oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam buku Ekonomi Politik Internasional: Suatu
Pengantar yang disusun Umar Suryadi
Bakry, Cetakan I, Januari 2019, yang diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dijelaskan dengan baik mengenai Aliran
Marxisme/Strukturalisme. Tokoh-tokohnya, antara lain, Karl Marx dan Friederich
Engels yang disebut-sebut sebagai “Bapak Pendiri Komunisme”. Adapula Vladimir
Lenin yang melihat ketimpangan antara negara penjajah dengan negara jajahannya.
Di samping itu, ada Immanuel Wallerstein dan Robert Cox yang berpaham
Neo-Marxis dalam kata lain memberikan kritik dan mengembangkan teori-teori
klasik Karl Marx. Dengan demikian, Aliran Marxisme memiliki beberapa varian
sesuai pemikiran tokoh-tokohnya tersebut.
Karl Marx adalah seorang filsuf besar sekaligus pakar
ekonomi politik kelahiran Prusia (sekarang Jerman) 1818. Salah satu tulisannya
yang sangat terkenal adalah Manifesto
Komunis yang mengilhami banyak pemikir strukturalis hingga saat ini.
Marx berpendapat bahwa inti dari kekuatan ekonomi adalah
modal (alat-alat produksi). Oleh sebab itu, di dalam masyarakat yang kapitalis
akan terbentuk kekuasaan-kekuasaan ekonomi berdasarkan kepemilikan atas modal.
Ada penguasa modal (borjuis) dan ada kaum proletar. Kedua kelas ini akan selalu
bertarung untuk mendapatkan modal atau alat-alat produksi.
Pemikiran Karl Marx yang seperti inilah yang banyak
ditulis orang ketika mendeskripsikan pertarungan antara kapitalis (para
pemodal) dengan komunis (kaum proletar, buruh). Hampir semua orang memahami
bahwa kaum komunis adalah kaum yang memerangi kaum kapitalis karena selalu
terpinggirkan dalam menguasai kapital (modal).
Hal seperti ini pula yang coba digambarkan oleh Presiden
ke-1 RI Soekarno dalam bukunya Dibawah
Bendera Revolusi (1964). Menurutnya,
kaum komunis adalah kaum yang merasa hak-haknya dirampok oleh kaum pengusaha.
Hak perumahan, hak kesehatan, hak berpenghasilan besar, dan hak-hak lainnya
diambil oleh pengusaha dalam sistem kapitalisme. Oleh sebab itu, kaum proletar
ini berlari-lari kesana-kemari untuk meminta pertolongan. Mereka meminta
bantuan raja dan para bangsawan, sayangnya raja dan para bangsawan mendukung
para kapitalis. Mereka pun meminta bantuan gereja, sayangnya banyak gereja yang
sudah disuap oleh para pengusaha kapitalis sehingga justru gereja semakin
menyudutkan kaum komunis. Dengan demikian, kekecewaan kaum komunis pun
menjadi-jadi sehingga tumbuh kemarahan dengan mengatakan “Tuhan tidak ada”.
Karl Marx banyak menganalisis ketimpangan-ketimpangan
dalam sebuah negara/domestik yang ditandai dengan terjadinya perjuangan kelas
antara kaum borjuis dan kaum proletar. Bahkan, perjuangan atau pertarungan di
antara kaum kapitalis sendiri banyak menimbulkan konflik dan perang-perang di
dunia. Mereka bertikai hanya karena perebutan modal. Berbeda dengan Vladimir
Lenin yang lebih suka memperhatikan hubungan-hubungan ekonomi internasional.
Lenin pun mengkritik kapitalisme yang disebutnya sebagai sumber dari konflik
dan perang. Lenin lebih melihat adanya penguasaan atau dominasi yang dilakukan
negara penjajah pada negara jajahannya yang kemudian memunculkan adanya negara
kaya dan maju serta negara miskin dan terbelakang.
Berbeda pula dengan pandangan para ahli Neo-Marxisme yang
lebih berdamai dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, negara dan kapitalisme
adalah saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Negara-negara miskin dan terbelakang suatu saat akan menjadi negara maju dan
kaya. Demikian pula, negara-negara maju dan kaya dapat jatuh menjadi negara
miskin dan terbelakang. Hal ini mungkin saja terjadi sesuai dengan situasi
politik, budaya, dan lingkungan alam. Politik bisa menjatuhkan dan memajukan
sebuah negara, begitu pula dengan budaya. Hal yang sama pun bisa terjadi karena
perubahan lingkungan alam, bencana besar, wabah penyakit, serta perubahan iklim
sangat mungkin mengubah kondisi ekonomi dan politik suatu negara. Bagi
neo-marxisme, pertarungan yang tersisa pada zaman ini hanya antara para
pengusaha dan kaum buruh, tidak lagi antarnegara atau yang lainnya.
Meskipun memiliki banyak varian, Aliran Marxisme memiliki elemen-elemen pokok yang
menyatukan perbedaan mereka. Hal ini sebagaimana yang ditulis oleh Umar Suryadi
Bakry (2019), yaitu: Pertama, manusia secara individu bersifat
kooperatif, namun hubungan antarmanusia dalam sebuah kelompok (masyarakat,
negara, hubungan antarnegara) cenderung bersifat konfliktif. Manusia
sesungguhnya adalah makhluk sosial sehingga selalu ada keinginan untuk
berhubungan secara kooperatif dan positif. Akan tetapi, jika sudah berada dalam
suatu kelompok, mereka cenderung membela kelompoknya karena kesamaan
kepentingan. Dalam hal ekonomi, manusia akan bersama-sama dengan manusia
lainnya yang memiliki perasaan dan kepentingan ekonomi yang sama sekaligus
menentang kelompok lainnya yang memiliki perasaan dan kepentingan ekonomi yang
berbeda.
Kedua, konflik
muncul dari persaingan antarkelompok individu, khususnya antara pemilik
modal/sarana produksi (kelas borjuis) dan pekerja (kelas proletar). Pengusaha kerap
memiliki kepentingan yang berbeda dengan para pekerjanya. Seringkali perbedaan
ini tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik yang akibatnya timbul rasa saling
curiga dan tarik-menarik kepentingan. Pengusaha sering ingin cepat
mengembangkan perusahaannya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara
itu, para pekerja memikirkan kesejahteraan dan kemakmuran dirinya yang harus
dipenuhi oleh para pengusaha.
Ketiga, negara
(state) biasanya bertindak untuk
mendukung pemilik modal (sarana produksi) sehingga menempatkan negara dan
pekerja dalam posisi berhadapan satu sama lain. Dalam pemikiran dan pengalaman
hidup kaum marxis/komunis, negara selalu melindungi dan bersahabat dengan para
pengusaha karena para pengusaha itu memiliki kedekatan dengan penguasa, negara,
dan memberikan banyak dukungan materi, baik melalui pajak maupun nonpajak
seperti hadiah-hadiah. Dengan kedekatan itu, para pekerja merasa dirinya jauh
dari negara sehingga tak jarang mengambil sikap bertentangan dengan negara.
Keempat, dalam
sistem kapitalis, terdapat hubungan yang bersifat eksploitatif dan
ketidakadilan (inequality) antara
pemilik modal dan pekerja serta antara negara-negara maju (centre) dengan negara-negara sedang berkembang (periphery). Dalam pandangan mereka,
pengusaha selalu mengeksploitasi para pekerja, kaum borjuis kerap memeras
proletar. Demikian pula negara maju selalu melakukan pemerasan atau melakukan
banyak tekanan pada negara-negara lemah. Hal-hal seperti itulah yang
mengakibatkan ketidakadilan.
Kelima, hal-hal
tersebut menciptakan kondisi interaksi antara pemilik modal dan pekerja serta
antara negara maju dengan negara sedang berkembang adalah zero sum game. Kedua-duanya tidak mendapatkan keuntungan yang besar
bersama-sama, tetapi sama-sama rugi. Kalaupun mendapat keuntungan, sangat
sedikit dibandingkan kerugian atau biaya yang harus dikeluarkan.
Demikian pengantar pemahaman Aliran Marxisme. Untuk lebih
jelasnya lagi, dapat digali dengan diskusi ataupun menambahnya dengan
sumber-sumber bacaan lain.
Sampurasun.
Sumber:
Bakry,
Umar Suryadi, 2019, Ekonomi Politik
Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan I, Januari 2019, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Maryati,
Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum
2013, Penerbit Erlangga: Jakarta
Maryati,
Kun; Suryawati, Juju, 2014, Sosiologi
untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta
Sukarno,
1964, Dibawah Bendera Revolusi, Cet.
3, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta
No comments:
Post a Comment