oleh
Tom Finaldin
Hari ini adalah mulai
diberlakukannya peraturan-peraturan terkait pencegahan virus corona di
lingkungan pendidikan. Berbagai tingkatan pendidikan tidak diperbolehkan untuk
melakukan kegiatan pendidikan, termasuk mengerahkan massa dan rapat-rapat.
Sejak pagi sudah ada keanehan. Anak saya yang masih SD
pergi bersekolah dengan menggunakan masker. Katanya disuruh gurunya lewat WA.
Padahal, kan sudah dilarang melaksanakan pendidikan.
Di seputaran Banjaran ada lagi keanehan, anak-anak
berseragam sekolah SMP, mungkin juga SMA tampak di pinggir jalan. Saya segera
menduga anak-anak ini tidak memberitahukan kepada orangtuanya bahwa seharusnya
mereka di rumah. Mereka cuma modus pergi sekolah hanya untuk mendapatkan uang saku.
Kalau tidak sekolah, mereka nggak punya uang. Di samping itu, ada anak-anak
usia sekolah bergerombol berjalan. Mereka tidak menggunakan seragam, tetapi
menuju tanah lapang untuk sepak bola.
Setiba di SMP-MA Mawaddi, Banjaran, sekolahan sepi,
beberapa guru berada di kantor. Saya membaca beberapa lembar bacaan di sana,
lalu pergi lagi.
Di perjalanan semua tampak biasa saja, tak ada bedanya.
Terminal tetap ramai, pasar apalagi, kemacetan pun sudah biasa. Tidak ada
pengurangan aktivitas. Tak ada yang menggunakan masker. Ada sih, tetapi masker
yang bukan standar, warna-warni, gaya.
Apa kabar “Stay at Home”?
Masyarakat sepertinya tahu itu, tetapi cuek saja.
Sesampainya di Fisip, Universitas Al-Ghifari, masih
banyak mahasiswa yang di sana. Mungkin mereka baru tahu bahwa seharusnya mereka
berada di rumah dan mengerjakan UTS di rumah masing-masing. Akan tetapi, hingga
sore mahasiswa masih ada, pada ngobrol, nongkrong, sebagian beres-beres berkas
ujian.
Saya tanya mereka, “Nggak cepet pulang? Nggak takut corona?”
Mereka cuma ketawa-ketawa kecil dikiranya saya bercanda.
Padahal, cuma mencoba akrab.
Beberapa menggunakan masker standar, tetapi ada yang hanya
mulutnya ditutup masker, hidungnya tidak. Selebihnya, seperti biasa saja, tidak
bermasker.
Agak kaget ketika saya mendengar ada sekelompok, seorang dari
mereka yang bilang ke teman-temannya, “Jangan lupa ya, besok kita ke sini lagi.”
What?
Apa kabar “Stay at Home”?
Tidak mungkin juga saya mengusir mereka, apalagi dengan
bahasa kasar. Saya tidak tahu besok lusa dan besok-besoknya lagi, apakah
menjadi lebih sepi atau tambah ramai.
Orang Indonesia itu memang seperti itu. Dari dulu juga
seperti itu. Ketika ada virus flu burung, flu babi, anthraks, atau sars, bahkan
HIV, sepertinya “hare-hare”, cuek saja. Berbeda dengan orang Amerika Serikat.
Ketika beberapa tahun lalu awal dikenal virus flu burung, Kota New York sepi
bagai Kota Hantu selama tiga hari. Penduduknya kabur dari New York ke kota-kota
lain.
Orang Indonesia memang seperti itu. Perlu pendekatan
sosial lain dalam menyosialisasikan hal-hal seperti pencegahan penyebaran
virus. Mungkin juga mereka sudah “bĂȘte” dengan berita corona yang dibumbui
banyak sekali hoax. Saya sendiri
mencatat dari berita televisi, tidak kurang dari 123 kasus hoax tentang corona
yang ditangkap dan ditangani polisi.
Orang Indonesia itu berbeda dengan bangsa lain, maka cara
sosialisasinya pun harus berbeda. Cara bangsa lain belum tentu ampuh untuk
bangsa Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Bukankah manusia itu diciptakan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa?
Pastinya ada banyak perbedaan yang memerlukan cara
berbeda pula dalam menanganinya.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment