oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Tadinya sih, saya menunggu
para ahli bahasa yang menjadi saksi ahli bahasa dalam persidangan Ahok untuk
menjelaskan kalimat Ahok di Kepulauan Seribu sebelum menulis pendapat saya
mengenai kalimat Ahok yang diributkan itu. Akan tetapi, ternyata persidangannya
tertutup untuk diliput media massa secara live.
Meskipun demikian, saya pun berharap media massa, baik elektronik maupun
cetak dapat membahas atau mendiskusikan kalimat Ahok di Kepulauan Seribu itu
dengan mengundang para ahli bahasa Indonesia yang terpercaya dan jelas disiplin
ilmunya. Akan tetapi, ternyata media massa lebih tertarik pada masalah hukum
dan politik dalam kasus itu. Artinya, harapan saya untuk mendengar pembahasan
kalimat Ahok dari segi bahasa tidak kesampaian. Oleh sebab itu, saya mencoba
menulis pendapat saya mengenai kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu itu dengan
lebih rinci.
Di samping itu, dorongan saya untuk menulis hal ini adalah
karena saya membaca newssticker dari tvOne pada Selasa, 31 Januari 2017,
pukul 13.55, yang menuliskan bahwa menurut Ketua MUI Maruf Amin yang menjadi
saksi pada persidangan Ahok, MUI adalah
pihak yang menunjuk Rizieq sebagai ahli agama untuk meneliti ucapan Ahok.
Pernyataan Ketua MUI itu sangat mengejutkan saya.
Jadi, orang yang meneliti kata-kata Ahok di Kepulauan
Seribu itu Rizieq?
Masyaallah.
Astaghfirullahaladzhiem.
Jadi, Rizieq
orangnya?
Masyaallah.
Astaghfirullahaladzhiem.
Mengapa harus Rizieq?
Kirain yang ditugaskan MUI untuk meneliti kata-kata Ahok
itu profesor doktor ahli bahasa Indonesia setingkat J.S. Badudu, Gorys Keraf, atau Harimurti
Kridalaksana. Ternyata, Rizieq orangnya. Tahu begitu, saya sudah menulis
hal ini sejak dulu. Saya kira ada ahli bahasa Indonesia yang benar-benar hebat
yang mengatakan bahwa kata-kata Ahok memang benar-benar mengandung penghinaan
atau penodaan agama. Saya pengen tahu siapa orangnya dan apa pendapatnya.
Ternyata, Rizieq orangnya.
Masyaallah.
Astaghfirullahaladzhiem.
Ucapan Ahok itu kan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi,
harus ahli bahasa Indonesia yang harus melakukan penelitian itu, bukan
sembarang orang. Meskipun setiap orang Indonesia bisa berbahasa Indonesia,
tidak berarti semua orang adalah ahli bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia
itu sebagian besar bukan ahli bahasa Indonesia, melainkan pengguna bahasa
Indonesia.
Hal ini memang kemungkinan besar berasal dari penyakit
yang diderita bangsa Indonesia. Penyakit itu adalah menganggap rendah bahasa Indonesia dan Pancasila. Hal ini bisa dilihat dari
terlalu banyak institusi pendidikan sejak SD, SMP, SMA, sampai dengan perguruan
tinggi menggunakan pengajar yang tidak ahli bahasa Indonesia dan Pancasila,
tetapi justru mengajarkan kedua hal itu. Banyak sekolah dan perguruan tinggi
yang menggunakan guru atau dosen untuk mengajarkan bahasa Indonesia dan
Pancasila, padahal tidak memiliki pengetahuan yang jelas mengenai bahasa
Indonesia dan Pancasila. Kedua mata pelajaran itu atau mata kuliah itu sering dipandang
sebagai mata pelajaran yang ecek-ecek,
remeh sehingga guru atau dosen dengan disiplin ilmu apa pun kerap
ditugaskan untuk mengajarkan mata pelajaran itu. Sangat banyak orang yang
menganggap bahwa semua orang memiliki
kemampuan yang sama tentang bahasa Indonesia dan Pancasila. Sungguh, itu
merupakan suatu kesalahan yang teramat besar.
Bagaimana Revolusi
Mental bisa berhasil jika masih menganggap remeh bahasa Indonesia dan
Pancasila?
Ke depan, seharusnya seluruh perguruan tinggi di Indonesia
memiliki jurusan atau program studi khusus mengenai Ilmu Pancasila dengan gelar
S1. Program studi itu bisa masuk ke fakultas ilmu budaya, fakultas ilmu sosial
dan politik, atau fakultas sastra.
Kita tidak boleh lagi memandang sebelah mata terhadap bahasa
Indonesia dan Pancasila. Harus orang-orang yang benar ahli bahasa Indonesia dan
Pancasila yang mengajarkan tentang bahasa Indonesia dan Pancasila.
Polri
Tidak Telat
Ketika Ahok sudah dilaporkan
pada pihak kepolisian, banyak pihak yang memandang polisi telat atau lamban
memproses laporan itu. Bahkan, tak sedikit pula yang menuduh polisi telah
“diintervensi” oleh kekuasaan yang lebih tinggi sehingga tidak bersegera
melakukan proses atas laporan dugaan penghinaan atau penodaan yang dilakukan
Ahok. Padahal, saya melihat Polri sudah cukup lama mempelajarinya, tetapi tidak
meyakini adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Ahok. Sementara itu,
pihak pelapor dan mereka yang anti-Ahok ingin segera Ahok diadili, bahkan
segera dimasukkan dalam penjara.
Polri melalui Kapolri Tito Karnavian paling tidak saya
melihatnya dua kali menjelaskan tentang kalimat yang digunakan Ahok bahwa Ahok tidak mengatakan QS Al Maidaah : 51 itu
adalah bohong. Tito menerangkan bahwa kata “pakai” yang ada dalam kalimat
Ahok menjadi sangat penting karena ada kata “pakai” itulah Polri tampaknya
tidak meyakini adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok. Akan tetapi,
orang-orang yang kebelet ingin Ahok
dipenjara tidak mau menerimanya. Bahkan, ada orang yang katanya ahli agama
berkata keras bahwa polisi jangan
ikut-ikutan menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Kata-kata kerasnya ini tampaknya ditujukan
kepada Tito Karnavian. Akibatnya, Tito Karnavian pun tidak lagi melanjutkan
penerangannya kepada masyarakat. Padahal, sesungguhnya, Tito Karnavian tidak
sedang menafsirkan agama atau ayat-ayat Al Quran, melainkan menafsirkan
kata-kata Ahok yang berbahasa Indonesia.
Sesungguhnya, Polri tidak telat dalam menangani laporan
atau pengaduan tentang dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok. Mereka
sudah mempelajarinya, tetapi tidak meyakini adanya pelanggaran hukum. Akan
tetapi, karena desakan masyarakat sangat kuat dan hasil gelar perkara pun
pendapatnya terbelah dua, Polri memilih melanjutkan kasus Ahok ini ke
pengadilan. Biar pengadilan saja yang memutuskannya.
Kalimat
Ahok
Mari kita mulai dari tulisan
Brili Agung yang dimuat dalam republika.co.id. Tulisan Brili Agung
yang berjudul Membedah Sisi Linguistik
Kalimat Ahok Soal Al-Maidah 51 memang menarik dan jadi perhatian banyak
orang. Tulisannya ini banyak digunakan oleh orang-orang anti-Ahok untuk
menguatkan pandangannya dalam rangka menjerumuskan Ahok ke penjara.
Tenang saja. Kita berbicara tentang pengetahuan. Kalem
saja. Kalau ada yang berbeda pendapat, silakan saja. Kita selesaikan dengan
diskusi pengetahuan, bukan dengan laporan pada polisi atau dengan kata-kata
kasar yang tidak diajarkan di sekolah. Jangan sedikit-sedikit laporan,
sedikit-sedikit bikin pengaduan. Nggak asyik banget.
Dilihat dari tulisannya, Brili Agung orang yang cerdas,
pandai, saya mengaguminya. Dia masih muda dan energik. Mudah-mudahan memiliki
masa depan yang sangat cerah. Akan tetapi, sayangnya, ia membuat tulisan yang
“loncat” ke arah hal yang tidak dipahaminya dengan baik.
Santai saja. Kalem.
Seperti kata Brili Agung sendiri, “Mari kita bedah dengan
kepala dingin.”
Saya copy-paste
tulisan Brili sebagai berikut sebagaimana yang ditulis dalam republika.co.id.
Jika kita ubah
kalimat di atas dengan struktur yang lengkap maka akan menjadi seperti ini:
“Anda dibohongin orang pakai surat
Al Maidah 51” – Ini adalah kalimat pasif.
Anda: Objek
Dibohongin: Predikat
Orang : Subjek
Pakai surat Al Maidah 51: Keterangan
Alat
Dengan struktur kalimat seperti ini,
jelas yang disasar dalam kalimat Pak Basuki adalah SUBYEK-nya. Yaitu “orang”.
Dalam hal ini orang yang menggunakan surat Al Maidah 51.
Karena Surat Al Maidah 51 di sini
hanya sebagai keterangan alat yang sifatnya NETRAL. Saya analogikan dengan
struktur kalimat yang sama seperti ini:
“Anda dipukul orang pakai
penggaris.”
Struktur kalimat di atas sama,
yaitu: OPSK. Jenis kalimat pasif. Subyek ada pada orang. Sedangkan penggaris
merupakan keterangan alat yang bersifat netral.
Di sini menariknya.
Penggaris memang bersifat netral.
Bisa dipakai menggaris, memukul, dan yang lainnya tergantung predikatnya. Yang
menentukan apakah si penggaris ini fungsinya menjadi positif atau negatif
adalah predikatnya.
Sampai pada bagian
ini tulisan Brili cukup bagus dan cerdas meskipun banyak sekali ejaan yang
harus diperbaiki, seperti, titik, koma, huruf kapital, kata hubung, dan
sebagainya.
Brili mulai mengajak pembacanya untuk berpikir, “Nah, masalahnya adalah apakah Surat Al
Maidah 51 bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong?”
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, bohong/bo•hong/ berarti tidak sesuai dengan hal (keadaan dan
sebagainya) yang sebenarnya; dusta:
Dan inilah arti dari surat Al Maidah
51 tersebut: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Dari penuturannya, Brili menerangkan tentang bohong
menurut kamus dan isi QS Al Maidaah : 51 secara lengkap. Sampai pada bagian
ini, tulisanya lumayan mengagumkan. Akan tetapi, pada alinea-alinea berikutnya
Brili ”loncat” menulis sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya dengan
benar. Saya menganggapnya dia masih sangat muda sehingga kurang jam terbang
dalam hidupnya.
Perhatikan saja alinea berikutnya.
Makna dari surat Al
Maidah 51 tersebut sudah sangat jelas. Bukan kalimat bersayap yang bisa dimultitafsirkan.
Tanpa dibacakan oleh orang lain, seseorang yang membaca langsung Surat Al
Maidah 51 pun mampu memahami artinya.
Secara tidak langsung, Brili mengatakan bahwa dirinya
memahami dengan benar QS Al Maidaah : 51 karena ayat itu mudah dipahami artinya
sebagaimana yang tertulis dalam berbagai kitab terjemahan Al Quran. Padahal, sesungguhnya,
ayat itu tidak bisa diartikan sebagaimana kata-kata yang tertulis di sana saja,
tetapi memerlukan pemahaman lain dari asbabun
nuzul dan tafsir dari para
penafsir terpercaya. Saya sendiri menggunakan terjemahan dari Tafsir Qur’an per Kata: Dilengkapi Asbabun
Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr.
Ahmad Hatta, M.A. yang di dalamnya memuat tafsir dari Ibnu Katsir serta biografi Muhammad saw dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang disusun oleh
Muhammad Haekal. Hasilnya, saya
mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan komprehensif. Dalam kata lain, ayat
itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai panduan dalam
pemilihan pemimpin apa pun di level apa pun. Untuk lebih jelasnya, silakan baca
tulisan saya masih di blog ini juga dengan judul Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan
sebagai Alat untuk Berbohong.
Dengan secara tidak langsung mengatakan bahwa dirinya
memahami ayat itu dengan mudah, Brili sudah “loncat” menulis sesuatu yang tidak
dipahaminya dengan baik. Sebenarnya, ia sudah mengatakan bahwa dirinya bukan
ahli agama, tetapi anehnya menegaskan bahwa QS Al Maidaah : 51 itu dapat
dipahami orang dengan sangat mudah. Dengan mengatakan hal seperti itu,
sebetulnya dia sudah memasuki wilayah agama yang tidak dipahaminya dengan baik
sebagaimana yang ditulis dalam
republika.co.id.
Brili mengatakan, karena dirinya
bukan ahli agama, maka dia akan membedah pernyataan Ahok tersebut pada sisi
linguistik. "Tulisan ini akan lebih difokuskan untuk membedah sisi
linguistik, sisi kaidah bahasa yang beliau gunakan," katanya dalam tulisan
berjudul Membedah Sisi Lingusitik Kalimat Pak Basuki.
Karena memasuki
wilayah yang tidak dkuasainya dengan baik, Brili pun membuat kesimpulan yang benar-benar
salah. Kesimpulan itu ditulisnya sebagai berikut.
Kesimpulan saya,
dengan makna sejelas ini surat Al Maidah 51 TIDAK BISA DIJADIKAN ALAT UNTUK
BERBOHONG. Jadi ketika Pak Basuki berkata dengan kalimat seperti itu, sudah
pasti dia menyakiti Umat Islam karena menempatkan Al Maidah 51 sebagai
“keterangan alat” yang didahului oleh predikat bohong. Menempelkan sesuatu yang
suci dengan sebuah kata negatif, itulah kesalahannya.
Akan tetapi, saya
memiliki pendapat yang jauh berbeda dibandingkan Brili, yaitu JANGANKAN QS AL MAIDAAH : 51, RATUSAN AYAT
AL QURAN LAINNYA PUN BISA DIJADIKAN ALAT UNTUK BERBOHONG.
Kalem, tenang, damai.
Sesungguhnya, dari zaman ke zaman, ayat Al Quran sering
sekali digunakan sebagai alat untuk membohongi manusia. Ayat-ayat Al Quran ini
kerap digunakan sebagai alat berbohong untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Selalu politik dan ekonomi yang dituju para pendusta ini. Mereka yang selalu
menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk berbohong adalah para anti-Islam yang menghalangi manusia untuk menemukan kebenaran
Islam dan orang-orang Islam yang
ingin berkuasa secara ekonomi dan politik tanpa prestasi.
Lebih dari dua ratus
orang luar negeri yang berdebat dengan saya selalu menggunakan ayat-ayat Al
Quran dengan pemahaman yang diputarbalikkan untuk membohongi manusia. Saya
tidak pernah kalah berdebat dengan mereka. Ada ratusan ayat Al Quran yang
digunakan mereka untuk berbohong, terutama mengenai perang, hukum, pajak, dan
perempuan. Coba lihat saja di akun google
plus saya. Cek sendiri. Cari yang ada percakapan saya dengan para bule pada
berbagai negara di tayangan Youtube mereka. Kalian akan sangat kaget melihat bagaimana
ayat-ayat Al Quran dipakai untuk berbohong. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan
saya masih di blog ini yang berjudul Terlalu
Sering Ayat Al Quran Digunakan sebagai
Alat untuk Berbohong. Jangan dulu mengomentari tulisan ini jika belum membaca
tulisan saya yang lalu itu.
Kalem, tenang, ini soal ilmu pengetahuan.
Pada kali ini pun saya ingin memberikan contoh lain.
Jangankan ayat Al Quran, NAMA ALLAH SWT SAJA KERAP DIPAKAI ALAT UNTUK BERBOHONG. Bukan zat Allah swt yang
dipakai untuk berbohong karena itu tidak mungkin, melainkan nama Allah swt yang
sering digunakan untuk berbohong.
Coba itu lihat di pasar-pasar tradisional, banyak sekali
orang yang berbohong dengan menggunakan nama Allah swt. Mereka sangat sering berbohong
dengan mengatakan Demi Allah.
Coba perhatikan, jika seorang pedagang kepepet ditawar
oleh pembeli, tak jarang mereka bersumpah, “Demi
Allah, Bu, ini sudah sangat murah, ini sudah modalnya, saya jual rugi, Demi Allah.”
Terkadang pula,
“Kasihanilah saya Bu, ini harganya sudah murah, saya nggak ngambil laba, asal
laku saja. Demi Allah.”
Tak jarang pula,
“Jangan ditawar lagi Bu, saya jual rugi, Demi
Allah, saya belum makan sejak pagi.”
Bukan cuma pedagang yang kerap berbohong seperti itu,
pembeli pun sama bohongnya.
Kata pembeli, “Wah, mahal banget, saya uangnya tidak ada
kalau harga segitu mah. Demi Allah.”
Sering juga pembeli
mengatakan, “Sudahlah harganya segitu saja, ini uangnya tidak ada lagi, untuk
bayar parkir. Demi Allah.”
Banyak pedagang atau
pembeli yang menggunakan nama Allah swt untuk bersumpah palsu seperti itu,
padahal mereka sebenarnya sedang berupaya mengelabui dan merayu agar
mendapatkan untung dari jual-beli barang. Tentunya, tidak semua pedagang dan
pembeli seperti itu. Banyak sekali pedagang dan pembeli yang jujur, tetapi yang
tidak jujur juga banyak dengan menggunakan sumpah Demi Allah.
Bukan hanya di pasar
orang kerap menggunakan nama Allah swt untuk berbohong melalui sumpah palsu.
“Sumpah Demi Allah,
saya tidak berselingkuh!”
Padahal, pacarnya banyak.
“Demi Allah, saya
tidak korupsi!”
Padahal, KPK sudah punya banyak bukti.
“Saya tidak mencuri, Demi
Allah!”
Padahal, sudah
ketahuan mencuri.
Apa itu artinya?
Itu artinya nama Allah swt bisa dipakai sebagai alat untuk
berbohong melalui sumpah palsu. Kita tidak perlu mengelak dari kenyataan ini
karena hal ini sering sekali terjadi. Akui saja memang masih sangat banyak
orang yang melakukannya sehingga kita yang ingin mendapatkan pahala dari Allah
swt tidak perlu ikut-ikutan menggunakan ayat-ayat Al Quran dan nama Allah swt
untuk berbohong hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik yang
rendah. Lebih jauh lagi, jika mampu, kita bisa mengingatkan orang lain agar
TIDAK BERBOHONG DENGAN MEMAKAI AYAT AL QURAN ATAU NAMA ALLAH SWT.
Kembali ke soal kalimat Ahok. Karena QS Al Maidaah : 51
bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong, kalimat Ahok tidaklah salah dan
tidak ada penodaan agama di sana. Sekarang, tinggal pemahaman kita mengenai QS
Al Maidaah : 51. Jika ayat itu bukanlah dimaksudkan Allah swt sebagai larangan
memilih pemimpin nonmuslim, setiap “orang” dalam hal ini lawan politik Ahok
yang menggunakan ayat ini untuk menghalangi Ahok, dapatlah disebut sebagai “pembohong”.
Sebaliknya, jika ayat ini memang merupakan larangan mutlak dari Allah swt untuk
memilih pemimpin nonmuslim, Ahok memang dapat dikatakan sebagai penghina
“orang” atau lawan politiknya yang menggunakan ayat ini sebagai bahan kampanye.
Tinggal dikaji dan diuji ayat ini, apakah memang isinya larangan
untuk memilih pemimpin nonmuslim atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan
pemilihan pemimpin.
Saya sendiri berpendapat bahwa ayat ini sama sekali bukan
panduan untuk memilih pemimpin dalam sistem politik demokrasi di Indonesia
berdasarkan pemahaman saya setelah mempelajari terjemahan dari Tafsir Qur’an per Kata: Dilengkapi Asbabun
Nuzul dan Terjemah yang disusun Dr.
Ahmad Hatta, M.A. yang di dalamnya memuat tafsir dari Ibnu Katsir serta biografi Muhammad saw dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang disusun oleh
Muhammad Haekal. Oleh sebab itu,
berkali-kali saya mengatakan bahwa saya tidak menemukan kata-kata penodaan
terhadap agama dari kalimat yang disampaikan Ahok.
Hal yang membuat saya tertarik dari tulisan Brili Agung
adalah caranya membandingkan kalimat Ahok dengan kalimat yang dibuatnya
sendiri. Dia menulis sebagai berikut.
Sebuah logika yang sama dengan kasus
seperti ini:
Seseorang Ustadz menghimbau
jamaahnya:
"Jangan makan babi, Allah
mengharamkannya dalam Surat Al Maidah ayat 3."
Pedagang babi lalu komplain:
"Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al Maidah Ayat 3."
Atau
Seseorang Ustadz menghimbau
jamaahnya: "Al Quran mengharamkan khamr dan judi dalam Surat Al Maidah
ayat 90."
Bandar judi dan produsen vodka pun
protes: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat Al Maidah Ayat
90."
Jika Anda sudah membaca arti Surat
Al Maidah Ayat 3 dan 90, mana yang akan Anda percaya? Ustadz yang memberitahu
Anda atau Pedagang Babi, Khamr, dan Bandar Judinya?
Itu pilihan Anda. Namun sebagai
orang yang mengaku Muslim, jika Alquran dan As Sunnah tidak menjadi pegangan
utama kita, apakah kita masih layak menyebut diri kita Muslim?
Perhatikan kalimat yang dibuat Brili tadi sebagai bahan
perbandingan.
Pedagang babi lalu
komplain: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al Maidah Ayat
3."
Atau
Bandar judi dan produsen vodka pun
protes: "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat Al Maidah Ayat
90."
Itu sama saja dengan
kalimat Ahok. Artinya, pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka menuduh
ustadz berbohong dengan memakai QS Al Maidaah : 3 dan 90.
Penyelesaiannya adalah apakah memang benar QS Al Maidaah
: 3 dan 90 itu mengharamkan babi, khamr, dan judi?
Jika memang benar ayat-ayat itu mengharamkan babi, khamr,
dan judi dilihat dari berbagai segi serta tidak ada penafsiran lain tentang hal
itu yang bertolak belakang, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen
vodka dapat dijerat hukuman sebagai penghina ustadz karena ustadz itu tidak
berbohong dan menggunakan ayat itu dengan benar tanpa ada penafsiran yang
berbeda. Sebaliknya, jika QS Al Maidaah : 3 dan 90 itu tidak mengharamkan babi,
khamr, dan judi, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka tidaklah
salah karena memang ustadz itu telah berbohong dengan menggunakan ayat yang
tidak mengharamkan babi, khamr, dan judi. Jadi, semuanya bergantung pada isi
ayat-ayatnya.
Perhatikan pula jika kalimatnya kita ubah.
Pedagang babi lalu
komplain: "Anda dibohongi Surat Al Maidah Ayat 3."
Atau
Bandar judi dan produsen vodka pun
protes: "Anda dibohongi Surat Al Maidah Ayat 90."
Nah, jika kalimatnya
seperti itu, berarti pedagang babi, bandar judi, dan produsen vodka telah
melakukan penodaan terhadap Al Quran. Hal itu disebabkan mereka mengatakan
bahwa QS Al Maidaah : 3 dan 90 adalah berbohong mengenai babi, khamr, dan judi.
Bisa kan membedakannya?
Berbeda dengan kalimat Ahok karena QS Al Maidaah : 51
mengandung beberapa pemahaman yang berbeda di kalangan umat Islam sendiri. Ada
yang mengatakan bahwa itu adalah larangan untuk memilih pemimpin nonmuslim.
Adapula yang seperti saya yang berpendapat bahwa ayat itu sama sekali tidak berhubungan
dengan pemilihan pemimpin dalam sistem politik demokrasi di Indonesia. Kedua
pendapat yang berbeda itu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Persoalannya adalah mana yang benar dari kedua pendapat
yang berbeda itu. Salah satu pendapat ada yang benar dan yang satunya lagi
salah. Tidak mungkin kedua-duanya benar karena saling bertolak belakang.
Mustahil pula kedua-duanya salah. Pastikan saja salah satu pasti benar dan
sesuai dengan kehendak Allah swt. Adapun pendapat yang satunya lagi adalah
berasal dari hawa nafsu dan bukan dari Allah swt. Oleh sebab itu, berkali-kali
saya bilang bahwa urusan ini sangat memalukan untuk diselesaikan di pengadilan
yang akhirnya pendapat yang benar dan salah dari kedua pendapat berbeda ini
bergantung pada keputusan hakim.
Benar-benar memalukan!
Seharusnya, perbedaan pendapat ini tidak diselesaikan di
pengadilan, tetapi di ruang-ruang kelas kuliah atau dalam diskusi dan
penelaahan mendalam mengenai ayat-ayat Al Quran. Tunggu saja Allah swt akan menghukum mereka yang telah membuat
ayat-ayatnya menjadi sumber keributan dan bukan sumber kedamaian hanya karena
membela hawa nafsunya sendiri-sendiri.
Ada yang berbeda pendapat dengan saya?
Baca dulu tulisan saya masih di blog ini yang berjudul Terlalu Sering Ayat Al Quran Digunakan sebagai Alat untuk Berbohong. Jangan dulu
mengomentari tulisan ini jika belum membaca tulisan saya yang lalu itu.
Kalem, santai. Mari kita diskusikan baik-baik dengan semangat Nabi Prabu Siliwangi as,
yaitu silih asih, silih asuh, silih asah,
‘saling mengasihi, saling melindungi, dan saling mencerdaskan’.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment