oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bukan kehancuran Indonesia
yang sekarang yang saya maksudkan, melainkan Indonesia yang dulu sebelum
namanya bukan Indonesia ketika masih merupakan daratan Sundaland. Masa depan
Indonesia yang sekarang masih belum diketahui apakah akan hancur atau bertambah
mulia. Meskipun menjadi mulia dan besar, pada akhirnya akan hancur juga oleh
kiamat karena semuanya ada waktu berakhirnya. Segala sesuatu yang memiliki awal, pasti memiliki akhir.
Satu-satunya zat yang tidak berawal dan tidak berakhir hanyalah Allah swt. Oleh
sebab itu, Allah swt tidak akan pernah hancur. Tugas kita sekarang adalah
menjadikan Indonesia mulia dan besar sehingga rakyatnya pun menjadi mulia dan
besar.
Dulu, ketika Indonesia masih berupa Benua Sundaland,
rakyat dan kerajaan-kerajaannya teramat makmur, mudah sandang, murah pangan,
dan ketinggian teknologinya tak ada bandingannya di dunia ini.
Bangunan-bangunan megah seperti di Gunung Padang dan ratusan, bahkan ribuan
candi dibangun dengan sangat teliti dan rumit sehingga orang-orang sekarang pun
tak memiliki kemampuan untuk menjelaskan bagaimana bangunan-bangunan megah itu
bisa berdiri kokoh dan indah tiada tara. Di samping itu, makanan tidak pernah
kekurangan, semua orang hidup dalam keadaan kaya raya dengan segala
perhiasan-perhiasan dunianya. Akan tetapi, sayangnya, manusia memang kerap lupa
dan menjadi serakah, tak pernah puas dengan apa yang telah didapatnya. Banyak manusia
yang selalu ingin lebih dan lebih lagi. Ketika keinginannya untuk menjadi lebih
kaya raya tidak terpenuhi dan doanya tidak dikabulkan Allah swt, mereka pun
kecewa. Kekecewaan mereka pun mengubah sikap dan keyakinan hidup mereka kepada
Allah swt. Mereka mencari sesembahan lain yang dianggap mampu memuaskan
keinginan mereka. Akibatnya, mereka menjadi kafir dan bersahabat erat dengan
Iblis Laknatulllah. Ketika kekafiran mereka menjadi-jadi dan meninggalkan
ajaran para nabi, seperti, Nabi Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, Nabi Daud
as, dan nabi-nabi lainnya, Allah swt pun murka dan menghancurkan mereka
sehancur-hancurnya sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Benua Sundaland
pun hancur berkeping-keping menjadi kepulauan seperti yang sekarang ini bernama
Indonesia.
“… Kami hancurkan mereka
sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS
34 : 19)
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian
itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS
34 : 17)
Mereka
yang Selamat Menjadi Saksi Kehancuran
Ketika Allah swt
menghancurkan Benua Sundaland dengan sangat dahsyat yang menurut Plato, filsuf
Barat, terjadi dalam satu hari, orang-orang Indonesia pun berlarian ketakutan
kesana-kemari tak tentu arah, bingung dan cemas, para ibu meninggalkan bayi
yang sedang disusuinya, terjadi kerusakan dalam organ-organ tubuh akibat
getaran dan kepanikan luar biasa, serta sebagian kabur ke berbagai penjuru
dunia. Bencana dahsyat itu benar-benar mengerikan dan sampai hari ini belum ada
lagi bencana sesadis itu. Saking dahsyatnya, orang-orang sombong dan angkuh pun
hancur lebur, baik fisik maupun jiwanya.
Beberapa dari mereka
yang kafir, tetapi tidak terlalu kafir diselamatkan Allah swt dari bencana
spektakuler itu. Namun, mereka mulai gila dan kehilangan akal, tak jelas lagi
pandangan dan arah hidup mereka. Allah swt tahu itu semua, kemudian
menyelamatkan jiwa dan pikiran mereka serta kembali menenangkan mereka agar
pikiran mereka dapat kembali lurus dan menyadari berbagai kesalahan dan
kebodohan yang telah diperbuat mereka.
“Dan syafaat
(pertolongan) di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah diizinkan-Nya
(memperoleh syafaat itu). Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari
hati mereka, mereka berkata, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka
menjawab, ‘(Perkataan) yang benar,’ dan Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” (QS
34 : 23)
Orang-orang ini sadar
atas kesalahan dirinya yang telah melupakan ajaran para nabi terdahulu. Mereka
menyadari bahwa peringatan-peringatan dan ancaman-ancaman dari para nabi
terdahulu adalah kebenaran dan bukan kebohongan karena mereka telah
mengalaminya sendiri. Merekalah para saksi atas hancurnya Benua Sundaland
sehingga menjadi kepulauan seperti sekarang ini.
Beberapa dari mereka memulai kembali membangun
perkampungan dengan menjaga setiap nasihat-nasihat leluhur mereka yang berasal
dari para nabi terdahulu. Mereka bertahap membangun kerajaan-kerajaan kecil
pada berbagai pulau dan tetap menjadikan ajaran para nabi mereka sebagi
panduan. Begitulah kearifan lokal mulai terjadi. Sebagian lagi memilih untuk
menjauhi kehidupan dunia karena saking takutnya kepada Allah swt yang bisa
kapan saja menjatuhkan bencana dahsyat atas kekafiran mereka. Merekalah
orang-orang yang anti pembaharuan, anti pembangunan, dan anti perubahan. Mereka
tetap kuat dalam adat mereka dan tidak ingin berubah, bahkan menolak siapa pun
dan apa pun yang dapat mengubah keyakinan dan cara hidup mereka. Mereka tidak
peduli dengan perkembangan dan modernisasi. Mereka hanya peduli pada kehidupan
spiritual dan menjaga diri agar Allah swt tidak lagi menjatuhkan bencana yang
sangat dahsyat.
Salah satu yang tidak menginginkan perubahan drastis dan
menolak apa pun yang menurut anggapan mereka bisa membawa kerusakan adalah
warga Kanekes yang biasa disebut Suku
Baduy. Mereka benar-benar selektif atas hal-hal yang datang dari luar diri
mereka. Mereka tak ingin diganggu dan tidak ingin berubah. Leluhur mereka
secara turun-temurun mengingatkan bahaya apabila meninggalkan berbagai
peribadatan kepada Allah swt. Leluhur mereka benar-benar mengalami bagaimana
perubahan keyakinan dan kemunkaran mengakibatkan kehancuran luar biasa. Oleh
sebab itu, mereka memilih untuk tidak meninggalkan peribadatan dan pengabdian
kepada Allah swt dengan cara mereka sendiri sesuai syariat yang kemungkinan
besar berasal dari Nabi Prabu Siliwangi as. Hal itu disebabkan mereka meyakini
adanya Buana Larang, Buana Tengah, dan
Buana Nyungcung.
Apabila sampai
meninggalkan adat dan keyakinan leluhur, mereka sangat takut Allah swt akan
menimpakan azab seperti yang sudah-sudah, bahkan lebih besar. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan mereka sendiri.
Ti meletuk datang
ka meletek, ti segir datang ka segir deui. Lamun dirobah buyut kami lamun hujan
liwat ti langkung lamun halodo liwat ti langkung. Tengsetna lamun buyut kami
dipaksa dirobah cadas malela jadi tiis,
buana larang buana tengah buana nyungcung pinuh ku sagara (Judistira
Garna, 1991, Masyarakat Baduy dan
Siliwangi [Menurut Anggapan Orang-Orang Baduy Masa Kini]).
Apabila kita terjemahkan secara bebas, perkataan orang
Baduy itu kira-kira akan seperti berikut.
Dari subuh sampai
subuh lagi, dari musim hujan sampai musim hujan lagi, dari musim kemarau sampai
kemarau lagi, kami tidak akan berubah. Pendek kata, kalau keyakinan dan
kebiasaan kami diubah, batu cadas dan hutan tidak akan lagi bermanfaat, seluruh dunia nyata dan dunia gaib akan
dibanjiri lautan.
Hal yang membuat saya
sangat tertarik adalah kata-kata terakhir dalam kalimat mereka, yaitu “… pinuh ku sagara”, artinya “… dibanjiri lautan.”
Mengapa mereka
mengatakan bahwa azabnya itu adalah dibanjiri
lautan?
Mengapa bukan azab
berupa angin puyuh puting beliung topan tornado?
Mengapa bukan kehancuran akibat kebakaran hutan yang
sangat masif atau bencana lainnya?
Hal itu menunjukkan bahwa leluhur mereka memiliki
pengalaman yang sangat buruk dengan bencana banjir yang meluap dari lautan
lepas hingga menenggelamkan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Hal itu pun
mengisyaratkan bahwa memang Benua Sundaland itu adalah tempat yang sangat
makmur dan hebat yang disebut-sebut orang sebagai Atlantis sebagaimana yang dikisahkan oleh Plato. Sayangnya, Benua
Sundaland yang kini bernama Indonesia dan sekitarnya itu harus hancur
berkeping-keping, bagai bubuk roti yang disebarkan hingga berupa kepulauan
seperti sekarang ini. Hal itu disebabkan oleh kemarahan Allah swt akibat
kedurhakaan dan keserakahan penduduknya yang keterlaluan hingga meninggalkan
segala peribadatan dan mengalihkan keimanan mereka kepada Iblis Laknatullah,
padahal Allah swt telah menjadikan penduduk Benua Sundaland adalah manusia paling
unggul di muka Bumi.
“Dan sungguh, Iblis
telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya, lalu mereka
mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang Mukmin.” (QS 34 : 20)
“… mereka
mendustakan para rasul-Ku. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat
kemurkaan-Ku.” (QS 34 : 45)
Hal itu harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa
jika kita mengingkari Allah swt dan tak ada lagi orang yang mampu menjaga
syariat Allah swt untuk tetap dalam kebenaran sehingga menganggap bahwa
dosa-dosa mereka sebagai hal yang benar, Allah swt akan benar-benar menjatuhkan
hukuman yang teramat berat dan mengerikan.
“… Kami jadikan
mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)
Jaga diri dan perbuatan kita untuk tidak membuat murka Allah swt agar tak lagi mendapatkan azab sebagaimana yang telah disaksikan oleh leluhur Suku Baduy, warga Kanekes, Banten, Indonesia.
No comments:
Post a Comment