oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Orang boleh bangga, KPU
boleh gembira, dan para pecinta demokrasi boleh bersorak sorai karena
partisipasi pemilih di DKI dalam pemilihan putaran pertama gubernur DKI Jakarta
mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu mencapai 78% lebih. Para pengamat
boleh mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada di TPS-TPS berlangsung aman dengan
partisipasi masyarakat yang meningkat merupakan peningkatan kedewasaan
masyarakat dalam berpolitik atau berdemokrasi.
Akan tetapi, tahukah seberapa besar pengorbanan yang
harus terjadi untuk memperoleh angka partisipasi 78% itu?
Benar-benar
sangat mahal!
Bukan hanya uang yang harus dihambur-hamburkan sejak
pembentukan tim sukses sampai dengan selesainya proses Pilkada yang harus
dikeluarkan partai, calon gubernur, para pendukung, dan pemerintah, melainkan
pula kerusakan pada tataran sosial dan stabilitas keamanan. Uang yang sangat
besar jelas menggelontor sangat banyak. Entah berapa seluruhnya. Hal itu
menandakan sangat mahalnya proses demokrasi. Di samping itu, kita harus
membayar biaya pengorbanan berupa ketegangan dan polarisasi di tengah
masyarakat. Tuduhan penghinaan kepada ulama dan penodaan terhadap agama oleh
Ahok telah melahirkan hiruk pikuk kekacauan luar biasa. Demonstrasi jutaan
manusia yang terbesar sepanjang sejarah manusia sejak Adam as sampai hari ini
terjadi di Jakarta, Indonesia. Ada huru-hara dan pelanggaran di sana. Hoax dan fitnah meracuni pikiran
masyarakat yang membuat pemerintah cukup letih memeranginya.
Perdebatan-perdebatan sengit di tengah masyarakat pun terjadi. Ahok harus
menjadi terdakwa di pengadilan yang sangat menyedot perhatian masyarakat.
Banyak waktu terbuang hanya untuk memperhatikan hal itu dan memperdebatkannya.
Rizieq Shihab harus dilaporkan dengan bertubi-tubi tuduhan oleh banyak orang sehingga
menjadi tersangka. Tempat lahir dan tempat tinggal saya, Kota Bandung, yang
biasanya sangat aman dan damai harus menjadi tempat konflik antara FPI dan
GMBI. Demikian pula juru bicaranya,
Munarman, menjadi tersangka pula dalam kasus dugaan penghinaan kepada
pecalang Bali. Di samping itu, Bachtiar Nasir harus bolak-balik diperiksa
polisi tentang keuangan yayasan. Firza Husein harus disangka melakukan
pelanggaran hukum. Puteri Presiden ke-1 RI Rachmawati bersama Sri Bintang
Pamungkas pun diduga akan melakukan makar terhadap negara. Keresahan demi
keresahan yang terwujud menjadi keluhan
muncul dari mantan presiden SBY. Pengadilan Ahok terus-terusan diwarnai
demonstrasi pro dan kontra. Di kalangan umat Islam terjadi pula polarisasi yang
sangat keras, tuduh-menuduh kafir, sesat, dan tentara syetan merajalela. Penggunaan
bahasa-bahasa kotor dan tidak terdidik menjamur di media sosial. Keriuhan
negatif pun terus berlanjut antara Antasari Azhar Vs SBY. Saya yakin masih
sangat banyak hal negatif terjadi dalam perhelatan yang katanya pesta itu.
Pesta itu seharusnya bergembira. Akan tetapi, pesta
demokrasi banyak menjerumuskan orang menjadi tersangka pelanggar hukum. Itu
pesta yang sangat aneh.
Presiden Jokowi boleh mengatakan bahwa wajar jika dalam
setiap Pilkada situasi “menghangat”. Kata menghangat itu sebenarnya hanya eufimisme dari kata “memanas”. Jokowi
memang benar, tetapi biaya “menghangat” itu sangat mahal, baik secara materi
maupun nonmateri
Hal yang sangat membuat saya khawatir adalah kita
menganggap segala sesuatu yang terjadi secara negatif itu adalah hal yang wajar
atau lumrah dalam menghadapi masa pemilihan. Padahal, yang namanya hoax, kampanye hitam, fitnah, dan kedustaan
adalah hal-hal yang busuk.
Saya sangat khawatir dengan peringatan dari Allah swt
bahwa “syetan telah menyesatkan mereka
hingga menganggap perbuatan buruk mereka sebagai perbuatan baik”.
Bagaimana jika ada orang yang mati tabrakan sepulang
menyebarkan fitnah dan kampanye hitam?
Dia mati dalam keadaan berdosa.
Bagaimana kalau ada yang mati berkelahi gara-gara hoax?
Mereka mati dalam keadaan tertipu.
Bagaimana jika ada yang mati selepas baru saja
“memperalat” agama untuk kepentingan jagoannya?
Dia mati dalam keadaan tersesat dan menyesatkan orang
lain.
Di mana mereka nanti akan berakhir? Surga atau neraka?
Saya khawatir mereka akan berada di neraka!
Sungguh, hiruk pikuk, huru-hara, polarisasi, dan
ketegangan di masyarakat itulah yang mendorong tingkat partisipasi publik dalam
Pilkada DKI. Peningkatan partisipasi itu bukanlah karena “sistem politik
demokrasi itu baik”, melainkan disebabkan mereka yang anti-Ahok ingin
menjerumuskan Ahok ke penjara, sementara itu mereka yang pro-Ahok ingin Ahok
menjadi gubernur lagi serta mereka yang tidak anti-Ahok ingin menunjukkan
keyakinannya bahwa negeri ini harus tetap mampu berpikir rasional.
Tanpa huru-hara, kemelut, dan berbagai ketegangan, saya
tidak yakin partisipasi politik masyarakat akan meningkat signifikan. Hal ini
bisa dilihat bahwa di daerah-daerah yang sepi huru-hara akibat Pilkada,
partisipasi politik masyarakat dalam demokrasi dapat dikatakan “rendah”.
Kegaduhan yang telah melibatkan puluhan juta manusia di
Indonesia ini hanya mampu membuat partisipasi politik mencapai angka 78%, tidak
sampai 90%, lebih-lebih 100%.
Harus kegaduhan sebesar apa untuk mewujudkan partisipasi
publik mencapai 100%?
No comments:
Post a Comment