oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Cukup mengagetkan peristiwa
yang telah terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Diskusi
tentang pemecatan presiden yang kemudian diperhalus dengan bahasa “dialog kekuasaan” batal digelar.
Pembatalan itu ternyata diakibatkan adanya teror terhadap mahasiswa, teror
terhadap pembicara/pemateri, bahkan terornya berupa ancaman pembunuhan. Hal itu
tentu saja membuat mahasiswa yang diteror menjadi merasa tidak aman dan tidak
kondusif untuk melakukan kegiatan di kampus. Peristiwa ini membuat para
akademisi, khususnya di lingkungan UGM sendiri bersuara, seperti, Dekan
Fakultas Hukum dan Rektor. Bahkan, petinggi negara setingkat Mahfud M.D. dan
Ali Mochtar Ngabalin pun ikut berpendapat.
Sebelum terjadi teror-teror terhadap acara tersebut,
sudah ada pihak-pihak di lingkungan kampus UGM sendiri yang tidak setuju dengan
acara diskusi pemecatan presiden tersebut. Itu bagus, setuju dan tidak setuju
itu sehat asalkan dengan alasan yang rasional bukan emosional.
Semua sepakat bahwa kampus adalah lembaga yang harus
dilindungi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, memberikan kritik, atau
memberikan dukungan kepada pemerintahan sesuai dengan kaidah ilmiah. Kampus
adalah tempat membiasakan berpikir, menyatakan tidak setuju, atau setuju.
Tidak boleh ada yang mengganggu perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kampus,
termasuk penguasa harus membebaskan kampus dari segala tekanan. Jika kampus
ditekan, hal itu akan mematikan ilmu pengetahuan dan pada akhirnya mematikan
jiwa masyarakat.
Dari berita yang
saya baca dan perhatikan melalui televisi, tak disebutkan berapa pembicara yang
bakal memberikan materi dalam acara diskusi tersebut. Hal ini sangat penting
untuk dianalisis. Kalau pembicara dalam diskusi tersebut hanya satu orang atau
satu pihak, dalam arti pembicara yang hanya setuju dan cenderung terhadap
pemecatan presiden, diskusi bisa terjatuh menjadi ajang penggiringan opini
sepihak. Diskusi hanya menjadi tempat pendiskreditan presiden, bahkan caci
maki, fitnah, dan penghinaan. Ajang itu bisa berubah menjadi obrolan tidak
berguna dan kampungan meskipun di dalamnya ada profesor. Demikian pula
sebaliknya, jika pembicara hanya berasal dari satu pihak yang memiliki
kecenderungan untuk mendukung presiden dan tidak setuju terhadap pemecatan,
diskusi bisa berubah menjadi ajang puja-puji terhadap presiden dan menutup
pintu kritik. Presiden bisa digambarkan bak malaikat yang tak ada salahnya. Itu
sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam ilmu pengetahuan.
Hal ini mungkin yang memicu teror-teror terhadap acara
tersebut. Artinya, ada lapisan akademisi lain yang suara dan pendapatnya tidak
diikutsertakan dalam diskusi. Padahal, acara tersebut mengambil tema sensitif,
yaitu pemecatan presiden.
Sebaiknya, diskusi, dialog, seminar, atau talk show yang mengambil tema-tema
sensitif jangan menggunakan pembicara tunggal atau pembicara sepihak. Meskipun
jumlahnya banyak, tetapi hanya satu pihak, misalnya, pendukung atau oposisi
saja, acara tersebut bisa jatuh menjadi acara tidak berguna dan hanya
pelampiasan emosi yang menyesatkan para audien atau peserta atau pendengar.
Seharusnya, pembicara berasal dari dua pihak yang berbeda pandangan karena
menyangkut politik. Dengan ada pembicara yang berbeda pandangan, misalnya,
pendukung dan penolak pemecatan presiden, audien dan masyarakat akan
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan memiliki pilihan yang tidak
tunggal, beragam. Hal itu mencerdaskan. Dalam diri audien otomatis akan terjadi
proses peleburan pemahaman yang berasal dari latar belakang pendidikan dan
pengetahuannya, bacaan-bacaan sebelumnya, dan pemahaman dari diskusi yang
terjadi, kemudian akan mengambil kesimpulan sesuai dengan intuisinya sendiri.
Diskusi dengan pembicara sepihak hanya akan berlangsung
searah dan bisa emosional, tetapi jika dua pihak, akan terjadi dinamika yang
mencerdaskan dan rasional.
Demikian kira-kira jika ingin mengadakan diskusi yang
lebih ilmiah dan mencerahkan. Tidak perlu membungkus emosi dengan acara diskusi
atau bahkan ceramah keagamaan. Semuanya harus berlandaskan fakta, data, dan
berani diuji untuk mendapatkan kebenaran.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment