Saturday 18 February 2017

Mahalnya Demokrasi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Orang boleh bangga, KPU boleh gembira, dan para pecinta demokrasi boleh bersorak sorai karena partisipasi pemilih di DKI dalam pemilihan putaran pertama gubernur DKI Jakarta mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu mencapai 78% lebih. Para pengamat boleh mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada di TPS-TPS berlangsung aman dengan partisipasi masyarakat yang meningkat merupakan peningkatan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik atau berdemokrasi.

            Akan tetapi, tahukah seberapa besar pengorbanan yang harus terjadi untuk memperoleh angka partisipasi 78% itu?

            Benar-benar sangat mahal!

            Bukan hanya uang yang harus dihambur-hamburkan sejak pembentukan tim sukses sampai dengan selesainya proses Pilkada yang harus dikeluarkan partai, calon gubernur, para pendukung, dan pemerintah, melainkan pula kerusakan pada tataran sosial dan stabilitas keamanan. Uang yang sangat besar jelas menggelontor sangat banyak. Entah berapa seluruhnya. Hal itu menandakan sangat mahalnya proses demokrasi. Di samping itu, kita harus membayar biaya pengorbanan berupa ketegangan dan polarisasi di tengah masyarakat. Tuduhan penghinaan kepada ulama dan penodaan terhadap agama oleh Ahok telah melahirkan hiruk pikuk kekacauan luar biasa. Demonstrasi jutaan manusia yang terbesar sepanjang sejarah manusia sejak Adam as sampai hari ini terjadi di Jakarta, Indonesia. Ada huru-hara dan pelanggaran di sana. Hoax dan fitnah meracuni pikiran masyarakat yang membuat pemerintah cukup letih memeranginya. Perdebatan-perdebatan sengit di tengah masyarakat pun terjadi. Ahok harus menjadi terdakwa di pengadilan yang sangat menyedot perhatian masyarakat. Banyak waktu terbuang hanya untuk memperhatikan hal itu dan memperdebatkannya. Rizieq Shihab harus dilaporkan dengan bertubi-tubi tuduhan oleh banyak orang sehingga menjadi tersangka. Tempat lahir dan tempat tinggal saya, Kota Bandung, yang biasanya sangat aman dan damai harus menjadi tempat konflik antara FPI dan GMBI. Demikian pula juru bicaranya,  Munarman, menjadi tersangka pula dalam kasus dugaan penghinaan kepada pecalang Bali. Di samping itu, Bachtiar Nasir harus bolak-balik diperiksa polisi tentang keuangan yayasan. Firza Husein harus disangka melakukan pelanggaran hukum. Puteri Presiden ke-1 RI Rachmawati bersama Sri Bintang Pamungkas pun diduga akan melakukan makar terhadap negara. Keresahan demi keresahan yang terwujud menjadi keluhan  muncul dari mantan presiden SBY. Pengadilan Ahok terus-terusan diwarnai demonstrasi pro dan kontra. Di kalangan umat Islam terjadi pula polarisasi yang sangat keras, tuduh-menuduh kafir, sesat, dan tentara syetan merajalela. Penggunaan bahasa-bahasa kotor dan tidak terdidik menjamur di media sosial. Keriuhan negatif pun terus berlanjut antara Antasari Azhar Vs SBY. Saya yakin masih sangat banyak hal negatif terjadi dalam perhelatan yang katanya pesta itu.

            Pesta itu seharusnya bergembira. Akan tetapi, pesta demokrasi banyak menjerumuskan orang menjadi tersangka pelanggar hukum. Itu pesta yang sangat aneh.

            Presiden Jokowi boleh mengatakan bahwa wajar jika dalam setiap Pilkada situasi “menghangat”. Kata menghangat itu sebenarnya hanya eufimisme dari kata “memanas”. Jokowi memang benar, tetapi biaya “menghangat” itu sangat mahal, baik secara materi maupun nonmateri

            Hal yang sangat membuat saya khawatir adalah kita menganggap segala sesuatu yang terjadi secara negatif itu adalah hal yang wajar atau lumrah dalam menghadapi masa pemilihan. Padahal, yang namanya hoax, kampanye hitam, fitnah, dan kedustaan adalah hal-hal yang busuk.

            Saya sangat khawatir dengan peringatan dari Allah swt bahwa “syetan telah menyesatkan mereka hingga menganggap perbuatan buruk mereka sebagai perbuatan baik”.

            Bagaimana jika ada orang yang mati tabrakan sepulang menyebarkan fitnah dan kampanye hitam?

            Dia mati dalam keadaan berdosa.

            Bagaimana kalau ada yang mati berkelahi gara-gara hoax?

            Mereka mati dalam keadaan tertipu.

            Bagaimana jika ada yang mati selepas baru saja “memperalat” agama untuk kepentingan jagoannya?

            Dia mati dalam keadaan tersesat dan menyesatkan orang lain.

            Di mana mereka nanti akan berakhir? Surga atau neraka?

            Saya khawatir mereka akan berada di neraka!

            Sungguh, hiruk pikuk, huru-hara, polarisasi, dan ketegangan di masyarakat itulah yang mendorong tingkat partisipasi publik dalam Pilkada DKI. Peningkatan partisipasi itu bukanlah karena “sistem politik demokrasi itu baik”, melainkan disebabkan mereka yang anti-Ahok ingin menjerumuskan Ahok ke penjara, sementara itu mereka yang pro-Ahok ingin Ahok menjadi gubernur lagi serta mereka yang tidak anti-Ahok ingin menunjukkan keyakinannya bahwa negeri ini harus tetap mampu berpikir rasional.

            Tanpa huru-hara, kemelut, dan berbagai ketegangan, saya tidak yakin partisipasi politik masyarakat akan meningkat signifikan. Hal ini bisa dilihat bahwa di daerah-daerah yang sepi huru-hara akibat Pilkada, partisipasi politik masyarakat dalam demokrasi dapat dikatakan “rendah”.

            Kegaduhan yang telah melibatkan puluhan juta manusia di Indonesia ini hanya mampu membuat partisipasi politik mencapai angka 78%, tidak sampai 90%, lebih-lebih 100%.

            Harus kegaduhan sebesar apa untuk mewujudkan partisipasi publik mencapai 100%?


No comments:

Post a Comment