oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam mengatasi penyebaran
virus corona, pemerintah dan lembaga-lembaga dunia menjalankan cara “social distancing”, ‘pembatasan
interaksi masyarakat’. Hal ini ada dalam berbagai kampanye dan seruan-seruan
pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dalam kenyataannya, praktik social distancing ini tidak
diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Jalanan masih tetap ramai, terminal
tetap sibuk, pasar tetap beroperasi, bahkan terjadi saling mengunjungi di antara
sanak saudara dan kerabat untuk mengisi waktu program 14 hari “aktivitas di
dalam rumah”. Ini kenyataan. Orang-orang masih hilir mudik.
Dalam pengamatan saya, ada beberapa penyebab dari hal
seperti ini. Pertama, masyarakat
melihat kenyataan yang berbeda antara yang ditayangkan di televisi, seruan
pemerintah, serta kehebohan di Medsos. Masyarakat banyak yang menilai ternyata
kenyataannya tidak seheboh yang di televisi, apalagi yang berseliweran di
Medsos. Masyarakat menilai bahwa lingkungannya tenang-tenang saja, biasa-biasa
saja. Ketika mereka keluar rumah, situasi tetap normal. Di masjid-masjid
kampung jumatan dan shalat berjamaah tetap berjalan, kerja bakti jalan terus,
warung-warung tetap berjualan malahan tetap menjadi tempat nongkrong penduduk.
Masyarakat menilai kehebohan hanya terjadi di DKI Jakarta dan daerah
sekitarnya, itu pun tidak di seluruh wilayahnya.
Kedua, perlawanan
terhadap hoax. Masyarakat sudah kesal dan marah oleh berbagai hoax yang mulai
sangat dikenal selama kampanye Pilpres 2019. Ketika terjadi penyebaran virus
corona pun, hoax sangat mengganggu masyarakat karena menebar ketakutan dan
ketidakamanan. Masyarakat seolah-olah memperlihatkan diri bahwa dirinya sama
sekali tidak terpengaruh hoax. Segala hoax itu tidak benar dan masyarakat
menampilkan dirinya sebagai “penantang hoax” untuk mengalahkan hoax.
Ketiga, politik.
Isu corona yang seharusnya merupakan isu kesehatan dan kemanusiaan, telah
dipolitisir oleh berbagai pihak untuk menjatuhkan pemerintah yang sah saat ini.
Berbagai tudingan, ejekan, dan cacian diarahkan pada pemerintah yang sah dalam
hal ini Presiden Jokowi. Banyak status atau komen-komen negatif yang menyuarakan
agar Jokowi mundur karena dianggap tidak becus menangani penyebaran virus serta tidak
melakukan penanganan sesuai selera mereka yang anti-Jokowi. Apalagi Jokowi
menyatakan tidak berpikir untuk melakukan “lockdown”
karena cost-nya terlalu besar dan
tidak diperlukan.
Bahkan, ada postingan, “Semoga seluruh antek-antek Jokowi
kena virus corona.”
Luar biasa!
Politisasi atas isu virus ini mudah sekali dibaca oleh
para pendukung Jokowi. Mereka pun melawan politisasi ini dengan beraktivitas
secara normal dan tidak menginginkan lockdown karena menurut mereka bisa
menimbulkan efek buruk yang luar biasa besar, baik secara politik, sosial, maupun
ekonomi.
Paling tidak, itu yang saya bisa lihat dari tidak
meratanya kepatuhan terhadap upaya social
distancing yang terjadi di Indonesia. Meskipun demikian, tak seorang pun
yang tidak setuju atas pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus corona.
Semuanya setuju. Perbedaannya hanya ada dalam pengalaman hidup yang berlainan,
kekesalan dan kemarahan terhadap hoax, serta adanya pertarungan politik.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment