Saturday, 21 March 2020

Pro-Kontra Social Distancing

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam mengatasi penyebaran virus corona, pemerintah dan lembaga-lembaga dunia menjalankan cara “social distancing”, ‘pembatasan interaksi masyarakat’. Hal ini ada dalam berbagai kampanye dan seruan-seruan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

            Dalam kenyataannya, praktik social distancing ini tidak diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Jalanan masih tetap ramai, terminal tetap sibuk, pasar tetap beroperasi, bahkan terjadi saling mengunjungi di antara sanak saudara dan kerabat untuk mengisi waktu program 14 hari “aktivitas di dalam rumah”. Ini kenyataan. Orang-orang masih hilir mudik.

            Dalam pengamatan saya, ada beberapa penyebab dari hal seperti ini. Pertama, masyarakat melihat kenyataan yang berbeda antara yang ditayangkan di televisi, seruan pemerintah, serta kehebohan di Medsos. Masyarakat banyak yang menilai ternyata kenyataannya tidak seheboh yang di televisi, apalagi yang berseliweran di Medsos. Masyarakat menilai bahwa lingkungannya tenang-tenang saja, biasa-biasa saja. Ketika mereka keluar rumah, situasi tetap normal. Di masjid-masjid kampung jumatan dan shalat berjamaah tetap berjalan, kerja bakti jalan terus, warung-warung tetap berjualan malahan tetap menjadi tempat nongkrong penduduk. Masyarakat menilai kehebohan hanya terjadi di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya, itu pun tidak di seluruh wilayahnya.

            Kedua, perlawanan terhadap hoax. Masyarakat sudah kesal dan marah oleh berbagai hoax yang mulai sangat dikenal selama kampanye Pilpres 2019. Ketika terjadi penyebaran virus corona pun, hoax sangat mengganggu masyarakat karena menebar ketakutan dan ketidakamanan. Masyarakat seolah-olah memperlihatkan diri bahwa dirinya sama sekali tidak terpengaruh hoax. Segala hoax itu tidak benar dan masyarakat menampilkan dirinya sebagai “penantang hoax” untuk mengalahkan hoax.

            Ketiga, politik. Isu corona yang seharusnya merupakan isu kesehatan dan kemanusiaan, telah dipolitisir oleh berbagai pihak untuk menjatuhkan pemerintah yang sah saat ini. Berbagai tudingan, ejekan, dan cacian diarahkan pada pemerintah yang sah dalam hal ini Presiden Jokowi. Banyak status atau komen-komen negatif yang menyuarakan agar Jokowi mundur karena dianggap tidak becus  menangani penyebaran virus serta tidak melakukan penanganan sesuai selera mereka yang anti-Jokowi. Apalagi Jokowi menyatakan tidak berpikir untuk melakukan “lockdown” karena cost-nya terlalu besar dan tidak diperlukan.

            Bahkan, ada postingan, “Semoga seluruh antek-antek Jokowi kena virus corona.”

            Luar biasa!

            Politisasi atas isu virus ini mudah sekali dibaca oleh para pendukung Jokowi. Mereka pun melawan politisasi ini dengan beraktivitas secara normal dan tidak menginginkan lockdown karena menurut mereka bisa menimbulkan efek buruk yang luar biasa besar, baik secara politik, sosial, maupun ekonomi.

            Paling tidak, itu yang saya bisa lihat dari tidak meratanya kepatuhan terhadap upaya social distancing yang terjadi di Indonesia. Meskipun demikian, tak seorang pun yang tidak setuju atas pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus corona. Semuanya setuju. Perbedaannya hanya ada dalam pengalaman hidup yang berlainan, kekesalan dan kemarahan terhadap hoax, serta adanya pertarungan politik.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment