Wednesday, 1 February 2017

Memahami Kalimat Ahok di Kepulauan Seribu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Tadinya sih, saya menunggu para ahli bahasa yang menjadi saksi ahli bahasa dalam persidangan Ahok untuk menjelaskan kalimat Ahok di Kepulauan Seribu sebelum menulis pendapat saya mengenai kalimat Ahok yang diributkan itu. Akan tetapi, ternyata persidangannya tertutup untuk diliput media massa secara live. Meskipun demikian, saya pun berharap media massa, baik elektronik maupun cetak dapat membahas atau mendiskusikan kalimat Ahok di Kepulauan Seribu itu dengan mengundang para ahli bahasa Indonesia yang terpercaya dan jelas disiplin ilmunya. Akan tetapi, ternyata media massa lebih tertarik pada masalah hukum dan politik dalam kasus itu. Artinya, harapan saya untuk mendengar pembahasan kalimat Ahok dari segi bahasa tidak kesampaian. Oleh sebab itu, saya mencoba menulis pendapat saya mengenai kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu itu dengan lebih rinci.

            Di samping itu, dorongan saya untuk menulis hal ini adalah karena saya membaca newssticker dari tvOne pada Selasa, 31 Januari 2017, pukul 13.55, yang menuliskan bahwa menurut Ketua MUI Maruf Amin yang menjadi saksi pada persidangan Ahok, MUI adalah pihak yang menunjuk Rizieq sebagai ahli agama untuk meneliti ucapan Ahok. Pernyataan Ketua MUI itu sangat mengejutkan saya.

            Jadi, orang yang meneliti kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu itu Rizieq?

            Masyaallah. Astaghfirullahaladzhiem.

            Jadi, Rizieq orangnya?

            Masyaallah. Astaghfirullahaladzhiem.

            Mengapa harus Rizieq?

            Kirain yang ditugaskan MUI untuk meneliti kata-kata Ahok itu profesor doktor ahli bahasa Indonesia setingkat J.S. Badudu, Gorys Keraf, atau Harimurti Kridalaksana. Ternyata, Rizieq orangnya. Tahu begitu, saya sudah menulis hal ini sejak dulu. Saya kira ada ahli bahasa Indonesia yang benar-benar hebat yang mengatakan bahwa kata-kata Ahok memang benar-benar mengandung penghinaan atau penodaan agama. Saya pengen tahu siapa orangnya dan apa pendapatnya. Ternyata, Rizieq orangnya.

            Masyaallah. Astaghfirullahaladzhiem.

            Ucapan Ahok itu kan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, harus ahli bahasa Indonesia yang harus melakukan penelitian itu, bukan sembarang orang. Meskipun setiap orang Indonesia bisa berbahasa Indonesia, tidak berarti semua orang adalah ahli bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia itu sebagian besar bukan ahli bahasa Indonesia, melainkan pengguna bahasa Indonesia.

            Hal ini memang kemungkinan besar berasal dari penyakit yang diderita bangsa Indonesia. Penyakit itu adalah menganggap rendah bahasa Indonesia dan Pancasila. Hal ini bisa dilihat dari terlalu banyak institusi pendidikan sejak SD, SMP, SMA, sampai dengan perguruan tinggi menggunakan pengajar yang tidak ahli bahasa Indonesia dan Pancasila, tetapi justru mengajarkan kedua hal itu. Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang menggunakan guru atau dosen untuk mengajarkan bahasa Indonesia dan Pancasila, padahal tidak memiliki pengetahuan yang jelas mengenai bahasa Indonesia dan Pancasila. Kedua mata pelajaran itu atau mata kuliah itu sering dipandang sebagai mata pelajaran yang ecek-ecek, remeh sehingga guru atau dosen dengan disiplin ilmu apa pun kerap ditugaskan untuk mengajarkan mata pelajaran itu. Sangat banyak orang yang menganggap bahwa semua orang memiliki kemampuan yang sama tentang bahasa Indonesia dan Pancasila. Sungguh, itu merupakan suatu kesalahan yang teramat besar.

            Bagaimana Revolusi Mental bisa berhasil jika masih menganggap remeh bahasa Indonesia dan Pancasila?

            Ke depan, seharusnya seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki jurusan atau program studi khusus mengenai Ilmu Pancasila dengan gelar S1. Program studi itu bisa masuk ke fakultas ilmu budaya, fakultas ilmu sosial dan politik, atau fakultas sastra.

            Kita tidak boleh lagi memandang sebelah mata terhadap bahasa Indonesia dan Pancasila. Harus orang-orang yang benar ahli bahasa Indonesia dan Pancasila yang mengajarkan tentang bahasa Indonesia dan Pancasila.


Polri Tidak Telat

Ketika Ahok sudah dilaporkan pada pihak kepolisian, banyak pihak yang memandang polisi telat atau lamban memproses laporan itu. Bahkan, tak sedikit pula yang menuduh polisi telah “diintervensi” oleh kekuasaan yang lebih tinggi sehingga tidak bersegera melakukan proses atas laporan dugaan penghinaan atau penodaan yang dilakukan Ahok. Padahal, saya melihat Polri sudah cukup lama mempelajarinya, tetapi tidak meyakini adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Ahok. Sementara itu, pihak pelapor dan mereka yang anti-Ahok ingin segera Ahok diadili, bahkan segera dimasukkan dalam penjara.

            Polri melalui Kapolri Tito Karnavian paling tidak saya melihatnya dua kali menjelaskan tentang kalimat yang digunakan Ahok bahwa Ahok tidak mengatakan QS Al Maidaah : 51 itu adalah bohong. Tito menerangkan bahwa kata “pakai” yang ada dalam kalimat Ahok menjadi sangat penting karena ada kata “pakai” itulah Polri tampaknya tidak meyakini adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok. Akan tetapi, orang-orang yang kebelet ingin Ahok dipenjara tidak mau menerimanya. Bahkan, ada orang yang katanya ahli agama berkata keras bahwa polisi jangan ikut-ikutan menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Kata-kata kerasnya ini tampaknya ditujukan kepada Tito Karnavian. Akibatnya, Tito Karnavian pun tidak lagi melanjutkan penerangannya kepada masyarakat. Padahal, sesungguhnya, Tito Karnavian tidak sedang menafsirkan agama atau ayat-ayat Al Quran, melainkan menafsirkan kata-kata Ahok yang berbahasa Indonesia.

            Sesungguhnya, Polri tidak telat dalam menangani laporan atau pengaduan tentang dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok. Mereka sudah mempelajarinya, tetapi tidak meyakini adanya pelanggaran hukum. Akan tetapi, karena desakan masyarakat sangat kuat dan hasil gelar perkara pun pendapatnya terbelah dua, Polri memilih melanjutkan kasus Ahok ini ke pengadilan. Biar pengadilan saja yang memutuskannya.


Kalimat Ahok

Mari kita mulai dari tulisan Brili Agung yang dimuat dalam republika.co.id. Tulisan Brili Agung yang berjudul Membedah Sisi Linguistik Kalimat Ahok Soal Al-Maidah 51 memang menarik dan jadi perhatian banyak orang. Tulisannya ini banyak digunakan oleh orang-orang anti-Ahok untuk menguatkan pandangannya dalam rangka menjerumuskan Ahok ke penjara.

            Tenang saja. Kita berbicara tentang pengetahuan. Kalem saja. Kalau ada yang berbeda pendapat, silakan saja. Kita selesaikan dengan diskusi pengetahuan, bukan dengan laporan pada polisi atau dengan kata-kata kasar yang tidak diajarkan di sekolah. Jangan sedikit-sedikit laporan, sedikit-sedikit bikin pengaduan. Nggak asyik banget.

            Dilihat dari tulisannya, Brili Agung orang yang cerdas, pandai, saya mengaguminya. Dia masih muda dan energik. Mudah-mudahan memiliki masa depan yang sangat cerah. Akan tetapi, sayangnya, ia membuat tulisan yang “loncat” ke arah hal yang tidak dipahaminya dengan baik.

            Santai saja. Kalem.

            Seperti kata Brili Agung sendiri, “Mari kita bedah dengan kepala dingin.”

            Saya copy-paste tulisan Brili sebagai berikut sebagaimana yang ditulis dalam republika.co.id.

            Jika kita ubah kalimat di atas dengan struktur yang lengkap maka akan menjadi seperti ini:

            “Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidah 51” – Ini adalah kalimat pasif.

            Anda: Objek

            Dibohongin: Predikat

            Orang : Subjek

            Pakai surat Al Maidah 51: Keterangan Alat

            Dengan struktur kalimat seperti ini, jelas yang disasar dalam kalimat Pak Basuki adalah SUBYEK-nya. Yaitu “orang”. Dalam hal ini orang yang menggunakan surat Al Maidah 51.

            Karena Surat Al Maidah 51 di sini hanya sebagai keterangan alat yang sifatnya NETRAL. Saya analogikan dengan struktur kalimat yang sama seperti ini:

            “Anda dipukul orang pakai penggaris.”

            Struktur kalimat di atas sama, yaitu: OPSK. Jenis kalimat pasif. Subyek ada pada orang. Sedangkan penggaris merupakan keterangan alat yang bersifat netral.

            Di sini menariknya.

            Penggaris memang bersifat netral. Bisa dipakai menggaris, memukul, dan yang lainnya tergantung predikatnya. Yang menentukan apakah si penggaris ini fungsinya menjadi positif atau negatif adalah predikatnya.

            Sampai pada bagian ini tulisan Brili cukup bagus dan cerdas meskipun banyak sekali ejaan yang harus diperbaiki, seperti, titik, koma, huruf kapital, kata hubung, dan sebagainya.

            Brili mulai mengajak pembacanya untuk berpikir, “Nah, masalahnya adalah apakah Surat Al Maidah 51 bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong?”

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bohong/bo•hong/ berarti tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta:

            Dan inilah arti dari surat Al Maidah 51 tersebut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

            Dari penuturannya, Brili menerangkan tentang bohong menurut kamus dan isi QS Al Maidaah : 51 secara lengkap. Sampai pada bagian ini, tulisanya lumayan mengagumkan. Akan tetapi, pada alinea-alinea berikutnya Brili ”loncat” menulis sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya dengan benar. Saya menganggapnya dia masih sangat muda sehingga kurang jam terbang dalam hidupnya.

            Perhatikan saja alinea berikutnya.        

            Makna dari surat Al Maidah 51 tersebut sudah sangat jelas. Bukan kalimat bersayap yang bisa dimultitafsirkan. Tanpa dibacakan oleh orang lain, seseorang yang membaca langsung Surat Al Maidah 51 pun mampu memahami artinya.

            Secara tidak langsung, Brili mengatakan bahwa dirinya memahami dengan benar QS Al Maidaah : 51 karena ayat itu mudah dipahami artinya sebagaimana yang tertulis dalam berbagai kitab terjemahan Al Quran. Padahal, sesungguhnya, ayat itu tidak bisa diartikan sebagaimana kata-kata yang tertulis di sana saja, tetapi memerlukan pemahaman lain dari asbabun nuzul dan tafsir dari para penafsir terpercaya. Saya sendiri menggunakan terjemahan dari Tafsir Qur’an per Kata: Dilengkapi Asbabun Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A. yang di dalamnya memuat tafsir dari Ibnu Katsir serta biografi Muhammad saw dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang disusun oleh Muhammad Haekal. Hasilnya, saya mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan komprehensif. Dalam kata lain, ayat itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai panduan dalam pemilihan pemimpin apa pun di level apa pun. Untuk lebih jelasnya, silakan baca tulisan saya masih di blog ini juga dengan judul Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan  sebagai Alat untuk Berbohong.

            Dengan secara tidak langsung mengatakan bahwa dirinya memahami ayat itu dengan mudah, Brili sudah “loncat” menulis sesuatu yang tidak dipahaminya dengan baik. Sebenarnya, ia sudah mengatakan bahwa dirinya bukan ahli agama, tetapi anehnya menegaskan bahwa QS Al Maidaah : 51 itu dapat dipahami orang dengan sangat mudah. Dengan mengatakan hal seperti itu, sebetulnya dia sudah memasuki wilayah agama yang tidak dipahaminya dengan baik sebagaimana yang ditulis  dalam republika.co.id.

            Brili mengatakan, karena dirinya bukan ahli agama, maka dia akan membedah pernyataan Ahok tersebut pada sisi linguistik. "Tulisan ini akan lebih difokuskan untuk membedah sisi linguistik, sisi kaidah bahasa yang beliau gunakan," katanya dalam tulisan berjudul Membedah Sisi Lingusitik Kalimat Pak Basuki.

            Karena memasuki wilayah yang tidak dkuasainya dengan baik, Brili pun membuat kesimpulan yang benar-benar salah. Kesimpulan itu ditulisnya sebagai berikut.

            Kesimpulan saya, dengan makna sejelas ini surat Al Maidah 51 TIDAK BISA DIJADIKAN ALAT UNTUK BERBOHONG. Jadi ketika Pak Basuki berkata dengan kalimat seperti itu, sudah pasti dia menyakiti Umat Islam karena menempatkan Al Maidah 51 sebagai “keterangan alat” yang didahului oleh predikat bohong. Menempelkan sesuatu yang suci dengan sebuah kata negatif, itulah kesalahannya.

            Akan tetapi, saya memiliki pendapat yang jauh berbeda dibandingkan Brili, yaitu JANGANKAN QS AL MAIDAAH : 51, RATUSAN AYAT AL QURAN LAINNYA PUN BISA DIJADIKAN ALAT UNTUK BERBOHONG.

            Kalem, tenang, damai.

            Sesungguhnya, dari zaman ke zaman, ayat Al Quran sering sekali digunakan sebagai alat untuk membohongi manusia. Ayat-ayat Al Quran ini kerap digunakan sebagai alat berbohong untuk kepentingan politik dan ekonomi. Selalu politik dan ekonomi yang dituju para pendusta ini. Mereka yang selalu menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk berbohong adalah para anti-Islam yang menghalangi manusia untuk menemukan kebenaran Islam dan orang-orang Islam yang ingin berkuasa secara ekonomi dan politik tanpa prestasi.

            Lebih dari dua ratus orang luar negeri yang berdebat dengan saya selalu menggunakan ayat-ayat Al Quran dengan pemahaman yang diputarbalikkan untuk membohongi manusia. Saya tidak pernah kalah berdebat dengan mereka. Ada ratusan ayat Al Quran yang digunakan mereka untuk berbohong, terutama mengenai perang, hukum, pajak, dan perempuan. Coba lihat saja di akun google plus saya. Cek sendiri. Cari yang ada percakapan saya dengan para bule pada berbagai negara di tayangan Youtube mereka. Kalian akan sangat kaget melihat bagaimana ayat-ayat Al Quran dipakai untuk berbohong. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya masih di blog ini yang berjudul Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan  sebagai Alat untuk Berbohong. Jangan dulu mengomentari tulisan ini jika belum membaca tulisan saya yang lalu itu.

            Kalem, tenang, ini soal ilmu pengetahuan.

            Pada kali ini pun saya ingin memberikan contoh lain. Jangankan ayat Al Quran, NAMA ALLAH SWT SAJA KERAP DIPAKAI ALAT  UNTUK BERBOHONG. Bukan zat Allah swt yang dipakai untuk berbohong karena itu tidak mungkin, melainkan nama Allah swt yang sering digunakan untuk berbohong.

            Coba itu lihat di pasar-pasar tradisional, banyak sekali orang yang berbohong dengan menggunakan nama Allah swt. Mereka sangat sering berbohong dengan mengatakan Demi Allah.

            Coba perhatikan, jika seorang pedagang kepepet ditawar oleh pembeli, tak jarang mereka bersumpah, “Demi Allah, Bu, ini sudah sangat murah, ini sudah modalnya, saya jual rugi, Demi Allah.”

            Terkadang pula, “Kasihanilah saya Bu, ini harganya sudah murah, saya nggak ngambil laba, asal laku saja. Demi Allah.”

            Tak jarang pula, “Jangan ditawar lagi Bu, saya jual rugi, Demi Allah, saya belum makan sejak pagi.”

            Bukan cuma pedagang yang kerap berbohong seperti itu, pembeli pun sama bohongnya.

            Kata pembeli, “Wah, mahal banget, saya uangnya tidak ada kalau harga segitu mah. Demi Allah.”

            Sering juga pembeli mengatakan, “Sudahlah harganya segitu saja, ini uangnya tidak ada lagi, untuk bayar parkir. Demi Allah.”

            Banyak pedagang atau pembeli yang menggunakan nama Allah swt untuk bersumpah palsu seperti itu, padahal mereka sebenarnya sedang berupaya mengelabui dan merayu agar mendapatkan untung dari jual-beli barang. Tentunya, tidak semua pedagang dan pembeli seperti itu. Banyak sekali pedagang dan pembeli yang jujur, tetapi yang tidak jujur juga banyak dengan menggunakan sumpah Demi Allah.

            Bukan hanya di pasar orang kerap menggunakan nama Allah swt untuk berbohong melalui sumpah palsu.

            “Sumpah Demi Allah, saya tidak berselingkuh!”

            Padahal, pacarnya banyak.

            “Demi Allah, saya tidak korupsi!”

            Padahal, KPK sudah punya banyak bukti.

            “Saya tidak mencuri, Demi Allah!”

            Padahal, sudah ketahuan mencuri.

            Apa itu artinya?

            Itu artinya nama Allah swt bisa dipakai sebagai alat untuk berbohong melalui sumpah palsu. Kita tidak perlu mengelak dari kenyataan ini karena hal ini sering sekali terjadi. Akui saja memang masih sangat banyak orang yang melakukannya sehingga kita yang ingin mendapatkan pahala dari Allah swt tidak perlu ikut-ikutan menggunakan ayat-ayat Al Quran dan nama Allah swt untuk berbohong hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik yang rendah. Lebih jauh lagi, jika mampu, kita bisa mengingatkan orang lain agar TIDAK BERBOHONG DENGAN MEMAKAI AYAT AL QURAN ATAU NAMA ALLAH SWT.

            Kembali ke soal kalimat Ahok. Karena QS Al Maidaah : 51 bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong, kalimat Ahok tidaklah salah dan tidak ada penodaan agama di sana. Sekarang, tinggal pemahaman kita mengenai QS Al Maidaah : 51. Jika ayat itu bukanlah dimaksudkan Allah swt sebagai larangan memilih pemimpin nonmuslim, setiap “orang” dalam hal ini lawan politik Ahok yang menggunakan ayat ini untuk menghalangi Ahok, dapatlah disebut sebagai “pembohong”. Sebaliknya, jika ayat ini memang merupakan larangan mutlak dari Allah swt untuk memilih pemimpin nonmuslim, Ahok memang dapat dikatakan sebagai penghina “orang” atau lawan politiknya yang menggunakan ayat ini sebagai bahan kampanye.

            Tinggal dikaji dan diuji ayat ini, apakah memang isinya larangan untuk memilih pemimpin nonmuslim atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemilihan pemimpin.

            Saya sendiri berpendapat bahwa ayat ini sama sekali bukan panduan untuk memilih pemimpin dalam sistem politik demokrasi di Indonesia berdasarkan pemahaman saya setelah mempelajari terjemahan dari Tafsir Qur’an per Kata: Dilengkapi Asbabun Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A. yang di dalamnya memuat tafsir dari Ibnu Katsir serta biografi Muhammad saw dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang disusun oleh Muhammad Haekal. Oleh sebab itu, berkali-kali saya mengatakan bahwa saya tidak menemukan kata-kata penodaan terhadap agama dari kalimat yang disampaikan Ahok.

            Hal yang membuat saya tertarik dari tulisan Brili Agung adalah caranya membandingkan kalimat Ahok dengan kalimat yang dibuatnya sendiri. Dia menulis sebagai berikut.

            Sebuah logika yang sama dengan kasus seperti ini:

            Seseorang Ustadz menghimbau jamaahnya:

            "Jangan makan babi, Allah mengharamkannya dalam Surat Al Maidah ayat 3."

            Pedagang babi lalu komplain: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al Maidah Ayat 3."

            Atau

            Seseorang Ustadz menghimbau jamaahnya: "Al Quran mengharamkan khamr dan judi dalam Surat Al Maidah ayat 90."

            Bandar judi dan produsen vodka pun protes: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat Al Maidah Ayat 90."

            Jika Anda sudah membaca arti Surat Al Maidah Ayat 3 dan 90, mana yang akan Anda percaya? Ustadz yang memberitahu Anda atau Pedagang Babi, Khamr, dan Bandar Judinya?

            Itu pilihan Anda. Namun sebagai orang yang mengaku Muslim, jika Alquran dan As Sunnah tidak menjadi pegangan utama kita, apakah kita masih layak menyebut diri kita Muslim?

            Perhatikan kalimat yang dibuat Brili tadi sebagai bahan perbandingan.

            Pedagang babi lalu komplain: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al Maidah Ayat 3."

            Atau

            Bandar judi dan produsen vodka pun protes: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat Al Maidah Ayat 90."

            Itu sama saja dengan kalimat Ahok. Artinya, pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka menuduh ustadz berbohong dengan memakai QS Al Maidaah : 3 dan 90.

            Penyelesaiannya adalah apakah memang benar QS Al Maidaah : 3 dan 90 itu mengharamkan babi, khamr, dan judi?

            Jika memang benar ayat-ayat itu mengharamkan babi, khamr, dan judi dilihat dari berbagai segi serta tidak ada penafsiran lain tentang hal itu yang bertolak belakang, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka dapat dijerat hukuman sebagai penghina ustadz karena ustadz itu tidak berbohong dan menggunakan ayat itu dengan benar tanpa ada penafsiran yang berbeda. Sebaliknya, jika QS Al Maidaah : 3 dan 90 itu tidak mengharamkan babi, khamr, dan judi, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka tidaklah salah karena memang ustadz itu telah berbohong dengan menggunakan ayat yang tidak mengharamkan babi, khamr, dan judi. Jadi, semuanya bergantung pada isi ayat-ayatnya.

            Perhatikan pula jika kalimatnya kita ubah.

            Pedagang babi lalu komplain: "Anda dibohongi Surat Al Maidah Ayat 3."

            Atau

            Bandar judi dan produsen vodka pun protes: "Anda dibohongi Surat Al Maidah Ayat 90."

            Nah, jika kalimatnya seperti itu, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka telah melakukan penodaan terhadap Al Quran. Hal itu disebabkan mereka mengatakan bahwa QS Al Maidaah : 3 dan 90 adalah berbohong mengenai babi, khamr, dan judi.

            Bisa kan membedakannya?

            Berbeda dengan kalimat Ahok karena QS Al Maidaah : 51 mengandung beberapa pemahaman yang berbeda di kalangan umat Islam sendiri. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah larangan untuk memilih pemimpin nonmuslim. Adapula yang seperti saya yang berpendapat bahwa ayat itu sama sekali tidak berhubungan dengan pemilihan pemimpin dalam sistem politik demokrasi di Indonesia. Kedua pendapat yang berbeda itu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

            Persoalannya adalah mana yang benar dari kedua pendapat yang berbeda itu. Salah satu pendapat ada yang benar dan yang satunya lagi salah. Tidak mungkin kedua-duanya benar karena saling bertolak belakang. Mustahil pula kedua-duanya salah. Pastikan saja salah satu pasti benar dan sesuai dengan kehendak Allah swt. Adapun pendapat yang satunya lagi adalah berasal dari hawa nafsu dan bukan dari Allah swt. Oleh sebab itu, berkali-kali saya bilang bahwa urusan ini sangat memalukan untuk diselesaikan di pengadilan yang akhirnya pendapat yang benar dan salah dari kedua pendapat berbeda ini bergantung pada keputusan hakim.

            Benar-benar memalukan!

            Seharusnya, perbedaan pendapat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi di ruang-ruang kelas kuliah atau dalam diskusi dan penelaahan mendalam mengenai ayat-ayat Al Quran.      Tunggu saja Allah swt akan menghukum mereka yang telah membuat ayat-ayatnya menjadi sumber keributan dan bukan sumber kedamaian hanya karena membela hawa nafsunya sendiri-sendiri.

            Ada yang berbeda pendapat dengan saya?

            Baca dulu tulisan saya masih di blog ini yang berjudul Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan  sebagai Alat untuk Berbohong. Jangan dulu mengomentari tulisan ini jika belum membaca tulisan saya yang lalu itu.

            Kalem, santai. Mari kita diskusikan baik-baik  dengan semangat Nabi Prabu Siliwangi as, yaitu silih asih, silih asuh, silih asah, ‘saling mengasihi, saling melindungi, dan saling mencerdaskan’.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment