Tuesday, 31 March 2020

Beratnya Mengikuti Syekh Abdul Qadir Jaelani

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Syekh Abdul Qadir Jaelani pernah menulis buku yang berjudul “Futuh Al Ghayb” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Penyingkap Kegaiban”. Buku terjemahan ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan, 1994, Cetakan ke VII, Bandung.

            Dalam tulisannya Syekh Abdul Qadir Jaelani menjelaskan bahwa jika kita ditimpa bencana, jangan sekali-sekali melawannya. Berdoa untuk menghilangkan bencana itu pun jangan. Kalaupun mau, berdoalah agar kita kuat menghadapi bencana dan tetap mampu berbuat baik dalam masa bencana tersebut. Hal itu disebabkan memang bencana itu datang pada masanya, pada waktunya. Bencana sudah pasti datangnya dan pasti juga menghilangnya. Syekh mencontohkan bencana itu ibarat malam yang dimulai dengan sore hari. Waktu sore hingga gelap malam itu sudah pasti datangnya, tak bisa ditolak. Sehebat apapun kita menolak malam, kita pasti kalah, malam pasti terjadi. Kalaupun kita berdoa pada malam hari agar Matahari terbit, tidak akan dikabulkan.

            Semakin malam, semakin dingin, semakin menggigil, semakin gelap, bahkan menjelang subuh, udara dingin semakin menggigit.

            Akan tetapi, “Ingatlah”, kata Syekh, “Semakin gelap, semakin dingin, semakin menderita, itu pertanda sebentar lagi fajar tiba.”

            Matahari akan terbit, lalu menyinari kita dengan kehangatan dan kebahagiaan, terang-benderang.

            Berdasarkan pendapat Syekh Abdul Qadir Jaelani,  kalau kita ibaratkan bahwa bencana wabah Covid-19 itu adalah malam hari, wabah ini tak bisa ditolak. Dilawan pun kita kalah, bencana tetap ada. Kalaupun berdoa agar wabah cepat hilang, tak akan dikabulkan karena memang sedang waktunya datang ibarat malam hari yang tak akan berganti siang sebelum waktunya tiba. Sebaiknya, berdoalah agar kita tetap mampu berbuat baik. Jadikan wabah ini untuk memahami berbagai hal, saling peduli, introspeksi diri, meningkatkan ilmu kedokteran, meningkatkan berbagai ilmu sosial, meningkatkan kebersamaan, bekerja sama secara positif antara pemerintah dan masyarakat, serta hal positif lainnya.

            Bencana wabah ini semakin mengerikan bagai malam yang makin larut. Akan tetapi, semakin mengerikan, itu pertanda wabah akan meninggalkan kita, sebagaimana dinginnya larut malam, pertanda datangnya fajar.

            Berat memang mengikuti nasihat Syekh Abdul Qadir Jaelani karena kenyataannya memang kita mencoba melawan dan terus melawan sambil berdoa agar wabah ini hilang. Sementara itu, Abdul Qadir Jaelani menasihati jangan melawan dan kalau berdoa pun, tak akan dikabulkan. Berat memang mengikuti pemikiran Syekh. Orang seperti saya memang sulit mencernanya karena saya bukanlah orang hebat seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.

            Meskipun demikian, kata Syekh, dalam keadaan bencana, tetaplah kita harus berbuat baik. Kita harus tetap bekerja, tetap belajar, tetap beraktivitas meskipun harus dari dalam rumah dan mengatur jarak fisik dengan orang-orang di sekitar kita. Oleh sebab itu, bagi para siswa lulusan SMA/SMK/MA dan mereka yang belum kuliah atau pernah terhenti kuliahnya, saya mengajak jangan patah semangat untuk berbuat dan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan sesuai ketertarikan diri terhadap ilmu-ilmu tertentu. Dalam masa wabah yang mengerikan ini, kita tetap harus merancang masa depan kita agar ketika masa bencana wabah ini diangkat dan dihilangkan Allah swt, kita mampu meneruskan hidup kita dengan lebih baik. Saya mengajak untuk sama-sama menuntut ilmu di Universitas Al-Ghifari dan sama-sama mengejar mimpi masa depan yang lebih baik lagi. Ada banyak ilmu yang dapat dipelajari di Universitas Al-Ghifari.




            Esok Masih Ada, insyaallah.

            Sampurasun.

Sunday, 29 March 2020

Pait Daging Pahang Tulang

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
“Pait daging pahang tulang”, ‘pahit daging pengar tulang’. Itu doa yang sering diucapkan nenek saya buat saya ketika masih kecil. Maksudnya, dia berharap saya sehat selalu, dilindungi Allah swt dengan daging saya yang pahit dan tulang saya yang pahang/pengar sehingga tidak disukai kuman-kuman, virus-virus penyakit. Kalau daging saya pahit, darah pun pahit. Demikian pula tulang jika pahang, tidak disukai penyakit. Artinya, saya jauh dari penyakit, sehat selalu.

            Oh ya, “pahang” itu bahasa Sunda dan saya belum menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Pahang itu adalah sebuah rasa di lidah yang tidak enak dan berbau mirip-mirip tengik di hidung. Pokoknya begitulah.

            Kalau daging saya manis, darah saya juga legit, tulang saya gurih, penyakit akan menyukainya. Tubuh kita jadi sarang penyakit. Kalimatnya jadi “manis daging gurih tulang”, artinya disukai dan digemari kuman dan virus penyakit.

            Salah satu cara supaya daging kita pahit dan tulang kita pahang adalah rajin memakan yang pahit-pahit. Di tengah wabah virus corona ini saya jadi ingat bagaimana saya diajari Nenek makan makanan yang pahit-pahit, misalnya, paria, daun singkong, dan daun pepaya. Saya pun mencari-cari di kebun samping dan belakang rumah. Alhamdullillah, ada. Sayuran pahit itu tentu saja harus dicuci hingga bersih dan dimakan mentah-mentah. Supaya tidak terlalu pahit, pakai sambal ditambah sedikit ikan asin, tempe, sayur kacang merah, lalu nasinya baru matang, ngebul. Kalau pake kerupuk, tambah nikmat.


Daun Singkong Muda dan Jambu Biji Mempunyai Khasiat untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh

            Ketika saya memetik daun muda pepaya, tetangga saya bertanya sambil menjemur bayinya telanjang bulat, “Mau direbus dulu ya, Pak?”

            Eh, yang telanjang itu bukan tetangga saya, tetapi bayinya yang berusia tiga bulan.

            “Nggak, Bu. Mau dimakan mentah-mentah. Saya diajarin nenek saya begitu.”

            “Wah, Pak Tom kuat makan yang pahit?”

            “Insyaallah, Bu.”

            Saya sebenarnya tidak tahu, apakah aman direbus dulu atau dimakan mentah-mentah. Akan tetapi, saya khawatir jika direbus dulu, zat-zat positif di sayuran itu mati. Entahlah, para ahli yang lebih tahu soal ini. Saya cuma ngikutin cara nenek saya saja.

Daun Singkong Muda, Paria, Daun Pepaya Muda, Paria, dan Sintrong yang Bermanfaat
            Saya sudah ikuti anjuran Habib Luthfi makan tiga siung bawang merah (saya mengunyahnya dua hari sekali), sekarang makan sayuran pahit yang diajarin nenek saya. Intinya, itu adalah upaya atau ikhtiar untuk tetap sehat di tengah perang dengan wabah Covid-19. Memang urusan mati itu urusan Allah swt, tetapi kita memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatan dan tubuh yang diberikan Allah swt kepada kita.   

            Pemerintah sudah berusaha mendatangkan obat, melengkapi fasilitas kesehatan, program “physical distancing”, ‘menjauhkan jarak tubuh dengan orang lain’, dan sebagainya. Kita pun bisa berusaha sendiri dengan cara mengikuti anjuran pemerintah dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap penyakit, salah satunya dengan memakan konsumsi yang pahit-pahit, tetapi menyehatkan.

            Ibu saya pernah melihat nyamuk mendekati tangan adiknya, paman saya, tetapi ketika makin dekat, nyamuk itu pergi lagi dengan gerakan kaget, takut, lalu menjauhi paman saya. Salah satu penjelasannya adalah paman saya sering mengonsumsi yang pahit-pahit.

            “Sing pait daging pahang tulang”. Jangan sampai “manis daging gurih tulang”.

            Jangan terlalu sering makan yang enak-enak, yang manis-manis, apalagi kalau harganya mahal-mahal. Enak makannya, nggak enak bayarnya. Daging dan tulang kita bisa manis dan gurih buat kuman atau virus.

            Buatlah tubuh kita tidak disukai penyakit, bukan digemari penyakit untuk dijadikan sarang bagi kuman dan virus.

            Jagalah tubuh mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan mulai saat ini juga.

            Sampurasun.

Saturday, 28 March 2020

Jangan Parno, Bawang Merah Aja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Untuk memberikan keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang Covid-19/virus corona, sebetulnya pemerintah sudah membuat situs resmi dari tingkat pusat hingga daerah agar masyarakat tidak terjebak dan tertipu oleh status-status Medsos abal-abal yang banyak mengandung hoax. Di samping itu, masyarakat pun dapat mengikuti berita dari “media-media mainstream” yang jelas perusahaannya dan menggunakan prinsip-prinsip serta etika jurnalistik, bukan dari akun-akun Medsos yang ngaku-ngaku media serta gemar mengedit foto dan judul berita sehingga menyesatkan orang.

            Sayangnya, banyak sekali orang yang justru lebih suka percaya pada sebaran postingan dari akun-akun pribadi yang tidak resmi, mungkin karena lebih seru dan heboh. Padahal, di Hp-nya ada “link” yang menuju situs-situs resmi. Akibatnya, orang-orang jadi panik dan ketakutan berlebihan. Bahayanya, jika dibiarkan, akan menjadi paranoid dan itu sudah menjadi penyakit mental. Seolah-olah dirinya selalu merasa terancam akan mati dibunuh, dianiaya, disakiti oleh sesuatu yang sebetulnya tidak seperti dalam kenyataannya. Penyembuhannya harus di rumah sakit jiwa kalau sudah seperti ini.

            Hal yang diharapkan dari “social distancing” atau pembatasan interaksi manusia ini adalah sikap waspada dan kehati-hatian yang tinggi ketika beraktivitas. Tidak perlu ke luar rumah jika tidak penting-penting amat. Jangan di luar rumah terlalu lama, jaga kebersihan, tetap hidup sehat, konsumsi makanan sehat, lindungi diri dan orang lain dari penyakit, tetap beribadat dengan baik. Dengan demikian, kita dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Itu yang diharapkan, bukan kepanikan, ketakutan berlebihan, bahkan paranoid.

            Ada kisah seorang wali atau aulia atau orang mulia kadang pula disebut orang saleh yang berdiskusi dengan wabah penyakit. Sang Wabah menyatakan bahwa dirinya diutus Allah swt untuk membunuh seribu orang di suatu wilayah. Akan tetapi, dalam kenyataannya 50.000 orang yang mati.

            Sang Wali bertanya, “Bukankah engkau diutus untuk membunuh seribu orang, tetapi kenapa yang mati 50.000 orang?”

            Sang Wabah menjawab, “Aku memang membunuh seribu orang, yang 49.000 orang lagi mati karena panik.”

            Hal ini mirip seperti yang dikatakan Ibnu Sina, orang barat  menyebutnya Avicena, Bapak Ilmu Kedokteran Dunia. Kalau tidak salah, dia pernah mengatakan bahwa kepanikan bisa mempercepat kematian, ketenangan mempermudah kesembuhan, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan. Koreksi jika saya salah mengisahkan.

            Hal ini pun seperti yang sering saya dengar waktu masih kecil. Jalan menuju rumah orangtua saya itu  lurus berhadapan dengan kamar mati Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Di sampingnya ada Masjid Asy Syifa. Sekarang kamar mati dan masjid itu sudah pindah posisi karena pembangunan RSHS. Jalan itu hanya dipisahkan oleh Jln. Sukajadi dan sebuah taman yang kadang disebut Lapang Kawat karena banyak kawat, kadang pula disebut Lapang Abo karena ada Mang Abo yang sering nangkring di situ. Di pinggir lapang ada sekolah kedokteran gigi, di belakangnya ada sekolahan ahli gizi. Pokoknya, di sana itu banyak ahli kesehatan. Mereka banyak yang kost dekat rumah saya. Oleh sebab itu, mereka sering ngobrol dengan ayah saya. Saya kerap menguping obrolan mereka.

            Dari obrolan mereka, saya dengar bahwa 60% pasien RSHS, baik yang rawat inap maupun rawat jalan, sebenarnya tidak sakit. Mereka hanya “merasa sakit”. Perasaan saja. Pasien yang benar-benar sakit hanya 40%. Dari hal itu, kita bisa belajar bahwa rasa panik itu memang bisa membuat sakit yang sebetulnya tidak perlu sakit.

            Dalam situasi seperti ini yang bisa membuat orang panik, cobalah tenangkan diri. Banyak metode untuk menenangkan diri, bisa shalat, dzikir, memikirkan hal-hal positif, kontemplasi, meditasi, dan lain sebagainya.

            Kalau mau mencoba cara seperti saya, silahkan saja. Sebagai seorang muslim, tentu saja saya melakukan peribadatan sebagaimana seorang muslim. Di samping itu, gunakan bawang merah. Ini berawal dari percobaan menarik, lalu menghubungkan beberapa kejadian terkait bawang merah. Saya membaca sebuah tulisan tentang khasiat bawang merah yang merupakan magnet bagi berbagai virus. Dalam tulisan itu yang penulisnya mengaku seorang dokter pernah memeriksa bawang yang telah dikupas dan disimpan di dalam rumah. Ternyata, setelah diteliti di dalam bawang itu banyak virus yang telah menghitam dan mati. Penghuni rumah tidak pernah terserang penyakit flu/influenza. Oleh sebab itu, dia menyarankan jangan menyimpan bawang merah yang telah dikupas karena menyedot virus. Buang saja, kecuali untuk segera dimasak. Lebih dari satu hari sudah bisa dipenuhi virus.

            Saya tiba-tiba teringat nenek saya yang sering merangkai bawang merah dan bawang putih yang telah dikupas, lalu digabungkan/dijahit seperti tasbih dengan cabe merah yang telah dibelah pula sehingga kelihatan isinya. Dia menyebutnya “panglay” atau “pangle”. Lalu, disimpan di pinggir kasur tempat tidur. Dulu saya menganggapnya takhayul, mengada-ada karena itu katanya untuk mengusir hantu atau roh jahat.

            Ketika saya baru punya anak satu, masih bayi, lalu membeli rumah di daerah Jln. Caringin, Bandung, mertua saya pun melakukan hal yang sama, merangkai bawang merah, bawang putih, dan cabe, bahkan ditambah jarum-jarum kecil. Katanya untuk mengusir hantu atau energi negatif dari rumah. Kali ini saya benar-benar ngeyel, saya buang panglay itu, lalu saya membeli kentongan yang berbentuk cabe merah, besar sekali.

            Saya bilang sama istri saya, “Kalau ada hantu atau roh jahat, pukul saja sama kentongan ini. Kentongan cabe ini mah keras dan besar, cabe yang itu mah kecil, mudah busuk lagi.”

            Istri saya diam saja. Tidak marah dan tidak juga setuju. Biasa saja.

            Akan tetapi, saat ini ketika Covid-19 mewabah, kemudian membaca tulisan tentang khasiat bawang merah, saya ingat sama nenek dan mertua saya. Mungkin yang dimaksud mereka hantu dan roh jahat itu adalah virus penyakit, salah satunya penyakit flu yang dijelaskan dokter peneliti tadi. Apalagi setelah ada imbauan dari Ketua Forum Ulama Sufi Dunia Habib Luthfi bin Yahya yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden bahwa untuk menghindari virus corona adalah dengan cara memakan tiga siung bawang merah yang telah dikupas, lalu membaca shalawat sebanyak 1.616 kali. Saya makin penasaran dengan khasiat bawang merah itu. Menurut Habib Luthfi, virus corona takut sama bawang merah.

            Ketika istri saya, anak pertama, dan anak kedua batuk-batuk ditambah sedikit flu serta tidak sembuh-sembuh padahal sudah berobat, saya khawatir berat. Pada masa ini, masa “social distancing”, untuk mencegah penyebaran virus corona, saya memang rada cemas. Saya pun membeli obat brochifar ke toko obat, tetapi hari ke-5 tidak juga berkurang batuknya, bahkan malam-malam hingga subuh terus saja mereka batuk-batuk.

            Saya mulai mencoba khasiat bawang merah itu berdasarkan pengalaman nenek saya, mertua, tulisan tentang bawang merah, dan anjuran Habib Luthfi bin Yahya. Saya kupas tiga siung bawang merah dan mengunyahnya, lalu membaca shalawat. Memang ada rasa hangat ke pangkal hidung, sedikit manis, tetapi ke sananya “pahang” atau serasa “pengar”. Membaca shalawat ketika baru mengunyah bawang merah memang menimbulkan rasa hangat yang khas di mulut dan hidung. Besoknya, pukul 04.00 Wib, subuh, saya kupas lagi tiga siung bawang merah, lalu digabungkan pakai tusuk sate hingga berbentuk seperti sate, lalu disimpan di ruang tengah. Bagusnya sih di setiap kamar ada. Saya mempunyai empat kamar tidur, biar nanti saja pemilik kamarnya masing-masing yang bikin sate bawang itu. Saya hanya mencobanya satu saja di ruang tengah.

Sate Bawang Merah Mentah


            Setelah sate bawang merah mentah itu disimpan di ruang tengah, saya bilang sama anak saya yang ketiga,  bungsu, “Mari kita hitung berapa kali mereka batuk hari ini.”

            Memang yang tidak batuk dan flu hanya saya dan anak bungsu saya.

            Eh, ajaib. Setelah dipasang bawang merah, tak terdengar ada batuk. Sebelumnya, kalau subuh hari, batuknya keras dan sering. Sekarang tidak terdengar. Mereka mulai batuk lagi empat jam kemudian, itu pun tidak sering. Lalu, siang batuk lagi. Malam batuk lagi. Besoknya, makin berkurang batuknya, hanya satu atau dua kali. Makin hari, makin tidak terdengar. Hari ini pun ketika saya mengetik tulisan ini, tak ada batuk yang parah. Mereka tambah sehat, aktivitasnya makin baik.

            Saya tidak tahu apakah mereka sembuh karena memang sudah berobat seminggu yang lalu, ditambah brochifar yang saya beli, atau memang karena ditambah dengan bawang merah yang menyedot berbagai virus. Hal yang jelas adalah mereka sembuh, saya dan anak yang bungsu tidak sedikit pun tertular batuk dan flu. Di samping itu, saya semakin tenang karena semua sehat.

            Meskipun demikian, jika ada yang mencoba seperti saya ini, menggunakan bawang merah, jangan menantang virus. Tetap saja di rumah, jangan ke luar jika tidak terpaksa, banyak ibadat, makan makanan sehat, cukup istirahat, dan usahakan berpikir positif. Percobaan terhadap bawang merah ini, sungguh membuat saya tidak panik, tidak takut berlebihan, tetapi tetap waspada dan selalu berhati-hati di mana saja.

            Sampurasun.

Friday, 27 March 2020

Kuliah Yuk di Universitas Al-Ghifari


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
“Kapankah mendung datang mengalun, mengusir kemarau kali ini …?” begitu lirik “Kemarau” dari Prambors Band.

            Kalaulah wabah Covid-19 diibaratkan kemarau yang menyiksa, tentunya kita berharap bahwa kemarau itu segera berganti dengan mendung yang kemudian menurunkan hujan yang menyegarkan.

            Semakin lama kemarau semakin tersiksa kita, tetapi musim tidak akan selamanya kemarau, musim hujan pun segera datang seperti lanjutan lirik itu, “Tapi sabarlah diri menanti kemarau pasti pergi berganti.”

            Pengalaman menunjukkan hal seperti itu. Kita pernah diserang wabah malaria, kolera, flu burung, flu babi, sars, dan lain sebagainya. Semuanya berlalu, kita melewatinya karena seperti itulah hidup dan kehidupan ini.

            Badai penyakit kerap ada, tetapi semuanya berlalu seperti kata Novelis Marga T, “Badai Pasti Berlalu.”

            Kata Allah swt, “Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan dan sungguh di balik kesulitan ada kemudahan.”

            Dua kali Allah swt mengatakan “di balik kesulitan ada kemudahan” untuk meyakinkan kita agar tetap kuat dalam hidup ini.

            Kita tidak boleh terjebak dalam kekalutan masa ini karena “life must go on”, ‘hidup harus jalan terus’. Waktu terus bergulir dan tidak pernah berhenti. Di dalam masa-masa sulit kita tetap harus merancang masa depan kita. Oleh sebab itu, bagi para lulusan SMA/MA/SMK atau mereka yang kuliahnya sempat terhenti, kami mengajak untuk meneruskan studi di Universitas Al-Ghifari dan memanfaatkan berbagai “fasilitas gratis” yang disediakan bagi mereka yang berhak menggunakannya.

Universitas Al-Ghifari, Bandung, Memberikan Banyak Fasilitas Gratis 


            Life must go on, hidup harus jalan terus. Badai pasti berlalu. Musim Covid-19 akan kita lewati dan tinggal kenangan, insyaallah.

Sampurasun.

Thursday, 26 March 2020

Aliran Marxisme


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam buku Ekonomi Politik Internasional: Suatu Pengantar yang disusun Umar Suryadi Bakry, Cetakan I, Januari 2019, yang diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dijelaskan dengan baik mengenai Aliran Marxisme/Strukturalisme. Tokoh-tokohnya, antara lain, Karl Marx dan Friederich Engels yang disebut-sebut sebagai “Bapak Pendiri Komunisme”. Adapula Vladimir Lenin yang melihat ketimpangan antara negara penjajah dengan negara jajahannya. Di samping itu, ada Immanuel Wallerstein dan Robert Cox yang berpaham Neo-Marxis dalam kata lain memberikan kritik dan mengembangkan teori-teori klasik Karl Marx. Dengan demikian, Aliran Marxisme memiliki beberapa varian sesuai pemikiran tokoh-tokohnya tersebut.

            Karl Marx adalah seorang filsuf besar sekaligus pakar ekonomi politik kelahiran Prusia (sekarang Jerman) 1818. Salah satu tulisannya yang sangat terkenal adalah Manifesto Komunis yang mengilhami banyak pemikir strukturalis hingga saat ini.

            Marx berpendapat bahwa inti dari kekuatan ekonomi adalah modal (alat-alat produksi). Oleh sebab itu, di dalam masyarakat yang kapitalis akan terbentuk kekuasaan-kekuasaan ekonomi berdasarkan kepemilikan atas modal. Ada penguasa modal (borjuis) dan ada kaum proletar. Kedua kelas ini akan selalu bertarung untuk mendapatkan modal atau alat-alat produksi.

            Pemikiran Karl Marx yang seperti inilah yang banyak ditulis orang ketika mendeskripsikan pertarungan antara kapitalis (para pemodal) dengan komunis (kaum proletar, buruh). Hampir semua orang memahami bahwa kaum komunis adalah kaum yang memerangi kaum kapitalis karena selalu terpinggirkan dalam menguasai kapital (modal).

            Hal seperti ini pula yang coba digambarkan oleh Presiden ke-1 RI Soekarno dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi (1964). Menurutnya, kaum komunis adalah kaum yang merasa hak-haknya dirampok oleh kaum pengusaha. Hak perumahan, hak kesehatan, hak berpenghasilan besar, dan hak-hak lainnya diambil oleh pengusaha dalam sistem kapitalisme. Oleh sebab itu, kaum proletar ini berlari-lari kesana-kemari untuk meminta pertolongan. Mereka meminta bantuan raja dan para bangsawan, sayangnya raja dan para bangsawan mendukung para kapitalis. Mereka pun meminta bantuan gereja, sayangnya banyak gereja yang sudah disuap oleh para pengusaha kapitalis sehingga justru gereja semakin menyudutkan kaum komunis. Dengan demikian, kekecewaan kaum komunis pun menjadi-jadi sehingga tumbuh kemarahan dengan mengatakan “Tuhan tidak ada”.

            Karl Marx banyak menganalisis ketimpangan-ketimpangan dalam sebuah negara/domestik yang ditandai dengan terjadinya perjuangan kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar. Bahkan, perjuangan atau pertarungan di antara kaum kapitalis sendiri banyak menimbulkan konflik dan perang-perang di dunia. Mereka bertikai hanya karena perebutan modal. Berbeda dengan Vladimir Lenin yang lebih suka memperhatikan hubungan-hubungan ekonomi internasional. Lenin pun mengkritik kapitalisme yang disebutnya sebagai sumber dari konflik dan perang. Lenin lebih melihat adanya penguasaan atau dominasi yang dilakukan negara penjajah pada negara jajahannya yang kemudian memunculkan adanya negara kaya dan maju serta negara miskin dan terbelakang.

            Berbeda pula dengan pandangan para ahli Neo-Marxisme yang lebih berdamai dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, negara dan kapitalisme adalah saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Negara-negara miskin dan terbelakang suatu saat akan menjadi negara maju dan kaya. Demikian pula, negara-negara maju dan kaya dapat jatuh menjadi negara miskin dan terbelakang. Hal ini mungkin saja terjadi sesuai dengan situasi politik, budaya, dan lingkungan alam. Politik bisa menjatuhkan dan memajukan sebuah negara, begitu pula dengan budaya. Hal yang sama pun bisa terjadi karena perubahan lingkungan alam, bencana besar, wabah penyakit, serta perubahan iklim sangat mungkin mengubah kondisi ekonomi dan politik suatu negara. Bagi neo-marxisme, pertarungan yang tersisa pada zaman ini hanya antara para pengusaha dan kaum buruh, tidak lagi antarnegara atau yang lainnya.

            Meskipun memiliki banyak varian, Aliran  Marxisme memiliki elemen-elemen pokok yang menyatukan perbedaan mereka. Hal ini sebagaimana yang ditulis oleh Umar Suryadi Bakry (2019), yaitu: Pertama,         manusia secara individu bersifat kooperatif, namun hubungan antarmanusia dalam sebuah kelompok (masyarakat, negara, hubungan antarnegara) cenderung bersifat konfliktif. Manusia sesungguhnya adalah makhluk sosial sehingga selalu ada keinginan untuk berhubungan secara kooperatif dan positif. Akan tetapi, jika sudah berada dalam suatu kelompok, mereka cenderung membela kelompoknya karena kesamaan kepentingan. Dalam hal ekonomi, manusia akan bersama-sama dengan manusia lainnya yang memiliki perasaan dan kepentingan ekonomi yang sama sekaligus menentang kelompok lainnya yang memiliki perasaan dan kepentingan ekonomi yang berbeda.

            Kedua, konflik muncul dari persaingan antarkelompok individu, khususnya antara pemilik modal/sarana produksi (kelas borjuis) dan pekerja (kelas proletar). Pengusaha kerap memiliki kepentingan yang berbeda dengan para pekerjanya. Seringkali perbedaan ini tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik yang akibatnya timbul rasa saling curiga dan tarik-menarik kepentingan. Pengusaha sering ingin cepat mengembangkan perusahaannya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara itu, para pekerja memikirkan kesejahteraan dan kemakmuran dirinya yang harus dipenuhi oleh para pengusaha.

            Ketiga, negara (state) biasanya bertindak untuk mendukung pemilik modal (sarana produksi) sehingga menempatkan negara dan pekerja dalam posisi berhadapan satu sama lain. Dalam pemikiran dan pengalaman hidup kaum marxis/komunis, negara selalu melindungi dan bersahabat dengan para pengusaha karena para pengusaha itu memiliki kedekatan dengan penguasa, negara, dan memberikan banyak dukungan materi, baik melalui pajak maupun nonpajak seperti hadiah-hadiah. Dengan kedekatan itu, para pekerja merasa dirinya jauh dari negara sehingga tak jarang mengambil sikap bertentangan dengan negara.

            Keempat, dalam sistem kapitalis, terdapat hubungan yang bersifat eksploitatif dan ketidakadilan (inequality) antara pemilik modal dan pekerja serta antara negara-negara maju (centre) dengan negara-negara sedang berkembang (periphery). Dalam pandangan mereka, pengusaha selalu mengeksploitasi para pekerja, kaum borjuis kerap memeras proletar. Demikian pula negara maju selalu melakukan pemerasan atau melakukan banyak tekanan pada negara-negara lemah. Hal-hal seperti itulah yang mengakibatkan ketidakadilan.

            Kelima, hal-hal tersebut menciptakan kondisi interaksi antara pemilik modal dan pekerja serta antara negara maju dengan negara sedang berkembang adalah zero sum game. Kedua-duanya tidak mendapatkan keuntungan yang besar bersama-sama, tetapi sama-sama rugi. Kalaupun mendapat keuntungan, sangat sedikit dibandingkan kerugian atau biaya yang harus dikeluarkan.

            Demikian pengantar pemahaman Aliran Marxisme. Untuk lebih jelasnya lagi, dapat digali dengan diskusi ataupun menambahnya dengan sumber-sumber bacaan lain.

            Sampurasun.


 Sumber:

Bakry, Umar Suryadi, 2019, Ekonomi Politik Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan I, Januari 2019, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2014, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga:  Jakarta

Sukarno, 1964, Dibawah Bendera Revolusi, Cet. 3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta

Wednesday, 25 March 2020

Hoax Menyiksa Petugas Kesehatan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Para pejuang di garis depan dalam memerangi wabah virus corona seharusnya mendapatkan apreasiasi dan perlindungan semua pihak. Akan tetapi, para pembuat dan penyebar hoax telah menyiksanya. Para pecinta hoax tidak akan mengerti mengapa mereka telah menyiksa para petugas kesehatan. Mereka memang sejak dulu disebut orang-orang “sumbu pendek” yang bertindak dan berbicara dengan pikiran yang pendek, empatinya buruk, dan otaknya sempit. Otaknya tidak akan sampai untuk memikirkan bahwa perilakunya telah menyiksa petugas kesehatan sekaligus menghambat penanggulangan wabah virus corona.

            Baiklah, saya ceriterakan bahwa para pendusta ini telah menyiksa para petugas kesehatan. Dalam siaran langsung ILC, “Indonesia Lawyers Club”, 24 Maret 2020, ada dokter yang mengisahkan bahwa dirinya mendapatkan Curhat dari perawat yang pulang ke tempat kost setelah bertugas merawat pasien corona. Perawat itu ditolak atau diminta untuk tidak kost di tempat itu lagi oleh pemilik kost. Ibu Kost keberatan karena ketakutan Sang Perawat dapat menyebarkan virus corona di tempatnya kost.

            Mengapa Si Ibu Kost ketakutan?

            Dia kemungkinan besar telah mendapatkan banyak informasi hoax tentang segala hal terkait virus corona. Padahal, menurut dokter, para petugas kesehatan itu selalu dicek kesehatannya. Jika negatif, mereka akan terus “gas poll” bekerja merawat pasien dan tentunya bisa pulang beristirahat. Jika positif, mereka akan menjadi pasien.

            Coba bayangkan, para perawat yang berjuang untuk manusia dan kemanusiaan itu ditolak untuk pulang ke tempatnya kost. Mereka seharusnya dibantu, dihadiahi, dan diberikan semangat, tetapi ternyata mendapatkan penolakan seolah-olah monster menakutkan yang akan membawa penyakit. Ini akibat hoax dengan informasi yang berlebihan tanpa pikir panjang.

            Ada lagi kisah dokter yang pulang karena orang tuanya sangat rindu kepadanya. Akan tetapi, pengurus warga setempat, seperti, RW dan RT keberatan dengan kepulangan dokter tersebut. Mereka ketakutan dokter tersebut menularkan virus corona di wilayahnya. Padahal, dokter itu pulang pasti sudah dicek kesehatannya. Jika buruk atau positif corona, mereka pasti sudah menjadi pasien serta dirawat dan diisolasi di rumah sakit.

            Kita tidak tahu berapa banyak perawat, dokter, atau petugas kesehatan lainnya yang mendapatkan perlakuan seperti ini. Mereka adalah pejuang yang harus diberikan dukungan dan semangat, bukan ditolak dan disakiti hatinya.

            Jika mereka tidak bisa pulang, hendak ke mana mereka setelah berhari-hari letih untuk merawat pasien?

            Mereka tersiksa karena masyarakat mendapatkan informasi hoax yang berlebihan sehingga ketakutan yang berlebihan pula.

            Para petugas kesehatan ini jika memang melaksanakan perintah Allah swt untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan adalah para mujahid sejati. Kalaupun mereka harus mati karena berjuang, insyaallah syahid dan mendapatkan surga.

            Adapun para pecinta hoax hanyalah orang-orang gila yang pasti masuk neraka jika tidak menghentikan perbuatannya, lalu taubat sebenar-benarnya taubat.

            Sampurasun.

Tuesday, 24 March 2020

Hoax Covid-19 yang Merugikan Dirinya Sendiri


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Sebetulnya saya pengen ketawa, tetapi tidak pantas dalam suasana seperti ini menertawakan orang lain. Dia yang berbuat, dia sendiri yang rugi.

            Saya ini sering memperhatikan akun-akun pembuat dan penyebar hoax pada berbagai media sosial. Ketika hoax itu berhasil menipu banyak orang, mereka sendiri banyak yang merasa rugi, tetapi tetap saja tidak sadar. Para pecinta hoax ini beberapa waktu lalu, bahkan hingga hari ini menebar kisah-kisah, video, foto hoax yang mengerikan tentang Covid-19/virus corona secara berlebihan. Akhirnya, masyarakat takut, panik secara berlebihan pula. Orang-orang jadi tidak berani ke luar rumah, tidak berani belanja, memborong makanan untuk dua minggu, bahkan satu bulan ke depan. Ketika situasi mulai sepi, akun-akun penyebar hoax ini mulai mengeluh karena para pelanggan bisnisnya jadi jauh berkurang, bisnisnya menjadi sepi, penghasilannya makin menipis. Situasi itu bukannya menjadikan mereka sadar, malahan kembali menyalahkan pemerintah yang katanya harus menyediakan makanan untuk mereka.

            Sekarang ini masih bukan  “lockdown”/karantina wilayah, melainkan “social distancing”, ‘pembatasan interaksi manusia’. Artinya, pemerintah tidak akan memperlakukan masyarakat seperti dalam keadaan lockdown. Masyarakat masih bisa bebas bergerak, beraktivitas, tetapi dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi, tidak berlama-lama di luar, tidak beraktivitas yang tidak perlu, meminimalisasi interaksi dengan orang lain, menjaga kebersihan dan kesehatan, dll..

             Lagian, berpikiran bahwa lockodown itu “enak” adalah salah. Seolah-olah bahagia karena tidak perlu bekerja, tetapi tetap mendapat makanan.

            Memangnya dengan lockdown pemerintah akan memberikan makanan yang enak-enak dengan jumlah banyak seperti dalam hajatan?

            Kita tidak tahu setiap hari, setiap orang akan mendapatkan jatah berapa untuk makan kalau sampai lockdown.

            Apa saja makanannya?

            Mungkin paling-paling untuk sekedar hidup supaya tidak pada mati kelaparan. Belum lagi aktivitas yang sangat dibatasi dan pasti mencekam, tidak bisa kerja, tidak bisa sekolah, tidak bisa main, tidak bisa beribadat secara massal, dll..

            Perlu diingat bahwa di luar negeri pun, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya tidak ada yang betah dengan kondisi lockdown. Mereka ingin kembali pada aktivitas normal. Di Cina saja yang sudah mulai pulih, pemerintahnya sedikit-sedikit, bertahap mulai membuka kota-kota yang tadinya diterapkan karantina wilayah.

            Jangan bikin hoax sehingga membuat orang lain ketakutan dan merasa terancam karena ketika orang panik, kita pun ikut rugi. Beraktivitaslah seperti biasa dengan kehati-hatian yang tinggi; kalau bisa, bekerja dari rumah; kurangi aktivitas yang tidak perlu; jangan lupa cuci tangan pakai deterjen; perhatikan kebersihan dan kesehatan; tetap konsisten beribadat.

            Sampurasun.

Monday, 23 March 2020

Kuliah Online


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kuliah online secara sederhana bisa diartikan sebagai kuliah tanpa tatap muka dengan menggunakan fasilitas akses internet. Caranya bisa bermacam-macam dengan menggunakan aplikasi dan software rupa-rupa pula.

            Sebetulnya, saya sudah melakukannya sejak lama, sekitar tahun 2016. Saat itu niatnya bukan untuk materi kuliah, melainkan untuk semakin mempromosikan Universitas Al-Ghifari, terutama Prodi Hubungan Internasional (HI) yang dikabarkan sulit mendapatkan mahasiswa. Saat mata kuliah Bahasa Indonesia (saya kan lulusan D3, Subprogram Studi Editing, Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran), saya membuat video selama mengajar di kelas gabungan AN-HI. Mahasiswa yang merekamnya menggunakan kamera. Kemudian, saya upload ke youtube, judulnya “Membuat Wacana dengan Sumber yang Jelas” (nonton aja sok). Di video itu saya mengajarkan membuat kerangka karangan sekaligus cara mendeteksi tulisan hoax sehingga kita tidak tertipu dengan menggunakan prinsip 5W + 1H.

            Ada dua video yang saya buat, yaitu ketika di kelas reguler pagi dan reguler sore. Hasilnya, lumayan, saya “geer” saja penerimaan mahasiswa periode berikutnya ada peningkatan untuk semua Prodi. Tentunya, video saya yang di youtube itu hanya bagian kecil dari seluruh upaya promosi yang dilakukan keluarga besar Universitas Al-Ghifari. Dari tahun ke tahun ada peningkatan secara bertahap. Tak disangka pula beberapa mahasiswa yang tidak hadir saat pembuatan video itu dapat mengikuti kuliah melalui video pada hari-hari berikutnya.

            Di samping itu, saya pun menggunakan tulisan-tulisan saya yang sudah ditulis pada tahun-tahun sebelumnya di blog ini untuk materi kuliah “Sistem Dinamika Sosial Politik Lokal” untuk khusus Prodi HI dengan judul “Demokrasi di Indonesia” yang mengurutkan secara kronologis demokrasi di Indonesia sejak kolonial Belanda hingga zaman reformasi. Blog saya itu sebenarnya hanya untuk eksistensi pribadi dan berbagi pemahaman sekaligus sarana untuk mengkritik pemerintah atas nama saya pribadi. Akan tetapi, ternyata sekarang dapat juga menjadi sarana untuk menuliskan materi kuliah sehingga dapat dibaca mahasiswa dan masyarakat umum kapan saja. Memang isinya menjadi campuran antara tulisan pribadi dengan materi kuliah, tak apalah. Dengan adanya keharusan untuk memberikan kuliah secara online, menulis di blog menjadi lebih rutin. Itu artinya, penghasilan dari iklan google semakin bertambah. Google ads itu memberikan kesempatan kita untuk mendapatkan penghasilan dari tulisan kita jika kita bersedia untuk menjadi penayang iklan dari Google. Syaratnya, harus rajin menulis sehingga menarik banyak pembaca untuk melilhat iklan. Jangan berhenti menulis.

            Ketika harus melaksanakan ujian menggunakan internet, saya melakukannya secara sederhana. Mahasiswa diberi soal melalui sekretariat di Fisip, Unfari. Jawabannya harus dikirimkan ke saya melalui email dan waktunya ditunggu sampai pukul 17.00 sore itu. Kalau telat, saya anggap susulan.

            So, tulisan ini sekedar berbagi kepada pembaca saya, siapa tahu bermanfaat.

            Sampurasun.