Wednesday, 15 February 2017

Pengacara Ahok Aneh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Biasanya tim pengacara Ahok bersikap reaktif jika ada saksi fakta atau saksi ahli yang dianggap tidak layak untuk menjadi saksi dalam persidangan Ahok. Akan tetapi, ada yang berbeda saat persidangan Ahok pada Senin, 13 Februari 2017. Saya merasa aneh kenapa mereka tidak mempermasalahkan Mahyuni sebagai saksi ahli bahasa yang dipanggil Jaksa Penuntut Umum. Padahal, menurut saya, saksi itu sangat tidak layak untuk menjadi saksi ahli bahasa Indonesia karena sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Mahyuni adalah berpendidikan bahasa Inggris. Jadi, dia tepatnya bisa disebut sebagai ahli bahasa Inggris dan bukan ahli bahasa Indonesia. Sangat tidak tepat jika ahli bahasa Inggris menganalisa kalimat Ahok yang berbahasa Indonesia. Kalimat Ahok yang berbahasa Indonesia itu seharusnya dianalisa oleh orang yang berlatar pendidikan bahasa Indonesia dan terbukti keahliannya, baik secara akademis maupun nonakademis.

            Keanehan saya itu karena jelas saya tidak memahami strategi pengacara, adanya informasi yang ingin digali dari saksi bahasa itu, atau hanya mengisi waktu berhubung sebelumnya sudah menolak saksi ahli agama dari MUI. Entahlah. Saya memang tidak mengerti hukum dan dunia lawyers. Oleh sebab itu, saya merasa aneh.


Analisa Bahasa yang Tidak Tepat
Lepas dari keanehan saya soal sikap pengacara Ahok. Mari kita perhatikan analisa yang dilakukan Mahyuni ahli bahasa Inggris yang menganalisa bahasa Indonesia Ahok.

            Entah apa saja yang terjadi dalam kesaksiannya selama lima jam di dalam persidangan itu. Akan tetapi, ada hal kecil yang bisa kita dengar dari pendapat Mahyuni.

            Stasiun televisi iNews memberitakan bahwa menurut Mahyuni, penggunaan kata “pakai” dalam kalimat Ahok tidaklah mengubah makna kalimat itu. Pendapatnya itu semakin menegaskan bahwa Mahyuni meskipun bergelar profesor sangat tidak mengerti bahasa Indonesia. Kemampuan dia berbahasa Indonesia sama dengan masyarakat umum yang kerap terjebak dalam kalimat-kalimat tidak efisien. Dalam bahasa Indonesia itu ada keharusan jika membuat kalimat, harus efektif dan efisien.

            Masyarakat atau siapa pun yang menganggap penggunaan kata “pakai” memiliki makna yang sama jika kata itu dihilangkan, bisa dipastikan dia tidak mengerti bahasa Indonesia dengan baik. Mereka kerap terjebak dalam kalimat-kalimat tidak efisien.

            Saya kasih contoh:

            Udin dilempar pakai batu.

            Satu lagi:

            Udin dilempar batu.

            Kalimat pertama ada kata “pakai”. Kalimat kedua tanpa kata “pakai”.

            Apa bedanya antara kalimat pertama dengan kalimat kedua?

            Bisa membedakannya?

            Tidak bisa?

            Saya kasih tahu. Kedua kalimat itu memiliki makna yang sama. Artinya, keberadaan kata “pakai” sangat tidak berpengaruh. Ada kata “pakai” atau tidak, makna kedua kalimat itu tetap sama. Dengan demikian, benar sekali jika Mahyuni dan masyarakat umum menganggap bahwa ada atau tidak adanya kata “pakai” dalam kedua kalimat itu  sama sekali tidak mengubah makna.

            Heit, yang anti-Ahok jangan senang dulu.

            Sayangnya, karena kedua kalimat itu memiliki makna yang sama, baik menggunakan kata “pakai” ataupun tidak, salah satu dari kedua kalimat itu adalah salah karena tidak efisien.

            Kalimat mana hayo yang salah?

            Kalimat yang salah itu adalah Udin dilempar pakai batu.

            Mengapa kalimat itu tidak efisien sehingga dikatakan salah?

            Hal itu disebabkan ada kata “pakai” yang sangat tidak diperlukan.

            Buat apa ada kata “pakai” yang jika dihilangkan, tidak mengubah makna?

            Jadi, kalimat yang benar adalah Udin dilempar batu.

            Dalam dunia pernaskahan, seorang editor yang andal dengan konsentrasi penuh jika menemukan kalimat semacam Udin dilempar pakai batu, akan segera menggantinya dengan Udin dilempar batu karena penggunaan kata “pakai” itu merupakan pemborosan kata yang tidak diperlukan.

            Paham ya.

            Mari kita buat contoh lain.

            Udin makan pakai sendok.

            Kalimat satu lagi:

            Udin makan sendok.

            Apa bedanya makna dari kedua kalimat tersebut?

            Mudah kan membedakannya?

            Kalau tidak bisa membedakannya, sebaiknya kalian segera pergi dan jangan meneruskan membaca tulisan ini karena akan semakin pusing. Kalian akan tambah tidak mengerti.

            Nah, jika sudah bisa membedakannya, kita harus memahami bahwa penggunaan kata “pakai” dalam kedua kalimat itu sangat mempengaruhi makna. Ada dan tidaknya kata “pakai” dalam kedua kalimat itu akan membedakan makna dan arti. Dengan demikian, salah sekali jika ada yang berpendapat bahwa kata “pakai” dalam kalimat itu tidak mengubah makna. Siapa pun orangnya, mau profesor, presiden, raja, ataupun ulama jika mengatakan bahwa kata “pakai” dalam kedua kalimat itu tidak mengubah makna, sekali salah tetap salah.

             Sekarang mari kita lihat contoh lain.

            Udin makan pakai celana.

            Satu kalimat lagi:

            Udin makan celana.

            Mudah kan memahami perbedaan kedua kalimat itu?

            Perhatikan lagi kalimat yang lebih mudah.

            Udin bermain pakai celana dalam.

            Ada lagi:

            Udin bermain celana dalam.

            Beda jauh kan?

            Itu artinya, kata “pakai” tidak boleh dihilangkan seenaknya saja karena bisa membedakan makna.

            Mari kita mengarah pada yang lebih sulit.

            Udin dibohongi pakai pidato Jokowi.

            Kalimat yang lainnya:

            Udin dibohongi pidato Jokowi.

            Bisa membedakannya?

            Kalimat yang satu memiliki makna bahwa ada orang yang “memakai” pidato Jokowi untuk membohongi Udin. Kebohongan itu misalnya membludaknya pekerja asing asal Cina sejumlah lima puluh juta adalah kebijakan pemerintahan Jokowi.       Kebohongan itu disandarkan pada pidato Jokowi, misalnya,  “Kita telah bekerja sama dengan investor-investor Cina. Dengan masuknya investor, kita mengizinkan para investor membawa pekerja asing asal Cina dengan kemampuan tertentu, dalam jumlah tertentu, dan dalam batas waktu tertentu pula.”

            Nah, pidato Jokowi itu dipelintir seseorang untuk membohongi Si Udin dengan harapan terjadi ketidakpercayaan kepada pemerintah dan menumbuhkan sentimen anti-Cina. Padahal, jika diteliti lebih dalam, pidato Jokowi itu maksudnya tidak untuk memasukkan lima puluh juta pekerja asal Cina, melainkan memberikan izin terbatas kepada orang Cina yang betul-betul ahli, kedudukannnya tertentu, jumlahnya hanya sedikit sesuai ketentuan, dan dalam waktu yang sangat terbatas, misalnya, hanya untuk waktu selama enam bulan.

            Karena orang itu sangat membenci pemerintahan Jokowi, dibuatlah kebohongan untuk mempengaruhi Si Udin.

            Kalimat kebohongan itu adalah, “Membludaknya pekerja asing asal Cina sejumlah lima puluh juta adalah kebijakan pemerintahan Jokowi.”

            Itulah makna dari kalimat Udin dibohongi pakai pidato Jokowi.

            Pidato Jokowi bukanlah kebohongan dan maksudnya pun jelas. Pihak yang berbohong adalah mereka yang menggunakan pidato Jokowi untuk meresahkan dan membingungkan Si Udin.

            Jelas?

            Perhatikan perbedaannya dengan kalimat Udin dibohongi pidato Jokowi. Kalimat ini memiliki arti bahwa pidato Jokowi adalah kebohongan.

            Jelas?

            Sebenarnya, kalimat Udin dibohongi pidato Jokowi termasuk kalimat yang salah karena tidak efisien. Kalimat yang benar adalah Udin dibohongi Jokowi. Kata “pidato” tidak terlalu penting karena yang dimaksud adalah Jokowi berbohong. Soal berbohongnya melalui pidato, sambutan, wawancara, obrolan ringan, tidak terlalu penting karena yang penting adalah Jokowi berbohong.

            Nah, pada kasus ini kata “pakai” sangat penting untuk membedakan makna. Ada dan tidak adanya kata “pakai” membuat arti dari setiap kalimat menjadi berbeda. Kalimat yang pertama maknanya adalah ada orang atau pihak-pihak yang memelintir pidato Jokowi untuk membuat kebohongan dengan maksud menipu, meresahkan, dan membingungkan Si Udin serta menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidato Jokowi tersebut. Kalimat yang kedua maknanya adalah Jokowi telah membuat kebohongan kepada Si Udin karena isi pidatonya adalah kebohongan semata.

            Jelas?

            Paham?

            Mari kita masuk ke kalimat Ahok di Kepulauan Seribu yang diributkan orang itu. Jika dibuat lengkap, kalimat Ahok akan seperti berikut.

            Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51.

            Baca pelan-pelan, lalu cek dengan hasil analisa Prof. Mahyuni seperti yang diberitakan iNews. Saya ingatkan lagi bahwa diberitakan menurut Mahyuni, kata “pakai” tidak mengubah makna. Dengan demikian, jika kata “pakai” kita hilangkan, kalimatnya menjadi seperti ini.

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Iya toh?

            Kalimat ini memiliki makna bahwa isi QS Al Maidaah : 51 adalah kebohongan.

            Kalaulah Mahyuni benar, mengapa harus ada tuntutan atau gugatan atau tuduhan bahwa Ahok telah menghina ulama?

            Dalam kalimat Anda dibohongin surat Al Maidaah 51, jangankan ulama, seorang manusia pun tidak ada yang melakukan kebohongan dalam kalimat itu karena yang dimaksud melakukan kebohongan adalah QS Al Maidaah : 51.

            Ngapain menuduh atau memaki-maki Ahok sebagai penghina ulama, kan yang dimaksud berbohong dalam kalimat itu adalah QS Al Maidaah : 51?

            Kan lucu jadinya.

            Masih lebih terang Brili Agung dibandingkan Prof. Mahyuni dalam menganalisa kalimat Ahok. Brili Agung malah lebih jelas dalam menganalisa kalimat Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51. Ia menegaskan bahwa yang disasar Ahok adalah orang yang memakai QS Al Maidaah : 51. Brili Agung memang benar Ahok bisa dikatakan menyerang “orang” yang menggunakan QS Al Maidaah : 51.

            Siapa yang dimaksud “orang” itu?

            Menurut Ahok sih, siapa saja yang merupakan lawan politiknya yang memakai QS Al Maidaah : 51 dalam menjatuhkan dirinya di mata masyarakat. Jadi, tidak usah geer merasa dihina Ahok jika “bukan lawan politik Ahok dan tidak pernah menggunakan QS Al Maidaah : 51 untuk menghalangi karir politik Ahok”. Ahok memang menyerang “orang” dengan batasan seperti yang kemukakannya sendiri.

            Kalau merasa terhina atau terserang oleh Ahok, berarti Anda adalah “orang” yang dimaksud Ahok. Penyelesaiannya adalah buktikan bahwa Anda tidak berbohong dengan menggunakan QS Al Maidaah : 51. Buktikan bahwa ketika Anda menggunakan QS Al Maidaah : 51 itu adalah benar. Caranya adalah buktikan bahwa QS Al Maidaah : 51 itu memiliki makna yang tepat sesuai dengan yang dimaksud Allah swt dan mampu mematahkan penafsiran lain yang berbeda dengan penafsiran Anda. Begitu seharusnya.

            Jika sudah mampu membuktikan bahwa Anda tidak berbohong karena mampu menghancurkan penafsiran lain, baru laporkan Ahok ke polisi atau gugat di pengadilan.

            Sekarang paham kan perbedaan kedua kalimat tersebut?

            Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidaah 51.

            Kalimat satunya lagi:

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Kalau masih belum paham juga, mari kita perbesar dengan menggunakan “mikroskop”. Kita ubah lebih panjang kalimat itu dengan makna yang sama.

            Anda dibohongin orang yang menggunakan surat Al Maidaah 51.

            Bisa pula kalimat berikut.

            Anda dibohongin orang dengan menggunakan surat Al Maidaah 51.

            Jadi, orangnya yang diserang Ahok telah berbohong, bukan QS Al Maidaah : 51.

            Berbeda dengan dengan kalimat berikut.

            Anda dibohongin surat Al Maidaah 51.

            Jika seperti itu, kalimat itu mengandung penodaan agama karena telah menuduh QS Al Maidaah : 51 melakukan kebohongan. Artinya, isi QS Al Maidaah : 51 dianggap bohong.

            Jelas ya?

Bahasa yang Tidak Diperhitungkan
Masih dari iNews pada 13 Februari 2017. Mbak Neno Warisman yang disebut-sebut sebagai Koordinator Ahli Bahasa dari pihak anti-Ahok mengatakan bahwa faktor bahasa adalah faktor yang tidak diperhitungkan, tetapi ternyata bermasalah.

            Kira-kira seperti itulah maksud Mbak Neno. Cukup kaget juga saya mendengarnya. Saya jadi bertanya-tanya.

            Tidak diperhitungkan ketika melaksanakan apa?

            Ketika melaporkan Ahok ke polisi?

            Ketika membuat tuduhan kepada Ahok?

            Ketika menggerakkan jutaan massa untuk berdemonstrasi?

            Ketika menyiapkan para saksi ahli di pengadilan?

            Ketika apa dan untuk apa?

            Saya tidak mau menduga-duga, tetapi jelas hatiku bertanya-tanya.

            Hal yang juga menggelitik saya adalah Neno menjelaskan bahwa meskipun faktor bahasa tidak diperhitungkan, tetap mempersiapkan timnya dengan baik. Timnya memiliki orang-orang yang diandalkan untuk menjadi saksi ahli bahasa Indonesia. Baguslah.

            Sayangnya, dia menerangkan bahwa salah satu anggota timnya adalah murid langsung dari Noam Chomsky. Dia menerangkan bahwa kata-kata yang muncul dari seseorang itu berasal dari kata-kata yang sudah tersimpan dalam otaknya sekian lama dan bla … bla … bla ….

            Ngapain jauh-jauh ke Noam Chomsky?

            Kalimat Ahok kan hanya kalimat yang pendek. Adapun niat, tujuan, dan maksud Ahok sudah dijelaskan sendiri oleh Ahok. Apalagi Ahok sudah bikin buku yang menegaskan maksudnya sejak lama.

            Jadi, saya ingin mengomentari Neno Warisman, “Jaka Sembung rambutnya dijambak. Nggak nyambung, Mbak.”

            Ya, sudahlah.

            Saya sangat senang jika ada yang berbeda pendapat dengan saya. Apalagi jika dapat membuktikan bahwa apa yang saya tulis ini salah. Jika ada yang mendebat saya sehingga terbukti bahwa saya salah, saya bersyukur karena saya mendapatkan pengetahuan baru yang benar dan lebih baik.

            Silakan berbeda pendapat, tetapi harus benar. Jangan bicara seenaknya hanya karena kesal, benci, dan kecewa. Kalau marah, tetapi tidak bisa membuktikan saya salah, Anda bisa berbahasa seperti para pembuat dan penikmat “hoax” yang berbicara tidak jelas tanpa ada ujung pangkalnya dan sama sekali tidak bermanfaat.


Bukan untuk Ahok
Saya banyak menulis yang isinya bagai membela Ahok. Sesungguhnya, tidak sama sekali. Saya tidak kenal Ahok, tidak ikut-ikutan Ahok, tidak dibayar Ahok, tidak akan memilih Ahok, juga tidak pernah berkonflik dengan Ahok.

            Saya ikut-ikutan berkomentar mengenai hal-hal yang terjadi adalah karena tugas dan kewajiban saya sebagai muslim untuk selalu membela Allah swt, Islam, dan kaum muslimin. Saya sangat tidak suka jika ada yang “memperalat” agama saya untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah semisal politik, ekonomi, kehormatan, dan uang recehan. Sudah terlalu sering saya melihat bagaimana Agama Islam yang sangat saya yakini dijadikan alat untuk bertengkar dan untuk memperoleh kepentingan-kepentingan sesat dan sesaat. Saya ingin Islam menjadi pencerah, pendamai, dan sumber kasih sayang di muka Bumi ini sebagaimana kalimat Bismillaahirrahmaanniraahim. Kalimat itu adalah kalimat yang paling sering harus diucapkan karena sesungguhnya Allah swt ingin lebih dikenal diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Zat yang penuh kasih sayang.

            Saya kasih contoh satu lagi tentang bagaimana Islam diperalat untuk kepentingan politik. Saya sedang duduk-duduk di sebuah taman sambil minum minuman segar pada siang menjelang sore hari. Satu atau dua meter di samping kiri saya ada yang sedang mengobrol, cukup keras terdengar. Mereka berasal dari satu partai politik yang sama.

            Salah seorang dari mereka berkata, “Jangan ikuti dia, jangan pilih dia. Neraka itu panas!”

            Kelihatannya, mereka sedang terlibat dalam pemilihan ketua partai di daerahnya.

            Temannya yang satu lagi berkata, “Memang dia salah apa? Dia orang baik. Saya dibiayai berangkat haji oleh dia. Dia juga yang membiayai manasiknya. Apa salah dia?”

            Dua orang satu partai ini sedang membicarakan calon kuat ketua partai dengan menggunakan isu agama. Yang satu mengatakan bahwa kalau memilih Sang Calon itu bisa masuk neraka karena katanya dia melihat perilaku buruk orang itu. Yang satu lagi membela orang itu karena dermawan dan sangat perhatian kepada Islam dengan memberikan biaya haji bagi dirinya dan itu tanda orang yang punya pahala untuk masuk surga.

            Apa itu artinya?

            Artinya, mereka menggunakan isu Islam tentang surga dan neraka hanya untuk kepentingan politik. Sebagian orang mengatakan Sang Calon akan membawa ke neraka yang panas. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, yaitu sebagai calon penduduk surga.

            Mereka seolah-olah sudah memastikan nasib Sang Calon akan masuk neraka atau masuk surga, padahal Sang Calon masih hidup. Sesungguhnya, orang yang sekarang dipandang baik dan calon penduduk surga, bisa terjatuh benar-benar memasuki neraka jika dia berubah menjadi buruk sampai matinya. Sebaliknya, orang yang sekarang dipandang buruk dan calon penghuni neraka, bisa masuk surga jika berubah menjadi baik dan tetap baik hingga mati dalam keadaan beriman dan berislam.

            Sudah terlalu mengesalkan bagi saya untuk menyaksikan hal-hal ini. Keterlaluan.

            Saya tidak sedang membela Ahok, tetapi membela Allah swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum muslimin. Saya ingin seluruh kaum muslimin saling menasihati jika ada saudaranya yang melakukan hal salah agar Islam dapat dilaksanakan sebagaimana ajaran Muhammad saw yang diperintahkan Allah swt. Saya tidak ingin agama Islam dijalankan sesuai dengan hawa nafsu orang per orang, kelompok per kelompok, maupun Ormas per Ormas.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment