oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ketika wacana sertifikasi
khatib digulirkan Menteri Agama RI, segera terjadi pro dan kontra di tengah
masyarakat. Di kalangan umat Islam, sepanjang yang saya dengar, baik secara sengaja
maupun tidak, sesungguhnya mendukung penuh adanya sertifikasi tersebut,
terutama dari ibu-ibu pengajian.
Ocehan dari ibu-ibu yang membuat saya tertegun adalah
kata-kata seperti ini, “Masa untuk jadi guru saja harus S1, kok ustadz nggak
ada standarnya.”
Kalimat itu sangat sederhana, tetapi memukul dada penuh
makna. Mereka menginginkan ustadz, penceramah, atau ahli agama yang benar-benar
bisa diyakini kompetensinya. Mereka sudah sering bertemu dengan ustadz-ustadz
yang “berlebihan” ketika berceramah sehingga membingungkan. Tak jarang ibu-ibu
itu setelah pengajian, harus bertanya lagi pada suami mereka tentang isi
ceramah yang membingungkan. Bahkan, isi pengajian yang membingungkan bisa
memicu perdebatan antara suami dan istri. Akan menjadi sangat berbahaya jika suaminya
sudah melarang istrinya mengikuti pengajian ustadz tertentu karena kerap
membingungkan.
“Pah, kalau saya pindah tempat mengajinya gimana?”
“Bagus, Mah. Pindah saja.”
“Tapi, kata Pak Ustadz, berdosa kalau pindah ngajinya.
Bisa masuk neraka.”
“Siapa bilang? Ngaco tuh, Ustadz. Sudah, pindah saja!”
“Takut, Pah. Takut masuk neraka.”
“Tidak, tidak akan masuk neraka!”
“Takut, Pah.”
“Kamu ini mau patuh sama ustadz atau mau patuh sama
suami?”
“….”
“Tidak patuh kepada suami itu jelas berdosa, masuk neraka!”
Bagaimana kalau sudah begitu?
Percakapan antara suami dan istri seperti itu sering
terjadi di tengah masyarakat. Kita tidak perlu mengelak dan menutupi kenyataan bahwa
hal-hal seperti itu kerap terjadi.
Di kalangan bapak-bapak juga sama. Banyak dari mereka
yang kemudian berkomentar miring atas khutbah-khutbah yang “berlebihan” dari
para khatib. Sementara itu, khatib yang membingungkan itu adalah teman pengurus
DKM. Jadi, mereka berulang-ulang mendengarkan khutbah yang membuat mereka
kebingungan.
Pendek kata, masyarakat muslim membutuhkan para khatib,
ustadz, dan penceramah yang kompetensinya bisa dipertanggungjawabkan.
Mereka yang tidak setuju dengan adanya sertifikasi, mohon
maaf, kelihatannya adalah sebagian dari mereka yang suka berceramah, para
khatib, atau para ustadz yang mungkin harus melengkapi dirinya dengan berbagai
hal untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Mereka enggan untuk mengurus hal-hal
tersebut. Bisa pula mereka tidak menginginkan hal tersebut karena belum jelas
benar hal-hal yang dapat dijadikan standar untuk mendapatkan sertifikat agar
bisa disebut ahli agama yang berkompeten. Bisa juga mereka tidak menginginkan
hal tersebut karena menganggap bahwa masyarakat tidak memerlukannya dan sudah
merasa cukup dengan para penceramah yang biasa ada. Bisa pula keengganan mereka
disebabkan hal-hal lain yang belum kita ketahui.
Bukan
Sertifikasi Ulama
Kalaupun sertifikasi itu
jadi ada atau diterbitkan, jangan menggunakan kata “ulama”. Jujur saja, ukuran
ulama itu sama sekali tidak diketahui manusia. Seseorang yang disebut ulama
adalah “orang yang takut kepada Allah
swt”.
Sekarang, bagaimana caranya
mengukur bahwa seseorang itu takut kepada Allah swt atau tidak?
Tak ada yang bisa mengukurnya, bahkan seorang ulama pun
tidak bisa mengukur dirinya sendiri sebagai orang yang takut kepada Allah swt.
Hal itu disebabkan jika seseorang takut kepada Allah swt, semakin dia takut,
semakin merasa dirinya kotor karena ketakutan dirinya telah memperlihatkan berbagai
dosa yang telah diperbuatnya. Oleh sebab itu, semakin enggan dia disebut ulama
karena sangat memahami berbagai kelemahan dirinya. Semakin takut kepada Allah
swt, semakin merasa tidak pantas dirinya disebut ulama. Jadi, satu-satunya yang
bisa mengukurnya adalah Allah swt sendiri.
Sebaiknya, gunakan saja istilah, seperti, sertifikasi
ustadz, khatib, mubaligh, atau penceramah. Hal itu disebabkan istilah-istilah
itu dapat diukur oleh manusia. Adapun “ulama” hanya Allah swt yang tahu. Bisa
saja ulama itu adalah seseorang yang tidak kita kenal sebagai penceramah,
tetapi mampu berbicara yang mencerahkan mengajak pada kebenaran dan dirinya
sendiri melaksanakan segala ketentuan Islam dengan rela hati, lentur, baik, dan
disiplin. Sangat mungkin bahwa ulama itu sama sekali tidak kentara oleh kita
karena menggunakan pakaian yang biasa saja serta tidak pernah menggunakan
pakaian seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, ataupun Sentot Alibasyah.
Sangat mungkin seorang ulama itu ternyata orang yang kerap dipandang rendah
oleh manusia lainnya, tetapi dalam pandangan Allah swt merupakan orang yang
sangat penting dan terkenal bagai “selebritis” di kalangan penduduk langit
serta sering diperbincangkan oleh para malaikat.
Belajar
dari Guru
Dulu juga guru mengalami
goncangan hebat ketika muncul kententuan bahwa guru harus berpendidikan minimal
S1. Banyak sekali keluhan, banyak hambatan, sebagian guru membiarkan arus
melewati dirinya tanpa melakukan banyak hal karena merasa sebentar lagi
pensiun, sebagian lagi kesana-kemari berletih-letih untuk melengkapi berbagai
hal yang ditentukan, serta banyak lagi kisah yang berada dibalik sertifikasi
untuk para guru itu.
Meskipun ada goncangan dan tidak sedikit hambatan, toh
kebijakan tetap diteruskan dan tidak berhenti. Meskipun tidak saklek-saklekan, akhirnya tetap saja
wajib dilaksanakan. Hasilnya, saat ini sudah banyak guru yang berpendidikan S1,
S2, bahkan S3. Itu artinya, diri guru sendiri mengalami peningkatan yang
berpengaruh secara positif bagi peningkatan kualitas peserta didik. Memang
belum berhasil sesempurna yang diharapkan secara ideal, tetapi sudah lebih baik
dibandingkan masa lalu. Dengan meningkatnya pendidikan guru, sudah pasti
meningkatkan pula kualitas peserta didiknya.
Tak berlebihan jika Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) diklaim sebagai satu-satunya
organisasi yang anggotanya berpendidikan minimal S1 dalam berbagai bidang ilmu.
Organisasi lain tidak seperti PGRI. Bahkan, anggota partai politik atau Ormas pun
banyak yang belum selesai SMA, padahal usianya sudah lewat. Memang guru sejak
dulu sudah selalu melangkah lebih depan. Perhatikan saja ketika tahun 1945,
angka buta huruf di Indonesia mencapai 96%. Akan tetapi, tidak ada seorang pun
anggota PGRI yang buta huruf. Tentara, polisi, bahkan jenderal berbintang pun
masih belum bisa baca tulis. Adapun guru, tak seorang pun yang buta huruf.
Sekarang hanya PGRI yang seluruh anggotanya wajib S1 dalam rupa-rupa ilmu. Yang
lain masih ketinggalan.
Iya toh?
Sekarang banyak orang berlomba menjadi guru, padahal
zaman dulu guru itu pegawai yang digaji pemerintah paling rendah, paling
sengsara, saya merasakan benar beas bear,
‘beras pera’ berwarna kuning kucel yang harus dimakan karena tidak ada lagi
uang untuk beli makanan. Saya memang anak guru. Kegetiran dan kemiskinan
sebagai anak guru saya derita “terlalu lama”. Meskipun demikian, saya tetap
menikmatinya.
Mau bagaimana lagi?
Hal yang paling menyedihkan dan mengesalkan adalah ketika
ada tukang becak menghitung hasil kerjanya sehari sambil bilang, “Ya,
lumayanlah hari ini dapat untung sebulan gaji guru.”
Bayangkan coba bagaimana getirnya kehidupan guru saat
itu. Gaji guru satu bulan dihitung sama dengan penghasilan tukang becak satu
hari.
Sekarang situasinya sudah lumayan terbalik, banyak guru
yang hidup berkecukupan, apalagi dengan adanya tunjangan sertifikasi dan
tunjangan daerah yang dapat digunakan, baik untuk menambah kemakmuran secara
ekonomi, maupun melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Berkaca dari pengalaman para guru, tampaknya hal yang
sama terjadi kepada para ustadz atau ahli agama. Hidupnya banyak yang susah,
pemahaman agamanya juga belum distandarisasi pemerintah.
Ada ustadz yang bilang, “Yah, hidup saya mah seperti ini.
Beda dengan anggota DPR yang banyak uangnya. Saya ini baru punya uang kalau ada
orang yang mati. Keluarganya suka mengundang saya untuk berdoa. Makanya, saya
suka menunggu-nunggu siapa lagi orang yang bakal mati. Semakin banyak yang
mati, semakin banyak uang saya.”
Dia memang berbicara sambil guyon. Akan tetapi, guyonan
itu memang merupakan keresahan dirinya sendiri juga. Kenyataannya juga memang
seperti itu.
Sangatlah baik apabila para khatib, ustadz, mubaligh, penceramah,
dan lainnya diperlakukan sebagaimana layaknya guru karena sebetulnya mereka
juga guru. Berikan dorongan untuk meningkatkan kemampuan dirinya melalui
program sertifikasi sehingga mereka pun memiliki standar yang baik. Ustadz yang
memiliki kompetensi bagus akan meningkatkan kualitas hidup para jamaahnya.
Dengan demikian, sertifikasi bagi para dai diperlukan bagi peningkatan kualitas
para dai sekaligus para jamaah. Di samping itu, para penceramah harus dilengkapi
pula dengan pemahaman dasar-dasar wawasan kebangsaan yang cukup sehingga mereka
bisa mengembangkannya di dalam tugas-tugas hidup mereka. Akan tetapi, bukan
hanya sertifikasi atau standarisasi yang diperlukan, melainkan pula adanya
tunjangan untuk mereka. Bagi para ustadz yang sudah tersertifikasi, hendaknya
diberikan tunjangan materi, baik untuk hidup mereka maupun untuk pendidikan
mereka selanjutnya. Dengan demikian, mereka pun akan merasa dihormati,
diperlakukan layak, dan dikasihi oleh pemerintah. Terjadilah hubungan
mutualisme antara pemerintah dan para ustadz.
Selama ini para penceramah jika tidak memiliki profesi
lain, sangat bergantung hidup pada pihak-pihak yang mengundang mereka. Jika
tidak ada undangan, mereka pun gigit jari. Bisa pula bergantung pada
murid-murid mereka. Jika murid-muridnya berkurang, mereka pun mulai
kebingungan.
Apabila ada tunjangan sertifikasi, baik dari pusat maupun
dari daerah, mereka tidak akan banyak berpikir untuk memberikan bimbingan bagi
masyarakat karena jika tidak dibayar pun, hatinya tetap tenang. Sekarang kan
masih kurang tenang mereka. Kadang dibayar sedikit, sangat sedikit, kadang pula
banyak, setengah banyak, kadang cuma dikasih nasi kotak dan kue bolu.
Ini bukan soal ikhlas dan tidak ikhlas. Ini soal kita
harus saling berbagi, saling menghormati, saling membimbing, dan saling
mendorong untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Tidak
ada ceritera tidak ikhlas jika ada ustadz yang mungkin menolak untuk berceramah
jika tidak dibayar. Seorang ahli agama itu harus dibayar karena dia telah
memberikan ilmu, meluangkan waktu, dan meninggalkan berbagai keperluannya untuk
berceramah.
Allah swt pun mengajarkan itu kepada kita semua. Coba
perhatikan petugas zakat itu memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari zakat
yang dikumpulkannya. Hal itu dimaksudkan agar amal baik mereka tetap bersih dan
perilaku baiknya diterima oleh Allah swt. Berbeda kalau petugas zakat tidak
mendapatkan haknya. Dia akan ngedumel karena mengumpulkan uang dan
membagikannya, sementara dirinya sendiri hanya mendapatkan keletihan.
Akibatnya, perilaku baiknya akan rusak oleh rasa kesal dan kekecewaannya. Amal
ibadatnya tidak akan pernah sampai kepada Allah swt.
Hal yang sama pun bisa terjadi kepada para ustadz. Mereka
diminta membimbing masyarakat, tetapi hidup mereka tidak terjamin baik.
Kalaupun mereka terpaksa memberikan bimbingan, hatinya sudah rusak karena ada
perasaan kesal. Amal baiknya pun akan menjadi sia-sia. Ceramah yang tidak
disertai keikhlasan hati tidak akan berpengaruh besar kepada para jamaahnya. Berbeda
jika hidup mereka terperhatikan, rasa senang disertai rasa tanggung jawab
melaksanakan kewajiban akan selalu mengiringi mereka ketika memberikan
bimbingan kepada masyarakat.
Sertifikasi itu penting untuk meningkatkan kualitas diri,
tetapi harus disertai penghargaan yang layak dari pemerintah kepada para dai yang
berada dekat dengan masyarakat. Besar-kecilnya tunjangan untuk para mubaligh,
ya bergantung pada kebijakan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemerintah
sendiri.
Tunjangan itu penting untuk membuat para ustadz
independen dan hanya berbicara atau berbuat sesuai dengan kitab suci. Dengan
demikian, mereka semakin kuat untuk menolak pihak-pihak tertentu yang berupaya “memperalat”
para ustadz untuk kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang sama sekali
tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup umat Islam.
Salam
No comments:
Post a Comment