oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pagi-pagi sekali saya sangat
senang karena menonton berita di televisi bahwa ada saksi ahli bahasa yang akan
bersaksi pada persidangan Ahok, Senin, 13 Februari 2017. Saya sangat tertarik
pada masalah bahasa Indonesia karena saya memang lulusan bahasa Indonesia dan
bekerja sejak masih kuliah semester tiga sebagai “penjaga” bahasa Indonesia
pada beberapa penerbit. Apalagi, sekarang saya diminta mengajar bahasa
Indonesia di perguruan tinggi. Berkali-kali saya mengatakan sesuai dengan
kemampuan saya bahwa saya tidak menemukan
kata-kata penodaan terhadap Al Quran yang disampaikan Ahok di Kepulauan Seribu.
Saya sangat ingin tahu jika ada ahli bahasa Indonesia yang jauh lebih hebat
daripada saya yang mengatakan bahwa kalimat yang disampaikan Ahok mengandung
penodaan terhadap agama Islam. Kalau pendapatnya benar secara pengetahuan dan
masuk akal, saya akan mendapatkan pengetahuan baru tentang bahasa Indonesia.
Oleh sebab itu, saya cukup bersemangat untuk mengetahui pendapat ahli bahasa
yang dijadikan ahli bahasa pada persidangan Ahok.
Sayangnya, semangat ketertarikan itu harus hancur
seketika ketika mengetahui profil saksi ahli bahasa dari pihak Jaksa Penuntut
Umum. Pertama kali saya terkejut ketika membaca bahwa ahli bahasa tersebut
memiliki gelar Ph.D.
Kok ahli bahasa Indonesia bergelar Ph.D.?
Yang bener aja, Bro!
Ph.D itu gelar dalam ilmu apaan?
Saya coba cari tahu lebih jauh profil ahli bahasa itu dan
saya menemukannya di www.kompasiana.com. Namanya Prof. Drs. H.
Mahyuni, M.A., Ph.D.. Dia lulusan pendidikan bahasa Inggris dari FKIP
Universitas Mataram. Gelar Magister Linguistik Terapan (M.App Ling) didapatnya dari
Macquarie University (Sydney, Australia). Adapun gelar Ph.D. diperolehnya dari
The University of Melbourne (Victoria, Australia).
Setelah mengetahui profilnya lebih jauh, tiba-tiba saja
saya tertawa meskipun tidak terbahak-bahak.
Kok ahli bahasa Inggris menjadi saksi ahli bahasa
Indonesia?
Yang bener aja, Bro!
Mahyuni jelas ahli bahasa, tetapi bukan ahli bahasa
Indonesia. Dia ahli bahasa Inggris, bukan ahli bahasa Indonesia. Dilihat dari pendidikannya,
dia sangat tidak tepat untuk menjadi saksi ahli bahasa Indonesia.
Masa ahli bahasa Indonesia belajarnya di luar negeri?
Bahasa Indonesia itu ya harus dipelajari di Indonesia,
Bro.
Bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris itu sangat jauh berbeda.
Untuk memahami kalimat dalam bahasa Indonesia itu bergantung kata per kata yang ada dalam kalimat
tersebut. Adapun untuk memahami bahasa Inggris, sangat bergantung pada frasa per frasa. Hal lain lagi adalah
adanya perbedaan posisi penempatan kata yang berbeda antara bahasa Inggris
dengan bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Indonesia ada frasa “bunga merah”, dalam bahasa Inggris harus
“merah bunga” atau “red flower”. Belum lagi bahasa Indonesia
itu memiliki perbedaan yang jauh antara bahasa
lisan dengan bahasa tulisan. Hal
ini sangat berbeda dengan bahasa Inggris yang tidak memiliki perbedaan yang
jauh antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan.
Mungkin tidak begitu tepat saya membedakan antara bahasa
Inggris dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, itulah yang “dikeluhkan”
teman-teman kuliah saya dulu yang berasal dari Australia, India, dan Jepang
dalam mempelajari bahasa Indonesia yang memiliki perbedaan jauh antara bahasa
mereka sendiri dengan bahasa Indonesia dalam banyak hal.
Saya sangat menghormati Prof. Drs. H. Mahyuni, M.A.,
Ph.D. karena dia pasti ahli bahasa Inggris dan wajib bagi para mahasiswa bahasa
Inggris untuk menjadikan karya-karyanya menjadi rujukan. Akan tetapi, saya
sangat meragukan pendapatnya dalam menganalisa kalimat-kalimat dalam bahasa
Indonesia karena dia bukanlah ahli bahasa Indonesia. Kalaupun pendapatnya
benar, itu ajaib atau kebetulan saja.
Seseorang yang sangat pantas disebut ahli bahasa
Indonesia adalah orang yang berpendidikan dari awal sampai akhir dalam ilmu
bahasa Indonesia. Dia idealnya memiliki ijazah D3 bahasa Indonesia, S1 bahasa
Indonesia, S2 bahasa Indonesia, S3 bahasa Indonesia, bergelar profesor, serta
memiliki cukup banyak karya ilmiah mengenai bahasa Indonesia.
Kalimat yang disampaikan Ahok itu berbahasa Indonesia dan
harus dianalisa oleh ahli bahasa Indonesia pula.
Sangat aneh dan cukup menggelikan jika kalimat Ahok yang
berbahasa Indonesia dianalisa oleh ahli bahasa Arab, bahasa Tagalog, bahasa
India, bahasa Peru, ataupun bahasa Inggris.
Ibarat mur dan baut. Mur dan baut harus pas dan cocok
ukurannya, jadi bisa masuk dan memiliki manfaat yang sesuai dengan
keperluannya. Kalau ukurannya berbeda meskipun jenisnya sama, yaitu sama-sama
mur dan sama-sama baut, sama sekali tidak pas, tidak sesuai, dan sangat tidak
bermanfaat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment