Thursday, 18 July 2019

Marah Karena Allah swt


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Rasulullah Muhammad saw sering sekali menasihati sahabatnya untuk tidak marah karena ketika kita marah, syetan masuk melalui pintu itu untuk menguasai manusia sehingga manusia tersesat dan dirinya terbakar amarah yang merusakkan dirinya dan lingkungannya. Muhammad saw selalu mengajarkan kesabaran dan kesantunan sekalipun menghadapi hinaan dan cacian yang sangat menyakitkan. Makin sabar, makin hebat orang itu dalam mengendalikan dirinya, makin mulia dirinya.

            Akan tetapi, bolehkah kita marah?

            Boleh, asal marah karena Allah swt, bukan karena mengumbar emosi.

            Tulisan ini tidak hendak membahas apa itu yang disebut marah karena Allah swt. Banyak buku yang membahas itu, baca saja. Banyak pula ulama yang sangat memahami hal itu, dengarkan saja mereka.

            Saya hanya ingin berbagi tentang kisah yang saya dapatkan sejak kecil dari guru ngaji saya. Jika ada yang pernah tahu kisah ini, baik sama maupun beda versi, saya sangat senang mengetahuinya.

            Di dalam suatu perang, Ali bin Abi Thalib ra bertarung dengan penuh semangat. Dalam sebuah duel bersenjatakan pedang, Ali ra berhasil membuat pedang musuhnya terlempar. Musuhnya yang kafir itu pun jatuh terduduk. Ketika Ali hendak menebas lehernya, musuhnya mendongak dan menatap wajah Ali, lalu ia meludahi wajah Ali. Seketika itu Ali berhenti dan pergi meninggalkan musuhnya. Dia tidak jadi menebas leher musuhnya.

            Kenapa?

            Ali bin Abi Thalib ra adalah orang cerdas, berilmu tinggi, dan pandai dalam mengelola hati. Ketika berperang dengan penuh semangat, niat dalam hatinya adalah untuk menegakkan kebenaran, keadilan, serta menjaga hak dan kehormatan yang memang diperintahkan Allah swt. Artinya, ketika melawan musuh-musuhnya, kemarahan dalam hati Ali adalah “marah karena Allah swt”. Akan tetapi, ketika dia diludahi wajahnya oleh musuhnya, segera sadar bahwa “marah karena Allah swt” sudah hilang dalam dirinya. Kemarahan yang ada dan tertinggal di hatinya adalah disebabkan rasa tersinggung dan terhina karena wajahnya diludahi. Dia tahu bahwa marah karena hal itu adalah tidak baik bagi “kesehatan hati dan jiwanya”. Baginya, hal itu adalah buruk. Oleh sebab itu, Ali meninggalkan musuhnya karena dirinya tak ingin marah bahkan membunuh musuh gara-gara disebabkan oleh hawa nafsunya sendiri. Dia ingin hatinya terjaga hanya untuk Allah swt dan bukan bertindak marah atas dorongan hawa nafsu pribadinya.

            Begitulah Ali ra dalam mengelola hatinya.

            Belajar dari mana dia?

            Dari mertuanya, Muhammad saw.

            Kita bisa belajar dari peristiwa itu sehingga sebelum marah, kita bisa cek hati kita.

            Apakah kita marah karena Allah swt atau karena emosi akibat hawa nafsu yang terbakar dan membakar diri?

            Susah? Sulit?

            Benar.

            Akan tetapi, begitulah kaum muslim dituntut untuk pandai mengendalikan diri. Tidak mudah marah hanya karena terhina, apalagi marah hanya karena ikut-ikutan orang lain yang marah dengan niat sama sekali tidak jelas.

Sampurasun

Dikendalikan Kepalsuan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pilpres RI 2019 sudah usai, Jokowi-Amin sudah menang melalui quick count, real count, hitung berjenjang Komisi Pemilihan Umum (KPU), keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan penetapan KPU. Hal itu ditambah dengan pengakuan pihak luar negeri dan rekonsiliasi yang telah terjadi dengan saingannya, pasangan Prabowo-Sandiuno.

            Sudah terang benderang Jokowi-Amin adalah pemenangnya dan Prabowo-Sandi siap membantu pemerintahan yang sah dan dipimpin oleh Jokowi-Amin. Akan tetapi, anehnya masih banyak yang mengharapkan Prabowo-Sandi menjadi Presiden RI dan Wapres RI. Mereka masih menggelorakan semangat kampanye demi kemenangan Prabowo-Sandi. Jelas hal tersebut merupakan khayalan tingkat tinggi yang sulit terjadi.

            Para pengkhayal itu kemungkinan dikendalikan informasi-informasi palsu yang memelihara semangat dan ketidakpahaman mereka atas tahapan politik yang terjadi di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka di media sosial jauh bertentangan dengan kenyataan yang terjadi dan terkesan hanya hasil karangan murahan. Misalnya, mereka masih menggunakan Tagar-tagar untuk Pasangan 02, bahkan rekonsiliasi yang terjadi antara Jokowi dan Prabowo dinyatakan sebagai sekedar kegiatan peresmian moda raya terpadu (MRT).

            Sungguh, besar kemungkinan mereka dikendalikan kekuatan pendusta yang selama ini mengampanyekan untuk tidak menonton televisi dan tidak mempercayai berita dari mana pun, kecuali dari kelompok mereka sendiri. Hal ini sungguh memprihatinkan dan perlu diambil tindakan tegas karena aktivitas ini membuat masyarakat tersudut dan terhalang dari informasi-informasi yang nyata dan bermanfaat.

            Hal ini sudah menjadi tugas aparat keamanan, pemerintah, para tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan masyarakat keseluruhan yang sadar bahwa kegiatan penuh dusta ini hanya akan menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Jika dibiarkan, masyarakat akan terpolarisasi antara mereka yang percaya pada kenyataan dan mereka yang hanya percaya hoaks. Ini harus diatasi sedini mungkin untuk kebaikan bersama.


Sampurasun.

Tuesday, 16 July 2019

Kecewa Sama Prabowo, Bikin Partai Sendiri Saja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Setelah Jokowi dan Prabowo melakukan rekonsiliasi (13 Juli 2019), ternyata banyak pendukung Prabowo yang kecewa. Mereka ingin rekonsiliasi tidak terjadi, tetapi kenyataannya terjadi. Hal itu disebabkan agenda-agenda mereka runtuh secara tiba-tiba dengan adanya pengakuan dan pernyataan resmi yang diberikan Prabowo kepada Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2019.

            Koalisi Adil Makmur memang sudah dibubarkan.  Partai-partai pengusung Prabowo-Sandi kembali dan dikembalikan ke kedaulatannya masing-masing, tidak lagi terikat pada koalisi. Mereka bergerak bebas sekehendak mereka. Ada yang sudah memastikan dirinya menjadi oposisi yang bertindak sebagai “pengingat” Jokowi dan penyeimbang kekuasaannya, yaitu PKS. Selebihnya, sampai tulisan ini dibuat masih belum jelas sikapnya, entah bergabung Jokowi, entah berada di luar pemerintahan. Para pendukung Prabowo yang kelimpungan dan tampak lebih kecewa adalah kelompok-kelompok yang bukan partai. Mereka kehilangan “tunggangan”, baik Prabowo maupun partai-partai pendukung untuk memuluskan agenda-agenda sendiri yang tampak berbeda dengan apa yang menjadi ide Prabowo sendiri.

            Prabowo-Sandi memiliki agenda-agenda yang menurut beberapa pengamat “beririsan” dengan agenda-agenda Jokowi-Maruf Amin. Artinya, keinginan Jokowi-Amin mirip dengan keinginan Prabowo-Sandi dalam memajukan dan membuat Indonesia adil makmur.

            Oleh karena itu, wajar jika Prabowo ketika rekonsiliasi menyatakan siap membantu pemerintahan Jokowi-Amin. Kesiapan Prabowo membantu pemerintah itu bisa dengan memperkuat dan bergabung Jokowi atau mendorong dengan cara memberikan pengawasan dan kritik-kritik konstruktif dari luar pemerintahan. Bagi Prabowo, keutuhan dan keselamatan NKRI jauh lebih penting dibandingkan kepentingan-kepentingan politik sesaat, sebagaimana dalam surat yang ditulisnya sendiri kepada Amien Rais, pentolan PAN.

            Hal itulah yang membuat pendukung Prabowo-Sandi nonpartai kecewa. Partai seperti PKS juga sebetulnya seperti sedikit kecewa, tetapi mereka masih bisa berkiprah dalam politik secara resmi melalui lembaga legislatif DPR. Adapun pendukung nonpartai seperti kehilangan arah dan pegangan karena agenda-agenda politik mereka “melayang tak lagi bertenaga”.

            Berkaca dari pengalaman tersebut, sebaiknya pendukung Prabowo-Sandi nonpartai jangan lagi menggunakan siapa pun dan apa pun sebagai kendaraan politik. Jika ingin memperjuangkan agendanya sendiri, buat saja partai sendiri. Dengan demikian, mereka bisa menguji kemampuan dirinya untuk terjun langsung dalam persaingan politik. Jika berhasil, mereka memiliki kekuatan semakin besar. Jika gagal, mereka lebih menyadari berbagai kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi dalam berpartai.

            Presiden pertama RI Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku tidak suka orang Islam yang merintih-rintih, ‘janganlah Islam dipisahkan dari negara’. Aku lebih suka orang Islam yang berani menjawab tantangan zaman. Penuhilah kursi-kursi parlemen itu jika engkau benar-benar rakyat Islam!”

Sampurasun.

Tuesday, 9 July 2019

Cebong-Kampret-Cebong-Kampret


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Panggilan buruk Cebong-Kampret sudah tidak perlu lagi diucapkan atau bahkan diteriakkan, baik di Medsos maupun di dunia nyata. Sebetulnya, panggilan-panggilan itu sama sekali tidak perlu dari dulu juga karena itu panggilan buruk. Umat Islam apalagi dilarang oleh Nabi Muhammad saw untuk memanggil orang dengan sebutan yang buruk, panggilan yang paling baik adalah Abdullah, ‘hamba Allah’. Sekarang setelah Pilpres usai dan pemenangnya sudah ditetapkan secara legitimate, yaitu Jokowi-Amin, panggilan buruk cebong-kampret lebih tidak perlu lagi dan lebih tidak berguna lagi.

            Kalau masih ada yang menggunakan panggilan buruk itu, bersabarlah, jangan dilayani karena tidak ada gunanya. Bahkan, jika dilayani, kita menjadi sama begonya dengan mereka. Jika kita ingin lebih mulia dibandingkan mereka, jangan layani, bersikaplah teduh, jangan dibalas, bersikaplah lembut bagai angin sepoi-sepoi yang memanjakan.

            Mari kita bersikap sabar dan kuat menghadapi panggilan-panggilan buruk itu. Nabi Muhammad saw saja bukan hanya dipanggil yang buruk-buruk, melainkan pula sampai diludahi, dilempari kotoran binatang dan manusia, dilempari batu sampai kakinya berdarah-darah. Muhammad saw tetap bersabar.

            Yang tidak bersabar dan marah malah Malaikat Jibril, “Ya Rasul, jika engkau mau, aku bisa membalikkan tanah-tanah mereka.”

            Artinya, Malaikat Jibril bisa membuat bencana alam bagi orang-orang yang menyakiti Muhammad saw.

            Akan tetapi, Muhammad saw menolak, “Jangan karena mereka sesungguhnya orang yang tidak mengerti.”

            Tuh, bagaimana sabarnya Muhammad saw yang sangat mulia itu.

            Pada suatu waktu Muhammad saw seperti biasa akan melewati jalan tempat biasanya beliau diludahi. Ketika tepat di jalan itu, Muhammad saw sudah bersiap-siap menerima ludahan itu. Sayangnya, tidak ada yang meludahinya. Muhammad saw heran, lalu bertanya-tanya tentang orang itu. Ternyata, orang itu sakit. Kemudian, Muhammad saw pun menengoknya. Orang itu pun kemudian masuk Islam, convert to Islam.

            Tuh, bagaimana luhurnya kesabaran Muhammad saw. Kita mah cuma dipanggil dengan panggilan buruk, harus lebih sabar. Tetaplah tenang kalau cuma diganggu dengan kata-kata, nggak akan terluka apa pun secara fisik. Kalau diganggu secara fisik atau diajak berantem, baru kita harus … ya … tetap sabar.

            Kalau diajak berantem, bilang aja, “Maaf saya sedang puasa.”

            Terus, dia marah, “Puasa apa? Bulan Puasa udah lewat!”

            Jawab saja, “Sedang puasa berantem.”

            Kalau dia datang lagi malamnya dan ngajak berantem lagi, jawab saja, “Saya masih puasa berantem.”

            “Masa puasa terus? Kapan bukanya? Kan sekarang sudah malam, maghrib sudah adzan, harusnya sudah buka!”

            Jawab lagi saja, “Kalaupun saya buka puasa berantem, saya pasti kalah berantem sama kamu.”

            “Jadi, kamu mengaku kalah?”

            “Iya benar.”

            “Takbir!”

            Jawab saja, “Takbir we olangan.”

            Terus, kalau dia pergi sambil takbir, biarkan saja karena itulah saatnya yang waras mesti ngalah.


Sampurasun.

Sulitnya Rekonsiliasi


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia yang telah selesai menggelar Pemiihan Presiden RI, 17 April 2019, ternyata masih belum beranjak dari situasi keterbelahan masyarakat. Sebetulnya, polarisasi itu sudah sangat mengecil, hanya di bawah 15% yang masih belum menerima kenyataan bahwa pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Amin yang telah memenangkan Pilpres tersebut. Akan tetapi, meskipun semakin mengecil, suara mereka membisingkan banyak orang dan dikhawatirkan memicu gejolak sosial yang negatif, seperti, kebencian yang kemudian berlanjut ke arah pertarungan fisik, terutama antarormas.

            Sulitnya rekonsiliasi ini diakui oleh para elit politik yang sudah move on dari situasi kampanye dan berusaha bergerak ke masa depan dengan berbagai rencana membangun bangsa dan negara. Mereka paham bahwa sudah tidak perlu lagi ada polarisasi di tengah masyarakat maupun di kalangan sebagian kecil elit.

            Tak kurang dari mantan Jubir BPN 02 Andre Rosiade menjelaskan bahwa situasi keterbelahan masyarakat ini karena masih ada elit dan masyarakat yang merasa kecewa akibat dari kekalahan Prabowo-Sandi oleh Jokowi-Amin. Oleh sebab itu, Andre memohon maklum atas masih banyaknya kekecewaan itu. Dia sendiri mengakui sempat sakit selama dua hari pasca-pembacaan keputusan sidang Mahkamah Konstitusi yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf Amin.

            Dia mengatakan hal itu ketika menjadi narasumber acara talk show di stasiun televisi MetroTV, Senin, 8 Juli 2019.

            Berdasarkan penjelasan dan pengakuan Andre Rosiade tersebut, masyarakat yang mayoritas sudah move on dari suasana Pilpres RI harus bersabar membiarkan situasi menjadi tenang mengikuti perjalanan waktu. Hal itu sebagaimana pepatah “biarkan waktu yang menyelesaikannya”. Meskipun demikian, tidak bisa kita hanya memaklumi mereka yang masih kecewa terus-menerus. Harus ada langkah-langkah nyata dari para petinggi partai dan Ormas pendukung Prabowo-Sandi yang berupaya keras untuk menenangkan situasi agar semakin cepat menyadari kenyataan bahwa Jokowi-Amin adalah pasangan yang legitimate untuk memimpin Indonesia hingga 2024. Bukan malah sebaliknya, semakin memanas-manasi situasi sehingga justru membuat semakin semrawut, baik pemikiran maupun tindakan.

            Mayoritas masyarakat harus maklum, tetapi para petinggi yang minoritas yang masih kecewa harus juga berperan keras untuk lebih membuat adem dan teduh situasi. Ingat, kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia jauh lebih penting daripada terus-menerus mengumbar kekecewaan dan mendiskusikannya berulang-ulang tanpa ada langkah berarti untuk mengakhirinya.


Sampurasun.

Sunday, 7 July 2019

Islam Tidak Akan Mulia dengan Hanya Bersila dan Teriak-Teriak Takbir


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Gairah ber-Islam tampak sangat tinggi. Semangat keagamaan di kalangan umat Islam sangat meningkat dan membanggakan. Keinginan untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin jelas terlihat.

            Meskipun demikian, kemuliaan Islam tidak pernah akan benar-benar terwujud nyata dalam kehidupan dunia ini jika umat Islam hanya terlalu gemar bersila mendengarkan ceramah, berdzikir, bergerombol kesana-kemari, lalu meneriakkan takbir keras-keras. Perilaku itu sesungguhnya bagus, tetapi menjadi tidak produktif jika ilmu yang didapat dari ceramah, dzikir, bersosialisasi sesama muslim itu tidak dipraktikan dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sangat tidak berguna jika meneriakkan takbir terlalu sering dengan suara keras-keras tanpa memahami untuk apa hal itu dilakukan.

            Kita harus bertanya apakah bergerombol dengan teriakan takbir itu untuk kemuliaan Islam atau untuk kepentingan politik tertentu?

            Sungguh, Islam tidak akan mulia hanya dengan bersikap seperti itu.

            Kemuliaan Islam akan tampak jelas terwujud dari sikap dan perilaku umat Islam sehari-hari dengan belajar keras, bekerja keras, dan berprestasi dengan niat lillahi taala sehingga memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan manusia. Umat Islam tahu bahwa Islam mengajarkan untuk selalu belajar, bekerja keras, dan memberikan manfaat bagi orang lain. Ajaran itu dimaksudkan agar Islam terwujud dengan jelas dalam kehidupan ini sebagai rahmat bagi semesta alam.

            Islam dan kaum muslim akan mulia jika ajaran Islam dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan dalam keadaan tidur. Islam dan kaum muslimin akan mulia jika memiliki prestasi dalam berbagai bidang kehidupan sehingga bermanfaat bagi alam semesta. Oleh sebab itu, muliakanlah Islam dan kaum muslimin dengan prestasi diri sesuai bidangnya masing-masing.


Sampurasun.

Tak Ada Gerakan Islam yang Sempurna


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hal pertama yang harus kita pahami adalah keharusan membedakan antara Islam dengan “gerakan Islam”. Islam adalah agama yang diyakini paling benar oleh para pengikutnya. Risalah yang dibawa oleh Muhammad saw adalah menyempurnakan ajaran Islam yang hadir sejak Adam as. Dengan demikian, Islam adalah agama yang paling sempurna. Adapun gerakan Islam adalah gerakan keagamaan yang dilakukan kelompok-kelompok manusia beragama Islam. Gerakan ini berwujud dan bernama organisasi-organisasi tertentu yang memiliki ciri khas sebagaimana yang diletakkan untuk menjadi dasar gerakan oleh para pendirinya atau para pemimpinnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam adalah agama, sementara gerakan Islam adalah kumpulan manusia beragama Islam.

            Gerakan-gerakan ini secara umum ingin melaksanakan dan menerapkan ajaran Islam secara berkelompok untuk mendapatkan pahala dan kebaikan sebagaimana yang diyakini. Hal ini merupakan upaya dan fenomena yang teramat baik dan sehat dalam kehidupan kaum muslimin. Akan tetapi, hal ini pun akan menjadi bencana ketika setiap organisasi ataupun gerakan mengklaim dirinya paling sempurna dan paling benar. Ingat yang sempurna itu Islam, bukan kumpulan manusia beragama Islam.

            Manusia itu memiliki kelebihan dan kekurangan, berpotensi benar dan salah. Demikian pula kumpulan manusia, kelompok, ataupun organisasi memiliki potensi benar dan salah serta kelebihan sekaligus kekurangan.

            Saling klaim sebagai organisasi atau jamaah yang paling benar, paling baik, dan paling sempurna adalah suatu kesalahan, bahkan bencana bagi keutuhan kaum muslimin. Tak ada yang sempurna dari setiap gerakan Islam. Semua memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Oleh sebab itulah, kaum muslimin harus menyadarinya agar setiap organisasi dapat belajar dari organisasi di luar dirinya. Energi gairah keislaman semestinya diarahkan untuk saling belajar dan bukan saling menyalahkan atau malah saling mengafirkan.

            Apabila sudah merasa diri sebagai paling benar, matilah ilmu pengetahuan, matilah kesadaran untuk belajar. Padahal, setiap muslim diwajibkan untuk belajar sejak buaian hingga liang lahat, ‘sejak lahir sampai liang kubur’.

            Apabila ada perbedaan dalam setiap organisasi, sikap toleran adalah hal pertama yang harus dilakukan. Apabila ingin diluruskan, berdebatlah dengan baik disertai dasar-dasar keilmuan yang jelas dengan meredam emosi yang menghancurkan. Berdebatlah sesuai dengan level partner debat dan jangan dengan orang yang berbeda level pemikiran karena akan memicu kesesatan berpikir dan membelokkan ajaran Islam itu sendiri. Hal yang paling penting adalah perdebatan itu haruslah didasari semangat cinta dan kasih sayang dalam rangka saling menasihati dan saling memberikan ilmu. Tak perlu memaksakan kehendak karena pada dasarnya Allah swt adalah Zat Yang Paling berhak memberikan petunjuk atau bahkan menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Kita hanya berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran, selebihnya urusan Allah swt.

            Tak ada gerakan Islam yang sempurna, belajarlah satu sama lain. Semoga Allah swt selalu memberikan petunjuk, perlindungan, dan kemenangan bagi kita. Amin.


Sampurasun.

Saturday, 6 July 2019

Hidup Lebih Produktif


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pernahkah kita berpikir bahwa ketika kita menonton televisi, film layar lebar, baik di bioskop atau lewat internet, memainkan game online atau offline, dan menggunakan Medsos, kita sebenarnya sedang menjadi pasar bagi orang lain?

            Stasiun televisi, rumah-rumah produksinya, produser dan pemain film, produser dan kreator game online dan offline, serta pemilik Medsos telah melahirkan karya-karya besar yang mampu menghasilkan uang banyak dari kita yang gemar menikmati karya-karya mereka. Mereka mendapatkan banyak iklan dan proyek-proyek baru. Sementara kita hanya menikmati karya mereka dan menghabiskan waktu secara sia-sia karena menikmati karya mereka secara berlebihan.

            Bukan tidak boleh menikmati hal-hal itu, melainkan harus ingat waktu, ingat budget, dan ingat bahwa kita pun harus berkarya minimal untuk diri kita sendiri. Boleh menikmati hal-hal tersebut, tetapi jangan berlebihan. Kita harus berupaya berkarya untuk memproduksi sesuatu yang bisa dinikmati dan lebih bermanfaat bagi orang lain. Jika kita hanya menghabiskan waktu dan uang untuk hal-hal itu tanpa melahirkan karya yang bermanfaat, berarti hidup kita dalam kesia-siaan.

            Sebagai umat Islam, kita tidak boleh menganggur karena Muhammad Rasulullah saw tidak menyukai pengangguran.

            Muhammad saw pernah berkata, “Jika kamu tahu bahwa besok adalah hari kiamat, tetapi kamu lihat ada biji kurma yang bisa ditanam, tanamlah biji kurma itu.”

            Coba bagaimana itu?

            Besok adalah kiamat yang menghancurkan, tetapi tetap harus menanam biji kurma. Intinya, umat Islam tidak boleh diam, harus aktif bergerak, berkarya.

            Pernah pula dalam waktu yang lain Muhammad saw menegaskan, “Apabila umat muslim ketika bangun tidur belum memiliki rencana untuk melakukan sesuatu, pijit-pijitlah kakinya.”

            Jangan diam, bergeraklah, berkaryalah.

            Umat Islam tidak boleh hanya menjadi pasar, tetapi juga harus menjadi produsen hal-hal yang inovatif dan bermanfaat bagi orang banyak. Dengan demikian, terjadi peningkatan kualitas hidup dan kemuliaan diri yang insyaallah diridhoi Allah swt.


Sampurasun

Friday, 5 July 2019

Jangan Menukar Kasus Hukum dengan Kepentingan Politik


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa media main stream dalam liputan maupun acara-acara talk show mengisyarakatkan seolah-olah adanya prasyarat yang diberikan untuk terjadinya rekonsiliasi antara Jokowi, selaku presiden terpilih, dengan Prabowo, mantan saingannya dalam Pilpres 2019. Prasyarat itu berupa keinginan pembebasan ratusan orang yang sedang ditahan pihak kepolisian atau tersangkut hukum, misalnya, Rizieq Shihab, Bahar bin Smith, mereka yang diklaim ulama dan dianggap dikriminalisasi, serta lainnya terkait pelanggaran UU ITE, penghinaan, dan atau dugaan makar. Tentunya, prasyarat ini tidak diucapkan dengan tegas atau diminta secara resmi. Akan tetapi, situasi seperti itu terasa benar dan tergambar dalam beberapa acara talk show di televisi. Mungkin kondisi ini sama sekali tidak terjadi dan itu hanya perasaan masyarakat seperti saya dalam arti tak ada satu pun yang memberikan syarat untuk terjadinya rekonsiliasi semacam pertukaran kasus hukum dengan situasi politik ataupun terjadinya rekonsiliasi.

            Kalau memang itu tidak terjadi dan cuma perasaan masyarakat, terutama saya, bagus sekali. Akan tetapi, sangat disayangkan jika memang benar-benar terjadi.

            Rekonsiliasi itu upaya memperbaiki hubungan seperti keadaan sebelum terjadi perbedaan atau  menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Mungkin memerlukan kondis-kondisi tertentu untuk terjadinya rekonsiliasi. Akan tetapi, jika harus menukar dengan kasus-kasus hukum, sangatlah disayangkan. Negeri ini bisa terjerumus ke dalam situasi ketika “politik adalah panglima”, padahal kita tahu sudah sejak lama bahwa masyarakat berjuang agar “hukum menjadi panglima”. Sebaiknya, biarkanlah kasus hukum itu berjalan dengan segala kesulitan dan kemudahannya, hormati hasilnya dan tidak perlu dipertukarkan dengan apa pun. Ada bahaya yang akan timbul jika kasus hukum bisa dipertukarkan dengan politik. Pada masa depan bisa terjadi bahwa setiap Pilpres akan menjadi ajang memanfaatkan situasi untuk menukarkan kasus hukum dengan politik dengan dalih apa pun.

            Biarlah kasus hukum berjalan dengan terang benderang karena ini menyangkut kepentingan orang banyak, kepastian dalam keadilan dan ketertiban, serta keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara. Jadi, jangan tukarkan kasus hukum siapa pun dia dengan kepentingan politik. Biarkanlah berjalan sendiri dengan normal. Kalaupun ada kelemahan, perbaiki pada masa depan. Kalaupun Presiden ingin menggunakan haknya dalam memberikan amnesti, abolisi, grasi, ataupun rehabilitasi, terserahlah, tetapi yang jelas segalanya harus terang-benderang dan transparan, tidak menyisakan ruang gelap yang tidak bisa dipahami masyarakat.

            Mudah-mudahan saya salah memandang dalam arti tak ada yang memberikan syarat bahwa rekonsiliasi bisa berjalan asal beberapa kasus hukum bisa diintervensi. Kalau memang ada syarat seperti itu, lalu dipenuhi, negeri ini bisa tertarik ke belakang sejarahnya sendiri dan tidak maju melangkah ke arah yang lebih baik, lebih adil, lebih tenteram, dan lebih transparan.


Sampurasun.

Beda Antara Rekonsiliasi dan Legitimasi


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Setelah memperhatikan komentar-komentar di Media Sosial mengenai situasi politik akhir-akhir ini, ada hal yang menarik, terutama mengenai ajakan rekonsiliasi dari Presiden Jokowi kepada rival utamanya Prabowo Subianto bersama para pendukungnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pasangan Capres 01 Jokowi-Maruf Amin berhasil mengalahkan pasangan Capres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Setelah menang, Jokowi mengajak untuk melakukan rekonsiliasi kepada Prabowo. Rekonsiliasi itu ternyata sulit terlaksana.

            Masyarakat bertanya-tanya mengapa itu sulit dilakukan?

            Berbagai dugaan pun bertebaran mulai dari kurang besarnya jiwa dalam menghadapi kekalahan, kecurigaan atas meningkatnya peluang komunisme, hingga Jokowi mencari legitimasi untuk kekuasaan yang telah diraih untuk kedua kalinya sebagai presiden Republik Indonesia. Adalah sangat tidak masuk akal jika Jokowi mengajak rekonsiliasi untuk mencari legitimasi. Seolah-olah sengaja Jokowi-Prabowo dihalangi untuk rekonsiliasi supaya Jokowi-Amin tidak legitimate dan tidak bisa dilantik menjadi Presiden dan Wapres RI untuk periode 2019-2024. Bahkan, masih ada yang bermimpi bahwa Prabowo Subianto yang akan dilantik menjadi presiden RI periode 2019-2024. Hal ini sungguh sangat mengherankan.


Legitimasi Jokowi-Amin
Legitimasi itu memiliki pengertian “pengakuan, penerimaan, persetujuan, dan pengesahan”.

            Legitimasi bagi Jokowi-Maruf Amin sebagai presiden-Wapres RI terpilih sudah sangat kuat. Mereka dipilih oleh 85 juta rakyat Indonesia, dikuatkan oleh hasil Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), ditetapkan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan diakui kemenangannya oleh lebih dari empat puluh negara di dunia.

            Kurang legitimate apa lagi mereka?

            Jokowi-Amin tetap legitimate meskipun rekonsiliasi tidak terjadi. Pelantikan mereka tidak dipengaruhi oleh rekonsiliasi. Pelantikan jalan terus meskipun sebagian kecil masyarakat Indonesia tidak mengakuinya, tidak menyetujuinya, bahkan membencinya.

            Dalam kenyataannya, setiap presiden di Indonesia dan di seluruh dunia ini tidak selalu disetujui oleh 100% rakyatnya. Selalu saja ada yang tidak suka dan tidak setuju. Akan tetapi, presiden terpilih tetap legitimate untuk memimpin penyelenggaraan negara.

            Adalah hal yang sia-sia jika menghalangi rekonsiliasi agar Jokowi-Amin tidak legitimate, apalagi berharap tidak dilantik, bahkan kalah oleh Prabowo-Sandi.


Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo
Rekonsiliasi mengandung arti “memulihkan keadaan ke keadaan sebelumnya sebelum terjadi perbedaan atau menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada”. Rekonsiliasi itu sangat berguna untuk meredam ketegangan, menciptakan suasana adem dan tenang.

            Adalah perilaku yang sangat mulia jika mengupayakan jalannya rekonsiliasi untuk kebaikan bersama. Kalau di antara manusia terjadi perselisihan/pertengkaran, adalah hal yang teramat mulia bagi pihak-pihak yang mengupayakan terjadinya rekonsiliasi. Sebaliknya, teramat buruklah mereka yang menghalang-halangi terjadinya rekonsiliasi. Jika dua orang bertengkar/berselisih bahkan bermusuhan, orang yang berupaya keras untuk memulihkan hubungan pasti jauh lebih baik dibandingkan mereka yang terus-menerus memelihara permusuhan. Begitulah hal yang saya pahami dalam ajaran Islam yang saya yakini penuh cinta, kasih, sayang, perdamaian, dan rahmat bagi semesta alam.

            Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo sangat diperlukan untuk meredakan ketegangan dan mempersatukan bangsa untuk melangkah ke masa depan. Hal ini tidak terkait langsung dengan legitimasi Jokowi-Amin karena mereka sudah legitimate dengan atau tanpa terjadinya rekonsiliasi.

            Terjadinya rekonsiliasi adalah untuk meneduhkan suasana berbangsa dan bernegara hingga berjalan beriringan saling bahu dan saling mengingatkan untuk kebaikan bersama.


Sampurasun.