Monday, 28 November 2022

Kecurigaan Kristenisasi di Cianjur

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Bencana gempa di Cianjur, Jawa Barat, baru-baru ini telah membuat banyak pihak tergerak untuk menyalurkan bantuan, baik kelompok, komunitas, maupun pribadi-pribadi telah berinisiatif untuk mengumpulkan bantuan, baik itu uang, makanan, obat-obatan, ataupun yang lainnya. Anak-anak laki-laki saya pun demikian. Anak saya yang kuliah di Uin SGD berupaya mengumpulkan dana dan berniat berangkat ke Cianjur. Anak saya yang masih SMP malahan baru pulang dari Cianjur bersama grup Karang Taruna di desanya untuk memberikan bantuan.

            Saya dikirimin foto anak saya yang lagi menyalurkan bantuan dan bangunan rumah yang rusak akibat gempa. Itu di foto anak saya yang sepatunya full putih.







            Lucu ini anak, perasaan baru minggu-minggu kemarin dia minta izin, “Pah, boleh Dede ikutan Tarang Karuna?”

            “Tarang Karuna apa?” tanya ibunya, “Karang Taruna gitu.”

            “Iya, itu.”

            Saya membolehkannya agar dia lebih dewasa berorganisasi meskipun masih SMP kelas 9. Beberapa hari kemarin, saya diundang untuk menyaksikannya dilantik oleh Kepala Desa.

            Mahasiswa Universitas Al Ghifari pun malam-malam ada yang mengajak saya ke Cianjur, “Pak, ikut yuk ke Cianjur.”

            Pendek kata, banyak yang peduli dan datang ke Cianjur untuk membantu korban bencana. Mereka datang dari seluruh Indonesia, dari berbagai kelompok dan agama.

            Dari semua kelompok yang berdatangan itu, ada yang dianggap bermasalah, yaitu dari “Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia”. Mereka memasang tenda biru dengan tulisan gerejanya. Hal itu memancing kecurigaan dan kemarahan kelompok lain yang diduga bernama Gerakan Reformis Islam (Garis) yang dikenal sebagai kelompok keras. Garis menyobek tulisan itu dan mencopotnya dari tenda.

            Foto tenda itu saya dapatkan dari Pojoksatu id. Adapun aksi pencopotan label oleh Garis berasal dari Tribun Jabar.


Tenda Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia (Foto: Pojoksatu.id)


Pencopotan Label Tanda Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia (Foto: Tribun Jabar)


            Segera saja aksi yang dilakukan Garis itu mendapatkan reaksi keras dari mereka yang dianggap sebagai pejuang NKRI dan penjaga toleransi. Saya sebut begitu saja untuk menamakan mereka. Aktivis Garis dianggap intoleran, mengganggu kehidupan harmonis antaragama, dan itu merupakan aksi radikal yang berbahaya.

            Saya sih melihatnya mereka itu, baik pejuang NKRI maupun Garis sama-sama memiliki kecurigaan yang diakibatkan kurang pengetahuan dan kurang pengalaman. Garis melakukan pencopotan dan dan penyobekan label nama itu diakibatkan kemarahan atas kecurigaan yang mungkin mereka alami dan lihat pada tempat dan waktu yang lain. Mereka mungkin pernah melihat atau mengalami upaya kristenisasi, terutama bagi warga muslim yang sedang dalam keadaan membutuhkan, kemiskinan, atau tertimpa bencana.

Kristenisasi dilakukan dengan cara menukar akidah muslim dengan makanan, beras, mie instan, uang, atau pengobatan. Sejak saya kecil hal ini sering saya dengar meskipun tidak pernah melihatnya benar-benar. Meskipun demikian, saya pernah mendengar pengakuan seorang pengamen jalanan yang kemudian murtad dari Islam dan pindah agama menjadi Kristen karena kesulitan hidup, kesulitan keuangan, sedangkan beberapa komunitas Kristen memberikan kemudahan dalam hidupnya. Akhirnya, dia berubah keyakinan menjadi Kristen. So, kristenisasi itu ada, beneran.

Guru ngaji saya sendiri, Ustadz Hasan pernah berceritera bahwa dirinya memiliki teman yang juga ustadz, tetapi kemudian berubah menjadi Kristen. Temannya yang masih ustadz itu menyesal dan mengakui dirinya berdosa besar, tetapi dia tetap Kristen dan menjadi penyebar Kristen. Hal itu disebabkan ketika dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit, tak seorang muslim pun memberikan pertolongan, padahal dia ustadz. Mereka yang memberikan pertolongan justru dari pihak gereja Advent dan membiayai seluruh pengobatannya. Itulah yang menyebabkannya menjadi Kristen.

Ayah saya sendiri pernah berkali-kali didatangi oleh penyebar Kristen sekte Mormon. Mereka mengajak ayah saya untuk pindah agama, waktu itu saya masih SD. Ayah saya orangnya easy going, ramah, mudah diajak ngobrol siapa pun. Dia selalu menerima para penyebar agama itu dengan baik.

Mereka berhenti mengajak ayah saya pindah agama setelah ayah saya mengatakan, “Semua yang ada di dalam ajaran agama kalian sudah ada di dalam ajaran agama saya, Islam. Jadi, saya tidak perlu pindah agama.”

Dua atau tiga tahun lalu pun, saya pernah diajak pindah agama ke Kristen sekte Saksi Yehova. Saya juga tidak mengerti kenapa mereka mendatangi saya, tetapi ke tetangga saya, tidak. Saya memang punya tetangga beragama Kristen Saksi Yehova. Mereka hidupnya serba kekurangan. Sepasang nenek-kakek renta mengurus cucunya yang masih SMP. Cucunya itu tidak diurus oleh ayah dan ibunya, mungkin karena kekurangan hidup juga. Mereka kadang meminta pakaian untuk sekolah cucunya. Kemudian, istri saya memberikan pakaian-pakaian bekas anak saya, termasuk seragam SMP untuk mereka. Terkadang juga makanan, sayuran, atau tanaman di kebun saya diberikan buat mereka oleh istri saya. Sekali dua kali saya juga pernah memberi mereka uang.

Mungkin mereka menganggap keluarga saya baik. Itu mungkin ya. Saya geer saja karena para penyebar agama itu tidak mendatangi tetangga muslim saya, hanya datang kepada saya. Keluarga renta itu pun sekali dua kali didatangi oleh komunitas gerejanya yang kemudian mereka mendatangi saya. Mereka bilang ingin silaturahmi. Saya terima dengan baik. Mereka kemudian mengajak ngobrol, lalu memberikan selebaran, brosur, leaflet tentang agama mereka kepada saya, dan ada sedikit ajakan kepada saya untuk pindah agama.

Saya bilang, “Terima kasih.”

Saya baca tentang agama mereka. Kesimpulannya, seperti apa yang ayah saya katakan dulu kepada para penyebar Mormon. Segala yang ada di dalam ajaran Saksi Yehova, seperti, mendapatkan ketenangan diri, berbuat baik, dan berhubungan dengan Tuhan sudah ada dalam agama saya, Islam. So, saya tidak perlu pindah agama karena Islam sudah memiliki semua itu, tinggal melaksanakan saja.

Jadi, kristenisasi itu memang ada. Apa yang terjadi kepada saya dan ayah saya adalah upaya kristenisasi, tetapi berlangsung dalam situasi yang wajar, normal, biasa. Wajar saja orang Kristen menawarkan agamanya supaya kita pindah agama mengikuti mereka, kan pada akhirnya gimana kitanya.

Sama juga toh orang Islam juga suka menawarkan agamanya kepada nonmuslim untuk menjadi muslim?

Menurut saya sih normal saja asal tidak menggunakan paksaan, kekerasan, atau penipuan dengan berkedok materi.

Nah, apa yang dilakukan Garis dengan mencopot label tenda dari “Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia” itu merupakan suatu bentuk kecurigaan adanya upaya kristenisasi kepada umat muslim di tengah bencana Cianjur. Mereka berupaya melindungi akidah muslim. Akan tetapi, saya menduga mereka itu baru sebatas curiga karena mungkin saja mereka tidak melakukan penelitian dahulu.

Apakah tim gereja itu benar-benar hanya untuk membantu dan tidak ada upaya kristenisasi? Atau memang ada upaya kristenisasi itu?

Tidak jelas.

Kalau memang hanya untuk membantu, tak mengapa label nama gereja itu ada. Hal itu merupakan ciri, tanda, atau pengumuman kepada umatnya sendiri bahwa dana umat Kristen itu benar-benar disalurkan sebagaimana yang diamanatkan umatnya. Label nama tenda itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada umatnya sendiri. Akan tetapi, jika memang ada upaya kristenisasi, memang akan menjadi masalah karena warga yang tengah dilanda bencana itu bisa jadi rentan murtad. Hal ini perlu penelitian lebih dahulu hingga jelas dan jelas pula tindakan yang perlu dilakukan selanjutnya.

Demikian pula dari pihak pejuang NKRI tak perlu terlalu heboh dengan menuding Garis sebagai gerakan Islam intoleran, radikal, dan menganggu keharmonisan hidup beragama. Mereka perlu juga melakukan penelitian sebelum menghujat, menuding, atau menyalahkan. Kita harus memahami latar belakang tindakan pencopotan yang dilakukan oleh Garis. Semua harus tenang disertai penyelidikan sederhana sehingga tidak jatuh dalam aksi kriminal, radikal, atau sok tahu. Justru dengan saling curiga, kehidupan menjadi tidak harmonis.

Kalau tidak mau ada muslim yang pindah agama, sebaiknya bantu kaum muslimin yang sedang berada dalam kesusahan karena kesulitan dan kemiskinan itu berpotensi menjadikan orang menjadi murtad dan kafir. Mulai membantu dari tetangga terdekat, koordinasi dengan RT, RW, dan DKM. Malu rasanya bila ada tetangga yang murtad karena tidak bisa makan. Jangan menyalahkan Jokowi terus, kejauhan.

Tetangga kita yang lapar kok yang disalahkan Jokowi?

Kita dong tetangganya yang mulai membantu semampu kita. Itu adalah ladang pahala bagi kita.

Buat saudara-saudara nonmuslim, baik itu Kristen, Hindu, Budha, ataupun Konghucu, tidak perlu memanfaatkan saudara-saudara muslim yang sedang kesusahan dengan menawarkan materi agar pindah agama. Jangan rayu siapa pun untuk pindah agama di kala keadaan sulit. Kalau mau menawarkan agama, jangan dalam keadaan menderita karena pikirannya sedang tidak seimbang. Berdiskusilah dengan baik tanpa paksaan dan penipuan. Agama apa pun dan agama siapa pun.

Bagi saya, menawarkan agama itu boleh asal dengan keadaan baik dan situasi yang baik juga. Itu pendapat saya. Jika menggunakan hukum, itu sudah pelanggaran hukum karena undang-undang melarang siapa pun mengubah agama orang lain yang sudah memiliki agama sebelumnya. Jujur, hukum ini sulit terlaksana karena setiap pemeluk agama berusaha menawarkan agamanya masing-masing. Hal yang penting adalah jaga kehidupan tetap harmonis, saling memahami, tidak saling menyerang, dan saling membantu agama apa pun atau agama siapa pun

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment