunus Pasau untuk bekerja di perusahaannya. Dia pun
tidak perlu melamar menjadi ASN karena pemimpin negara saja sudah dihinanya
dengan kata-kata menjijikan. Sekali lagi, kalau kritikan cerdas, bagus. Kalau
menjijikan, jijik menyaksikannya.
Sudah seharusnya Yunus Pasau mendapatkan sanksi dari
orangtuanya, lingkungannya, guru ngajinya, dosen-dosennya, dan Rektor UNG.
Kalau tidak, Mas Menteri Nadiem harus melakukan tindakan pada UNG. Kalau tidak,
ini membuktikan hal yang telah dijelaskan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) bahwa radikalisme itu mendapatkan binaan dari orangtua, guru,
dan Medsos. Kalau tidak ada sanksi atau tindakan terhadap Yunus Pasau, bisa
jadi memang dia diajari ajaran radikal dan kotor oleh gurunya, dosennya,
orangtuanya, perguruan tingginya, dan lingkungannya.
Kita lihat nanti apa tindakan yang dikenakan terhadap
Yunus Pasau mahasiswa yang memalukan ini.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment