Monday, 27 February 2017

Hal Mengganjal Yang Harus Diselesaikan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Bangsa Indonesia boleh bergembira sekaligus bersolek riang dengan kehadiran Raja Salman dari Saudi Arabia. Hal itu disebabkan Indonesia didatangi oleh Penjaga Kota Suci Mekah dan Madinah, saudara seiman dari Arab, dan kabarnya datang dengan membawa potensi investasi yang jumlahnya fantastis hingga 331 triliun rupiah.

            Sebagai pribumi dan negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, kita patut memuliakan siapa pun tamu kita, lebih-lebih Raja Salman dari Saudi Arabia. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa masih ada hal yang mengganjal pada hati rakyat Indonesia tentang penyelesaian ganti rugi terhadap korban crane. Sependek yang saya ingat bahwa sudah ada ketetapan dan pernyataan, baik dari Arab Saudi maupun dari pemerintah Indonesia bahwa para korban crane itu akan diberi ganti rugi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pembayaran ganti rugi masih belum juga diterima oleh banyak korban jatuhnya crane di Mekah.

            Adalah hal yang sangat baik dan mulia jika pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan Indonesia sama-sama bersegera menyelesaikan soal pembayaran ganti rugi itu. Jika dihitung dengan potensi investasi Arab Saudi di Indonesia, pembayaran ganti rugi itu sangatlah kecil. Akan tetapi, menjadi hal yang besar jika pembayaran itu terus-terusan ditunda atau bahkan diingkari. Tuntutan yang berasal dari harapan para korban crane akan mempengaruhi situasi kebatinan rakyat Indonesia lainnya dalam menanggapi kerja sama yang terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi.

            Jika pembayaran ganti rugi itu belum bisa dilaksanakan dengan sangat segera, paling tidak, ada penjelasan yang melapangkan dada, baik dari pemerintah Indonesia maupun dari Kerajaan Saudi Arabia, terutama kepada para korban crane. Dengan demikian, semua bisa mendoakan kebaikan tanpa ada ganjalan dalam hati bangsa Indonesia atas kerja sama yang terjalin. Dukungan penuh pun akan diberikan dengan senang hati oleh seluruh bangsa Indonesia.

            Sesungguhnya bukan soal ganti rugi untuk korban crane yang masih belum mendapatkan kejelasan yang pasti mengenai waktu pembayarannya, melainkan pula mengenai banyak hal. Sebatas yang saya ingat, kalau tidak salah, kita pernah memenangkan kasus gugatan sebuah desa yang “dizalimi” oleh Belanda pada masa lalu dan Belanda harus membayar ganti rugi. Akan tetapi, pembayaran ganti rugi itu pun belum jelas, bahkan terkesan beritanya menghilang dari peredaran. Ada pula ganti rugi bagi para perempuan Indonesia yang dijadikan budak seks oleh tentara-tentara Jepang pada masa lalu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Jepang. Akan tetapi, lagi-lagi beritanya sepi di peredaran sehingga kita tidak tahu apakah pembayaran ganti rugi itu sudah dilaksanakan atau belum.

            Hal ini hendaknya tidak perlu dijadikan kebiasaan oleh bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia hanya mampu telah berhasil menyatakan diri benar dan memenangkan gugatan atau kasus yang harus diganti-rugi, tetapi “melempem” pada saat pelaksanaan ganti rugi tersebut. Harus ada tindakan lebih tegas dan riil untuk memperjelas pelaksanaan ganti-rugi ganti-rugi tersebut. Jangan hanya menang dalam kasus atau pandai menyatakan diri benar secara hukum dan secara politik, tetapi lemah dalam memproses eksekusinya.

            Kita harus bekerja sama dengan pihak asing, tetapi kita pun harus mengingatkan dengan tegas bahwa banyak pihak asing yang harus menyelesaikan kewajibannya kepada Indonesia, terutama kepada rakyat Indonesia.


            Salam

Sunday, 26 February 2017

Presiden ke-1 RI Pengagum Berat Pendiri Saudi Arabia

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dunia Arab sejak dulu memang pengaruhnya sangat besar terhadap Indonesia. Masyarakat memahami bahwa Saudi Arabia adalah negara yang termasuk negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia di samping Mesir, Palestina, dan negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Masyarakat pun tahu bahwa keluarga Al Saud adalah keluarga yang dipercaya menjadi Penjaga Kota Suci Mekah dan Madinah. Meskipun ada beberapa masalah, seperti, tenaga kerja Indonesia (TKI) atau persoalan izin-izin warga Arab yang berada di Indonesia, hubungan kedua negara tetap baik. Permasalahan yang terjadi di antara kedua negara tidak harus membuat hubungan baik menjadi berantakan. Masalah itu selalu ada, tetapi selalu ada jalan keluarnya. Jalan keluar itu seharusnya win win solution, ‘saling menguntungkan’, dan bukan saling merasa diri paling berkuasa atau paling benar.

           Pengaruh Arab terhadap perjuangan Indonesia sangat besar. Salah satunya adalah pengaruh perjuangan Ibnu Saud  untuk menegakkan Kerajaan Saudi Arabia. Sepak terjang Ibnu Saud menjadi inspirasi yang teramat besar bagi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno. Soekarno sangat mengagumi dan meneladani perjuangan Ibnu Saud. Perjuangan Ibnu Saud ini ditularkan Soekarno kepada rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

SOEKARNO. Sumber Foto: baeksoo11.blogspot.co.id

            Hal ini bisa dilihat dari kutipan surat Soekarno ketika berada dalam masa pembuangannya di Endeh, 12 Juni 1936, kepada Hasan, tokoh Persis di Bandung. Dalam suratnya tersebut, Soekarno menerangkan kertertarikannya pada buku biografi Ibnu Saud.

            Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa, mengobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain cs akan kehilangan akal nanti sama sekali. Dengan menyalin buku ini, adalah suatu confession bagi saya bahwa saya walaupun tidak mufakati semua sistem Saudisme yang masih banyak feodal itu, toh menghormati dan kagum kepada pribadinya itu laki-laki yang “Towering above all Moslems at his time; an immense man, tremendous, vital, dominant. A giant thrown up out of the chaos and agony of the desert--to rule, following the example of his Great Teacher, Mohammad” (terjemahan bebasnya [Red.]: Menjulang di atas semua Muslim pada waktu itu; seorang pria besar, luar biasa, penting, dominan. Seorang raksasa yang dilemparkan keluar dari kekacauan dan penderitaan gurun-untuk memerintah, mengikuti teladannya Sang Guru Terhebat, Muhammad saw).

IBNU SAUD. Sumber Foto: id.wikipedia.org 

            Selagi menggoyangkan saya punya pena menerjemahkan biografi ini, ikutlah saya punya jiwa bergetar karena kagum kepada pribadinya orang yang digambarkan.

             What a man! (Pria luar biasa!)

            Mudah-mudahan saya mendapat taufik menyelesaikan terjemahan ini dengan cara yang bagus dan tak kecewa. Mudah-mudahan nanti buku ini dibaca oleh banyak orang Indonesia agar bisa mendapat inspiration darinya. Hal itu disebabkan sesungguhnya ini buku adalah penuh dengan inspiration. Inspiration bagi kita punya bangsa yang begitu muram dan kelam-hati, inspiration bagi kaum muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan “Sunnah Nabi”,--yang mengira bahwa sunnah Nabi saw itu hanya makan korma pada bulan puasa dan celak-mata dan sorban saja!

            Demikian semangatnya Soekarno terhadap isi buku yang mengisahkan riwayat hidup Ibnu Saud. Saking semangatnya, ia pun menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

            Dengan demikian, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak menghilangkan segala bentuk kendala yang dapat menghalangi hubungan baik antara Indonesia dan Arab Saudi. Hubungan ini harus terus ditingkatkan demi hubungan yang terus baik di dunia dan di akhirat.

            Bukankah menyenangkan jika kita semua bertemu kembali di alam akhirat dalam keadaan selamat dan sentosa?

            Bukan hanya inspirasi yang didapatkan Soekarno dari Ibnu Saud, melainkan pula buku Ibnu Saud menjadi pula alat atau barang dagangan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang dialami Soekarno. Ketika dalam masa pembuangan di Endeh, Soekarno hanya diberi uang sebatas untuk makan (natura), tidak lebih dari itu. Uang yang sangat sedikit itu harus dikurangi pula oleh pihak kolonial. Oleh sebab itu, Soekarno menawarkan kesana-kemari buku hasil terjemahannya tentang Ibnu Saud tersebut. Hal itu bisa dilihat dari suratnya saat di Endeh kepada Hasan di Bandung.

            Assalaamualaikum.

            Saudara!

            Saudara punya kartu pos sudah saya terima dengan girang.

            Syukur kepada Allah taala saya punya usul Tuan terima!

            Buat mengganjel saya punya rumah tangga yang kini kesempitan,--saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinya pun sudah sesak sekali buat membelanjai—segala saya punya keperluan--, maka saya sekarang lagi asyik mengerjakan terjemahan sebuah buku Inggris yang mentarikhkan Ibnu Saud.

            Bukan main hebatnya ini biografi!

            Saya jarang menjumpai biografi yang begitu menarik hati. Tebalnya buku Inggris itu—format Tuan punya “Al Lisaan”—adalah 300 muka, terjemahan Indonesia akan jadi 400 muka. Saya minta Saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu.

            Barangkali Saudara sendiri ada uang buat membelinya?

            Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan korting itu.

            Bagi saya pribadi, buku ini bukan saja satu ikhtiar ekonomi, melainkan adalah pula satu pengakuan, satu confession.

            ….

            Saudara, please tolonglah. Terima kasih lahir batin, dunia akhirat.

            Demikian kagum Soekarno kepada pendiri Saudi Arabia dan menjadikannya inspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadikan buku Ibnu Saud sebagai alat atau dagangan untuk mengatasi kesulitan keuangan yang sedang dideritanya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya.

RUMAH PEMBUANGAN SOEKARNO DI ENDE, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR. Sumber Foto: kompas.com/I Made Asdhiana 

            Ada banyak sebetulnya hal yang bisa dikemukakan mengenai kekaguman Soekarno kepada Ibnu Saud, tetapi pada tulisan kali ini cukup sekian dulu. Nanti pada tulisan lain saya akan tambah lagi dalam bahasan yang berbeda.

Saturday, 18 February 2017

Mahalnya Demokrasi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Orang boleh bangga, KPU boleh gembira, dan para pecinta demokrasi boleh bersorak sorai karena partisipasi pemilih di DKI dalam pemilihan putaran pertama gubernur DKI Jakarta mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu mencapai 78% lebih. Para pengamat boleh mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada di TPS-TPS berlangsung aman dengan partisipasi masyarakat yang meningkat merupakan peningkatan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik atau berdemokrasi.

            Akan tetapi, tahukah seberapa besar pengorbanan yang harus terjadi untuk memperoleh angka partisipasi 78% itu?

            Benar-benar sangat mahal!

            Bukan hanya uang yang harus dihambur-hamburkan sejak pembentukan tim sukses sampai dengan selesainya proses Pilkada yang harus dikeluarkan partai, calon gubernur, para pendukung, dan pemerintah, melainkan pula kerusakan pada tataran sosial dan stabilitas keamanan. Uang yang sangat besar jelas menggelontor sangat banyak. Entah berapa seluruhnya. Hal itu menandakan sangat mahalnya proses demokrasi. Di samping itu, kita harus membayar biaya pengorbanan berupa ketegangan dan polarisasi di tengah masyarakat. Tuduhan penghinaan kepada ulama dan penodaan terhadap agama oleh Ahok telah melahirkan hiruk pikuk kekacauan luar biasa. Demonstrasi jutaan manusia yang terbesar sepanjang sejarah manusia sejak Adam as sampai hari ini terjadi di Jakarta, Indonesia. Ada huru-hara dan pelanggaran di sana. Hoax dan fitnah meracuni pikiran masyarakat yang membuat pemerintah cukup letih memeranginya. Perdebatan-perdebatan sengit di tengah masyarakat pun terjadi. Ahok harus menjadi terdakwa di pengadilan yang sangat menyedot perhatian masyarakat. Banyak waktu terbuang hanya untuk memperhatikan hal itu dan memperdebatkannya. Rizieq Shihab harus dilaporkan dengan bertubi-tubi tuduhan oleh banyak orang sehingga menjadi tersangka. Tempat lahir dan tempat tinggal saya, Kota Bandung, yang biasanya sangat aman dan damai harus menjadi tempat konflik antara FPI dan GMBI. Demikian pula juru bicaranya,  Munarman, menjadi tersangka pula dalam kasus dugaan penghinaan kepada pecalang Bali. Di samping itu, Bachtiar Nasir harus bolak-balik diperiksa polisi tentang keuangan yayasan. Firza Husein harus disangka melakukan pelanggaran hukum. Puteri Presiden ke-1 RI Rachmawati bersama Sri Bintang Pamungkas pun diduga akan melakukan makar terhadap negara. Keresahan demi keresahan yang terwujud menjadi keluhan  muncul dari mantan presiden SBY. Pengadilan Ahok terus-terusan diwarnai demonstrasi pro dan kontra. Di kalangan umat Islam terjadi pula polarisasi yang sangat keras, tuduh-menuduh kafir, sesat, dan tentara syetan merajalela. Penggunaan bahasa-bahasa kotor dan tidak terdidik menjamur di media sosial. Keriuhan negatif pun terus berlanjut antara Antasari Azhar Vs SBY. Saya yakin masih sangat banyak hal negatif terjadi dalam perhelatan yang katanya pesta itu.

            Pesta itu seharusnya bergembira. Akan tetapi, pesta demokrasi banyak menjerumuskan orang menjadi tersangka pelanggar hukum. Itu pesta yang sangat aneh.

            Presiden Jokowi boleh mengatakan bahwa wajar jika dalam setiap Pilkada situasi “menghangat”. Kata menghangat itu sebenarnya hanya eufimisme dari kata “memanas”. Jokowi memang benar, tetapi biaya “menghangat” itu sangat mahal, baik secara materi maupun nonmateri

            Hal yang sangat membuat saya khawatir adalah kita menganggap segala sesuatu yang terjadi secara negatif itu adalah hal yang wajar atau lumrah dalam menghadapi masa pemilihan. Padahal, yang namanya hoax, kampanye hitam, fitnah, dan kedustaan adalah hal-hal yang busuk.

            Saya sangat khawatir dengan peringatan dari Allah swt bahwa “syetan telah menyesatkan mereka hingga menganggap perbuatan buruk mereka sebagai perbuatan baik”.

            Bagaimana jika ada orang yang mati tabrakan sepulang menyebarkan fitnah dan kampanye hitam?

            Dia mati dalam keadaan berdosa.

            Bagaimana kalau ada yang mati berkelahi gara-gara hoax?

            Mereka mati dalam keadaan tertipu.

            Bagaimana jika ada yang mati selepas baru saja “memperalat” agama untuk kepentingan jagoannya?

            Dia mati dalam keadaan tersesat dan menyesatkan orang lain.

            Di mana mereka nanti akan berakhir? Surga atau neraka?

            Saya khawatir mereka akan berada di neraka!

            Sungguh, hiruk pikuk, huru-hara, polarisasi, dan ketegangan di masyarakat itulah yang mendorong tingkat partisipasi publik dalam Pilkada DKI. Peningkatan partisipasi itu bukanlah karena “sistem politik demokrasi itu baik”, melainkan disebabkan mereka yang anti-Ahok ingin menjerumuskan Ahok ke penjara, sementara itu mereka yang pro-Ahok ingin Ahok menjadi gubernur lagi serta mereka yang tidak anti-Ahok ingin menunjukkan keyakinannya bahwa negeri ini harus tetap mampu berpikir rasional.

            Tanpa huru-hara, kemelut, dan berbagai ketegangan, saya tidak yakin partisipasi politik masyarakat akan meningkat signifikan. Hal ini bisa dilihat bahwa di daerah-daerah yang sepi huru-hara akibat Pilkada, partisipasi politik masyarakat dalam demokrasi dapat dikatakan “rendah”.

            Kegaduhan yang telah melibatkan puluhan juta manusia di Indonesia ini hanya mampu membuat partisipasi politik mencapai angka 78%, tidak sampai 90%, lebih-lebih 100%.

            Harus kegaduhan sebesar apa untuk mewujudkan partisipasi publik mencapai 100%?


Friday, 17 February 2017

Pentingnya Sertifikasi Khatib

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ketika wacana sertifikasi khatib digulirkan Menteri Agama RI, segera terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Di kalangan umat Islam, sepanjang yang saya dengar, baik secara sengaja maupun tidak, sesungguhnya mendukung penuh adanya sertifikasi tersebut, terutama dari ibu-ibu pengajian.

            Ocehan dari ibu-ibu yang membuat saya tertegun adalah kata-kata seperti ini, “Masa untuk jadi guru saja harus S1, kok ustadz nggak ada standarnya.”

            Kalimat itu sangat sederhana, tetapi memukul dada penuh makna. Mereka menginginkan ustadz, penceramah, atau ahli agama yang benar-benar bisa diyakini kompetensinya. Mereka sudah sering bertemu dengan ustadz-ustadz yang “berlebihan” ketika berceramah sehingga membingungkan. Tak jarang ibu-ibu itu setelah pengajian, harus bertanya lagi pada suami mereka tentang isi ceramah yang membingungkan. Bahkan, isi pengajian yang membingungkan bisa memicu perdebatan antara suami dan istri. Akan menjadi sangat berbahaya jika suaminya sudah melarang istrinya mengikuti pengajian ustadz tertentu karena kerap membingungkan.

            “Pah, kalau saya pindah tempat mengajinya gimana?”

            “Bagus, Mah. Pindah saja.”

            “Tapi, kata Pak Ustadz, berdosa kalau pindah ngajinya. Bisa masuk neraka.”

            “Siapa bilang? Ngaco tuh, Ustadz. Sudah, pindah saja!”

            “Takut, Pah. Takut masuk neraka.”

            “Tidak, tidak akan masuk neraka!”

            “Takut, Pah.”

            “Kamu ini mau patuh sama ustadz atau mau patuh sama suami?”

            “….”

            “Tidak patuh kepada suami itu jelas berdosa, masuk neraka!”

            Bagaimana kalau sudah begitu?

            Percakapan antara suami dan istri seperti itu sering terjadi di tengah masyarakat. Kita tidak perlu mengelak dan menutupi kenyataan bahwa hal-hal seperti itu kerap terjadi.


            Di kalangan bapak-bapak juga sama. Banyak dari mereka yang kemudian berkomentar miring atas khutbah-khutbah yang “berlebihan” dari para khatib. Sementara itu, khatib yang membingungkan itu adalah teman pengurus DKM. Jadi, mereka berulang-ulang mendengarkan khutbah yang membuat mereka kebingungan.

            Pendek kata, masyarakat muslim membutuhkan para khatib, ustadz, dan penceramah yang kompetensinya bisa dipertanggungjawabkan.

            Mereka yang tidak setuju dengan adanya sertifikasi, mohon maaf, kelihatannya adalah sebagian dari mereka yang suka berceramah, para khatib, atau para ustadz yang mungkin harus melengkapi dirinya dengan berbagai hal untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Mereka enggan untuk mengurus hal-hal tersebut. Bisa pula mereka tidak menginginkan hal tersebut karena belum jelas benar hal-hal yang dapat dijadikan standar untuk mendapatkan sertifikat agar bisa disebut ahli agama yang berkompeten. Bisa juga mereka tidak menginginkan hal tersebut karena menganggap bahwa masyarakat tidak memerlukannya dan sudah merasa cukup dengan para penceramah yang biasa ada. Bisa pula keengganan mereka disebabkan hal-hal lain yang belum kita ketahui.


Bukan Sertifikasi Ulama
Kalaupun sertifikasi itu jadi ada atau diterbitkan, jangan menggunakan kata “ulama”. Jujur saja, ukuran ulama itu sama sekali tidak diketahui manusia. Seseorang yang disebut ulama adalah “orang yang takut kepada Allah swt”.

            Sekarang, bagaimana caranya mengukur bahwa seseorang itu takut kepada Allah swt atau tidak?

            Tak ada yang bisa mengukurnya, bahkan seorang ulama pun tidak bisa mengukur dirinya sendiri sebagai orang yang takut kepada Allah swt. Hal itu disebabkan jika seseorang takut kepada Allah swt, semakin dia takut, semakin merasa dirinya kotor karena ketakutan dirinya telah memperlihatkan berbagai dosa yang telah diperbuatnya. Oleh sebab itu, semakin enggan dia disebut ulama karena sangat memahami berbagai kelemahan dirinya. Semakin takut kepada Allah swt, semakin merasa tidak pantas dirinya disebut ulama. Jadi, satu-satunya yang bisa mengukurnya adalah Allah swt sendiri.

            Sebaiknya, gunakan saja istilah, seperti, sertifikasi ustadz, khatib, mubaligh, atau penceramah. Hal itu disebabkan istilah-istilah itu dapat diukur oleh manusia. Adapun “ulama” hanya Allah swt yang tahu. Bisa saja ulama itu adalah seseorang yang tidak kita kenal sebagai penceramah, tetapi mampu berbicara yang mencerahkan mengajak pada kebenaran dan dirinya sendiri melaksanakan segala ketentuan Islam dengan rela hati, lentur, baik, dan disiplin. Sangat mungkin bahwa ulama itu sama sekali tidak kentara oleh kita karena menggunakan pakaian yang biasa saja serta tidak pernah menggunakan pakaian seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, ataupun Sentot Alibasyah. Sangat mungkin seorang ulama itu ternyata orang yang kerap dipandang rendah oleh manusia lainnya, tetapi dalam pandangan Allah swt merupakan orang yang sangat penting dan terkenal bagai “selebritis” di kalangan penduduk langit serta sering diperbincangkan oleh para malaikat.


Belajar dari Guru
Dulu juga guru mengalami goncangan hebat ketika muncul kententuan bahwa guru harus berpendidikan minimal S1. Banyak sekali keluhan, banyak hambatan, sebagian guru membiarkan arus melewati dirinya tanpa melakukan banyak hal karena merasa sebentar lagi pensiun, sebagian lagi kesana-kemari berletih-letih untuk melengkapi berbagai hal yang ditentukan, serta banyak lagi kisah yang berada dibalik sertifikasi untuk para guru itu.

            Meskipun ada goncangan dan tidak sedikit hambatan, toh kebijakan tetap diteruskan dan tidak berhenti. Meskipun tidak saklek-saklekan, akhirnya tetap saja wajib dilaksanakan. Hasilnya, saat ini sudah banyak guru yang berpendidikan S1, S2, bahkan S3. Itu artinya, diri guru sendiri mengalami peningkatan yang berpengaruh secara positif bagi peningkatan kualitas peserta didik. Memang belum berhasil sesempurna yang diharapkan secara ideal, tetapi sudah lebih baik dibandingkan masa lalu. Dengan meningkatnya pendidikan guru, sudah pasti meningkatkan pula kualitas peserta didiknya.

            Tak berlebihan jika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diklaim sebagai satu-satunya organisasi yang anggotanya berpendidikan minimal S1 dalam berbagai bidang ilmu. Organisasi lain tidak seperti PGRI. Bahkan, anggota partai politik atau Ormas pun banyak yang belum selesai SMA, padahal usianya sudah lewat. Memang guru sejak dulu sudah selalu melangkah lebih depan. Perhatikan saja ketika tahun 1945, angka buta huruf di Indonesia mencapai 96%. Akan tetapi, tidak ada seorang pun anggota PGRI yang buta huruf. Tentara, polisi, bahkan jenderal berbintang pun masih belum bisa baca tulis. Adapun guru, tak seorang pun yang buta huruf. Sekarang hanya PGRI yang seluruh anggotanya wajib S1 dalam rupa-rupa ilmu. Yang lain masih ketinggalan.

            Iya toh?

            Sekarang banyak orang berlomba menjadi guru, padahal zaman dulu guru itu pegawai yang digaji pemerintah paling rendah, paling sengsara, saya merasakan benar beas bear, ‘beras pera’ berwarna kuning kucel yang harus dimakan karena tidak ada lagi uang untuk beli makanan. Saya memang anak guru. Kegetiran dan kemiskinan sebagai anak guru saya derita “terlalu lama”. Meskipun demikian, saya tetap menikmatinya.

            Mau bagaimana lagi?

            Hal yang paling menyedihkan dan mengesalkan adalah ketika ada tukang becak menghitung hasil kerjanya sehari sambil bilang, “Ya, lumayanlah hari ini dapat untung sebulan gaji guru.”

            Bayangkan coba bagaimana getirnya kehidupan guru saat itu. Gaji guru satu bulan dihitung sama dengan penghasilan tukang becak satu hari.

            Sekarang situasinya sudah lumayan terbalik, banyak guru yang hidup berkecukupan, apalagi dengan adanya tunjangan sertifikasi dan tunjangan daerah yang dapat digunakan, baik untuk menambah kemakmuran secara ekonomi, maupun melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

            Berkaca dari pengalaman para guru, tampaknya hal yang sama terjadi kepada para ustadz atau ahli agama. Hidupnya banyak yang susah, pemahaman agamanya juga belum distandarisasi pemerintah.

            Ada ustadz yang bilang, “Yah, hidup saya mah seperti ini. Beda dengan anggota DPR yang banyak uangnya. Saya ini baru punya uang kalau ada orang yang mati. Keluarganya suka mengundang saya untuk berdoa. Makanya, saya suka menunggu-nunggu siapa lagi orang yang bakal mati. Semakin banyak yang mati, semakin banyak uang saya.”

            Dia memang berbicara sambil guyon. Akan tetapi, guyonan itu memang merupakan keresahan dirinya sendiri juga. Kenyataannya juga memang seperti itu.

            Sangatlah baik apabila para khatib, ustadz, mubaligh, penceramah, dan lainnya diperlakukan sebagaimana layaknya guru karena sebetulnya mereka juga guru. Berikan dorongan untuk meningkatkan kemampuan dirinya melalui program sertifikasi sehingga mereka pun memiliki standar yang baik. Ustadz yang memiliki kompetensi bagus akan meningkatkan kualitas hidup para jamaahnya. Dengan demikian, sertifikasi bagi para dai diperlukan bagi peningkatan kualitas para dai sekaligus para jamaah. Di samping itu, para penceramah harus dilengkapi pula dengan pemahaman dasar-dasar wawasan kebangsaan yang cukup sehingga mereka bisa mengembangkannya di dalam tugas-tugas hidup mereka. Akan tetapi, bukan hanya sertifikasi atau standarisasi yang diperlukan, melainkan pula adanya tunjangan untuk mereka. Bagi para ustadz yang sudah tersertifikasi, hendaknya diberikan tunjangan materi, baik untuk hidup mereka maupun untuk pendidikan mereka selanjutnya. Dengan demikian, mereka pun akan merasa dihormati, diperlakukan layak, dan dikasihi oleh pemerintah. Terjadilah hubungan mutualisme antara pemerintah dan para ustadz.

            Selama ini para penceramah jika tidak memiliki profesi lain, sangat bergantung hidup pada pihak-pihak yang mengundang mereka. Jika tidak ada undangan, mereka pun gigit jari. Bisa pula bergantung pada murid-murid mereka. Jika murid-muridnya berkurang, mereka pun mulai kebingungan.

            Apabila ada tunjangan sertifikasi, baik dari pusat maupun dari daerah, mereka tidak akan banyak berpikir untuk memberikan bimbingan bagi masyarakat karena jika tidak dibayar pun, hatinya tetap tenang. Sekarang kan masih kurang tenang mereka. Kadang dibayar sedikit, sangat sedikit, kadang pula banyak, setengah banyak, kadang cuma dikasih nasi kotak dan kue bolu.

            Ini bukan soal ikhlas dan tidak ikhlas. Ini soal kita harus saling berbagi, saling menghormati, saling membimbing, dan saling mendorong untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Tidak ada ceritera tidak ikhlas jika ada ustadz yang mungkin menolak untuk berceramah jika tidak dibayar. Seorang ahli agama itu harus dibayar karena dia telah memberikan ilmu, meluangkan waktu, dan meninggalkan berbagai keperluannya untuk berceramah.

            Allah swt pun mengajarkan itu kepada kita semua. Coba perhatikan petugas zakat itu memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkannya. Hal itu dimaksudkan agar amal baik mereka tetap bersih dan perilaku baiknya diterima oleh Allah swt. Berbeda kalau petugas zakat tidak mendapatkan haknya. Dia akan ngedumel karena mengumpulkan uang dan membagikannya, sementara dirinya sendiri hanya mendapatkan keletihan. Akibatnya, perilaku baiknya akan rusak oleh rasa kesal dan kekecewaannya. Amal ibadatnya tidak akan pernah sampai kepada Allah swt.

            Hal yang sama pun bisa terjadi kepada para ustadz. Mereka diminta membimbing masyarakat, tetapi hidup mereka tidak terjamin baik. Kalaupun mereka terpaksa memberikan bimbingan, hatinya sudah rusak karena ada perasaan kesal. Amal baiknya pun akan menjadi sia-sia. Ceramah yang tidak disertai keikhlasan hati tidak akan berpengaruh besar kepada para jamaahnya. Berbeda jika hidup mereka terperhatikan, rasa senang disertai rasa tanggung jawab melaksanakan kewajiban akan selalu mengiringi mereka ketika memberikan bimbingan kepada masyarakat.

            Sertifikasi itu penting untuk meningkatkan kualitas diri, tetapi harus disertai penghargaan yang layak dari pemerintah kepada para dai yang berada dekat dengan masyarakat. Besar-kecilnya tunjangan untuk para mubaligh, ya bergantung pada kebijakan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemerintah sendiri.

            Tunjangan itu penting untuk membuat para ustadz independen dan hanya berbicara atau berbuat sesuai dengan kitab suci. Dengan demikian, mereka semakin kuat untuk menolak pihak-pihak tertentu yang berupaya “memperalat” para ustadz untuk kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang sama sekali tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup umat Islam.


            Salam

Wednesday, 15 February 2017

Pengacara Ahok Aneh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Biasanya tim pengacara Ahok bersikap reaktif jika ada saksi fakta atau saksi ahli yang dianggap tidak layak untuk menjadi saksi dalam persidangan Ahok. Akan tetapi, ada yang berbeda saat persidangan Ahok pada Senin, 13 Februari 2017. Saya merasa aneh kenapa mereka tidak mempermasalahkan Mahyuni sebagai saksi ahli bahasa yang dipanggil Jaksa Penuntut Umum. Padahal, menurut saya, saksi itu sangat tidak layak untuk menjadi saksi ahli bahasa Indonesia karena sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Mahyuni adalah berpendidikan bahasa Inggris. Jadi, dia tepatnya bisa disebut sebagai ahli bahasa Inggris dan bukan ahli bahasa Indonesia. Sangat tidak tepat jika ahli bahasa Inggris menganalisa kalimat Ahok yang berbahasa Indonesia. Kalimat Ahok yang berbahasa Indonesia itu seharusnya dianalisa oleh orang yang berlatar pendidikan bahasa Indonesia dan terbukti keahliannya, baik secara akademis maupun nonakademis.

            Keanehan saya itu karena jelas saya tidak memahami strategi pengacara, adanya informasi yang ingin digali dari saksi bahasa itu, atau hanya mengisi waktu berhubung sebelumnya sudah menolak saksi ahli agama dari MUI. Entahlah. Saya memang tidak mengerti hukum dan dunia lawyers. Oleh sebab itu, saya merasa aneh.


Analisa Bahasa yang Tidak Tepat
Lepas dari keanehan saya soal sikap pengacara Ahok. Mari kita perhatikan analisa yang dilakukan Mahyuni ahli bahasa Inggris yang menganalisa bahasa Indonesia Ahok.

            Entah apa saja yang terjadi dalam kesaksiannya selama lima jam di dalam persidangan itu. Akan tetapi, ada hal kecil yang bisa kita dengar dari pendapat Mahyuni.

            Stasiun televisi iNews memberitakan bahwa menurut Mahyuni, penggunaan kata “pakai” dalam kalimat Ahok tidaklah mengubah makna kalimat itu. Pendapatnya itu semakin menegaskan bahwa Mahyuni meskipun bergelar profesor sangat tidak mengerti bahasa Indonesia. Kemampuan dia berbahasa Indonesia sama dengan masyarakat umum yang kerap terjebak dalam kalimat-kalimat tidak efisien. Dalam bahasa Indonesia itu ada keharusan jika membuat kalimat, harus efektif dan efisien.

            Masyarakat atau siapa pun yang menganggap penggunaan kata “pakai” memiliki makna yang sama jika kata itu dihilangkan, bisa dipastikan dia tidak mengerti bahasa Indonesia dengan baik. Mereka kerap terjebak dalam kalimat-kalimat tidak efisien.

            Saya kasih contoh:

            Udin dilempar pakai batu.

            Satu lagi:

            Udin dilempar batu.

            Kalimat pertama ada kata “pakai”. Kalimat kedua tanpa kata “pakai”.

            Apa bedanya antara kalimat pertama dengan kalimat kedua?

            Bisa membedakannya?

            Tidak bisa?

            Saya kasih tahu. Kedua kalimat itu memiliki makna yang sama. Artinya, keberadaan kata “pakai” sangat tidak berpengaruh. Ada kata “pakai” atau tidak, makna kedua kalimat itu tetap sama. Dengan demikian, benar sekali jika Mahyuni dan masyarakat umum menganggap bahwa ada atau tidak adanya kata “pakai” dalam kedua kalimat itu  sama sekali tidak mengubah makna.

            Heit, yang anti-Ahok jangan senang dulu.

            Sayangnya, karena kedua kalimat itu memiliki makna yang sama, baik menggunakan kata “pakai” ataupun tidak, salah satu dari kedua kalimat itu adalah salah karena tidak efisien.

            Kalimat mana hayo yang salah?

            Kalimat yang salah itu adalah Udin dilempar pakai batu.

            Mengapa kalimat itu tidak efisien sehingga dikatakan salah?

            Hal itu disebabkan ada kata “pakai” yang sangat tidak diperlukan.

            Buat apa ada kata “pakai” yang jika dihilangkan, tidak mengubah makna?

            Jadi, kalimat yang benar adalah Udin dilempar batu.

            Dalam dunia pernaskahan, seorang editor yang andal dengan konsentrasi penuh jika menemukan kalimat semacam Udin dilempar pakai batu, akan segera menggantinya dengan Udin dilempar batu karena penggunaan kata “pakai” itu merupakan pemborosan kata yang tidak diperlukan.

            Paham ya.

            Mari kita buat contoh lain.

            Udin makan pakai sendok.

            Kalimat satu lagi:

            Udin makan sendok.

            Apa bedanya makna dari kedua kalimat tersebut?

            Mudah kan membedakannya?

            Kalau tidak bisa membedakannya, sebaiknya kalian segera pergi dan jangan meneruskan membaca tulisan ini karena akan semakin pusing. Kalian akan tambah tidak mengerti.

            Nah, jika sudah bisa membedakannya, kita harus memahami bahwa penggunaan kata “pakai” dalam kedua kalimat itu sangat mempengaruhi makna. Ada dan tidaknya kata “pakai” dalam kedua kalimat itu akan membedakan makna dan arti. Dengan demikian, salah sekali jika ada yang berpendapat bahwa kata “pakai” dalam kalimat itu tidak mengubah makna. Siapa pun orangnya, mau profesor, presiden, raja, ataupun ulama jika mengatakan bahwa kata “pakai” dalam kedua kalimat itu tidak mengubah makna, sekali salah tetap salah.

             Sekarang mari kita lihat contoh lain.

            Udin makan pakai celana.

            Satu kalimat lagi:

            Udin makan celana.

            Mudah kan memahami perbedaan kedua kalimat itu?

            Perhatikan lagi kalimat yang lebih mudah.

            Udin bermain pakai celana dalam.

            Ada lagi:

            Udin bermain celana dalam.

            Beda jauh kan?

            Itu artinya, kata “pakai” tidak boleh dihilangkan seenaknya saja karena bisa membedakan makna.

            Mari kita mengarah pada yang lebih sulit.

            Udin dibohongi pakai pidato Jokowi.

            Kalimat yang lainnya:

            Udin dibohongi pidato Jokowi.

            Bisa membedakannya?

            Kalimat yang satu memiliki makna bahwa ada orang yang “memakai” pidato Jokowi untuk membohongi Udin. Kebohongan itu misalnya membludaknya pekerja asing asal Cina sejumlah lima puluh juta adalah kebijakan pemerintahan Jokowi.       Kebohongan itu disandarkan pada pidato Jokowi, misalnya,  “Kita telah bekerja sama dengan investor-investor Cina. Dengan masuknya investor, kita mengizinkan para investor membawa pekerja asing asal Cina dengan kemampuan tertentu, dalam jumlah tertentu, dan dalam batas waktu tertentu pula.”

            Nah, pidato Jokowi itu dipelintir seseorang untuk membohongi Si Udin dengan harapan terjadi ketidakpercayaan kepada pemerintah dan menumbuhkan sentimen anti-Cina. Padahal, jika diteliti lebih dalam, pidato Jokowi itu maksudnya tidak untuk memasukkan lima puluh juta pekerja asal Cina, melainkan memberikan izin terbatas kepada orang Cina yang betul-betul ahli, kedudukannnya tertentu, jumlahnya hanya sedikit sesuai ketentuan, dan dalam waktu yang sangat terbatas, misalnya, hanya untuk waktu selama enam bulan.

            Karena orang itu sangat membenci pemerintahan Jokowi, dibuatlah kebohongan untuk mempengaruhi Si Udin.

            Kalimat kebohongan itu adalah, “Membludaknya pekerja asing asal Cina sejumlah lima puluh juta adalah kebijakan pemerintahan Jokowi.”

            Itulah makna dari kalimat Udin dibohongi pakai pidato Jokowi.

            Pidato Jokowi bukanlah kebohongan dan maksudnya pun jelas. Pihak yang berbohong adalah mereka yang menggunakan pidato Jokowi untuk meresahkan dan membingungkan Si Udin.

            Jelas?

            Perhatikan perbedaannya dengan kalimat Udin dibohongi pidato Jokowi. Kalimat ini memiliki arti bahwa pidato Jokowi adalah kebohongan.

            Jelas?

            Sebenarnya, kalimat Udin dibohongi pidato Jokowi termasuk kalimat yang salah karena tidak efisien. Kalimat yang benar adalah Udin dibohongi Jokowi. Kata “pidato” tidak terlalu penting karena yang dimaksud adalah Jokowi berbohong. Soal berbohongnya melalui pidato, sambutan, wawancara, obrolan ringan, tidak terlalu penting karena yang penting adalah Jokowi berbohong.

            Nah, pada kasus ini kata “pakai” sangat penting untuk membedakan makna. Ada dan tidak adanya kata “pakai” membuat arti dari setiap kalimat menjadi berbeda. Kalimat yang pertama maknanya adalah ada orang atau pihak-pihak yang memelintir pidato Jokowi untuk membuat kebohongan dengan maksud menipu, meresahkan, dan membingungkan Si Udin serta menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidato Jokowi tersebut. Kalimat yang kedua maknanya adalah Jokowi telah membuat kebohongan kepada Si Udin karena isi pidatonya adalah kebohongan semata.

            Jelas?

            Paham?

            Mari kita masuk ke kalimat Ahok di Kepulauan Seribu yang diributkan orang itu. Jika dibuat lengkap, kalimat Ahok akan seperti berikut.

            Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51.

            Baca pelan-pelan, lalu cek dengan hasil analisa Prof. Mahyuni seperti yang diberitakan iNews. Saya ingatkan lagi bahwa diberitakan menurut Mahyuni, kata “pakai” tidak mengubah makna. Dengan demikian, jika kata “pakai” kita hilangkan, kalimatnya menjadi seperti ini.

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Iya toh?

            Kalimat ini memiliki makna bahwa isi QS Al Maidaah : 51 adalah kebohongan.

            Kalaulah Mahyuni benar, mengapa harus ada tuntutan atau gugatan atau tuduhan bahwa Ahok telah menghina ulama?

            Dalam kalimat Anda dibohongin surat Al Maidaah 51, jangankan ulama, seorang manusia pun tidak ada yang melakukan kebohongan dalam kalimat itu karena yang dimaksud melakukan kebohongan adalah QS Al Maidaah : 51.

            Ngapain menuduh atau memaki-maki Ahok sebagai penghina ulama, kan yang dimaksud berbohong dalam kalimat itu adalah QS Al Maidaah : 51?

            Kan lucu jadinya.

            Masih lebih terang Brili Agung dibandingkan Prof. Mahyuni dalam menganalisa kalimat Ahok. Brili Agung malah lebih jelas dalam menganalisa kalimat Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51. Ia menegaskan bahwa yang disasar Ahok adalah orang yang memakai QS Al Maidaah : 51. Brili Agung memang benar Ahok bisa dikatakan menyerang “orang” yang menggunakan QS Al Maidaah : 51.

            Siapa yang dimaksud “orang” itu?

            Menurut Ahok sih, siapa saja yang merupakan lawan politiknya yang memakai QS Al Maidaah : 51 dalam menjatuhkan dirinya di mata masyarakat. Jadi, tidak usah geer merasa dihina Ahok jika “bukan lawan politik Ahok dan tidak pernah menggunakan QS Al Maidaah : 51 untuk menghalangi karir politik Ahok”. Ahok memang menyerang “orang” dengan batasan seperti yang kemukakannya sendiri.

            Kalau merasa terhina atau terserang oleh Ahok, berarti Anda adalah “orang” yang dimaksud Ahok. Penyelesaiannya adalah buktikan bahwa Anda tidak berbohong dengan menggunakan QS Al Maidaah : 51. Buktikan bahwa ketika Anda menggunakan QS Al Maidaah : 51 itu adalah benar. Caranya adalah buktikan bahwa QS Al Maidaah : 51 itu memiliki makna yang tepat sesuai dengan yang dimaksud Allah swt dan mampu mematahkan penafsiran lain yang berbeda dengan penafsiran Anda. Begitu seharusnya.

            Jika sudah mampu membuktikan bahwa Anda tidak berbohong karena mampu menghancurkan penafsiran lain, baru laporkan Ahok ke polisi atau gugat di pengadilan.

            Sekarang paham kan perbedaan kedua kalimat tersebut?

            Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51.

            Kalimat satunya lagi:

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Kalau masih belum paham juga, mari kita perbesar dengan menggunakan “mikroskop”. Kita ubah lebih panjang kalimat itu dengan makna yang sama.

            Anda dibohongin orang yang menggunakan surat Al Maidaah 51.

            Bisa pula kalimat berikut.

            Anda dibohongin orang dengan menggunakan surat Al Maidaah 51.

            Jadi, orangnya yang diserang Ahok telah berbohong, bukan QS Al Maidaah : 51.

            Berbeda dengan dengan kalimat berikut.

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Jika seperti itu, kalimat itu mengandung penodaan agama karena telah menuduh QS Al Maidaah : 51 melakukan kebohongan. Artinya, isi QS Al Maidaah : 51 dianggap bohong.

            Jelas ya?

Bahasa yang Tidak Diperhitungkan
Masih dari iNews pada 13 Februari 2017. Mbak Neno Warisman yang disebut-sebut sebagai Koordinator Ahli Bahasa dari pihak anti-Ahok mengatakan bahwa faktor bahasa adalah faktor yang tidak diperhitungkan, tetapi ternyata bermasalah.

            Kira-kira seperti itulah maksud Mbak Neno. Cukup kaget juga saya mendengarnya. Saya jadi bertanya-tanya.

            Tidak diperhitungkan ketika melaksanakan apa?

            Ketika melaporkan Ahok ke polisi?

            Ketika membuat tuduhan kepada Ahok?

            Ketika menggerakkan jutaan massa untuk berdemonstrasi?

            Ketika menyiapkan para saksi ahli di pengadilan?

            Ketika apa dan untuk apa?

            Saya tidak mau menduga-duga, tetapi jelas hatiku bertanya-tanya.

            Hal yang juga menggelitik saya adalah Neno menjelaskan bahwa meskipun faktor bahasa tidak diperhitungkan, tetap mempersiapkan timnya dengan baik. Timnya memiliki orang-orang yang diandalkan untuk menjadi saksi ahli bahasa Indonesia. Baguslah.

            Sayangnya, dia menerangkan bahwa salah satu anggota timnya adalah murid langsung dari Noam Chomsky. Dia menerangkan bahwa kata-kata yang muncul dari seseorang itu berasal dari kata-kata yang sudah tersimpan dalam otaknya sekian lama dan bla … bla … bla ….

            Ngapain jauh-jauh ke Noam Chomsky?

            Kalimat Ahok kan hanya kalimat yang pendek. Adapun niat, tujuan, dan maksud Ahok sudah dijelaskan sendiri oleh Ahok. Apalagi Ahok sudah bikin buku yang menegaskan maksudnya sejak lama.

            Jadi, saya ingin mengomentari Neno Warisman, “Jaka Sembung rambutnya dijambak. Nggak nyambung, Mbak.”

            Ya, sudahlah.

            Saya sangat senang jika ada yang berbeda pendapat dengan saya. Apalagi jika dapat membuktikan bahwa apa yang saya tulis ini salah. Jika ada yang mendebat saya sehingga terbukti bahwa saya salah, saya bersyukur karena saya mendapatkan pengetahuan baru yang benar dan lebih baik.

            Silakan berbeda pendapat, tetapi harus benar. Jangan bicara seenaknya hanya karena kesal, benci, dan kecewa. Kalau marah, tetapi tidak bisa membuktikan saya salah, Anda bisa berbahasa seperti para pembuat dan penikmat “hoax” yang berbicara tidak jelas tanpa ada ujung pangkalnya dan sama sekali tidak bermanfaat.


Bukan untuk Ahok
Saya banyak menulis yang isinya bagai membela Ahok. Sesungguhnya, tidak sama sekali. Saya tidak kenal Ahok, tidak ikut-ikutan Ahok, tidak dibayar Ahok, tidak akan memilih Ahok, juga tidak pernah berkonflik dengan Ahok.

            Saya ikut-ikutan berkomentar mengenai hal-hal yang terjadi adalah karena tugas dan kewajiban saya sebagai muslim untuk selalu membela Allah swt, Islam, dan kaum muslimin. Saya sangat tidak suka jika ada yang “memperalat” agama saya untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah semisal politik, ekonomi, kehormatan, dan uang recehan. Sudah terlalu sering saya melihat bagaimana Agama Islam yang sangat saya yakini dijadikan alat untuk bertengkar dan untuk memperoleh kepentingan-kepentingan sesat dan sesaat. Saya ingin Islam menjadi pencerah, pendamai, dan sumber kasih sayang di muka Bumi ini sebagaimana kalimat Bismillaahirrahmaanniraahim. Kalimat itu adalah kalimat yang paling sering harus diucapkan karena sesungguhnya Allah swt ingin lebih dikenal diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Zat yang penuh kasih sayang.

            Saya kasih contoh satu lagi tentang bagaimana Islam diperalat untuk kepentingan politik. Saya sedang duduk-duduk di sebuah taman sambil minum minuman segar pada siang menjelang sore hari. Satu atau dua meter di samping kiri saya ada yang sedang mengobrol, cukup keras terdengar. Mereka berasal dari satu partai politik yang sama.

            Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan ikuti dia, jangan pilih dia. Neraka itu panas!”

            Kelihatannya, mereka sedang terlibat dalam pemilihan ketua partai di daerahnya.

            Temannya yang satu lagi berkata, “Memang dia salah apa? Dia orang baik. Saya dibiayai berangkat haji oleh dia. Dia juga yang membiayai manasiknya. Apa salah dia?”

            Dua orang satu partai ini sedang membicarakan calon kuat ketua partai dengan menggunakan isu agama. Yang satu mengatakan bahwa kalau memilih Sang Calon itu bisa masuk neraka karena katanya dia melihat perilaku buruk orang itu. Yang satu lagi membela orang itu karena dermawan dan sangat perhatian kepada Islam dengan memberikan biaya haji bagi dirinya dan itu tanda orang yang punya pahala untuk masuk surga.

            Apa itu artinya?

            Artinya, mereka menggunakan isu Islam tentang surga dan neraka hanya untuk kepentingan politik. Sebagian orang mengatakan Sang Calon akan membawa ke neraka yang panas. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, yaitu sebagai calon penduduk surga.

            Mereka seolah-olah sudah memastikan nasib Sang Calon akan masuk neraka atau masuk surga, padahal Sang Calon masih hidup. Sesungguhnya, orang yang sekarang dipandang baik dan calon penduduk surga, bisa terjatuh benar-benar memasuki neraka jika dia berubah menjadi buruk sampai matinya. Sebaliknya, orang yang sekarang dipandang buruk dan calon penghuni neraka, bisa masuk surga jika berubah menjadi baik dan tetap baik hingga mati dalam keadaan beriman dan berislam.

            Sudah terlalu mengesalkan bagi saya untuk menyaksikan hal-hal ini. Keterlaluan.

            Saya tidak sedang membela Ahok, tetapi membela Allah swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum muslimin. Saya ingin seluruh kaum muslimin saling menasihati jika ada saudaranya yang melakukan hal salah agar Islam dapat dilaksanakan sebagaimana ajaran Muhammad saw yang diperintahkan Allah swt. Saya tidak ingin agama Islam dijalankan sesuai dengan hawa nafsu orang per orang, kelompok per kelompok, maupun Ormas per Ormas.


            Sampurasun.