Saturday, 30 May 2020

Diskusi Pemecatan Presiden


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Cukup mengagetkan peristiwa yang telah terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Diskusi tentang pemecatan presiden yang kemudian diperhalus dengan bahasa “dialog kekuasaan” batal digelar. Pembatalan itu ternyata diakibatkan adanya teror terhadap mahasiswa, teror terhadap pembicara/pemateri, bahkan terornya berupa ancaman pembunuhan. Hal itu tentu saja membuat mahasiswa yang diteror menjadi merasa tidak aman dan tidak kondusif untuk melakukan kegiatan di kampus. Peristiwa ini membuat para akademisi, khususnya di lingkungan UGM sendiri bersuara, seperti, Dekan Fakultas Hukum dan Rektor. Bahkan, petinggi negara setingkat Mahfud M.D. dan Ali Mochtar Ngabalin pun ikut berpendapat.

            Sebelum terjadi teror-teror terhadap acara tersebut, sudah ada pihak-pihak di lingkungan kampus UGM sendiri yang tidak setuju dengan acara diskusi pemecatan presiden tersebut. Itu bagus, setuju dan tidak setuju itu sehat asalkan dengan alasan yang rasional bukan emosional.

            Semua sepakat bahwa kampus adalah lembaga yang harus dilindungi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, memberikan kritik, atau memberikan dukungan kepada pemerintahan sesuai dengan kaidah ilmiah. Kampus adalah tempat membiasakan berpikir, menyatakan tidak setuju, atau setuju. Tidak boleh ada yang mengganggu perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kampus, termasuk penguasa harus membebaskan kampus dari segala tekanan. Jika kampus ditekan, hal itu akan mematikan ilmu pengetahuan dan pada akhirnya mematikan jiwa masyarakat.

             Dari berita yang saya baca dan perhatikan melalui televisi, tak disebutkan berapa pembicara yang bakal memberikan materi dalam acara diskusi tersebut. Hal ini sangat penting untuk dianalisis. Kalau pembicara dalam diskusi tersebut hanya satu orang atau satu pihak, dalam arti pembicara yang hanya setuju dan cenderung terhadap pemecatan presiden, diskusi bisa terjatuh menjadi ajang penggiringan opini sepihak. Diskusi hanya menjadi tempat pendiskreditan presiden, bahkan caci maki, fitnah, dan penghinaan. Ajang itu bisa berubah menjadi obrolan tidak berguna dan kampungan meskipun di dalamnya ada profesor. Demikian pula sebaliknya, jika pembicara hanya berasal dari satu pihak yang memiliki kecenderungan untuk mendukung presiden dan tidak setuju terhadap pemecatan, diskusi bisa berubah menjadi ajang puja-puji terhadap presiden dan menutup pintu kritik. Presiden bisa digambarkan bak malaikat yang tak ada salahnya. Itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam ilmu pengetahuan.

            Hal ini mungkin yang memicu teror-teror terhadap acara tersebut. Artinya, ada lapisan akademisi lain yang suara dan pendapatnya tidak diikutsertakan dalam diskusi. Padahal, acara tersebut mengambil tema sensitif, yaitu pemecatan presiden.

            Sebaiknya, diskusi, dialog, seminar, atau talk show yang mengambil tema-tema sensitif jangan menggunakan pembicara tunggal atau pembicara sepihak. Meskipun jumlahnya banyak, tetapi hanya satu pihak, misalnya, pendukung atau oposisi saja, acara tersebut bisa jatuh menjadi acara tidak berguna dan hanya pelampiasan emosi yang menyesatkan para audien atau peserta atau pendengar. Seharusnya, pembicara berasal dari dua pihak yang berbeda pandangan karena menyangkut politik. Dengan ada pembicara yang berbeda pandangan, misalnya, pendukung dan penolak pemecatan presiden, audien dan masyarakat akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan memiliki pilihan yang tidak tunggal, beragam. Hal itu mencerdaskan. Dalam diri audien otomatis akan terjadi proses peleburan pemahaman yang berasal dari latar belakang pendidikan dan pengetahuannya, bacaan-bacaan sebelumnya, dan pemahaman dari diskusi yang terjadi, kemudian akan mengambil kesimpulan sesuai dengan intuisinya sendiri.

            Diskusi dengan pembicara sepihak hanya akan berlangsung searah dan bisa emosional, tetapi jika dua pihak, akan terjadi dinamika yang mencerdaskan dan rasional.

            Demikian kira-kira jika ingin mengadakan diskusi yang lebih ilmiah dan mencerahkan. Tidak perlu membungkus emosi dengan acara diskusi atau bahkan ceramah keagamaan. Semuanya harus berlandaskan fakta, data, dan berani diuji untuk mendapatkan kebenaran.

            Jangan lupa, yang mau kuliah di Universitas Al-Ghifari, klik http://pmb.unfari.ac.id





            Sampurasun

No comments:

Post a Comment