oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia boleh
bergembira sekaligus bersolek riang dengan kehadiran Raja Salman dari Saudi
Arabia. Hal itu disebabkan Indonesia didatangi oleh Penjaga Kota Suci Mekah dan
Madinah, saudara seiman dari Arab, dan kabarnya datang dengan membawa potensi investasi
yang jumlahnya fantastis hingga 331 triliun rupiah.
Sebagai pribumi dan negeri yang berpenduduk mayoritas muslim
terbesar di dunia, kita patut memuliakan siapa pun tamu kita, lebih-lebih Raja
Salman dari Saudi Arabia. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa masih ada
hal yang mengganjal pada hati rakyat Indonesia tentang penyelesaian ganti rugi
terhadap korban crane. Sependek yang
saya ingat bahwa sudah ada ketetapan dan pernyataan, baik dari Arab Saudi
maupun dari pemerintah Indonesia bahwa para korban crane itu akan diberi ganti
rugi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pembayaran ganti rugi masih belum juga
diterima oleh banyak korban jatuhnya crane di Mekah.
Adalah hal yang sangat baik dan mulia jika pemerintah
Kerajaan Arab Saudi dan Indonesia sama-sama bersegera menyelesaikan soal
pembayaran ganti rugi itu. Jika dihitung dengan potensi investasi Arab Saudi di
Indonesia, pembayaran ganti rugi itu sangatlah kecil. Akan tetapi, menjadi hal
yang besar jika pembayaran itu terus-terusan ditunda atau bahkan diingkari. Tuntutan
yang berasal dari harapan para korban crane akan mempengaruhi situasi kebatinan
rakyat Indonesia lainnya dalam menanggapi kerja sama yang terjalin antara
Indonesia dengan Arab Saudi.
Jika pembayaran ganti rugi itu belum bisa dilaksanakan
dengan sangat segera, paling tidak, ada penjelasan yang melapangkan dada, baik
dari pemerintah Indonesia maupun dari Kerajaan Saudi Arabia, terutama kepada
para korban crane. Dengan demikian, semua bisa mendoakan kebaikan tanpa ada ganjalan
dalam hati bangsa Indonesia atas kerja sama yang terjalin. Dukungan penuh pun
akan diberikan dengan senang hati oleh seluruh bangsa Indonesia.
Sesungguhnya bukan soal ganti rugi untuk korban crane
yang masih belum mendapatkan kejelasan yang pasti mengenai waktu pembayarannya,
melainkan pula mengenai banyak hal. Sebatas yang saya ingat, kalau tidak salah,
kita pernah memenangkan kasus gugatan sebuah desa yang “dizalimi” oleh Belanda pada
masa lalu dan Belanda harus membayar ganti rugi. Akan tetapi, pembayaran ganti
rugi itu pun belum jelas, bahkan terkesan beritanya menghilang dari peredaran.
Ada pula ganti rugi bagi para perempuan Indonesia yang dijadikan budak seks oleh
tentara-tentara Jepang pada masa lalu yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah Jepang. Akan tetapi, lagi-lagi beritanya sepi di peredaran sehingga
kita tidak tahu apakah pembayaran ganti rugi itu sudah dilaksanakan atau belum.
Hal ini hendaknya tidak perlu dijadikan kebiasaan oleh bangsa
Indonesia bahwa bangsa Indonesia hanya mampu telah berhasil menyatakan diri
benar dan memenangkan gugatan atau kasus yang harus diganti-rugi, tetapi “melempem”
pada saat pelaksanaan ganti rugi tersebut. Harus ada tindakan lebih tegas dan riil
untuk memperjelas pelaksanaan ganti-rugi ganti-rugi tersebut. Jangan
hanya menang dalam kasus atau pandai menyatakan diri benar secara hukum dan
secara politik, tetapi lemah dalam memproses eksekusinya.
Kita harus bekerja sama dengan pihak asing, tetapi kita
pun harus mengingatkan dengan tegas bahwa banyak pihak asing yang harus
menyelesaikan kewajibannya kepada Indonesia, terutama kepada rakyat Indonesia.
Salam.
No comments:
Post a Comment