oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bencana gempa di Cianjur, Jawa Barat, baru-baru
ini telah membuat banyak pihak tergerak untuk menyalurkan bantuan, baik
kelompok, komunitas, maupun pribadi-pribadi telah berinisiatif untuk
mengumpulkan bantuan, baik itu uang, makanan, obat-obatan, ataupun yang
lainnya. Anak-anak laki-laki saya pun demikian. Anak saya yang kuliah di Uin
SGD berupaya mengumpulkan dana dan berniat berangkat ke Cianjur. Anak saya yang
masih SMP malahan baru pulang dari Cianjur bersama grup Karang Taruna di
desanya untuk memberikan bantuan.
Saya
dikirimin foto anak saya yang lagi menyalurkan bantuan dan bangunan rumah yang
rusak akibat gempa. Itu di foto anak saya yang sepatunya full putih.
Lucu
ini anak, perasaan baru minggu-minggu kemarin dia minta izin, “Pah, boleh Dede ikutan
Tarang Karuna?”
“Tarang
Karuna apa?” tanya ibunya, “Karang Taruna gitu.”
“Iya,
itu.”
Saya
membolehkannya agar dia lebih dewasa berorganisasi meskipun masih SMP kelas 9.
Beberapa hari kemarin, saya diundang untuk menyaksikannya dilantik oleh Kepala
Desa.
Mahasiswa
Universitas Al Ghifari pun malam-malam ada yang mengajak saya ke Cianjur, “Pak,
ikut yuk ke Cianjur.”
Pendek
kata, banyak yang peduli dan datang ke Cianjur untuk membantu korban bencana.
Mereka datang dari seluruh Indonesia, dari berbagai kelompok dan agama.
Dari
semua kelompok yang berdatangan itu, ada yang dianggap bermasalah, yaitu dari
“Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia”. Mereka memasang tenda biru
dengan tulisan gerejanya. Hal itu memancing kecurigaan dan kemarahan kelompok
lain yang diduga bernama Gerakan Reformis Islam (Garis) yang dikenal sebagai
kelompok keras. Garis menyobek tulisan itu dan mencopotnya dari tenda.
Foto
tenda itu saya dapatkan dari Pojoksatu id. Adapun aksi pencopotan label oleh Garis
berasal dari Tribun Jabar.
Tenda Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia (Foto: Pojoksatu.id) |
Pencopotan Label Tanda Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia (Foto: Tribun Jabar) |
Segera saja aksi yang dilakukan Garis itu mendapatkan reaksi keras dari mereka yang dianggap sebagai pejuang NKRI dan penjaga toleransi. Saya sebut begitu saja untuk menamakan mereka. Aktivis Garis dianggap intoleran, mengganggu kehidupan harmonis antaragama, dan itu merupakan aksi radikal yang berbahaya.
Saya
sih melihatnya mereka itu, baik pejuang NKRI maupun Garis sama-sama memiliki
kecurigaan yang diakibatkan kurang pengetahuan dan kurang pengalaman. Garis
melakukan pencopotan dan dan penyobekan label nama itu diakibatkan kemarahan
atas kecurigaan yang mungkin mereka alami dan lihat pada tempat dan waktu yang
lain. Mereka mungkin pernah melihat atau mengalami upaya kristenisasi, terutama
bagi warga muslim yang sedang dalam keadaan membutuhkan, kemiskinan, atau
tertimpa bencana.
Kristenisasi
dilakukan dengan cara menukar akidah muslim dengan makanan, beras, mie instan,
uang, atau pengobatan. Sejak saya kecil hal ini sering saya dengar meskipun
tidak pernah melihatnya benar-benar. Meskipun demikian, saya pernah mendengar
pengakuan seorang pengamen jalanan yang kemudian murtad dari Islam dan pindah
agama menjadi Kristen karena kesulitan hidup, kesulitan keuangan, sedangkan
beberapa komunitas Kristen memberikan kemudahan dalam hidupnya. Akhirnya, dia
berubah keyakinan menjadi Kristen. So, kristenisasi itu ada, beneran.
Guru
ngaji saya sendiri, Ustadz Hasan pernah berceritera bahwa dirinya memiliki
teman yang juga ustadz, tetapi kemudian berubah menjadi Kristen. Temannya yang
masih ustadz itu menyesal dan mengakui dirinya berdosa besar, tetapi dia tetap
Kristen dan menjadi penyebar Kristen. Hal itu disebabkan ketika dia sakit keras
dan harus dirawat di rumah sakit, tak seorang muslim pun memberikan
pertolongan, padahal dia ustadz. Mereka yang memberikan pertolongan justru dari
pihak gereja Advent dan membiayai seluruh pengobatannya. Itulah yang
menyebabkannya menjadi Kristen.
Ayah saya
sendiri pernah berkali-kali didatangi oleh penyebar Kristen sekte Mormon.
Mereka mengajak ayah saya untuk pindah agama, waktu itu saya masih SD. Ayah
saya orangnya easy going, ramah, mudah diajak ngobrol siapa pun. Dia selalu
menerima para penyebar agama itu dengan baik.
Mereka berhenti mengajak ayah saya pindah agama
setelah ayah saya mengatakan, “Semua yang ada di dalam ajaran agama kalian
sudah ada di dalam ajaran agama saya, Islam. Jadi, saya tidak perlu pindah
agama.”
Dua atau
tiga tahun lalu pun, saya pernah diajak pindah agama ke Kristen sekte Saksi
Yehova. Saya juga tidak mengerti kenapa mereka mendatangi saya, tetapi ke
tetangga saya, tidak. Saya memang punya tetangga beragama Kristen Saksi Yehova.
Mereka hidupnya serba kekurangan. Sepasang nenek-kakek renta mengurus cucunya
yang masih SMP. Cucunya itu tidak diurus oleh ayah dan ibunya, mungkin karena
kekurangan hidup juga. Mereka kadang meminta pakaian untuk sekolah cucunya.
Kemudian, istri saya memberikan pakaian-pakaian bekas anak saya, termasuk
seragam SMP untuk mereka. Terkadang juga makanan, sayuran, atau tanaman di
kebun saya diberikan buat mereka oleh istri saya. Sekali dua kali saya juga
pernah memberi mereka uang.
Mungkin
mereka menganggap keluarga saya baik. Itu mungkin ya. Saya geer saja karena
para penyebar agama itu tidak mendatangi tetangga muslim saya, hanya datang
kepada saya. Keluarga renta itu pun sekali dua kali didatangi oleh komunitas
gerejanya yang kemudian mereka mendatangi saya. Mereka bilang ingin
silaturahmi. Saya terima dengan baik. Mereka kemudian mengajak ngobrol, lalu
memberikan selebaran, brosur, leaflet tentang agama mereka kepada saya, dan ada
sedikit ajakan kepada saya untuk pindah agama.
Saya
bilang, “Terima kasih.”
Saya baca
tentang agama mereka. Kesimpulannya, seperti apa yang ayah saya katakan dulu
kepada para penyebar Mormon. Segala yang ada di dalam ajaran Saksi Yehova,
seperti, mendapatkan ketenangan diri, berbuat baik, dan berhubungan dengan
Tuhan sudah ada dalam agama saya, Islam. So, saya tidak perlu pindah agama
karena Islam sudah memiliki semua itu, tinggal melaksanakan saja.
Jadi,
kristenisasi itu memang ada. Apa yang terjadi kepada saya dan ayah saya adalah
upaya kristenisasi, tetapi berlangsung dalam situasi yang wajar, normal, biasa.
Wajar saja orang Kristen menawarkan agamanya supaya kita pindah agama mengikuti
mereka, kan pada akhirnya gimana kitanya.
Sama juga
toh orang Islam juga suka menawarkan agamanya kepada nonmuslim untuk menjadi
muslim?
Menurut
saya sih normal saja asal tidak menggunakan paksaan, kekerasan, atau penipuan
dengan berkedok materi.
Nah, apa
yang dilakukan Garis dengan mencopot label tenda dari “Tim Aksi Kasih Gereja
Reformed Injil Indonesia” itu merupakan suatu bentuk kecurigaan adanya upaya
kristenisasi kepada umat muslim di tengah bencana Cianjur. Mereka berupaya
melindungi akidah muslim. Akan tetapi, saya menduga mereka itu baru sebatas
curiga karena mungkin saja mereka tidak melakukan penelitian dahulu.
Apakah
tim gereja itu benar-benar hanya untuk membantu dan tidak ada upaya
kristenisasi? Atau memang ada upaya kristenisasi itu?
Tidak jelas.
Kalau
memang hanya untuk membantu, tak mengapa label nama gereja itu ada. Hal itu
merupakan ciri, tanda, atau pengumuman kepada umatnya sendiri bahwa dana umat
Kristen itu benar-benar disalurkan sebagaimana yang diamanatkan umatnya. Label
nama tenda itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada umatnya sendiri. Akan
tetapi, jika memang ada upaya kristenisasi, memang akan menjadi masalah karena
warga yang tengah dilanda bencana itu bisa jadi rentan murtad. Hal ini perlu
penelitian lebih dahulu hingga jelas dan jelas pula tindakan yang perlu
dilakukan selanjutnya.
Demikian
pula dari pihak pejuang NKRI tak perlu terlalu heboh dengan menuding Garis
sebagai gerakan Islam intoleran, radikal, dan menganggu keharmonisan hidup
beragama. Mereka perlu juga melakukan penelitian sebelum menghujat, menuding,
atau menyalahkan. Kita harus memahami latar belakang tindakan pencopotan yang
dilakukan oleh Garis. Semua harus tenang disertai penyelidikan sederhana
sehingga tidak jatuh dalam aksi kriminal, radikal, atau sok tahu. Justru dengan
saling curiga, kehidupan menjadi tidak harmonis.
Kalau
tidak mau ada muslim yang pindah agama, sebaiknya bantu kaum muslimin yang
sedang berada dalam kesusahan karena kesulitan dan kemiskinan itu berpotensi
menjadikan orang menjadi murtad dan kafir. Mulai membantu dari tetangga
terdekat, koordinasi dengan RT, RW, dan DKM. Malu rasanya bila ada tetangga
yang murtad karena tidak bisa makan. Jangan menyalahkan Jokowi terus, kejauhan.
Tetangga
kita yang lapar kok yang disalahkan Jokowi?
Kita dong
tetangganya yang mulai membantu semampu kita. Itu adalah ladang pahala bagi
kita.
Buat saudara-saudara
nonmuslim, baik itu Kristen, Hindu, Budha, ataupun Konghucu, tidak perlu
memanfaatkan saudara-saudara muslim yang sedang kesusahan dengan menawarkan
materi agar pindah agama. Jangan rayu siapa pun untuk pindah agama di kala
keadaan sulit. Kalau mau menawarkan agama, jangan dalam keadaan menderita
karena pikirannya sedang tidak seimbang. Berdiskusilah dengan baik tanpa
paksaan dan penipuan. Agama apa pun dan agama siapa pun.
Bagi
saya, menawarkan agama itu boleh asal dengan keadaan baik dan situasi yang baik
juga. Itu pendapat saya. Jika menggunakan hukum, itu sudah pelanggaran hukum
karena undang-undang melarang siapa pun mengubah agama orang lain yang sudah
memiliki agama sebelumnya. Jujur, hukum ini sulit terlaksana karena setiap
pemeluk agama berusaha menawarkan agamanya masing-masing. Hal yang penting
adalah jaga kehidupan tetap harmonis, saling memahami, tidak saling menyerang,
dan saling membantu agama apa pun atau agama siapa pun
No comments:
Post a Comment