oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Rasulullah Muhammad saw
sering sekali menasihati sahabatnya untuk tidak marah karena ketika kita marah,
syetan masuk melalui pintu itu untuk menguasai manusia sehingga manusia
tersesat dan dirinya terbakar amarah yang merusakkan dirinya dan lingkungannya.
Muhammad saw selalu mengajarkan kesabaran dan kesantunan sekalipun menghadapi
hinaan dan cacian yang sangat menyakitkan. Makin sabar, makin hebat orang itu
dalam mengendalikan dirinya, makin mulia dirinya.
Akan tetapi, bolehkah kita marah?
Boleh, asal marah karena Allah swt, bukan karena
mengumbar emosi.
Tulisan ini tidak hendak membahas apa itu yang disebut
marah karena Allah swt. Banyak buku yang membahas itu, baca saja. Banyak pula
ulama yang sangat memahami hal itu, dengarkan saja mereka.
Saya hanya ingin berbagi tentang kisah yang saya dapatkan
sejak kecil dari guru ngaji saya. Jika ada yang pernah tahu kisah ini, baik
sama maupun beda versi, saya sangat senang mengetahuinya.
Di dalam suatu perang, Ali bin Abi Thalib ra bertarung
dengan penuh semangat. Dalam sebuah duel bersenjatakan pedang, Ali ra berhasil
membuat pedang musuhnya terlempar. Musuhnya yang kafir itu pun jatuh terduduk.
Ketika Ali hendak menebas lehernya, musuhnya mendongak dan menatap wajah Ali,
lalu ia meludahi wajah Ali. Seketika itu Ali berhenti dan pergi meninggalkan
musuhnya. Dia tidak jadi menebas leher musuhnya.
Kenapa?
Ali bin Abi Thalib ra adalah orang cerdas, berilmu
tinggi, dan pandai dalam mengelola hati. Ketika berperang dengan penuh semangat,
niat dalam hatinya adalah untuk menegakkan kebenaran, keadilan, serta menjaga
hak dan kehormatan yang memang diperintahkan Allah swt. Artinya, ketika melawan
musuh-musuhnya, kemarahan dalam hati Ali adalah “marah karena Allah swt”. Akan
tetapi, ketika dia diludahi wajahnya oleh musuhnya, segera sadar bahwa “marah
karena Allah swt” sudah hilang dalam dirinya. Kemarahan yang ada dan tertinggal
di hatinya adalah disebabkan rasa tersinggung dan terhina karena wajahnya
diludahi. Dia tahu bahwa marah karena hal itu adalah tidak baik bagi “kesehatan
hati dan jiwanya”. Baginya, hal itu adalah buruk. Oleh sebab itu, Ali
meninggalkan musuhnya karena dirinya tak ingin marah bahkan membunuh musuh
gara-gara disebabkan oleh hawa nafsunya sendiri. Dia ingin hatinya terjaga
hanya untuk Allah swt dan bukan bertindak marah atas dorongan hawa nafsu
pribadinya.
Begitulah Ali ra dalam mengelola hatinya.
Belajar dari mana dia?
Dari mertuanya, Muhammad saw.
Kita bisa belajar dari peristiwa itu sehingga sebelum
marah, kita bisa cek hati kita.
Apakah kita marah karena Allah swt atau karena emosi
akibat hawa nafsu yang terbakar dan membakar diri?
Susah? Sulit?
Benar.
Akan tetapi, begitulah kaum muslim dituntut untuk pandai
mengendalikan diri. Tidak mudah marah hanya karena terhina, apalagi marah hanya
karena ikut-ikutan orang lain yang marah dengan niat sama sekali tidak jelas.
Sampurasun