oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Biasanya tim pengacara Ahok
bersikap reaktif jika ada saksi fakta atau saksi ahli yang dianggap tidak layak
untuk menjadi saksi dalam persidangan Ahok. Akan tetapi, ada yang berbeda saat persidangan
Ahok pada Senin, 13 Februari 2017. Saya merasa aneh kenapa mereka tidak
mempermasalahkan Mahyuni sebagai saksi ahli bahasa yang dipanggil Jaksa
Penuntut Umum. Padahal, menurut saya, saksi itu sangat tidak layak untuk
menjadi saksi ahli bahasa Indonesia karena sama sekali tidak berlatar belakang
pendidikan bahasa Indonesia. Mahyuni adalah berpendidikan bahasa Inggris. Jadi,
dia tepatnya bisa disebut sebagai ahli bahasa Inggris dan bukan ahli bahasa
Indonesia. Sangat tidak tepat jika ahli bahasa Inggris menganalisa kalimat Ahok
yang berbahasa Indonesia. Kalimat Ahok yang berbahasa Indonesia itu seharusnya
dianalisa oleh orang yang berlatar pendidikan bahasa Indonesia dan terbukti
keahliannya, baik secara akademis maupun nonakademis.
Keanehan saya itu karena jelas saya tidak memahami
strategi pengacara, adanya informasi yang ingin digali dari saksi bahasa itu,
atau hanya mengisi waktu berhubung sebelumnya sudah menolak saksi ahli agama
dari MUI. Entahlah. Saya memang tidak mengerti hukum dan dunia lawyers. Oleh sebab itu, saya merasa
aneh.
Analisa
Bahasa yang Tidak Tepat
Lepas dari keanehan saya
soal sikap pengacara Ahok. Mari kita perhatikan analisa yang dilakukan Mahyuni
ahli bahasa Inggris yang menganalisa bahasa Indonesia Ahok.
Entah apa saja yang terjadi dalam kesaksiannya selama
lima jam di dalam persidangan itu. Akan tetapi, ada hal kecil yang bisa kita
dengar dari pendapat Mahyuni.
Stasiun televisi iNews
memberitakan bahwa menurut Mahyuni, penggunaan kata “pakai” dalam kalimat
Ahok tidaklah mengubah makna kalimat itu. Pendapatnya itu semakin menegaskan
bahwa Mahyuni meskipun bergelar profesor sangat tidak mengerti bahasa
Indonesia. Kemampuan dia berbahasa Indonesia sama dengan masyarakat umum yang
kerap terjebak dalam kalimat-kalimat
tidak efisien. Dalam bahasa Indonesia itu ada keharusan jika membuat
kalimat, harus efektif dan efisien.
Masyarakat atau siapa pun yang menganggap penggunaan kata
“pakai” memiliki makna yang sama jika kata itu dihilangkan, bisa dipastikan dia
tidak mengerti bahasa Indonesia dengan baik. Mereka kerap terjebak dalam
kalimat-kalimat tidak efisien.
Saya kasih contoh:
Udin dilempar pakai
batu.
Satu lagi:
Udin dilempar batu.
Kalimat pertama ada
kata “pakai”. Kalimat kedua tanpa kata “pakai”.
Apa bedanya antara kalimat pertama dengan kalimat kedua?
Bisa membedakannya?
Tidak bisa?
Saya kasih tahu. Kedua kalimat itu memiliki makna yang
sama. Artinya, keberadaan kata “pakai” sangat tidak berpengaruh. Ada kata
“pakai” atau tidak, makna kedua kalimat itu tetap sama. Dengan demikian, benar
sekali jika Mahyuni dan masyarakat umum menganggap bahwa ada atau tidak adanya
kata “pakai” dalam kedua kalimat itu sama
sekali tidak mengubah makna.
Heit, yang anti-Ahok jangan senang dulu.
Sayangnya, karena kedua kalimat itu memiliki makna yang
sama, baik menggunakan kata “pakai” ataupun tidak, salah satu dari kedua
kalimat itu adalah salah karena tidak
efisien.
Kalimat mana hayo yang salah?
Kalimat yang salah itu adalah Udin dilempar pakai batu.
Mengapa kalimat itu
tidak efisien sehingga dikatakan salah?
Hal itu disebabkan ada kata “pakai” yang sangat tidak
diperlukan.
Buat apa ada kata “pakai” yang jika dihilangkan, tidak
mengubah makna?
Jadi, kalimat yang benar adalah Udin dilempar batu.
Dalam dunia pernaskahan, seorang editor yang andal dengan
konsentrasi penuh jika menemukan kalimat semacam Udin dilempar pakai batu, akan segera menggantinya dengan Udin dilempar batu karena penggunaan kata
“pakai” itu merupakan pemborosan kata yang tidak diperlukan.
Paham ya.
Mari kita buat contoh lain.
Udin makan pakai
sendok.
Kalimat satu lagi:
Udin makan sendok.
Apa bedanya makna dari kedua kalimat tersebut?
Mudah kan membedakannya?
Kalau tidak bisa membedakannya, sebaiknya kalian segera
pergi dan jangan meneruskan membaca tulisan ini karena akan semakin pusing.
Kalian akan tambah tidak mengerti.
Nah, jika sudah bisa membedakannya, kita harus memahami
bahwa penggunaan kata “pakai” dalam kedua kalimat itu sangat mempengaruhi
makna. Ada dan tidaknya kata “pakai” dalam kedua kalimat itu akan membedakan
makna dan arti. Dengan demikian, salah sekali jika ada yang berpendapat bahwa
kata “pakai” dalam kalimat itu tidak mengubah makna. Siapa pun orangnya, mau
profesor, presiden, raja, ataupun ulama jika mengatakan bahwa kata “pakai”
dalam kedua kalimat itu tidak mengubah makna, sekali salah tetap salah.
Sekarang mari kita
lihat contoh lain.
Udin makan pakai
celana.
Satu kalimat lagi:
Udin makan celana.
Mudah kan memahami perbedaan kedua kalimat itu?
Perhatikan lagi kalimat yang lebih mudah.
Udin bermain pakai
celana dalam.
Ada lagi:
Udin bermain celana
dalam.
Beda jauh kan?
Itu artinya, kata “pakai” tidak boleh dihilangkan seenaknya
saja karena bisa membedakan makna.
Mari kita mengarah pada yang lebih sulit.
Udin dibohongi
pakai pidato Jokowi.
Kalimat yang lainnya:
Udin dibohongi
pidato Jokowi.
Bisa membedakannya?
Kalimat yang satu memiliki makna bahwa ada orang yang “memakai”
pidato Jokowi untuk membohongi Udin. Kebohongan itu misalnya membludaknya pekerja asing asal Cina
sejumlah lima puluh juta adalah kebijakan pemerintahan Jokowi. Kebohongan itu disandarkan pada pidato
Jokowi, misalnya, “Kita telah bekerja sama dengan
investor-investor Cina. Dengan masuknya investor, kita mengizinkan para
investor membawa pekerja asing asal Cina dengan kemampuan tertentu, dalam
jumlah tertentu, dan dalam batas waktu tertentu pula.”
Nah, pidato Jokowi
itu dipelintir seseorang untuk membohongi Si Udin dengan harapan terjadi
ketidakpercayaan kepada pemerintah dan menumbuhkan sentimen anti-Cina. Padahal,
jika diteliti lebih dalam, pidato Jokowi itu maksudnya tidak untuk memasukkan
lima puluh juta pekerja asal Cina, melainkan memberikan izin terbatas kepada
orang Cina yang betul-betul ahli, kedudukannnya tertentu, jumlahnya hanya
sedikit sesuai ketentuan, dan dalam waktu yang sangat terbatas, misalnya, hanya
untuk waktu selama enam bulan.
Karena orang itu sangat membenci pemerintahan Jokowi,
dibuatlah kebohongan untuk mempengaruhi Si Udin.
Kalimat kebohongan itu adalah, “Membludaknya pekerja asing asal Cina sejumlah lima puluh juta adalah
kebijakan pemerintahan Jokowi.”
Itulah makna dari
kalimat Udin dibohongi pakai pidato
Jokowi.
Pidato Jokowi
bukanlah kebohongan dan maksudnya pun jelas. Pihak yang berbohong adalah mereka
yang menggunakan pidato Jokowi untuk meresahkan dan membingungkan Si Udin.
Jelas?
Perhatikan perbedaannya dengan kalimat Udin dibohongi pidato Jokowi. Kalimat
ini memiliki arti bahwa pidato Jokowi
adalah kebohongan.
Jelas?
Sebenarnya, kalimat Udin
dibohongi pidato Jokowi termasuk kalimat yang salah karena tidak efisien. Kalimat yang benar adalah Udin dibohongi Jokowi. Kata “pidato”
tidak terlalu penting karena yang dimaksud adalah Jokowi berbohong. Soal berbohongnya melalui pidato, sambutan,
wawancara, obrolan ringan, tidak terlalu penting karena yang penting adalah Jokowi berbohong.
Nah, pada kasus ini
kata “pakai” sangat penting untuk membedakan makna. Ada dan tidak adanya kata “pakai”
membuat arti dari setiap kalimat menjadi berbeda. Kalimat yang pertama maknanya
adalah ada orang atau pihak-pihak yang memelintir
pidato Jokowi untuk membuat kebohongan dengan maksud menipu, meresahkan, dan
membingungkan Si Udin serta menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidato Jokowi
tersebut. Kalimat yang kedua maknanya adalah Jokowi telah membuat kebohongan kepada Si Udin karena isi pidatonya
adalah kebohongan semata.
Jelas?
Paham?
Mari kita masuk ke kalimat Ahok di Kepulauan Seribu yang
diributkan orang itu. Jika dibuat lengkap, kalimat Ahok akan seperti berikut.
Anda dibohongin orang
pakai surat Al Maidaah 51.
Baca pelan-pelan,
lalu cek dengan hasil analisa Prof. Mahyuni seperti yang diberitakan iNews. Saya ingatkan lagi bahwa
diberitakan menurut Mahyuni, kata “pakai” tidak mengubah makna. Dengan
demikian, jika kata “pakai” kita hilangkan, kalimatnya menjadi seperti ini.
Anda dibohongin
surat Al Maidaah 51.
Iya toh?
Kalimat ini memiliki makna bahwa isi QS Al Maidaah : 51 adalah kebohongan.
Kalaulah Mahyuni
benar, mengapa harus ada tuntutan atau gugatan atau tuduhan bahwa Ahok telah
menghina ulama?
Dalam kalimat Anda
dibohongin surat Al Maidaah 51, jangankan ulama, seorang manusia pun tidak
ada yang melakukan kebohongan dalam kalimat itu karena yang dimaksud melakukan
kebohongan adalah QS Al Maidaah : 51.
Ngapain menuduh atau memaki-maki Ahok sebagai penghina
ulama, kan yang dimaksud berbohong dalam kalimat itu adalah QS Al Maidaah : 51?
Kan lucu jadinya.
Masih lebih terang Brili Agung dibandingkan Prof. Mahyuni
dalam menganalisa kalimat Ahok. Brili Agung malah lebih jelas dalam menganalisa
kalimat Anda dibohongin orang pakai surat
Al Maidaah 51. Ia menegaskan bahwa yang disasar Ahok adalah orang yang
memakai QS Al Maidaah : 51. Brili Agung memang benar Ahok bisa dikatakan
menyerang “orang” yang menggunakan QS Al Maidaah : 51.
Siapa yang dimaksud “orang” itu?
Menurut Ahok sih, siapa
saja yang merupakan lawan politiknya yang memakai QS Al Maidaah : 51 dalam
menjatuhkan dirinya di mata masyarakat. Jadi, tidak usah geer merasa dihina Ahok jika “bukan
lawan politik Ahok dan tidak pernah menggunakan QS Al Maidaah : 51 untuk
menghalangi karir politik Ahok”. Ahok memang menyerang “orang” dengan batasan
seperti yang kemukakannya sendiri.
Kalau merasa terhina atau terserang oleh Ahok, berarti
Anda adalah “orang” yang dimaksud Ahok. Penyelesaiannya adalah buktikan bahwa
Anda tidak berbohong dengan menggunakan QS Al Maidaah : 51. Buktikan bahwa
ketika Anda menggunakan QS Al Maidaah : 51 itu adalah benar. Caranya adalah
buktikan bahwa QS Al Maidaah : 51 itu memiliki makna yang tepat sesuai dengan
yang dimaksud Allah swt dan mampu mematahkan penafsiran lain yang berbeda
dengan penafsiran Anda. Begitu seharusnya.
Jika sudah mampu membuktikan bahwa Anda tidak berbohong
karena mampu menghancurkan penafsiran lain, baru laporkan Ahok ke polisi atau
gugat di pengadilan.
Sekarang paham kan perbedaan kedua kalimat tersebut?
Anda dibohongin
orang pakai surat Al Maidaah 51.
Kalimat satunya lagi:
Anda dibohongin
surat Al Maidaah 51.
Kalau masih belum
paham juga, mari kita perbesar dengan menggunakan “mikroskop”. Kita ubah lebih
panjang kalimat itu dengan makna yang sama.
Anda dibohongin
orang yang menggunakan surat Al Maidaah 51.
Bisa pula kalimat
berikut.
Anda dibohongin
orang dengan menggunakan surat Al Maidaah 51.
Jadi, orangnya yang
diserang Ahok telah berbohong, bukan QS Al Maidaah : 51.
Berbeda dengan dengan kalimat berikut.
Anda dibohongin
surat Al Maidaah 51.
Jika seperti itu,
kalimat itu mengandung penodaan agama karena telah menuduh QS Al Maidaah : 51 melakukan
kebohongan. Artinya, isi QS Al Maidaah : 51 dianggap bohong.
Jelas ya?
Bahasa
yang Tidak Diperhitungkan
Masih dari iNews pada 13 Februari 2017. Mbak Neno
Warisman yang disebut-sebut sebagai Koordinator Ahli Bahasa dari pihak
anti-Ahok mengatakan bahwa faktor bahasa
adalah faktor yang tidak diperhitungkan, tetapi ternyata bermasalah.
Kira-kira seperti itulah maksud Mbak Neno. Cukup kaget
juga saya mendengarnya. Saya jadi bertanya-tanya.
Tidak diperhitungkan ketika melaksanakan apa?
Ketika melaporkan Ahok ke polisi?
Ketika membuat tuduhan kepada Ahok?
Ketika menggerakkan jutaan massa untuk berdemonstrasi?
Ketika menyiapkan para saksi ahli di pengadilan?
Ketika apa dan untuk apa?
Saya tidak mau menduga-duga, tetapi jelas hatiku bertanya-tanya.
Hal yang juga menggelitik saya adalah Neno menjelaskan
bahwa meskipun faktor bahasa tidak diperhitungkan, tetap mempersiapkan timnya
dengan baik. Timnya memiliki orang-orang yang diandalkan untuk menjadi saksi
ahli bahasa Indonesia. Baguslah.
Sayangnya, dia menerangkan bahwa salah satu anggota
timnya adalah murid langsung dari Noam
Chomsky. Dia menerangkan bahwa kata-kata yang muncul dari seseorang itu
berasal dari kata-kata yang sudah tersimpan dalam otaknya sekian lama dan bla …
bla … bla ….
Ngapain jauh-jauh ke Noam Chomsky?
Kalimat Ahok kan hanya kalimat yang pendek. Adapun niat,
tujuan, dan maksud Ahok sudah dijelaskan sendiri oleh Ahok. Apalagi Ahok sudah
bikin buku yang menegaskan maksudnya sejak lama.
Jadi, saya ingin mengomentari Neno Warisman, “Jaka Sembung rambutnya dijambak. Nggak
nyambung, Mbak.”
Ya, sudahlah.
Saya sangat senang jika ada yang berbeda pendapat dengan
saya. Apalagi jika dapat membuktikan bahwa apa yang saya tulis ini salah. Jika
ada yang mendebat saya sehingga terbukti bahwa saya salah, saya bersyukur
karena saya mendapatkan pengetahuan baru yang benar dan lebih baik.
Silakan berbeda pendapat, tetapi harus benar. Jangan
bicara seenaknya hanya karena kesal, benci, dan kecewa. Kalau marah, tetapi
tidak bisa membuktikan saya salah, Anda bisa berbahasa seperti para pembuat dan
penikmat “hoax” yang berbicara tidak jelas tanpa ada ujung pangkalnya dan sama
sekali tidak bermanfaat.
Bukan
untuk Ahok
Saya banyak menulis yang
isinya bagai membela Ahok. Sesungguhnya, tidak sama sekali. Saya tidak kenal
Ahok, tidak ikut-ikutan Ahok, tidak dibayar Ahok, tidak akan memilih Ahok, juga
tidak pernah berkonflik dengan Ahok.
Saya ikut-ikutan berkomentar mengenai hal-hal yang
terjadi adalah karena tugas dan kewajiban saya sebagai muslim untuk selalu
membela Allah swt, Islam, dan kaum muslimin. Saya sangat tidak suka
jika ada yang “memperalat” agama saya untuk kepentingan-kepentingan duniawi
yang rendah semisal politik, ekonomi, kehormatan, dan uang recehan. Sudah
terlalu sering saya melihat bagaimana Agama Islam yang sangat saya yakini
dijadikan alat untuk bertengkar dan untuk memperoleh kepentingan-kepentingan
sesat dan sesaat. Saya ingin Islam menjadi pencerah, pendamai, dan sumber kasih
sayang di muka Bumi ini sebagaimana kalimat Bismillaahirrahmaanniraahim.
Kalimat itu adalah kalimat yang paling sering harus diucapkan karena
sesungguhnya Allah swt ingin lebih dikenal diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Zat yang penuh kasih sayang.
Saya kasih contoh satu lagi tentang bagaimana Islam
diperalat untuk kepentingan politik. Saya sedang duduk-duduk di sebuah taman
sambil minum minuman segar pada siang menjelang sore hari. Satu atau dua meter
di samping kiri saya ada yang sedang mengobrol, cukup keras terdengar. Mereka
berasal dari satu partai politik yang sama.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan ikuti dia,
jangan pilih dia. Neraka itu panas!”
Kelihatannya, mereka sedang terlibat dalam pemilihan
ketua partai di daerahnya.
Temannya yang satu lagi berkata, “Memang dia salah apa?
Dia orang baik. Saya dibiayai berangkat haji oleh dia. Dia juga yang membiayai
manasiknya. Apa salah dia?”
Dua orang satu partai ini sedang membicarakan calon kuat
ketua partai dengan menggunakan isu agama. Yang satu mengatakan bahwa kalau
memilih Sang Calon itu bisa masuk neraka karena katanya dia melihat perilaku
buruk orang itu. Yang satu lagi membela orang itu karena dermawan dan sangat
perhatian kepada Islam dengan memberikan biaya haji bagi dirinya dan itu tanda
orang yang punya pahala untuk masuk surga.
Apa itu artinya?
Artinya, mereka menggunakan isu Islam tentang surga dan
neraka hanya untuk kepentingan politik. Sebagian orang mengatakan Sang Calon
akan membawa ke neraka yang panas. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, yaitu
sebagai calon penduduk surga.
Mereka seolah-olah sudah memastikan nasib Sang Calon akan
masuk neraka atau masuk surga, padahal Sang Calon masih hidup. Sesungguhnya,
orang yang sekarang dipandang baik dan calon penduduk surga, bisa terjatuh
benar-benar memasuki neraka jika dia berubah menjadi buruk sampai matinya.
Sebaliknya, orang yang sekarang dipandang buruk dan calon penghuni neraka, bisa
masuk surga jika berubah menjadi baik dan tetap baik hingga mati dalam keadaan
beriman dan berislam.
Sudah terlalu mengesalkan bagi saya untuk menyaksikan
hal-hal ini. Keterlaluan.
Saya tidak sedang membela Ahok, tetapi membela Allah swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum
muslimin. Saya ingin seluruh kaum muslimin saling menasihati jika ada
saudaranya yang melakukan hal salah agar Islam dapat dilaksanakan sebagaimana ajaran
Muhammad saw yang diperintahkan Allah swt. Saya tidak ingin agama Islam
dijalankan sesuai dengan hawa nafsu orang per orang, kelompok per kelompok,
maupun Ormas per Ormas.
Sampurasun.