Monday, 16 March 2020

Ini Hari


oleh Tom Finaldin

Hari ini adalah mulai diberlakukannya peraturan-peraturan terkait pencegahan virus corona di lingkungan pendidikan. Berbagai tingkatan pendidikan tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan pendidikan, termasuk mengerahkan massa dan rapat-rapat.

            Sejak pagi sudah ada keanehan. Anak saya yang masih SD pergi bersekolah dengan menggunakan masker. Katanya disuruh gurunya lewat WA. Padahal, kan sudah dilarang melaksanakan pendidikan.

            Di seputaran Banjaran ada lagi keanehan, anak-anak berseragam sekolah SMP, mungkin juga SMA tampak di pinggir jalan. Saya segera menduga anak-anak ini tidak memberitahukan kepada orangtuanya bahwa seharusnya mereka di rumah. Mereka cuma modus pergi sekolah hanya untuk mendapatkan uang saku. Kalau tidak sekolah, mereka nggak punya uang. Di samping itu, ada anak-anak usia sekolah bergerombol berjalan. Mereka tidak menggunakan seragam, tetapi menuju tanah lapang untuk sepak bola.

            Setiba di SMP-MA Mawaddi, Banjaran, sekolahan sepi, beberapa guru berada di kantor. Saya membaca beberapa lembar bacaan di sana, lalu pergi lagi.

            Di perjalanan semua tampak biasa saja, tak ada bedanya. Terminal tetap ramai, pasar apalagi, kemacetan pun sudah biasa. Tidak ada pengurangan aktivitas. Tak ada yang menggunakan masker. Ada sih, tetapi masker yang bukan standar, warna-warni, gaya.

            Apa kabar “Stay at Home”?

            Masyarakat sepertinya tahu itu, tetapi cuek saja.

            Sesampainya di Fisip, Universitas Al-Ghifari, masih banyak mahasiswa yang di sana. Mungkin mereka baru tahu bahwa seharusnya mereka berada di rumah dan mengerjakan UTS di rumah masing-masing. Akan tetapi, hingga sore mahasiswa masih ada, pada ngobrol, nongkrong, sebagian beres-beres berkas ujian.

            Saya tanya mereka, “Nggak cepet pulang? Nggak takut corona?”

            Mereka cuma ketawa-ketawa kecil dikiranya saya bercanda. Padahal, cuma mencoba akrab.

            Beberapa menggunakan masker standar, tetapi ada yang hanya mulutnya ditutup masker, hidungnya tidak. Selebihnya, seperti biasa saja, tidak bermasker.

            Agak kaget ketika saya mendengar ada sekelompok, seorang dari mereka yang bilang ke teman-temannya, “Jangan lupa ya, besok kita ke sini lagi.”

            What?

            Apa kabar “Stay at Home”?

            Tidak mungkin juga saya mengusir mereka, apalagi dengan bahasa kasar. Saya tidak tahu besok lusa dan besok-besoknya lagi, apakah menjadi lebih sepi atau tambah ramai.

            Orang Indonesia itu memang seperti itu. Dari dulu juga seperti itu. Ketika ada virus flu burung, flu babi, anthraks, atau sars, bahkan HIV, sepertinya “hare-hare”, cuek saja. Berbeda dengan orang Amerika Serikat. Ketika beberapa tahun lalu awal dikenal virus flu burung, Kota New York sepi bagai Kota Hantu selama tiga hari. Penduduknya kabur dari New York ke kota-kota lain.

            Orang Indonesia memang seperti itu. Perlu pendekatan sosial lain dalam menyosialisasikan hal-hal seperti pencegahan penyebaran virus. Mungkin juga mereka sudah “bĂȘte” dengan berita corona yang dibumbui banyak sekali hoax. Saya sendiri mencatat dari berita televisi, tidak kurang dari 123 kasus hoax tentang corona yang ditangkap dan ditangani polisi.

            Orang Indonesia itu berbeda dengan bangsa lain, maka cara sosialisasinya pun harus berbeda. Cara bangsa lain belum tentu ampuh untuk bangsa Indonesia, begitu juga sebaliknya.

            Bukankah manusia itu diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa?

            Pastinya ada banyak perbedaan yang memerlukan cara berbeda pula dalam menanganinya.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment