oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Untuk memberikan keterangan
yang bisa dipertanggungjawabkan tentang Covid-19/virus corona, sebetulnya
pemerintah sudah membuat situs resmi dari tingkat pusat hingga daerah agar
masyarakat tidak terjebak dan tertipu oleh status-status Medsos abal-abal yang
banyak mengandung hoax. Di samping itu, masyarakat pun dapat mengikuti berita
dari “media-media mainstream” yang
jelas perusahaannya dan menggunakan prinsip-prinsip serta etika jurnalistik,
bukan dari akun-akun Medsos yang ngaku-ngaku media serta gemar mengedit foto
dan judul berita sehingga menyesatkan orang.
Sayangnya, banyak sekali orang yang justru lebih suka
percaya pada sebaran postingan dari akun-akun pribadi yang tidak resmi, mungkin
karena lebih seru dan heboh. Padahal, di Hp-nya ada “link” yang menuju situs-situs resmi. Akibatnya, orang-orang jadi
panik dan ketakutan berlebihan. Bahayanya, jika dibiarkan, akan menjadi
paranoid dan itu sudah menjadi penyakit mental. Seolah-olah dirinya selalu
merasa terancam akan mati dibunuh, dianiaya, disakiti oleh sesuatu yang sebetulnya
tidak seperti dalam kenyataannya. Penyembuhannya harus di rumah sakit jiwa
kalau sudah seperti ini.
Hal yang diharapkan dari “social distancing” atau pembatasan interaksi manusia ini adalah
sikap waspada dan kehati-hatian yang tinggi ketika beraktivitas. Tidak perlu ke
luar rumah jika tidak penting-penting amat. Jangan di luar rumah terlalu lama,
jaga kebersihan, tetap hidup sehat, konsumsi makanan sehat, lindungi diri dan
orang lain dari penyakit, tetap beribadat dengan baik. Dengan demikian, kita
dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Itu yang diharapkan, bukan
kepanikan, ketakutan berlebihan, bahkan paranoid.
Ada kisah seorang wali atau aulia atau orang mulia kadang
pula disebut orang saleh yang berdiskusi dengan wabah penyakit. Sang Wabah
menyatakan bahwa dirinya diutus Allah swt untuk membunuh seribu orang di suatu
wilayah. Akan tetapi, dalam kenyataannya 50.000 orang yang mati.
Sang Wali bertanya, “Bukankah engkau diutus untuk
membunuh seribu orang, tetapi kenapa yang mati 50.000 orang?”
Sang Wabah menjawab, “Aku memang membunuh seribu orang,
yang 49.000 orang lagi mati karena panik.”
Hal ini mirip seperti yang dikatakan Ibnu Sina, orang
barat menyebutnya Avicena, Bapak Ilmu
Kedokteran Dunia. Kalau tidak salah, dia pernah mengatakan bahwa kepanikan bisa
mempercepat kematian, ketenangan mempermudah kesembuhan, dan kesabaran adalah
awal dari kesembuhan. Koreksi jika saya salah mengisahkan.
Hal ini pun seperti yang sering saya dengar waktu masih
kecil. Jalan menuju rumah orangtua saya itu
lurus berhadapan dengan kamar mati Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS),
Bandung. Di sampingnya ada Masjid Asy Syifa. Sekarang kamar mati dan masjid itu
sudah pindah posisi karena pembangunan RSHS. Jalan itu hanya dipisahkan oleh
Jln. Sukajadi dan sebuah taman yang kadang disebut Lapang Kawat karena banyak
kawat, kadang pula disebut Lapang Abo karena ada Mang Abo yang sering nangkring
di situ. Di pinggir lapang ada sekolah kedokteran gigi, di belakangnya ada
sekolahan ahli gizi. Pokoknya, di sana itu banyak ahli kesehatan. Mereka banyak
yang kost dekat rumah saya. Oleh sebab itu, mereka sering ngobrol dengan ayah
saya. Saya kerap menguping obrolan mereka.
Dari obrolan mereka, saya dengar bahwa 60% pasien RSHS,
baik yang rawat inap maupun rawat jalan, sebenarnya tidak sakit. Mereka hanya
“merasa sakit”. Perasaan saja. Pasien yang benar-benar sakit hanya 40%. Dari
hal itu, kita bisa belajar bahwa rasa panik itu memang bisa membuat sakit yang
sebetulnya tidak perlu sakit.
Dalam situasi seperti ini yang bisa membuat orang panik,
cobalah tenangkan diri. Banyak metode untuk menenangkan diri, bisa shalat,
dzikir, memikirkan hal-hal positif, kontemplasi, meditasi, dan lain sebagainya.
Kalau mau mencoba cara seperti saya, silahkan saja.
Sebagai seorang muslim, tentu saja saya melakukan peribadatan sebagaimana
seorang muslim. Di samping itu, gunakan bawang merah. Ini berawal dari
percobaan menarik, lalu menghubungkan beberapa kejadian terkait bawang merah.
Saya membaca sebuah tulisan tentang khasiat bawang merah yang merupakan magnet
bagi berbagai virus. Dalam tulisan itu yang penulisnya mengaku seorang dokter
pernah memeriksa bawang yang telah dikupas dan disimpan di dalam rumah.
Ternyata, setelah diteliti di dalam bawang itu banyak virus yang telah
menghitam dan mati. Penghuni rumah tidak pernah terserang penyakit flu/influenza.
Oleh sebab itu, dia menyarankan jangan menyimpan bawang merah yang telah
dikupas karena menyedot virus. Buang saja, kecuali untuk segera dimasak. Lebih
dari satu hari sudah bisa dipenuhi virus.
Saya tiba-tiba teringat nenek saya yang sering merangkai
bawang merah dan bawang putih yang telah dikupas, lalu digabungkan/dijahit
seperti tasbih dengan cabe merah yang telah dibelah pula sehingga kelihatan
isinya. Dia menyebutnya “panglay” atau
“pangle”. Lalu, disimpan di pinggir
kasur tempat tidur. Dulu saya menganggapnya takhayul, mengada-ada karena itu
katanya untuk mengusir hantu atau roh jahat.
Ketika saya baru punya anak satu, masih bayi, lalu
membeli rumah di daerah Jln. Caringin, Bandung, mertua saya pun melakukan hal
yang sama, merangkai bawang merah, bawang putih, dan cabe, bahkan ditambah
jarum-jarum kecil. Katanya untuk mengusir hantu atau energi negatif dari rumah.
Kali ini saya benar-benar ngeyel, saya
buang panglay itu, lalu saya membeli kentongan yang berbentuk cabe merah, besar
sekali.
Saya bilang sama istri saya, “Kalau ada hantu atau roh
jahat, pukul saja sama kentongan ini. Kentongan cabe ini mah keras dan besar,
cabe yang itu mah kecil, mudah busuk lagi.”
Istri saya diam saja. Tidak marah dan tidak juga setuju.
Biasa saja.
Akan tetapi, saat ini ketika Covid-19 mewabah, kemudian
membaca tulisan tentang khasiat bawang merah, saya ingat sama nenek dan mertua
saya. Mungkin yang dimaksud mereka hantu dan roh jahat itu adalah virus
penyakit, salah satunya penyakit flu yang dijelaskan dokter peneliti tadi.
Apalagi setelah ada imbauan dari Ketua Forum Ulama Sufi Dunia Habib Luthfi bin
Yahya yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden bahwa untuk menghindari
virus corona adalah dengan cara memakan tiga siung bawang merah yang telah
dikupas, lalu membaca shalawat sebanyak 1.616 kali. Saya makin penasaran dengan
khasiat bawang merah itu. Menurut Habib Luthfi, virus corona takut sama bawang
merah.
Ketika istri saya, anak pertama, dan anak kedua
batuk-batuk ditambah sedikit flu serta tidak sembuh-sembuh padahal sudah
berobat, saya khawatir berat. Pada masa ini, masa “social distancing”, untuk mencegah penyebaran virus corona, saya
memang rada cemas. Saya pun membeli obat brochifar ke toko obat, tetapi hari
ke-5 tidak juga berkurang batuknya, bahkan malam-malam hingga subuh terus saja mereka
batuk-batuk.
Saya mulai mencoba khasiat bawang merah itu berdasarkan
pengalaman nenek saya, mertua, tulisan tentang bawang merah, dan anjuran Habib
Luthfi bin Yahya. Saya kupas tiga siung bawang merah dan mengunyahnya, lalu
membaca shalawat. Memang ada rasa hangat ke pangkal hidung, sedikit manis,
tetapi ke sananya “pahang” atau
serasa “pengar”. Membaca shalawat
ketika baru mengunyah bawang merah memang menimbulkan rasa hangat yang khas di
mulut dan hidung. Besoknya, pukul 04.00 Wib, subuh, saya kupas lagi tiga siung
bawang merah, lalu digabungkan pakai tusuk sate hingga berbentuk seperti sate,
lalu disimpan di ruang tengah. Bagusnya sih di setiap kamar ada. Saya mempunyai
empat kamar tidur, biar nanti saja pemilik kamarnya masing-masing yang bikin
sate bawang itu. Saya hanya mencobanya satu saja di ruang tengah.
|
Sate Bawang Merah Mentah |
Setelah sate bawang merah mentah itu disimpan di ruang
tengah, saya bilang sama anak saya yang ketiga,
bungsu, “Mari kita hitung berapa kali mereka batuk hari ini.”
Memang yang tidak batuk dan flu hanya saya dan anak
bungsu saya.
Eh, ajaib. Setelah dipasang bawang merah, tak terdengar
ada batuk. Sebelumnya, kalau subuh hari, batuknya keras dan sering. Sekarang
tidak terdengar. Mereka mulai batuk lagi empat jam kemudian, itu pun tidak
sering. Lalu, siang batuk lagi. Malam batuk lagi. Besoknya, makin berkurang
batuknya, hanya satu atau dua kali. Makin hari, makin tidak terdengar. Hari ini
pun ketika saya mengetik tulisan ini, tak ada batuk yang parah. Mereka tambah
sehat, aktivitasnya makin baik.
Saya tidak tahu apakah mereka sembuh karena memang sudah
berobat seminggu yang lalu, ditambah brochifar yang saya beli, atau memang karena
ditambah dengan bawang merah yang menyedot berbagai virus. Hal yang jelas
adalah mereka sembuh, saya dan anak yang bungsu tidak sedikit pun tertular
batuk dan flu. Di samping itu, saya semakin tenang karena semua sehat.
Meskipun demikian, jika ada yang mencoba seperti saya
ini, menggunakan bawang merah, jangan menantang virus. Tetap saja di rumah,
jangan ke luar jika tidak terpaksa, banyak ibadat, makan makanan sehat, cukup
istirahat, dan usahakan berpikir positif. Percobaan terhadap bawang merah ini,
sungguh membuat saya tidak panik, tidak takut berlebihan, tetapi tetap waspada
dan selalu berhati-hati di mana saja.
Sampurasun.