Saturday, 11 February 2017

Para Saksi Kehancuran Indonesia

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Bukan kehancuran Indonesia yang sekarang yang saya maksudkan, melainkan Indonesia yang dulu sebelum namanya bukan Indonesia ketika masih merupakan daratan Sundaland. Masa depan Indonesia yang sekarang masih belum diketahui apakah akan hancur atau bertambah mulia. Meskipun menjadi mulia dan besar, pada akhirnya akan hancur juga oleh kiamat karena semuanya ada waktu berakhirnya. Segala sesuatu yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Satu-satunya zat yang tidak berawal dan tidak berakhir hanyalah Allah swt. Oleh sebab itu, Allah swt tidak akan pernah hancur. Tugas kita sekarang adalah menjadikan Indonesia mulia dan besar sehingga rakyatnya pun menjadi mulia dan besar.

            Dulu, ketika Indonesia masih berupa Benua Sundaland, rakyat dan kerajaan-kerajaannya teramat makmur, mudah sandang, murah pangan, dan ketinggian teknologinya tak ada bandingannya di dunia ini. Bangunan-bangunan megah seperti di Gunung Padang dan ratusan, bahkan ribuan candi dibangun dengan sangat teliti dan rumit sehingga orang-orang sekarang pun tak memiliki kemampuan untuk menjelaskan bagaimana bangunan-bangunan megah itu bisa berdiri kokoh dan indah tiada tara. Di samping itu, makanan tidak pernah kekurangan, semua orang hidup dalam keadaan kaya raya dengan segala perhiasan-perhiasan dunianya. Akan tetapi, sayangnya, manusia memang kerap lupa dan menjadi serakah, tak pernah puas dengan apa yang telah didapatnya. Banyak manusia yang selalu ingin lebih dan lebih lagi. Ketika keinginannya untuk menjadi lebih kaya raya tidak terpenuhi dan doanya tidak dikabulkan Allah swt, mereka pun kecewa. Kekecewaan mereka pun mengubah sikap dan keyakinan hidup mereka kepada Allah swt. Mereka mencari sesembahan lain yang dianggap mampu memuaskan keinginan mereka. Akibatnya, mereka menjadi kafir dan bersahabat erat dengan Iblis Laknatulllah. Ketika kekafiran mereka menjadi-jadi dan meninggalkan ajaran para nabi, seperti, Nabi Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, Nabi Daud as, dan nabi-nabi lainnya, Allah swt pun murka dan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Benua Sundaland pun hancur berkeping-keping menjadi kepulauan seperti yang sekarang ini bernama Indonesia.

“… Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS 34 : 17)


Mereka yang Selamat Menjadi Saksi Kehancuran
Ketika Allah swt menghancurkan Benua Sundaland dengan sangat dahsyat yang menurut Plato, filsuf Barat, terjadi dalam satu hari, orang-orang Indonesia pun berlarian ketakutan kesana-kemari tak tentu arah, bingung dan cemas, para ibu meninggalkan bayi yang sedang disusuinya, terjadi kerusakan dalam organ-organ tubuh akibat getaran dan kepanikan luar biasa, serta sebagian kabur ke berbagai penjuru dunia. Bencana dahsyat itu benar-benar mengerikan dan sampai hari ini belum ada lagi bencana sesadis itu. Saking dahsyatnya, orang-orang sombong dan angkuh pun hancur lebur, baik fisik maupun jiwanya.

            Beberapa dari mereka yang kafir, tetapi tidak terlalu kafir diselamatkan Allah swt dari bencana spektakuler itu. Namun, mereka mulai gila dan kehilangan akal, tak jelas lagi pandangan dan arah hidup mereka. Allah swt tahu itu semua, kemudian menyelamatkan jiwa dan pikiran mereka serta kembali menenangkan mereka agar pikiran mereka dapat kembali lurus dan menyadari berbagai kesalahan dan kebodohan yang telah diperbuat mereka.

            “Dan syafaat (pertolongan) di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah diizinkan-Nya (memperoleh syafaat itu). Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar,’ dan Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” (QS 34 : 23)

            Orang-orang ini sadar atas kesalahan dirinya yang telah melupakan ajaran para nabi terdahulu. Mereka menyadari bahwa peringatan-peringatan dan ancaman-ancaman dari para nabi terdahulu adalah kebenaran dan bukan kebohongan karena mereka telah mengalaminya sendiri. Merekalah para saksi atas hancurnya Benua Sundaland sehingga menjadi kepulauan seperti sekarang ini.

            Beberapa dari mereka memulai kembali membangun perkampungan dengan menjaga setiap nasihat-nasihat leluhur mereka yang berasal dari para nabi terdahulu. Mereka bertahap membangun kerajaan-kerajaan kecil pada berbagai pulau dan tetap menjadikan ajaran para nabi mereka sebagi panduan. Begitulah kearifan lokal mulai terjadi. Sebagian lagi memilih untuk menjauhi kehidupan dunia karena saking takutnya kepada Allah swt yang bisa kapan saja menjatuhkan bencana dahsyat atas kekafiran mereka. Merekalah orang-orang yang anti pembaharuan, anti pembangunan, dan anti perubahan. Mereka tetap kuat dalam adat mereka dan tidak ingin berubah, bahkan menolak siapa pun dan apa pun yang dapat mengubah keyakinan dan cara hidup mereka. Mereka tidak peduli dengan perkembangan dan modernisasi. Mereka hanya peduli pada kehidupan spiritual dan menjaga diri agar Allah swt tidak lagi menjatuhkan bencana yang sangat dahsyat.

            Salah satu yang tidak menginginkan perubahan drastis dan menolak apa pun yang menurut anggapan mereka bisa membawa kerusakan adalah warga Kanekes yang biasa disebut Suku Baduy. Mereka benar-benar selektif atas hal-hal yang datang dari luar diri mereka. Mereka tak ingin diganggu dan tidak ingin berubah. Leluhur mereka secara turun-temurun mengingatkan bahaya apabila meninggalkan berbagai peribadatan kepada Allah swt. Leluhur mereka benar-benar mengalami bagaimana perubahan keyakinan dan kemunkaran mengakibatkan kehancuran luar biasa. Oleh sebab itu, mereka memilih untuk tidak meninggalkan peribadatan dan pengabdian kepada Allah swt dengan cara mereka sendiri sesuai syariat yang kemungkinan besar berasal dari Nabi Prabu Siliwangi as. Hal itu disebabkan mereka meyakini adanya Buana Larang, Buana Tengah, dan Buana Nyungcung.

            Apabila sampai meninggalkan adat dan keyakinan leluhur, mereka sangat takut Allah swt akan menimpakan azab seperti yang sudah-sudah, bahkan lebih besar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan mereka sendiri.

            Ti meletuk datang ka meletek, ti segir datang ka segir deui. Lamun dirobah buyut kami lamun hujan liwat ti langkung lamun halodo liwat ti langkung. Tengsetna lamun buyut kami dipaksa dirobah cadas malela jadi tiis, buana larang buana tengah buana nyungcung pinuh ku sagara (Judistira Garna, 1991, Masyarakat Baduy dan Siliwangi [Menurut Anggapan Orang-Orang Baduy Masa Kini]).

            Apabila kita terjemahkan secara bebas, perkataan orang Baduy itu kira-kira akan seperti berikut.

            Dari subuh sampai subuh lagi, dari musim hujan sampai musim hujan lagi, dari musim kemarau sampai kemarau lagi, kami tidak akan berubah. Pendek kata, kalau keyakinan dan kebiasaan kami diubah, batu cadas dan hutan tidak akan lagi bermanfaat, seluruh dunia nyata dan dunia gaib akan dibanjiri lautan.

            Hal yang membuat saya sangat tertarik adalah kata-kata terakhir dalam kalimat mereka, yaitu “… pinuh ku sagara”, artinya “… dibanjiri lautan.”

            Mengapa mereka mengatakan bahwa azabnya itu adalah dibanjiri lautan?

            Mengapa bukan azab berupa angin puyuh puting beliung topan tornado?

            Mengapa bukan kehancuran akibat kebakaran hutan yang sangat masif atau bencana lainnya?

            Hal itu menunjukkan bahwa leluhur mereka memiliki pengalaman yang sangat buruk dengan bencana banjir yang meluap dari lautan lepas hingga menenggelamkan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Hal itu pun mengisyaratkan bahwa memang Benua Sundaland itu adalah tempat yang sangat makmur dan hebat yang disebut-sebut orang sebagai Atlantis sebagaimana yang dikisahkan oleh Plato. Sayangnya, Benua Sundaland yang kini bernama Indonesia dan sekitarnya itu harus hancur berkeping-keping, bagai bubuk roti yang disebarkan hingga berupa kepulauan seperti sekarang ini. Hal itu disebabkan oleh kemarahan Allah swt akibat kedurhakaan dan keserakahan penduduknya yang keterlaluan hingga meninggalkan segala peribadatan dan mengalihkan keimanan mereka kepada Iblis Laknatullah, padahal Allah swt telah menjadikan penduduk Benua Sundaland adalah manusia paling unggul di muka Bumi.

            “Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang Mukmin.” (QS 34 : 20)

            “… mereka mendustakan para rasul-Ku. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat kemurkaan-Ku.” (QS 34 : 45)

            Hal itu harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa jika kita mengingkari Allah swt dan tak ada lagi orang yang mampu menjaga syariat Allah swt untuk tetap dalam kebenaran sehingga menganggap bahwa dosa-dosa mereka sebagai hal yang benar, Allah swt akan benar-benar menjatuhkan hukuman yang teramat berat dan mengerikan.

            “… Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

            Jaga diri dan perbuatan kita untuk tidak membuat murka Allah swt agar tak lagi mendapatkan azab sebagaimana yang telah disaksikan oleh leluhur Suku Baduy, warga Kanekes, Banten, Indonesia.

No comments:

Post a Comment