oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak peneliti, baik dari
dalam maupun luar negeri yang masih mengatakan bahwa Hindu dan Budha pernah mempengaruhi
hidup orang Sunda. Bahkan, Prabu Siliwangi as pun disebutnya kalau tidak
beragama Hindu, ya beragama Budha. Sesungguhnya, Prabu Siliwangi adalah nabi
kepercayaan Allah swt untuk mengajarkan tauhid di Benua Sundaland. Agamanya
disebut Sunda Wiwitan. Agama itu adalah Agama Islam pra-Muhammad saw.
Saya sebagai orang Sunda sama sekali tidak pernah
menemukan satu orang pun atau sekeluarga pun yang menyimpan kitab Hindu atau
Budha sebagai kitab yang pernah dijadikan pegangan hidup. Demikian pula, orang
Sunda tidak pernah berperilaku atau berkata-kata sebagaimana orang yang pernah
dipengaruhi Hindu atau Budha. Kedua agama itu tidak ada jejak sama sekali di
Tanah Sunda. Agama Sunda Wiwitan jauh sekali perbedaannya dibandingkan Agama
Hindu atau Budha. Agama Sunda Wiwitan malahan lebih dekat pada ajaran Islam
Muhammad saw dalam hampir semua hal.
Agama Sunda Wiwitan langsung dengan mudah melebur ke
dalam Agama Islam. Hal itu disebabkan Agama Sunda Wiwitan adalah Agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as, kemudian disempurnakan oleh Islam
yang dibawa Muhammad saw.
Hal ini bisa dilihat dari dongeng-dongeng lisan
masyarakat Sunda yang sangat akrab dengan masyarakat Arab. Para raja Sunda
kerap datang ke tanah Arab dan menikah dengan puteri raja-raja di sana. Para
Pangeran Sunda pun menikahi puteri-puteri Arab dan Mesir. Terkadang pula
raja-raja dan pangeran Arab atau Mesir mendatangi tanah Sunda, lalu menikahi
puteri-puteri kerajaan Sunda. Hasil pernikahan mereka melahirkan para wali dan
syekh yang kemudian membangun kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Tak pernah ada kisah yang sangat akrab dengan raja-raja
atau keluarga istana India. Tak ada dongeng yang mengisahkan adanya pernikahan
ataupun persekutuan antara kerajaan Sunda dengan kerajaan-kerajaan di India.
Hal itu menunjukkan bahwa sama sekali tidak pernah ada pengaruh Hindu dan Budha
di tanah Sunda. Kalau Hindu atau Budha memiliki pengaruh di tanah Sunda, harus
ada kisah ataupun sejarah mengenai keakraban atau konflik antara Kerajaan Sunda
dan Kerajaan India.
Bagaimana dengan pewayangan?
Bukankah itu pengaruh dari India?
Bukan!
Kisah-kisah pewayangan bukanlah berasal dari India. Kisah
pewayangan itu lahir di Indonesia dan merupakan kisah kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Kisah ini tersebar di seluruh tanah kekuasaan Kerajaan Sunda. Dalam
peta yang dibuat Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, Kerajaan Sunda itu meliputi wilayah
yang teramat luas dan India saat itu berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda.
India hanyalah sebuah kadipaten dari Kerajaan Sunda. Kisah pewayangan ini
mengalir ke India dan menarik masyarakat India. Bukan hanya kisah pewayangan
yang diadopsi, melainkan sistem penanggalan India pun mengikuti sistem
penanggalan Sunda. Dalam Konferensi
Internasional Budaya Sunda II di Gedung Merdeka, Bandung, yang saya
diundang menjadi pesertanya, sebagai wakil dari Yayasan Al Ghifari, dijelaskan
bahwa kalender India sama persis dengan kalender Sunda karena India mengikuti
sistem Sunda.
Tak ada pengaruh Hindu dan Budha di tanah Sunda. Pengaruh
sangat besar justru berasal dari Arab karena kesamaan keyakinan. Misalnya,
dongeng Kian Santang dan Walangsungsang yang datang ke Mekah, lalu dibalas oleh
kunjungan Nabi Muhammad saw ke Garut di daerah Kadungora dan Leuwigoong. Pesan
dongeng itu jelas sekali bahwa ajaran Islam dari tanah Arab itu sangat direstui
untuk menyempurnakan agama Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as.
Dongeng-dongeng lisan di tanah Sunda yang akrab dengan
Arab memiliki campuran antara kenyataan,
khayalan, dan uga (prediksi atau
ramalan masa depan). Oleh sebab itu, cukup rumit memisahkan mana yang kenyataan
sejarah, mana yang khayalan, dan mana yang merupakan prediksi masa depan.
Kerajaan-kerajaan di Indonesia ini pada masa lalu
merupakan kerajaan-kerajaan kuat dan besar, misalnya, Pajajaran, Majapahit,
Singosari, Perlak, Samudera Pasai, dan lain sebagainya. Mereka dikenal sebagai
para pelaut ulung yang mampu berlayar ke seluruh dunia sehingga terjalin bisnis
yang kuat dan sangat menguntungkan dengan berbagai negara di dunia, termasuk
dengan Eropa, Cina, dan Arab. Kehebatan orang Indonesia dalam mengarungi
samudera ini diabadikan dalam lagu yang kita kenal dengan judul Nenek Moyangku Seorang Pelaut.
Dalam petualangan dan pelayarannya ke berbagai negeri,
tentunya mengalami berbagai interaksi dan komunikasi dengan wilayah-wilayah
yang pernah dikunjunginya dalam berbisnis. Pengalaman para petualang dan tokoh
Sunda ke daerah Arab ini memunculkan pula kisah yang sangat mungkin merupakan
kenyataan sejarah. Kisah ini lagi-lagi memperlihatkan bagaimana akrabnya Sunda
dengan Arab.
Wahyu Wibisana dalam Pengislaman
Prabu Siliwangi sebagai Pelengkap Kehadiran Tokoh Ceritera Siliwangi dalam
Ceritera-Ceritera Rakyat Jawa Barat (1991) mengisyaratkan bahwa sudah
terjadi hubungan yang sangat akrab antara orang Sunda dengan Arab jauh sebelum
Nabi Muhammad saw lahir. Ia menuturkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw baru
berusia tujuh hari, menangis terus-menerus dan tidak mau berhenti meskipun
telah dibujuk oleh siapa pun. Muhammad saw kecil baru berhenti menangis ketika
orang Sunda yang bernama Syekh Batara
Galunggung menghiburnya dengan cara memberikan kolecer kepada Nabi Muhammad saw. Kolecer itu kincir yang terbuat
dari kertas yang jika ditiup akan berputar-putar lucu. Kolecer saat ini
merupakan kerajinan tangan ringan yang diajarkan oleh guru-guru TK di
Indonesia.
Hal ini jika ditelusuri lebih teliti, sangat mungkin
menjadi sejarah bernilai ilmiah mengingat kehebatan para pelaut Indonesia pada
masa kejayaan berbagai kerajaannya mampu berdagang ke berbagai penjuru dunia.
Ketika berada di negeri orang, tentu saja mereka berinteraksi dalam waktu yang
cukup panjang hingga satu atau dua bulan menunggu urusan bisnis rampung. Ketika
sampai di tanah Arab, mereka pun sampai ke Mekah dan mengenal keluarga Nabi
Muhammad saw.
Ketika Nabi Muhammad saw sudah dewasa, sejak sebelum
menjadi nabi maupun sesudah menjadi nabi, beberapa kali datang ke Indonesia
dengan tujuan yang sama, yaitu berdagang sejak menjadi pesuruh Siti Khadijah
ra. Bahkan, ada naskah Sunda kuno yang mengisahkan bahwa rombongan dari tanah
Arab datang ke tanah Sunda dipimpin oleh Abu Jahal untuk berbisnis. Di dalam
rombongan itu, terdapat Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Ketika berada di tanah
Sunda, rombongan itu keluar masuk hutan dan mengalami beberapa kali kesulitan
karena tersesat dan kerap diganggu harimau. Oleh sebab itu, Abu Bakar
mengusulkan agar Muhammad saw diberi kesempatan untuk memimpin rombongan.
Setelah pemimpin rombongan diganti oleh Muhammad saw, perjalanan pun menjadi
lancar dan harimau tak mau mengganggu lagi. Ketika Muhammad saw telah menjadi
nabi pun, tetap datang ke tanah Sunda untuk mengajarkan agama dan mendirikan
beberapa masjid.
Lagi-lagi informasi dari naskah-naskah ini jika diteliti
lagi lebih mendalam, dapat menjadi bernilai kenyataan sejarah. Hal itu
disebabkan sangat mungkin terjadi interaksi yang akrab antara tanah Sunda dan
tanah Arab sebelum dan sesudah Muhammad saw menjadi nabi. Hal ini bisa dilihat
dari hadits-hadits yang mengharuskan penggunaan kapur barus untuk pengurusan
jenazah. Kapur barus itu didapatkan dari Pulau Jawa, Indonesia karena di Mekah,
Medinah, maupun Jeddah tidak memiliki wilayah yang bisa menghasilkan kapur
barus. Di samping itu, di dalam Al Quran pun banyak ayat yang menerangkan
tentang keadaan laut, pelayaran, para pelaut, dan hutan dengan segala
keistimewaannya. Hal itu mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berulang
kali melakukan pelayaran dan keluar masuk hutan. Sangat mungkin pelayaran itu
ke tanah Sunda dan hutannya pun hutan yang berada di wilayah Sunda.
Memangnya di Mekah sebelah mana yang ada hutannya?
Di Medinah atau Jeddah yang mana yang wilayahnya ada
hutan?
Dengan melihat dan mendengar berbagai kisah yang akrab
antara tanah Arab dan tanah Sunda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Agama
Sunda Wiwitan sangat terbuka untuk disempurnakan oleh Agama Islam. Dengan tidak
adanya keakraban antara tanah Sunda dengan tanah India, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa Agama Hindu dan Agama Budha tidak pernah memberikan pengaruh
apa pun bagi masyarakat Sunda.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment