Sunday, 29 January 2017

Kata Ade: Allah Kan Bukan Orang Arab

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

"Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues".

            Begitu kan kata Ade Armando yang dosen itu?

            Kata-kata Ade Armando itu membuat marah paling tidak Johan Khan. Laporan Johan itu kemudian berujung menjadikan Ade tersangka dugaan pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

            Seharusnya, ketika Ade diminta untuk meminta maaf, segera meminta maaf supaya urusannya selesai dan tidak berpanjang-panjang. Meminta maaf itu bukanlah suatu kesalahan atau tanda kelemahan diri, melainkan suatu keberanian yang tinggi yang patut diacungi jempol. Biasakan meminta maaf jika kita melakukan kesalahan. Akan tetapi, jika merasa yakin benar dan memiliki alasan yang tepat, jelaskan maksudnya dengan baik dan benar sehingga orang lain mengerti.

            Ade Armando tampaknya yakin dirinya benar dan tidak salah. Alasannya, Allah memang bukan orang Arab, bahkan Allah adalah pencipta orang Arab. Kalau kata-kata Ade memang hanya itu, tak ada masalah bagi saya, entah bagi orang lain. Kata-kata itu sama saja dengan Allah kan bukan manusia, Allah kan bukan jin, Allah kan bukan binatang, Allah kan bukan batu. Tak ada yang salah dengan hal itu meskipun kata-kata itu sangat tidak etis dan sama sekali tidak perlu dikatakan atau ditulis karena sangat tidak sopan bagi beberapa kalangan. Allah swt jelas berbeda daripada makhluk-Nya.

            Saya tidak tahu kata-kata yang mana yang membuat Johan Khan tersinggung. Saya juga tidak tahu kata-kata yang mana yang membuat polisi menjadikan Ade Armando menjadi tersangka. Akan tetapi, memang kalimat Ade Armando dalam pemahaman saya sangat bermasalah.

            Masalah yang pertama adalah dari segi etika pada kalimat pertama. Kalau Ade seorang muslim, etikanya setelah kata Allah, harus diikuti “swt”, sebagaimana setelah Muhammad, diikuti “saw”, kalau dalam bahasa Inggris, “pbuh” (peace be upon him). Itu etika. Akan tetapi, kalau Ade bukan muslim, tidak terlalu masalah karena mungkin nonmuslim tidak perlu etika untuk mengatakan atau menuliskan kata Allah tanpa “swt”.

            Masalah lainnya ada pada kalimat kedua, yaitu  “Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues.”

            Penggunaan kata “tentu” memiliki makna kata yang hampir sama dengan “pasti”.

            Persoalannya adalah dari mana Ade tahu bahwa Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues?

            Kapan Allah swt mengatakan bahwa diri-Nya senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues?

            Ade Armando pernah bertemu langsung dengan Allah swt sehingga bisa memastikan hal itu?

            Apakah ada ayat Al Quran atau hadits yang menunjukkan atau menjadi dasar penafsiran bahwa Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues?

            Ade Armando harus menerangkan hal itu. Jika tidak, wajar kalau menjadi tersangka. Bagi saya, persoalannya bukan pada kalimat pertama, melainkan kalimat kedua.

            Coba De, terangkan dengan baik supaya tidak terjerat hukum.
    
        O, ya De, kalau tidak salah, kamu pernah bilang pada acara ILC bahwa ada peneliti yang melakukan penelitian bahwa perilaku homoseks atau lesbian itu ada yang berasal dari gen bawaan.

            Iya, kan?

            Mungkin saya tidak terlalu sempurna mengingat-ingat kata-kata Ade tentang perilaku seks sejenis itu, tetapi kurang lebih seperti itulah maksud Ade bahwa perilaku seks yang tidak hetero itu ada yang merupakan bawaan dari gen.

            Iya, kan?

            Saya hanya ingin memberitahukan bahwa memang penelitian itu ada dan hasilnya memang seperti itu. Sayangnya, menurut Dr. Zakir Naik peneliti yang melakukan penelitian itu adalah seorang homoseks.


            Ya, wajar atuh kalau seorang homoseks menulis penelitian dengan hasil yang melestarikan kehidupan homoseksual. Di samping itu, hasil penelitian itu mendapat banyak tentangan dari para peneliti lain yang bukan homoseks.

Friday, 27 January 2017

Goncangnya Amerika Serikat

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Amerika Serikat yang kerap disebut-sebut orang sebagai negara adidaya, kini mengalami goncangan politik, sosial, dan ekonomi yang teramat hebat. Warga Negara Amerika Serikat beserta para pemimpinnya merasakan benar penurunan kualitas negaranya. Oleh sebab itu, Donald Trump menggunakan slogan Make America Great Again dalam pemilihan presiden dan berhasil menang. Donald Trump membius rakyat Amerika Serikat dengan mimpi-mimpi manis untuk meraih kegemilangan masa lalu.

            Dunia menduga, rakyat Amerika Serikat mengira, warga Indonesia menyangka bahwa Amerika Serikat muncul menjadi negara yang hebat disebabkan menggunakan sistem politik demokrasi. Amerika Serikat memang menjadi negara yang teramat hebat dan menyangka dirinya hebat karena politik demokrasi di dalam negerinya. Oleh sebab itu, tak heran jika mereka berpandangan bahwa dunia harus menggunakan sistem politik demokrasi agar bisa hebat seperti mereka. Tak terkecuali, banyak pemikir dan elit Indonesia pun terjebak dalam pemikiran yang sama. Para elit Indonesia melihat Amerika Serikat berhasil membangun ekonomi dengan spektakuler, teknologi yang hebat, dan kekuatan militer yang tangguh disebabkan menggunakan sistem politik demokrasi. Oleh sebab itu, Indonesia pun diupayakan mencontoh sistem politik demokrasi di Amerika Serikat. Negeri itu kerap menjadi  acuan atau cerminan demokrasi di Indonesia.

            Sayang sekali, Amerika Serikat bisa hebat sesungguhnya bukan karena menggunakan sistem politik demokrasi. Mereka menipu diri sendiri, dunia pun ikut tertipu, Indonesia juga tertipu. Pandangan bahwa Amerika Serikat bisa hebat karena demokrasi sesungguhnya hanya hoax, ‘berita palsu’.

            Hal yang sesungguhnya memunculkan Amerika Serikat menjadi negara hebat adalah disebabkan tiga hal, yaitu pertama, ketika Eropa dilanda perang-perang besar yang sangat menghancurkan, Amerika Serikat sama sekali tidak ikut campur dalam perang-perang itu. Tidak ada satu bom pun yang jatuh di tanah Amerika Serikat. Eropa memang sedang berkecamuk saling bunuh, saling perkosa, dan saling bantai di antara mereka sendiri. Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno menggambarkan Eropa saat itu seperti ketel penuh minyak mendidih yang bergolak panas sekali. Dengan tidak terlibatnya dalam perang-perang di Eropa,  Amerika Serikat lebih berkonsentrasi menggunakan waktu dan energinya untuk membangun ekonomi dan militer. Itulah yang membuat Amerika Serikat menjadi kuat.

            Kedua, ketika wilayah Asia berada dalam kekuasaan para penjajah, Amerika Serikat tidak berada dalam keadaan terjajah. Pada saat kemakmuran, kekayaan, dan kedamaian rakyat Asia, termasuk Indonesia dirampok dan dihancurkan oleh brutalitas para penjajah, Amerika Serikat bukanlah negeri jajahan. Bahkan, Amerika Serikat ikut pula menyedot kekayaan dan kemakmuran negeri-negeri Asia yang terjajah. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa negeri-negeri terjajah selalu terbelakang, tertinggal, dan menderita. Jangankan untuk berkembang, untuk bertahan hidup saja sulitnya bukan main. Sementara itu, Amerika Serikat tidak dalam keadaan terjajah. Itulah salah satu hal yang membuat Amerika Serikat muncul menjadi negara kuat.

            Ketiga, partisipasi publik Amerika Serikat dalam politik demokrasi teramat rendah. Dari sejak berdirinya, rakyat Amerika Serikat sama sekali tidak mementingkan kehidupan agama dan dinamika politik. Agama dan politik adalah barang rendah dan remeh yang tidak terlalu mereka pedulikan. Hal itu disebabkan para penduduk awal Amerika Serikat adalah pelarian dari negeri-negeri Eropa, terutama Inggris yang sangat mementingkan kekuasaan negara dan kekuasaan agama. Mereka berlarian ke Amerika Serikat karena merasa terkekang, tertindas, terancam, dan terpenjara oleh banyak aturan negara dan agama. Oleh sebab itu, mereka menyebut Amerika Serikat sebagai Negara Impian karena di Amerika Serikat-lah mereka bisa melepaskan dirinya dari berbagai ikatan yang menjerat hidup mereka sehingga bisa hidup merdeka dan bebas tanpa mendapat tekanan dari kaum penguasa dan kaum pendeta agama. Tak heran bahwa para pendahulu rakyat Amerika Serikat sering juga disebut “para pelarian agama”.

            Karena mereka berada di Amerika Serikat berasal dari “pelarian agama”, mereka pun sangat tidak peduli dengan agama dan politik. Mereka lebih berkonsentrasi pada kebebasan, peningkatan kehidupan ekonomi, dan pencarian materi sebesar-besarnya. Jadilah mereka kapitalistis.

            Rendahnya partisipasi rakyat Amerika Serikat dalam sistem politik demokrasi, bisa dilihat dari angka-angka partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden yang tidak pernah mencapai angka 50%. Dari sejak mula berdirinya, partisipasi publik Amerika Serikat dalam pemilihan presiden hanya sekitar 30% s.d. 43%. Rendah sekali. Bahkan, ketika Barack Obama terpilih pun angkanya tidak melebihi 43%.

            Angka partisipasi rakyat Amerika Serikat yang sangat rendah dalam proses demokrasi menyebabkan tidak terjadinya goncangan-goncangan berarti yang diakibatkan oleh aktivitas politik seperti Pemilu Pilwalkot, Pilgub, dan Pilpres. Mereka hampir tidak peduli dengan politik. Mereka lebih suka membangun kerajaan bisnis sehingga tak heran banyak orang sibuk bisnis hingga stres yang kemudian menjadi kaya raya di sana. Itulah  yang menyebabkan ekonomi Amerika Serikat menjadi adidaya dengan kekuatan militer yang juga teramat kuat secara teknologi.


Peningkatan Partisipasi Mengakibatkan Kegoncangan
Rendahnya partisipasi publik Amerika Serikat terhadap proses demokrasi, membuat negara itu tidak banyak guncangan serta dapat memanfaatkan energi dan waktunya untuk bisnis, ekonomi, dan militer. Berbeda halnya dengan ketika rakyat Amerika Serikat mengalami peningkatan partisipasi dalam sistem politik demokrasi, terjadilah guncangan-guncangan hebat, seperti, kriminalitas, pembunuhan, penculikan, Narkoba, konflik horizontal, hoax, kecurangan dalam proses pemilihan, peningkatan rasisme, intoleransi, kecurigaan berlebihan, polarisasi di tengah masyarakat, demonstrasi di sana-sini akibat proses politik, tuduhan keterlibatan Rusia dalam pengaturan pemenangan Pilpres Donald Trump, dan lain sebagainya.

            Memang partisipasi publik Amerika Serikat dalam demokrasi saat ini mengalami lonjakan peningkatan yang teramat tinggi. Rakyat Amerika Serikat yang berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan presiden saat pertarungan Hillary Clinton vs Donald Trump mencapai 67%. Entah apa sebabnya, padahal pada masa Barack Obama saja tidak melebihi 43%.

            Masyarakat yang terlibat aktif dalam proses politik dalam jumlah besar ini tidak hanya berhenti mengguncangkan negara sebelum dan saat Pilpres di Amerika Serikat, melainkan pula berlanjut meskipun Donald Trump telah terpilih. Hoax, tuduhan kerja sama dengan Rusia, kecurangan dalam Pilpres, hasutan, dan provokasi terus terjadi dan sangat sulit untuk dihentikan. Bahkan, goncangan-goncangan ini akan terus menghantui Amerika Serikat yang mendorong pula semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses politik yang mengakibatkan semakin besarnya goncangan yang akan terjadi.

            Hal itu dapat menjadi dasar hipotesa bahwa slogan Make America Great Again tidak akan pernah terjadi dan hanya mimpi tanpa akan menjadi kenyataan. Hal itu disebabkan jika Amerika Serikat ingin hebat seperti dulu lagi, Eropa harus saling berperang dulu, Asia, termasuk Indonesia harus berada dalam keadaan terjajah, dan partisipasi publik Amerika Serikat dalam demokrasi harus sangat rendah. Sementara itu, Amerika Serikat tidak ikut perang bersama Eropa, ikut menyedot hasil Bumi tanah jajahan, serta berkonsentrasi pada bisnis dan militer dengan meninggalkan perhatian pada politik.

            Mungkinkah hal itu terjadi saat ini?

            Kalaupun tidak bisa dikatakan mustahil, hal itu sangat sulit terjadi.

            Sebaiknya, rakyat Amerika Serikat kembali merenungkan nasihat founding fathers-nya, Thomas Jefferson yang mengatakan, “Jika syarat masuk surga itu adalah harus menjadi anggota partai politik, aku lebih memilih untuk masuk neraka!”

            Jadi, Amerika Serikat dulu bisa sangat hebat bukanlah karena menggunakan sistem politik demokrasi, melainkan disebabkan tidak ikut campur dalam perang di Eropa, ikut menikmati kekayaan tanah jajahan, dan rendahnya perhatian rakyat Amerika Serikat dalam proses demokrasi.

            Bagaimana dengan Indonesia?


            Masih betah dengan demokrasi?

Thursday, 26 January 2017

Soal Penghinaan Bendera, Tidak Perlu Sewot

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Bendera Merah Putih adalah simbol Negara Indonesia yang digunakan oleh banyak pejuang Indonesia ketika berusaha mengusir penjajahan. Orangtua kita dulu sangat susah untuk mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia itu. Mereka kerap mencari cara untuk dapat mengibarkan bendera merah putih. Ada yang mengaitkannya dengan mitos, seperti melilitkan bendera merah putih pada bagian atap rumah yang sedang dibangun dengan alasan supaya bangunannya kuat. Padahal, hal itu dilakukan untuk mengelabui pihak penjajah agar tidak menangkap orang-orang Indonesia yang mengibarkan bendera merah putih. Sering juga membuat bubur merah dan bubur putih dengan alasan ritual dalam memberi nama bayi. Padahal, bubur merah dan bubur putih itu adalah  bendera merah putih. Kalau sampai ketahuan oleh penjajah kita mengibarkan atau menempelkan atau membuat simbol merah putih, kecelakaan besar akan terjadi dengan sangat mengerikan. Ayah saya pernah berceritera bahwa ketika dia masih kecil, pernah ada kejadian seorang pemuda menempelkan pin atau emblem logam persegi dengan warna merah putih pada kemejanya. Naas sekali pemuda itu berpapasan dengan prajurit Belanda yang bersenjata. Pemuda yang menggunakan pin logam merah putih itu pun ditangkap dan diinterogasi di pinggir jalan. Sebagai hukuman menggunakan pin merah putih itu, prajurit Belanda memaksa Si Pemuda menelan pin persegi logam yang ujungnya tajam itu. Sungguh, saya tidak ingin meneruskan ceritera itu di sini. Bayangkan saja kesakitan yang harus diderita pemuda itu dan darah yang pasti harus mengucur dari mulutnya ditambah air mata kesakitan dan kepedihan karena terhina.

            Bendera merah putih bukanlah sekedar benda mati biasa. Ia punya sejarah panjang di negeri ini dengan melibatkan darah, air mata, dan keringat para pejuang. Ia kini menjadi simbol Indonesia. Tanpa itu, kita bukanlah Indonesia, melainkan generasi pengkhianat Indonesia.

            Benar sekali bendera merah putih harus dihormati dan dihargai, bahkan dibela sebagai jati diri bangsa sekaligus penghormatan kepada para pendahulu kita yang telah mewujudkan suasana kemerdekaan yang kita nikmati. Akan tetapi, sayangnya, rasa hormat dan peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk memperlakukan bendera merah putih sebagaimana mestinya belum tersosialisasikan dengan baik. Tak heran masih sangat banyak mereka yang memperlakukan merah putih tidak sebagaimana mestinya.

            Aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, maupun hakim harus adil dan bijaksana jika ada orang yang memperlakukan bendera merah putih secara tidak layak. Beberapa di antara masyarakat kita ada yang terlalu bangga dengan bendera merah putih sehingga memperlakukannya dengan kurang baik, misalnya menuliskan nama diri, kelompok, atau grup pada bendera setelah berhasil menaklukan puncak gunung. Ada yang membuat tanda tangan pada bendera sebagai rasa senang karena berhasil lulus SMA. Ada yang menuliskan sesuatu yang menggembirakan pada bendera karena telah berhasil dalam penyelaman dan memfoto bendera itu di dasar laut. Ada yang membuat tulisan dengan nama grup band asing pada bendera sebagai lambang bahwa grup band itu pun bangga dan menyukai Indonesia serta para penggemarnya pun menyukai grup band itu sebagai komunitas yang berhubungan erat dengan warga Indonesia. Kepada mereka yang terlalu bangga dan senang terhadap bendera merah putih sehingga memperlakukannya secara tidak layak, harus diberi pengertian, pembinaan, pendidikan, atau sosialisasi tentang perlakuan yang layak kepada bendera nasional Indonesia. Akan tetapi, kepada mereka yang memperlakukan bendera merah putih, baik itu dengan cara menulis apa pun di atasnya atau membuat gambar-gambar tertentu dengan maksud tidak baik, seperti, menginginkan bentuk Negara Indonesia di luar yang telah disepakati, menghina, dan merendahkan, perlu dilakukan penegakkan hukum secara tepat agar kehormatan bangsa Indonesia tetap terjaga dan semakin mulia.

            Baik yang terlalu bangga dan senang terhadap benderanya maupun yang berniat tidak baik terhadap Negara Indonesia, sama-sama telah melakukan kesalahan yang sama. Akan tetapi, berbeda dalam niat dan keinginannya. Kedua-duanya harus mendapatkan pembinaan, tetapi kepada mereka yang hanya sekedar terlalu gembira, harus dibina dengan cara yang soft, sedangkan kepada mereka yang berniat atau memiliki pemikiran untuk mengubah bentuk negara atau bahkan makar, harus dengan cara yang lebih tegas.

            Tidak perlu sewot dan berang soal bendera ini, semua masalah bisa diselesaikan dengan baik asal dengan pikiran dan hati yang jernih dan bersih.


            Sampurasun.

Aksi Bela Udin

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sering sekali tindak-tanduk para politisi tanggung yang sangat kebelet ingin menjadi penguasa memunculkan perilaku-perilaku aneh dan lucu. Bahkan, bukan hanya mereka yang bersikap lucu, para pendukungnya pun ikut-ikutan bersikap tidak tahu malu seperti pelawak.

            Adalah sebuah kisah di suatu desa yang sedang berada dalam situasi dan kondisi pemilihan kepala desa. Desa itu cukup makmur dan memiliki potensi yang bagus sehingga banyak orang yang sangat ingin menjadi kepala desa.

            Ada dua calon kepala desa yang sangat kuat di desa itu. Calon No. 1 namanya Udin Sapdi. Calon No. 2 namanya Jaya Hari. Mereka orang terkenal di desa itu dan memiliki pendukung yang sangat militan dan fanatik.

            Mereka selalu bersaing dalam segala hal. Jaya Hari memiliki kecerdasan luar biasa dan memiliki daya inisiatif tinggi. Adapun Udin Sapdi memiliki uang yang sangat banyak dan relasi yang sangat kuat. Oleh sebab itu, dalam hal mendekati rakyat dan kampanye, Jaya Hari selalu berada di depan. Ia selalu memiliki langkah-langkah cerdas dan jitu dalam kampanye. Ide-idenya selalu mendahului ide Udin Sapdi. Oleh karena itu, Udin Sapdi selalu meniru kegiatan Jaya Hari, tetapi dilakukan dengan lebih hebat, lebih gebyar, dan lebih spektakuler. Misalnya, apabila Jaya Hari mengadakan panggung musik dengan organ tunggal dan artis lokal, Udin Sapdi pun segera menyelenggarakan acara yang sama dengan panggung yang lebih besar, grup musik yang lebih hebat, serta artis yang lebih terkenal dan lebih cantik. Jika Jaya Hari mengundang ustadz tingkat kecamatan untuk mengadakan pengajian, Udin Sapdi pun mengadakan pengajian di rumahnya, tetapi dengan ustadz tingkat kabupaten atau tingkat kota. Jika Jaya Hari mengadakan konvoi motor, Udin Sapdi tak mau kalah, segera mengadakan konvoi mobil. Jika Jaya Hari mentraktir pendukungnya beli mie rebus, Udin Sapdi mentraktir pengikutnya di rumah makan. Kalau Jaya Hari datang ke rumah orangtuanya, sungkem, Udin Sapdi lebih heboh lagi dengan cara mengundang grup sisingaan, lalu menyuruh kedua orangtuanya naik sisingaan yang dipanggul oleh empat orang.

            Begitulah mereka selalu bersaing dan Udin Sapdi selalu tidak mau kalah. Lucu memang.

            Ketika hari-hari menjelang H pemilihan kepala desa segera dilangsungkan, Jaya Hari membuat kaos untuk para pendukung setianya agar dipakai di mana saja. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat di desa itu selalu mengingat nama Jaya Hari. Pada bagian belakang kaos itu disablon dengan tulisan JAYA DESAKU, HARI-HARI KITA AKAN LEBIH BAIK.

            Ketika hampir di seluruh pelosok desa bertebaran orang-orang yang menggunakan kaos Jaya Hari, Udin Sapdi benar-benar marah dan kesal. Dia merasa harus membuat kaos yang lebih baik, lebih kreatif, lebih banyak, lebih spektakuler, dan lebih mahal. Ia pun segera memesan kaos, lalu menyablonnya dengan teknik embos sehingga tulisannya yang berwarna kuning emas itu menonjol, timbul dengan indah.

            Beberapa hari kemudian, setelah kaos itu jadi dan terkumpul, Udin Sapdi segera mengumpulkan para pengikutnya.

            Ia pun berpidato, “Saudara-saudara, ingat hari pemilihan tinggal satu minggu lagi. Kita harus memenangkan pertempuran. Rakyat harus memilih kita. Si Jaya Hari terus-terusan memprovokasi kita. Apalagi dia akan melaporkanku pada polisi tentang sengketa tanah di pinggir selokan itu. Itu adalah provokasi! Curang!

            Kita tidak boleh kalah! Seperti biasa, kita harus selalu lebih hebat dibandingkan mereka.

            Kalian sudah lihat bukan itu banyak kaos yang bertuliskan JAYA DESAKU, HARI-HARI KITA AKAN LEBIH BAIK?”

            “Sudaaah Juragaaan …!” sahut para pendukungnya.

            “Itu kaos musuh kita! Saya sudah bikin kaos yang lebih bagus untuk dipakai kalian. Besok adalah hari Jumat, besok kalian harus memakainya untuk shalat Jumat. Kita datang bersama-sama ke masjid dengan start dari rumah saya. Setuju?”

            “Setujuuu …!”

            Seorang pengikutnya berkata, “Saya sangat setuju. Saya usul gerakan kita besok kita namakan ‘Aksi Bela Udin’.”

            “Ya, itu ide yang sangat bagus. Kita laksanakan,” sahut Udin Sapdi.

            Benar saja besoknya sejak pagi para pengikut Udin Sapdi sudah bergerombol dengan memakai kaos yang sama, seragam. Sementara itu, istri Udin Sapdi membagi-bagikan makanan kepada para penggemar suaminya itu.

            Menjelang pukul 11.00, mereka mulai bergerak dengan langkah perlahan menuju masjid. Di antara mereka ada yang membuat poster dengan tulisan macam-macam, seperti, Mulialah Udin Sapdi, Hormati Udin, Sehelai Rambut Udin Adalah Nyawaku, Jangan Kriminalisasi Udin, Udin Tidak Pernah Berdosa, dan rupa-rupa tulisan lainnya.

            Ketika mendekati masjid, poster-poster itu diturunkan. Mereka pun masuk masjid untuk shalat Jumat dengan bangga karena menggunakan kaos kebanggaan sebagai pertanda perlawanan kepada kaos milik Jaya Hari dan para pendukungnya. Udin Sapdi mencari-cari musuhnya, Jaya Hari. Ia ingin tahu di mana Jaya Hari duduk bersila. Ternyata, Jaya Hari duduk pada barisan kedua di depan mimbar. Kebetulan sekali pada barisan depan tepat depan Jaya Hari masih kosong, belum ada yang duduk bersila. Udin Sapdi menemukan kesempatan emas.


            Segera ia duduk pada barisan depan itu pas membelakangi Jaya Hari dengan maksud agar Jaya Hari membaca tulisan pada bagian belakang kaosnya. Dengan berwibawa, Udin Sapdi duduk bersila membelakangi Jaya Hari. Sementara itu, Jaya Hari dengan sangat jelas membaca tulisan di bagian belakang kaos Udin Sapdi. Pada kaos itu tertulis UDIN DESAKU, SAPDI-SAPDI KITA AKAN LEBIH BAIK.

Tuesday, 24 January 2017

Politisi Harus Belajar Dangdut

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Karena kita, Indonesia, masih suka dengan sistem politik demokrasi dan “takut” untuk meninggalkan demokrasi, risiko huru hara, hoax, serta kemunafikan adalah kenyataan yang harus diterima dan dihadapi. Kita tidak bisa menghindar dari itu semua karena merupakan suatu keniscayaan dari sistem politik demokrasi yang memiliki tabiat buruk. Saya sudah lama menuliskan hal ini dengan judul Demokrasi Membludakkan Orang Munafik. Orang-orang munafik jumlahnya meningkat sangat cepat dalam sistem politik demokrasi. Menjamurnya hoax merupakan bukti orang-orang munafik merajalela di Indonesia yang mayoritas muslim ini, aneh.

            Karena masih enggan meninggalkan sistem politik demokrasi, kita harus menyaksikan banyak persaingan dan kompetisi yang sangat tidak sehat. Saya tidak pernah percaya bahwa “bersaing sehat” itu ada. Persaingan itu selalu tidak pernah sehat. Persaingan apa pun. Satu-satunya bersaing sehat yang nyata terjadi adalah fastabiqul khoirot, ‘bersaing dalam kebaikan’. Persaingan ini pasti sehat karena jika tidak sehat, bukanlah “bersaing dalam kebaikan”.

            Meskipun persaingan itu tidak pernah sehat, paling tidak ada “persaingan yang baik dan beradab”. Persaingan yang baik dan beradab itu ada di Dangdut Academy. Para peserta dangdut itu bersaing mulai di setiap kota, provinsi, lalu bersaing di tingkat nasional. Bahkan, bersaing di tingkat Asia yang dikenal dengan Dangdut Academy Asia. Mereka memang bersaing, tetapi tidak saling menjatuhkan. Mereka saling menghormati dan saling menyayangi. Jika di antara mereka ada yang tersenggol sehingga kalah dan harus meninggalkan panggung, saingannya pun ikut sedih, menangis karena kehilangan teman. Para peserta itu tidak pernah pelit berbagi ilmu terhadap saingannya. Mereka saling berbagi dan saling belajar. Dalam panggung mereka memang bersaing, tetapi performa mereka merupakan hasil saling belajar dengan saingannya. Tak pernah mereka melakukan black campaign dan menjatuhkan nama baik lawannya, padahal setiap dari mereka sedang berkompetisi. Mereka tidak mengenal perbedaan Sara. Mereka saling terancam jatuh, tetapi tidak saling menjatuhkan. Mereka bersaing dengan cara mempersembahkan kemampuan mereka yang terbaik hingga ke tingkat paling maksimal tanpa menghancurkan nama baik musuhnya.

            Setelah mereka menjadi artis pun tidak ada keinginan untuk melakukan kudeta makar kepada Raja Dangdut Bang Haji Rhoma Irama. Kalaupun ada yang berkeinginan untuk menjadi Raja Dangdut, satu-satunya cara yang ditempuh adalah harus mampu melahirkan karya yang melebihi karya Bang Haji. Demikian pula, tidak ada yang berkeinginan untuk menggeser posisi Ratu Dangdut Elvi Sukaesih. Kalau ada yang ingin jadi Ratu Dangdut, mereka harus mampu tampil lebih maksimal dibandingkan Elvi Sukaesih.

            Mereka tidak pernah menginginkan posisi Raja dan Ratu dengan menggunakan huru hara dan hoax karena itu tidak mungkin dan hanya akan mempermalukan diri sendiri. Mereka pun tidak pernah merasa terpaksa untuk berada pada posisinya masing-masing. Kalaupun memiliki kelebihan, posisi mereka tetap berada di bawah Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih. Misalnya, Pangeran Dangdut, Ratu Pantura, Ratu Ngebor, Ratu Ngecor, atau apalah.

            Semestinya, para politisi malu kepada para penyanyi dangdut yang mampu bersaing tanpa melakukan kebohongan dan black campaign. Mereka memang ingin tampil lebih baik dibandingkan orang lain, tetapi tidak melakukan kecurangan. Mereka memang ingin mengalahkan orang lain, tetapi dengan cara menampilkan karya-karya terbaik mereka. Jika ada yang kalah, mereka sendiri tampak sedih, padahal yang menang itu sudah jelas menjatuhkan yang kalah. Politisi harus meniru mereka. Politisi harus berguru kepada para penyanyi dangdut tentang bagaimana caranya bersaing tanpa harus menghancurkan nama baik dan karya orang lain.

            Cobalah bikin pembekalan terhadap para politisi dengan instruktur seperti Lesti, Danang, Irsya, Soimah, Iis Dahlia, Rita Sugiarto, Inul Daratista, dan lain sebagainya. Mereka bersaing mencari rezeki dengan merebut hati rakyat, tetapi berupaya keras pula memberikan ilmu pengetahuan kepada sesama artis dangdut tanpa takut merasa tersaingi.

            Cobalah merasa malu kepada artis dangdut. Belajarlah dangdut agar hati kalian menjadi lembut dan ceria.

            Sampurasun.

Kamu Salah, Zieq

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Entah kenapa tiba-tiba saya suka tertawa kalau melihat Rizieq FPI itu. Aneh dan lucu.

            Kok ada ya orang kayak dia yang berlagak seperti benar, tetapi sesungguhnya ngawur?

            Akan tetapi, dunia, khususnya Indonesia menjadi seru dengan adanya Rizieq. Dia itu hiburan yang mengernyitkan dahi bagi saya.

            Perhatikan saja dia ketika konferensi pers sehabis diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus “logo mirip palu arit”. Dia seolah-olah dengan cerdas menyatakan ingin ada penjelasan dari pemerintah terkait logo itu dan ia sesumbar mencintai Indonesia dengan mengkhawatirkan kebangkitan PKI. Di samping itu, ia pun mempertanyakan pihak BI yang menggunakan hasil rectoverso  pada uang kertas yang menurut mata dia adalah mirip palu arit. Padahal, kalau menurut saya sih bukan mirip palu arit, melainkan lebih mirip “kepala gantungan baju” atau bagian bawah “ganco”. Gambar yang satunya lagi lebih mirip “pengukur kunci duplikat”.

            Zieq, Zieq.

            Mestinya, dia mengatakan hal-hal itu sebelum teriak-teriak di depan gerombolannya yang ada di youtube. Sebelum dia berceramah dengan berapi-api di depan para pendukungnya, seharusnya datang dulu ke Gubernur BI. Audiensi ke BI. Tanyakan apa maksud dari gambar yang katanya mirip palu arit itu. Silaturahmi baik-baik. Dengan demikian, Rizieq akan mendapatkan penjelasan yang komprehensif dari BI. Jadi, tidak perlu bikin suasana gaduh tidak karu-karuan. Kalaupun setelah dijelaskan Rizieq masih juga berpikir itu mirip palu arit, beri masukan pada BI agar menarik uang itu karena khawatir masyarakat akan curiga kepada pemerintah terkait kebangkitan PKI. Kalau belum disetujui oleh BI, kan bisa bilang bahwa untuk pencetakan berikutnya sebaiknya digunakan hasil rectoverso lain yang kata dia ada jutaan hasil rectoverso.

            Begitu seharusnya kalau memang ingin benar-benar melakukan kebaikan dan memberikan masukan pada pemerintah agar masyarakat tidak curiga sekaligus menghalangi kebangkitan PKI. Saya yakin jika Rizieq melakukan itu, pemerintah akan merasa terbantu dan Rizieq pun dianggap orang yang telah berjasa memberikan masukan positif kepada pemerintah. Akan tetapi, kalau memang maksudnya pengen bikin ribut, cari perhatian, banyak gaya, banyak tingkah, atau bikin gaduh, ya pasti yang dilakukannya adalah teriak-teriak duluan tentang hal-hal yang belum jelas atau bikin-bikin kesimpulan sendiri berdasarkan persepsi sendiri tanpa kemampuan yang jelas.

            Zieq, Zieq.

            Kalaulah setelah memberi masukan pada BI, tidak juga digubris, dan tetap yakin itu adalah mirip palu arit, datangi DPR RI. Biarkan DPR RI mempelajari, lalu mengambil tindakan karena mereka adalah wakil rakyat yang memiliki kewenangan controlling. Mereka bisa memanggil pemerintah, membentuk Panja, bikin Pansus atau melakukan tindakan-tindakan lainnya. Dorong DPR RI untuk bergerak karena mereka adalah wakil rakyat.

            Untuk apa ada wakil rakyat jika DPR RI dan DPRD tidak bisa mewakili rakyat?

            Kalian dulu memilih siapa untuk menjadi wakil rakyat?

            Datangi dia, sampaikan keresahan kalian.

            Kalau orang yang kalian pilih tidak mengakomodasi keinginan kalian atau tidak memberikan penjelasan yang benar, jangan pilih dia lagi.

            Kalau kalian melibatkan DPR, tidak perlu banyak-banyak massa untuk bergerak. Dorong saja DPR agar bekerja mengawasi pemerintah, lalu membuat undang-undang yang prorakyat, termasuk pembuatan logo pada uang kertas.

            Bisa kan seperti itu?

            Zieq, sekarang ini para wakil rakyat itu kebanyakan menonton soal dugaan penghinaan Pancasila, penghinaan agama, ujaran kebencian, fitnah, hoax, dan atau kesaksian palsu. Mereka itu kebanyakan menonton dan sama sekali berada di pinggir pentas permasalahan. Padahal, mereka katanya wakil rakyat. Mereka sama sekali kurang meneruskan aspirasi kamu, Zieq dan tidak tidak juga memberikan penjelasan resmi yang dikeluhkan kamu, Zieq. Padahal, mereka katanya wakil rakyat.

            Mestinya kan wakil rakyat itu bisa meneruskan aspirasi rakyat jika aspirasinya itu bermanfaat dan positif. Di samping itu, bisa juga memberikan keterangan yang resmi tentang kebijakan pemerintah yang positif kepada rakyat. Bukan menonton situasi dengan tenang-tenang saja.

            Mengenai hiruk pikuk yang terjadi saat ini, DPR dan ulama tidak berbuat banyak. Kalaupun mereka bergerak, sama sekali minimal dan tidak terasa pengaruhnya. Pihak yang terlibat banyak dalam “keseruan” akhir-akhir ini ada tiga pihak. Paling tidak, menurut Haris Azhar yang pengamat hukum itu ada dua pihak, yaitu masyarakat intoleran dan masyarakat proprularisme. Satu pihak lagi adalah pemerintah. Ketiga pihak itu saat ini tengah bergelut dengan keinginannya masing-masing dan memperkuat diri agar bisa menang di kancah kehidupan nasional. Sementara itu, DPR yang katanya wakil rakyat hampir tidak bergerak dan hanya menjadi penonton. Demikian pula para ulama yang seharusnya memberikan ilmu pengetahuan yang benar tampak seperti kehilangan langkah dalam menghadapi situasi semacam ini. DPR dan ulama secara kelembagaan tidak menetapkan posisinya apakah mereka bersama pemerintah, bersama masyarakat intoleran, atau bersama masyarakat proprularisme.

            Kalau DPR dan ulama tidak ingin berpihak, seharusnya memiliki posisi sendiri, yaitu bisa menjadi “pendamai” atau “pemisah”. Contoh sederhana mengenai hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika ada dua orang yang berkelahi atau berseteru, kita bisa mengambil posisi tidak berpihak. Posisi itu bisa sebagai pendamai yang berusaha “mengakurkan” mereka yang sedang bertikai atau bisa berperan sebagai pemisah yang menjauhkan posisi mereka yang sedang bertengkar sehingga perselisihan bisa berhenti. Jika DPR dan ulama tidak memastikan posisinya, secara otomatis mereka berada dalam posisi yang dalam bahasa Sunda disebut marakayangan, artinya gentayangan. Tidak jelas mereka berada di mana dan muncul sekehendak diri mereka sendiri.

            Saya malah khawatir para anggota DPR yang sedang menonton peristiwa yang terjadi hampir setiap hari di Indonesia ini akan menjadikan berbagai kekisruhan itu sebagai bahan komoditi yang akan didagangkan pada masa-masa kampanye. Mereka bisa memanfaatkan situasi itu untuk menaikkan citra diri dan menarik perhatian rakyat meskipun tidak berperan secara signifikan. Mereka akan berbusa-busa seolah-olah memahami penyelesaian masalahnya dengan sangat baik, tetapi sama sekali tidak berperan aktif secara nyata.

            Apabila para wakil rakyat tidak mampu secara benar ikut menyelesaikan berbagai masalah “kebhinekaan” yang terjadi akhir-akhir ini, sesungguhnya mereka lebih rendah dibandingkan para “jago, pendekar, dan jawara” masa lalu. Menurut Prof. Dr. H. Edi S. Ekadjati, ahli sejarah, fungsi-fungsi DPR pada masa lalu atau masa kerajaan dan masa kolonial dipegang oleh para jago, pendekar, dan jawara. Para pendekar ini kerap dilibatkan dalam hal legislasi, controlling, dan budgeting oleh para penguasa, baik itu raja maupun kolonial. Bahkan, lebih luas daripada itu. Para pendekar atau jawara ini berfungsi pula sebagai penyampai aspirasi rakyat kepada para penguasa. Mereka menyampaikan banyak keluhan rakyat kepada penguasa. Di samping itu, para jago ini berperan pula dalam menyosialisasikan berbagai program kebijakan penguasa, baik itu raja maupun kolonial kepada masyarakat. Mereka berupaya memahamkan masyarakat agar dapat sejalan dengan penguasa.

            Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara rakyat dan pemerintah yang memunculkan situasi tegang, para pendekar inilah yang kemudian bertarung di antara para pendekar sendiri. Sebagian pendekar propenguasa, sebagian prorakyat. Oleh sebab itu, muncullah kisah-kisah silat dan ceritera-ceritera pertarungan para jawara seperti yang kita kenal saat ini.

            Baik sekali jika para anggota DPR ikut berperan sebagaimana para jago, pendekar, dan jawara yang mampu menjadi wakil rakyat sebagai penyampai aspirasi rakyat sekaligus Humas pemerintah dalam menyosialisasikan program dan kebijakan positif pemerintah agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan hanya mengumpulkan isu untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi sesaat yang sangat rendah itu.

            Rizieq semestinya dapat memanfaatkan para wakil rakyat untuk menyampaikan banyak aspirasinya agar dapat tersalurkan dengan lebih baik. Jangan bikin gaduh dulu, mikir kemudian. Mikir dulu, baru sampaikan aspirasi pada tempatnya. Kalau tidak tersalurkan dengan baik, kritik habis itu wakil rakyat yang tidak mampu mewakili rakyat dan memahamkan rakyat. Jika para wakil rakyat itu tidak becus menyampaikan keinginan masyarakat, salahkan diri sendiri.


            Bukankah kalian sendiri yang memilih orang-orang itu untuk duduk di kursi wakil rakyat?

Sunday, 22 January 2017

Ulama Cengeng

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pernah mendengar ada yang mengkritik keras ulama?

            Kalau belum ada, saya mau geer saja bahwa saya adalah orang kedua yang mengkritik ulama dengan kata-kata yang merendahkan setelah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno. Bedanya, Soekarno menggunakan kata “merintih”, saya menggunakan kata “cengeng”.

            Dulu Soekarno mengkritik keras orang-orang Islam, termasuk ulama yang selalu menginginkan bahwa dasar Negara Indonesia adalah Islam. Mereka selalu mempengaruhi Soekarno dan membuat orasi untuk tidak memisahkan Islam dari negara.

            Kepada mereka, Soekarno mengkritik keras, “Aku tidak suka orang-orang Islam yang selalu ‘merintih’ janganlah Islam dipisahkan dari negara. Janganlah Islam-nya dipisahkan dari negara. Aku lebih suka orang-orang Islam yang dapat menjawab tantangannya zaman. Banjirilah itu kursi-kursi parlemen jika engkau benar-benar rakyat Islam!”

            Tampaknya, Soekarno mendapatkan inspirasi dari Kemal Ataturk yang telah membuat Turki menjadi negara sekuler. Kemal Ataturk menurut Soekarno secara sengaja memisahkan Islam dari negara dengan maksud baik kepada orang-orang Islam sendiri.

            Kemal Ataturk berkata, “Aku pisahkan Islam dari negara agar Islam menjadi kuat!”

            Kemal mengatakan hal seperti itu karena melihat bahwa Turki menjadi lemah sehingga disebut sebagai Si Orang Sakit dari Eropa disebabkan terlalu bergantungnya negara pada peranan ulama yang tidak mengerti kondisi negara. Kemal merasa kesal terhadap kebiasaan negara yang selalu harus meminta persetujuan ulama untuk menyelamatkan Turki yang sedang berada di ambang kehancuran. Sementara itu, ulama yang kerap dimintai “restu” dan “titahnya” adalah mereka yang tinggal di pinggir-pinggir kuburan dan tempat-tempat sepi.

            Kisah itu saya dapatkan dari Dibawah Bendera Revolusi yang ditulis oleh Soekarno sendiri. Saya sudah dua kali khatam membaca buku tebal itu.

            Soekarno tidak ekstrim seperti Kemal Ataturk yang membuat Turki menjadi negara sekuler. Soekarno hanya mengkritik orang Islam dan ulama agar mampu berjuang dan bertarung merebut kursi parlemen sehingga dapat menggunakannya untuk mewujudkan cita-cita Islam mereka. Dalam kata lain, Soekarno mempersilakan kekuatan Islam untuk menguasai negara dengan cara memenuhi kursi parlemen. Hal itu pun mendorong kekuatan Islam untuk menunjukkan benar-benar keislamannya sehingga dapat dipercaya oleh rakyat untuk mengelola negara.

            Hingga saat ini pintu yang dibukakan Soekarno untuk memasuki medan juang dalam “mengislamkan” negara sudah terbuka lebar. Semua kekuatan Islam memperoleh hak untuk memasuki parlemen. Akan tetapi, ternyata mereka yang kerap “merintih” untuk mendapatkan kondisi negara dalam keadaan Islam seperti yang mereka pikirkan tidak pernah juga terwujud.

            Pintu sudah dibuka, medan juang sudah dimasuki, hak mendapatkan kekuasaan telah diperoleh, tetapi keinginan untuk menyatukan Islam dengan negara tidak juga terwujud. Pasti ada yang salah di dalam diri orang-orang yang suka “merintih” itu. Mereka tidak mampu memenuhi kursi parlemen dengan baik dan sempurna.

            Apa masalahnya?

            Pikirkan saja sendiri.


Cengeng

Saya melihat bahwa akhir-akhir ini banyak “ulama cengeng” yang mengemis dan meminta-minta rasa hormat dari orang lain. Dari beberapa demonstrasi yang diklaim sebagai gerakan umat Islam, padahal hanya sekelompok kecil umat Islam, kalau tidak salah, banyak spanduk atau baligo atau poster yang “cengeng” bertuliskan semacam Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama.

            Tulisan-tulisan macam apa itu?

            Memalukan!

            Tulisan-tulisan cengeng itu tidak perlu ada. Ulama akan selalu dihormati jika benar-benar memberikan bimbingan, arahan, pencerahan, kesejukan, pemecahan masalah, dan kedamaian  pada hati orang banyak. Oleh sebab itu, ulama tidak perlu tulisan-tulisan cengeng semacam itu. Lakukanlah kewajibannya sebagai wakil Allah swt dan penerus Nabi Muhammad saw di muka Bumi ini dalam menebarkan kasih dan kedamaian sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah swt. Rasa hormat orang banyak itu akan datang dengan sendirinya jika orang-orang yang dianggap ulama itu melakukan kewajibannya dengan baik.

            Bolehlah orang-orang diingatkan untuk selalu menghormati ulama, memuliakan ulama, dan mematuhi ulama jika berada di kelas TK, SD, SMP, SMA, pengajian-pengajian, atau majelis-majelis taklim. Hal itu bukanlah merupakan “kecengengan”, melainkan suatu upaya membentuk pribadi dan kehidupan sosial yang lebih baik dalam arti kita harus selalu menghormati dan memuliakan orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan kita. Dengan rasa hormat kita kepada mereka, yaitu ulama sama artinya dengan memberikan ketenangan dan keluasan berpikir bagi para ulama untuk memberikan arahan dan bimbingan yang baik kepada kita.

            Akan tetapi, jika teriakan-teriakan Hormati Ulama, Muliakan Ulama, Jangan Hina Ulama, atau Jangan Kriminalisasi Ulama itu hanya untuk menghalangi orang untuk memberikan kritikan kepada para ulama yang dianggap tidak baik atau menghambat penegakkan hukum kepada orang-orang yang disebut ulama itu, itulah yang saya sebut ulama cengeng. Dalam kata lain, ulama cengeng adalah mereka yang meminta orang-orang untuk menghormati dan memuliakan dirinya hanya untuk menyembunyikan kesalahan diri dan melindungi diri dari masalah-masalah yang menimpanya. Orang-orang seperti ini justru telah merusakkan nama baik ulama itu sendiri. Hal itu disebabkan banyak ulama yang sampai hari ini tetap dihormati dan dimuliakan orang karena memang dirinya adalah orang terhormat dan mulia, bukan sebagai orang yang gemar bikin onar. Ulama yang benar-benar sangat takut kepada Allah swt tidak memerlukan spanduk, baligo, maupun poster untuk meminta rasa hormat dan kemuliaan dari orang banyak. Mereka tidak memerlukan itu karena mereka hanya ingin cinta dari Allah swt. Rasa hormat orang banyak itu akan datang dengan sendirinya karena perilaku dan ilmunya yang sangat terpuji. Kata-katanya mencerahkan dan memberikan kedalaman ilmu, bukan provokasi.  

            Adapula orang-orang yang inginnya disebut ulama dan ingin selalu dihormati dengan cara mengajak orang bernostalgia ke masa lalu. Orang-orang diingatkan terhadap jasa para ulama dalam membentuk Negara Indonesia. Mereka berharap bahwa masyarakat sekarang tidak meminggirkan ulama karena ulama sangat besar jasanya bagi Indonesia.

            Bagi orang-orang semacam ini, saya perlu mengingatkan kata-kata dari Ali bin Abi Thalib ra, “Bukan pemuda namanya yang selalu berkata ‘Ini bapakku’. Pemuda adalah yang mampu mengatakan ‘Inilah aku’.”

            Begitu kira-kira yang dikatakan Ali ra. Meskipun tidak tepat benar redaksinya, tetapi maknanya memang seperti itu.

            Bolehlah ucapan Ali ra digunakan untuk mengingatkan kita sebagai kaum muslimin, terutama ulama. Ulama tidak boleh terus-terusan membangga-banggakan ulama masa lalu, tetapi tunjukkanlah diri ulama masa kini.

            Benar sekali ulama masa lalu banyak jasanya. Pendustalah yang mengingkari peranan ulama dalam membangun dan mendirikan Indonesia. Akan tetapi, itu kan masa lalu.

            Bagaimana dengan ulama masa kini?

            Ulama masa lalu telah menunjukkan prestasinya. Mereka memiliki prestasi sendiri, jasa sendiri, pahala sendiri, dan keagungan sendiri di hadapan Allah swt.

            Ulama sekarang harus memiliki prestasi sendiri, jasa sendiri, dan keagungan sendiri di hadapan Allah swt.

            Setiap umat memiliki masa dan nilai tersendiri di hadapan Allah swt. Ulama masa lalu jelas banyak sekali jasanya, terlalu banyak karya positifnya. Ulama sekarang pun seharusnya tidak selalu menyandarkan diri pada jasa-jasa para pendahulunya, melainkan menunjukkan dirinya sendiri, prestasinya sendiri, kiprahnya sendiri, dan nilainya sendiri, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan seluruh manusia.

            Ulama yang selalu mengingat-ingatkan orang atas jasa ulama terdahulu yang hanya bertujuan untuk mendapatkan rasa hormat dari orang banyak, akan mudah sekali jatuh menjadi “ulama cengeng”.  

            Ulama masa lalu telah besar jasanya membuat Indonesia merdeka dan tetap berdiri kokoh. Ulama sekarang harus memiliki jasa yang juga besar dalam mengisi kemerdekaan dengan berbagai hal positif dan mendorong rakyat untuk membangun dalam rangka meratakan jalan agar umat dapat menapaki jalan yang baik untuk mencapai Allah swt dengan suci dan bersih.


Berani Melakukan Otokritik

Kalaulah ulama itu merupakan strata atau lapisan sosial tersendiri di dalam masyarakat kita, hendaklah memiliki kemampuan untuk melakukan otokritik untuk menyehatkan lapisan sosialnya sendiri. Tidak perlu malu atau sungkan untuk mengakui bahwa di antara orang-orang yang disebut ulama itu tidak semuanya baik. Kita semua manusia yang memiliki celah untuk melakukan kesalahan dan taubat adalah obatnya. Tak perlu ragu untuk membenahi diri karena kenyataan sudah menunjukkan bahwa ada beberapa oknum ahli agama yang melakukan hal tidak terpuji.

            Bukankah beberapa kali kita menyaksikan ada orang yang disebut ahli agama, tetapi melakukan pelecehan seksual kepada santriwatinya?

            Cara untuk membenahi diri para ulama bisa dengan cara yang lembut semisal melakukan “saling menasihati” di antara para ulama atau dengan cara yang keras semisal menjauhkan atau memisahkan diri dari orang-orang yang inginnya disebut ulama, tetapi tidak menunjukkan pribadi sebagai ulama yang sesungguhnya. Bisa pula dengan hal lainnya sesuai dengan keilmuan para ulama yang terhormat.

            Saya menulis hal seperti ini karena menginginkan bahwa ulama tetap berada dalam posisi terhormat dan mulia di tengah masyarakat serta tidak tercoreng oleh mereka yang ingin disebut ulama, tetapi mencederai nama baik ulama dengan menciptakan kebingungan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Jujur saja, sebagai orang Islam, saya dan masyarakat muslim lainnya membutuhkan arahan dan bimbingan para ulama yang benar-benar ulama agar dapat menapaki jalan yang lurus untuk mencapai keridhoan Allah swt dan bukan kebisingan yang penuh provokasi.

            Apabila para ulama tidak bersegera membenahi diri, ada lapisan sosial masyarakat lain yang berpotensi mengambil alih peranan para ulama. Perlahan namun pasti, saat ini pun mereka sudah melakukannya. Mereka adalah para motivator, trainer softskill, akademisi, dan psikolog yang sangat memahami kebutuhan masyarakat. Sangat sering mereka menggunakan ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw dalam menjawab dan menyelesaikan banyak keresahan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat pun tampaknya mendapatkan jawaban yang memuaskan dan mulai bergantung kepada mereka. Adapun para ahli agama mulai terbatasi hanya sebagai pembaca doa. Sungguh, saya tidak ingin ini terus terjadi. Saya malah berharap para ulama dan para motivator, trainer, akademisi, dan psikolog dapat saling mengisi sehingga memperkaya masyarakat kita dengan penuh kebaikan dan percaya diri.

            Bukankah para motivator, trainer softskill, akademisi, dan psikolog mampu memahami Al Quran dan hadits Nabi Muhammad saw karena mereka adalah juga para murid dari para ulama yang saleh?