Friday, 17 February 2017

Pentingnya Sertifikasi Khatib

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ketika wacana sertifikasi khatib digulirkan Menteri Agama RI, segera terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Di kalangan umat Islam, sepanjang yang saya dengar, baik secara sengaja maupun tidak, sesungguhnya mendukung penuh adanya sertifikasi tersebut, terutama dari ibu-ibu pengajian.

            Ocehan dari ibu-ibu yang membuat saya tertegun adalah kata-kata seperti ini, “Masa untuk jadi guru saja harus S1, kok ustadz nggak ada standarnya.”

            Kalimat itu sangat sederhana, tetapi memukul dada penuh makna. Mereka menginginkan ustadz, penceramah, atau ahli agama yang benar-benar bisa diyakini kompetensinya. Mereka sudah sering bertemu dengan ustadz-ustadz yang “berlebihan” ketika berceramah sehingga membingungkan. Tak jarang ibu-ibu itu setelah pengajian, harus bertanya lagi pada suami mereka tentang isi ceramah yang membingungkan. Bahkan, isi pengajian yang membingungkan bisa memicu perdebatan antara suami dan istri. Akan menjadi sangat berbahaya jika suaminya sudah melarang istrinya mengikuti pengajian ustadz tertentu karena kerap membingungkan.

            “Pah, kalau saya pindah tempat mengajinya gimana?”

            “Bagus, Mah. Pindah saja.”

            “Tapi, kata Pak Ustadz, berdosa kalau pindah ngajinya. Bisa masuk neraka.”

            “Siapa bilang? Ngaco tuh, Ustadz. Sudah, pindah saja!”

            “Takut, Pah. Takut masuk neraka.”

            “Tidak, tidak akan masuk neraka!”

            “Takut, Pah.”

            “Kamu ini mau patuh sama ustadz atau mau patuh sama suami?”

            “….”

            “Tidak patuh kepada suami itu jelas berdosa, masuk neraka!”

            Bagaimana kalau sudah begitu?

            Percakapan antara suami dan istri seperti itu sering terjadi di tengah masyarakat. Kita tidak perlu mengelak dan menutupi kenyataan bahwa hal-hal seperti itu kerap terjadi.


            Di kalangan bapak-bapak juga sama. Banyak dari mereka yang kemudian berkomentar miring atas khutbah-khutbah yang “berlebihan” dari para khatib. Sementara itu, khatib yang membingungkan itu adalah teman pengurus DKM. Jadi, mereka berulang-ulang mendengarkan khutbah yang membuat mereka kebingungan.

            Pendek kata, masyarakat muslim membutuhkan para khatib, ustadz, dan penceramah yang kompetensinya bisa dipertanggungjawabkan.

            Mereka yang tidak setuju dengan adanya sertifikasi, mohon maaf, kelihatannya adalah sebagian dari mereka yang suka berceramah, para khatib, atau para ustadz yang mungkin harus melengkapi dirinya dengan berbagai hal untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Mereka enggan untuk mengurus hal-hal tersebut. Bisa pula mereka tidak menginginkan hal tersebut karena belum jelas benar hal-hal yang dapat dijadikan standar untuk mendapatkan sertifikat agar bisa disebut ahli agama yang berkompeten. Bisa juga mereka tidak menginginkan hal tersebut karena menganggap bahwa masyarakat tidak memerlukannya dan sudah merasa cukup dengan para penceramah yang biasa ada. Bisa pula keengganan mereka disebabkan hal-hal lain yang belum kita ketahui.


Bukan Sertifikasi Ulama
Kalaupun sertifikasi itu jadi ada atau diterbitkan, jangan menggunakan kata “ulama”. Jujur saja, ukuran ulama itu sama sekali tidak diketahui manusia. Seseorang yang disebut ulama adalah “orang yang takut kepada Allah swt”.

            Sekarang, bagaimana caranya mengukur bahwa seseorang itu takut kepada Allah swt atau tidak?

            Tak ada yang bisa mengukurnya, bahkan seorang ulama pun tidak bisa mengukur dirinya sendiri sebagai orang yang takut kepada Allah swt. Hal itu disebabkan jika seseorang takut kepada Allah swt, semakin dia takut, semakin merasa dirinya kotor karena ketakutan dirinya telah memperlihatkan berbagai dosa yang telah diperbuatnya. Oleh sebab itu, semakin enggan dia disebut ulama karena sangat memahami berbagai kelemahan dirinya. Semakin takut kepada Allah swt, semakin merasa tidak pantas dirinya disebut ulama. Jadi, satu-satunya yang bisa mengukurnya adalah Allah swt sendiri.

            Sebaiknya, gunakan saja istilah, seperti, sertifikasi ustadz, khatib, mubaligh, atau penceramah. Hal itu disebabkan istilah-istilah itu dapat diukur oleh manusia. Adapun “ulama” hanya Allah swt yang tahu. Bisa saja ulama itu adalah seseorang yang tidak kita kenal sebagai penceramah, tetapi mampu berbicara yang mencerahkan mengajak pada kebenaran dan dirinya sendiri melaksanakan segala ketentuan Islam dengan rela hati, lentur, baik, dan disiplin. Sangat mungkin bahwa ulama itu sama sekali tidak kentara oleh kita karena menggunakan pakaian yang biasa saja serta tidak pernah menggunakan pakaian seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, ataupun Sentot Alibasyah. Sangat mungkin seorang ulama itu ternyata orang yang kerap dipandang rendah oleh manusia lainnya, tetapi dalam pandangan Allah swt merupakan orang yang sangat penting dan terkenal bagai “selebritis” di kalangan penduduk langit serta sering diperbincangkan oleh para malaikat.


Belajar dari Guru
Dulu juga guru mengalami goncangan hebat ketika muncul kententuan bahwa guru harus berpendidikan minimal S1. Banyak sekali keluhan, banyak hambatan, sebagian guru membiarkan arus melewati dirinya tanpa melakukan banyak hal karena merasa sebentar lagi pensiun, sebagian lagi kesana-kemari berletih-letih untuk melengkapi berbagai hal yang ditentukan, serta banyak lagi kisah yang berada dibalik sertifikasi untuk para guru itu.

            Meskipun ada goncangan dan tidak sedikit hambatan, toh kebijakan tetap diteruskan dan tidak berhenti. Meskipun tidak saklek-saklekan, akhirnya tetap saja wajib dilaksanakan. Hasilnya, saat ini sudah banyak guru yang berpendidikan S1, S2, bahkan S3. Itu artinya, diri guru sendiri mengalami peningkatan yang berpengaruh secara positif bagi peningkatan kualitas peserta didik. Memang belum berhasil sesempurna yang diharapkan secara ideal, tetapi sudah lebih baik dibandingkan masa lalu. Dengan meningkatnya pendidikan guru, sudah pasti meningkatkan pula kualitas peserta didiknya.

            Tak berlebihan jika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diklaim sebagai satu-satunya organisasi yang anggotanya berpendidikan minimal S1 dalam berbagai bidang ilmu. Organisasi lain tidak seperti PGRI. Bahkan, anggota partai politik atau Ormas pun banyak yang belum selesai SMA, padahal usianya sudah lewat. Memang guru sejak dulu sudah selalu melangkah lebih depan. Perhatikan saja ketika tahun 1945, angka buta huruf di Indonesia mencapai 96%. Akan tetapi, tidak ada seorang pun anggota PGRI yang buta huruf. Tentara, polisi, bahkan jenderal berbintang pun masih belum bisa baca tulis. Adapun guru, tak seorang pun yang buta huruf. Sekarang hanya PGRI yang seluruh anggotanya wajib S1 dalam rupa-rupa ilmu. Yang lain masih ketinggalan.

            Iya toh?

            Sekarang banyak orang berlomba menjadi guru, padahal zaman dulu guru itu pegawai yang digaji pemerintah paling rendah, paling sengsara, saya merasakan benar beas bear, ‘beras pera’ berwarna kuning kucel yang harus dimakan karena tidak ada lagi uang untuk beli makanan. Saya memang anak guru. Kegetiran dan kemiskinan sebagai anak guru saya derita “terlalu lama”. Meskipun demikian, saya tetap menikmatinya.

            Mau bagaimana lagi?

            Hal yang paling menyedihkan dan mengesalkan adalah ketika ada tukang becak menghitung hasil kerjanya sehari sambil bilang, “Ya, lumayanlah hari ini dapat untung sebulan gaji guru.”

            Bayangkan coba bagaimana getirnya kehidupan guru saat itu. Gaji guru satu bulan dihitung sama dengan penghasilan tukang becak satu hari.

            Sekarang situasinya sudah lumayan terbalik, banyak guru yang hidup berkecukupan, apalagi dengan adanya tunjangan sertifikasi dan tunjangan daerah yang dapat digunakan, baik untuk menambah kemakmuran secara ekonomi, maupun melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

            Berkaca dari pengalaman para guru, tampaknya hal yang sama terjadi kepada para ustadz atau ahli agama. Hidupnya banyak yang susah, pemahaman agamanya juga belum distandarisasi pemerintah.

            Ada ustadz yang bilang, “Yah, hidup saya mah seperti ini. Beda dengan anggota DPR yang banyak uangnya. Saya ini baru punya uang kalau ada orang yang mati. Keluarganya suka mengundang saya untuk berdoa. Makanya, saya suka menunggu-nunggu siapa lagi orang yang bakal mati. Semakin banyak yang mati, semakin banyak uang saya.”

            Dia memang berbicara sambil guyon. Akan tetapi, guyonan itu memang merupakan keresahan dirinya sendiri juga. Kenyataannya juga memang seperti itu.

            Sangatlah baik apabila para khatib, ustadz, mubaligh, penceramah, dan lainnya diperlakukan sebagaimana layaknya guru karena sebetulnya mereka juga guru. Berikan dorongan untuk meningkatkan kemampuan dirinya melalui program sertifikasi sehingga mereka pun memiliki standar yang baik. Ustadz yang memiliki kompetensi bagus akan meningkatkan kualitas hidup para jamaahnya. Dengan demikian, sertifikasi bagi para dai diperlukan bagi peningkatan kualitas para dai sekaligus para jamaah. Di samping itu, para penceramah harus dilengkapi pula dengan pemahaman dasar-dasar wawasan kebangsaan yang cukup sehingga mereka bisa mengembangkannya di dalam tugas-tugas hidup mereka. Akan tetapi, bukan hanya sertifikasi atau standarisasi yang diperlukan, melainkan pula adanya tunjangan untuk mereka. Bagi para ustadz yang sudah tersertifikasi, hendaknya diberikan tunjangan materi, baik untuk hidup mereka maupun untuk pendidikan mereka selanjutnya. Dengan demikian, mereka pun akan merasa dihormati, diperlakukan layak, dan dikasihi oleh pemerintah. Terjadilah hubungan mutualisme antara pemerintah dan para ustadz.

            Selama ini para penceramah jika tidak memiliki profesi lain, sangat bergantung hidup pada pihak-pihak yang mengundang mereka. Jika tidak ada undangan, mereka pun gigit jari. Bisa pula bergantung pada murid-murid mereka. Jika murid-muridnya berkurang, mereka pun mulai kebingungan.

            Apabila ada tunjangan sertifikasi, baik dari pusat maupun dari daerah, mereka tidak akan banyak berpikir untuk memberikan bimbingan bagi masyarakat karena jika tidak dibayar pun, hatinya tetap tenang. Sekarang kan masih kurang tenang mereka. Kadang dibayar sedikit, sangat sedikit, kadang pula banyak, setengah banyak, kadang cuma dikasih nasi kotak dan kue bolu.

            Ini bukan soal ikhlas dan tidak ikhlas. Ini soal kita harus saling berbagi, saling menghormati, saling membimbing, dan saling mendorong untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Tidak ada ceritera tidak ikhlas jika ada ustadz yang mungkin menolak untuk berceramah jika tidak dibayar. Seorang ahli agama itu harus dibayar karena dia telah memberikan ilmu, meluangkan waktu, dan meninggalkan berbagai keperluannya untuk berceramah.

            Allah swt pun mengajarkan itu kepada kita semua. Coba perhatikan petugas zakat itu memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkannya. Hal itu dimaksudkan agar amal baik mereka tetap bersih dan perilaku baiknya diterima oleh Allah swt. Berbeda kalau petugas zakat tidak mendapatkan haknya. Dia akan ngedumel karena mengumpulkan uang dan membagikannya, sementara dirinya sendiri hanya mendapatkan keletihan. Akibatnya, perilaku baiknya akan rusak oleh rasa kesal dan kekecewaannya. Amal ibadatnya tidak akan pernah sampai kepada Allah swt.

            Hal yang sama pun bisa terjadi kepada para ustadz. Mereka diminta membimbing masyarakat, tetapi hidup mereka tidak terjamin baik. Kalaupun mereka terpaksa memberikan bimbingan, hatinya sudah rusak karena ada perasaan kesal. Amal baiknya pun akan menjadi sia-sia. Ceramah yang tidak disertai keikhlasan hati tidak akan berpengaruh besar kepada para jamaahnya. Berbeda jika hidup mereka terperhatikan, rasa senang disertai rasa tanggung jawab melaksanakan kewajiban akan selalu mengiringi mereka ketika memberikan bimbingan kepada masyarakat.

            Sertifikasi itu penting untuk meningkatkan kualitas diri, tetapi harus disertai penghargaan yang layak dari pemerintah kepada para dai yang berada dekat dengan masyarakat. Besar-kecilnya tunjangan untuk para mubaligh, ya bergantung pada kebijakan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemerintah sendiri.

            Tunjangan itu penting untuk membuat para ustadz independen dan hanya berbicara atau berbuat sesuai dengan kitab suci. Dengan demikian, mereka semakin kuat untuk menolak pihak-pihak tertentu yang berupaya “memperalat” para ustadz untuk kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang sama sekali tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup umat Islam.


            Salam

No comments:

Post a Comment