oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya saya pengen ketawa,
tetapi tidak pantas dalam suasana seperti ini menertawakan orang lain. Dia yang
berbuat, dia sendiri yang rugi.
Saya ini sering memperhatikan akun-akun pembuat dan
penyebar hoax pada berbagai media sosial. Ketika hoax itu berhasil menipu
banyak orang, mereka sendiri banyak yang merasa rugi, tetapi tetap saja tidak
sadar. Para pecinta hoax ini beberapa waktu lalu, bahkan hingga hari ini
menebar kisah-kisah, video, foto hoax yang mengerikan tentang Covid-19/virus
corona secara berlebihan. Akhirnya, masyarakat takut, panik secara berlebihan
pula. Orang-orang jadi tidak berani ke luar rumah, tidak berani belanja, memborong
makanan untuk dua minggu, bahkan satu bulan ke depan. Ketika situasi mulai
sepi, akun-akun penyebar hoax ini mulai mengeluh karena para pelanggan bisnisnya
jadi jauh berkurang, bisnisnya menjadi sepi, penghasilannya makin menipis. Situasi
itu bukannya menjadikan mereka sadar, malahan kembali menyalahkan pemerintah yang
katanya harus menyediakan makanan untuk mereka.
Sekarang ini masih bukan “lockdown”/karantina
wilayah, melainkan “social distancing”,
‘pembatasan interaksi manusia’. Artinya, pemerintah tidak akan memperlakukan
masyarakat seperti dalam keadaan lockdown. Masyarakat masih bisa bebas
bergerak, beraktivitas, tetapi dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi,
tidak berlama-lama di luar, tidak beraktivitas yang tidak perlu, meminimalisasi
interaksi dengan orang lain, menjaga kebersihan dan kesehatan, dll..
Lagian, berpikiran
bahwa lockodown itu “enak” adalah salah. Seolah-olah bahagia karena tidak perlu
bekerja, tetapi tetap mendapat makanan.
Memangnya dengan lockdown pemerintah akan memberikan
makanan yang enak-enak dengan jumlah banyak seperti dalam hajatan?
Kita tidak tahu setiap hari, setiap orang akan
mendapatkan jatah berapa untuk makan kalau sampai lockdown.
Apa saja makanannya?
Mungkin paling-paling untuk sekedar hidup supaya tidak pada
mati kelaparan. Belum lagi aktivitas yang sangat dibatasi dan pasti mencekam, tidak
bisa kerja, tidak bisa sekolah, tidak bisa main, tidak bisa beribadat secara massal,
dll..
Perlu diingat bahwa di luar negeri pun, baik
pemerintahnya maupun masyarakatnya tidak ada yang betah dengan kondisi
lockdown. Mereka ingin kembali pada aktivitas normal. Di Cina saja yang sudah
mulai pulih, pemerintahnya sedikit-sedikit, bertahap mulai membuka kota-kota
yang tadinya diterapkan karantina wilayah.
Jangan bikin hoax sehingga membuat orang lain ketakutan
dan merasa terancam karena ketika orang panik, kita pun ikut rugi.
Beraktivitaslah seperti biasa dengan kehati-hatian yang tinggi; kalau bisa,
bekerja dari rumah; kurangi aktivitas yang tidak perlu; jangan lupa cuci tangan
pakai deterjen; perhatikan kebersihan dan kesehatan; tetap konsisten beribadat.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment