Friday, 28 May 2010

Demokrasi Ubah Indonesia Jadi Republik Sinetron

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak artis, baik itu artis lakon maupun penyanyi yang menjadi politisi. Banyak pihak yang memprihatinkan situasi dan kondisi tersebut. Dulu saja ketika negeri ini dipenuhi oleh para politisi yang punya perhatian khusus terhadap bangsa sudah amburadul, apalagi jika dipimpin oleh para artis yang jelas punya core bisnis di bidang entertainment, bukan dalam bidang penyelenggaraan negara.

Para artis dan pendukungnya berkilah bahwa mereka pun memiliki perhatian terhadap politik dan mempunyai kepedulian terhadap masalah yang diderita bangsa. Alasan itu tampaknya tidak terlalu penting untuk didiskusikan maupun diperdebatkan, bahkan tidak memerlukan tanggapan. Dalam dunia demokrasi tidak terlalu penting apakah seseorang itu cerdas, punya semangat juang, beriman, atau cinta kepada rakyat. Demokrasi hanyalah memerlukan dukungan rakyat pemilih. Para artis memiliki kesempatan emas untuk mendulang suara karena kepopulerannya di mata masyarakat. Dia pasti populer karena nama dan wajahnya sering tampil di media massa, baik cetak maupun elektronik. Rakyat akan cenderung memilihnya meskipun sebenarnya ia terkenal bukan dalam bidang politik maupun kenegaraan, melainkan dalam bidang yang jauh dari kekuasaan.

Soal rakyat cenderung memilih artis, sudah dibuktikan dalam kehidupan politik kita. Sebut saja Dede Yusuf, Komar, Sys NS, Rano Karno, Adjie Masaid, belakangan Syaiful Jamil, Primus Yustisio, Julia Peres, dan sederet nama lainnya ikut serta dalam memanfaatkan kepopuleran dirinya untuk ikut nimbrung di lembaga-lembaga politik.

Apabila pada masa depan semakin banyak artis yang menduduki jabatan-jabatan politis, tak terlalu salah apabila profesi artis akan menjadi salah satu batu loncatan untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Sudah sangat wajar jika entar-entar Bang Haji Rhoma Irama ikut mencalonkan diri menjadi presiden. Dia toh memiliki umat yang banyak, penggemar yang membludak, dan organisasi dangdut yang paling kuat di Indonesia ini. Jadilah kita Republik Sinetron Indonesia (RSI).

Parahnya, para politisi sungguhan, baik yang busuk maupun yang terhormat ikut pula terjebak dalam kondisi ini. Mereka tak bisa mengelak karena partainya harus besar. Untuk harus besar, jelas mesti mendapat dukungan rakyat banyak karena itulah yang dituntut dalam demokrasi.
Semua tak punya solusi untuk masalah ini. Pada satu pihak khawatir dengan kemampuan para politisi layar kaca, di pihak lain demokrasi menuntut jumlah pemilih terbanyak. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa peran serta para artis tak bisa dihindari dalam dunia demokrasi. Partai yang tidak mau menggunakan alat efektif berupa artis untuk mendulang suara akan menjadi partai gurem tak bermakna meskipun diisi oleh orang-orang cerdas, beriman, dan penuh daya juang.

Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang rendah dan kampungan. Sistem ini telah membuat bingung rakyat, politisi, dan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi hanyalah sistem politik gugurubugan yang menjatuhkan moral dan kepribadian bangsa Indonesia.

Tulisan ini sungguh bukan untuk mendiskreditkan para artis karena bisa saja mereka lebih baik daripada para politisi busuk yang selama ini menjadi duri bagi Negara Indonesia. Akan tetapi, kesan yang didapat saat ini adalah adanya pemanfaatan situasi oleh para artis dan elit politik untuk mencapai kekuasaan dengan cara rendah dan tidak bertanggung jawab. Situasi ini terjadi karena kita menggunakan sistem politik rendahan, yaitu demokrasi.

Syetan pun Terbahak-bahak dalam Pesta Pora

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Saya diingatkan oleh adik saya yang masih mahasiswa IAIN, “Aa, jangan suka nyalahin syetan. Syetan itu memang tugasnya begitu. Yang salah itu manusianya.”

Kata-kata itu bermaksud mengingatkan saya yang selalu menyalahkan syetan karena telah menggoda bangsa Indonesia untuk melaksanakan politik demokrasi. Saya pikir benar juga adik saya itu. Syetan itu memang akan terus seperti itu. Yang mesti berubah adalah kita, manusia.

Sudah pada tahu kan semua bahwa syetan itu setiap saat berniat mengacaukan kehidupan manusia agar tergelincir dari jalan yang benar? Artinya, tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Kalau mau tahu lebih jelas bagaimana syetan menggunakan demokrasi untuk menyesatkan manusia Indonesia, ada pada tulisan lain di situs ini.

Setelah Pemilu 9 April 2009, kita banyak disuguhi beraneka berita yang benar-benar menyedihkan. Saya tertarik pada kisah seorang Caleg gagal yang mengambil semua miliknya yang telah diberikan kepada orang banyak.

Sang Caleg itu orang baik sejak dulu. Sebelum menjadi Caleg, ia sudah merelakan tanahnya untuk digunakan oleh masyarakat, baik untuk pemukiman nonpermanen, maupun untuk pertanian. Banyak sudah masyarakat yang memanfaatkan kebaikan dia. Tanah yang ia pinjamkan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dinikmati orang banyak.

Dari segi spiritual, malaikat pencatat kebaikan dan malaikat lain-lainnya senang melihat perilaku kebaikan orang itu. Setiap saat, setiap tanahnya bermanfaat bagi orang lain, membuat catatan pahalanya menjadi banyak. Selama puluhan tahun, catatan pahalanya saya yakin sudah menggunung.

Karena demokrasi sangat dianjurkan di negeri ini dalam arti negeri ini sudah terkena wabah penyakit demokrasi, ia pun ikut-ikutan jadi Caleg karena tidak tahu bahwa demokrasi itu menyesatkan dan merupakan alat efektif bagi syetan.

Ia merasa yakin bahwa orang-orang yang telah menikmati tanahnya itu akan memilihnya. Akan tetapi, sayang berjuta-juta sayang. Rakyat yang tak tahu terima kasih itu tidak memilihnya.

Akibatnya, Sang Caleg tersinggung dan marah. Ia mengusir orang-orang tak tahu balas budi itu. Entah ke mana orang-orang itu pergi. Ia lalu menggunakan tanahnya itu untuk kepentingannya sendiri karena memang miliknya.

Ya Allah, Ya Robbi, sayang benar dia. Catatan pahala yang telah menggunung lebih dari sepuluh tahun itu hangus tak berarti. Ia telah menghancurkan niat baiknya. Ia terjatuh dalam pamrih yang sangat menyedihkan. Ternyata, Saudara-saudara sekalian, hatinya sudah sangat jauh dari pahala. Ia telah berubah banyak. Kebaikan itu ternoda dan hancur di sisi Allah swt.

Begitulah syetan menghancurkan amal kebaikan manusia. Catatan pahala yang panjang itu musnah terbakar, hangus tak bermanfaat.

Syetan pun terbahak-bahak dan berpesta pora. Demokrasi memang alat terefektif abad ini yang mampu menjerumuskan manusia dalam jurang kesengsaraan.

Entah ada peristiwa apa lagi yang mirip dengan yang satu ini.

Demokrasi … oh … Demokrasi…, kauakan melumatkan siapa pun yang percaya kepadamu.

Begitulah Coy, tragisnya hidup kita.

Ramadhan Penuh Dusta

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Taraweh Keliling, Subuh Keliling, tebar pesona, sebar sodaqoh, dan serangkaian aktivitas sosial positif lainnya yang inginnya disebut bernilai rohaniah digelar partai-partai dan elit-elit politik, baik yang sedang manggung maupun yang sudah sangat ingin manggung. Mereka tak ubahnya orang-orang baik yang ingin mengangkat derajat bangsa ini dari kemelaratan. Namun, di balik itu semua ada segumpal keinginan yang sulit disembunyikan, yaitu berharap simpati masyarakat untuk mendukungnya menduduki jabatan-jabatan politis yang lama diincarnya.

Dengan kata-kata manis yang rada-rada bernada keilahian, meluncur bak racun ke telinga masyarakat yang sudah sangat berharap bantuan ikhlas dari para dermawan dan negarawan. Para politikus itu menggunakan Ramadhan sebagai sarana yang tepat untuk mengumbar dusta dan janji-janji palsu.

Kita patut bertanya, mengapa mereka hadir dengan seabrek kemanisan itu semua pada saat-saat mendekati masa-masa pemilihan? Kalau toh memang ingin berbuat baik ikhlas lillaahi taala, mestinya dari dulu dan sudah menjadi bagaian hidup dari keseharian mereka. Di samping itu, tak perlu berharap dukungan masyarakat untuk memilihnya.

Sulit rasanya bagi kita untuk menilai mereka itu benar-benar berhati putih. Bahkan, ada kecurigaan dari mana dana-dana yang disebarkan itu berasal. Bisa-bisa dari para sponsornya yang nantinya ingin dibantu untuk menguasai sektor-sektor ekonomi dan pembangunan di negeri ini atau dari pinjam sana-pinjam sini yang disebutnya sebagai cost politics. Jika ini yang terjadi, mereka telah mencederai Ramadhan yang sebenarnya diciptakan Allah swt sebagai bulan penuh ampunan dan penuh berkah.

Brengseknya, banyak pula ahli agama yang terjun dalam politik sama-sama dengan tanpa malu-malunya menggunakan Ramadhan ini sebagai bulan emas untuk menebar pesona dengan harapan mendapatkan kursi panas yang menghasilkana uang syubhat dan cenderung haram. Dengan demikian, tak terlalu salah ada pemeo yang mengatakan bahwa preman dan kiai jika sudah terjun dalam politik sama gilanya.

Bagi para politisi, perilaku tersebut bukanlah suatu dosa atau kekeliruan karena selalu mengharapkan waktu dan suasana yang tepat untuk menggelar kampanye tersembunyi. Jika tak percaya, tanyakan langsung kepada mereka yang inginnya disebut terhormat itu.

Inilah buah dari demokrasi. Demokrasi memang selalu menuntut dusta dan janji-janji palsu agar mendapat perhatian rakyat untuk memilihnya. Jika tak berdusta dan tak berjanji palsu, kata-kata sederhana dan polos tampaknya tak akan menarik minat masyarakat.

Mana yang akan Saudara pilih jika ada dua orang politisi yang mengampanyekan program seperti berikut? Politisi A berjanji akan menurunkan harga sembako dalam waktu satu bulan sejak dia menduduki jabatan yang dinginkannya, sedangkan Politisi B mengajak rakyat untuk hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang mengurangi kebiasaan makan sehari-hari sambil memperbanyak kesadaran untuk bersabar menghadapi hidup di samping tak ada kepastian untuk menurunkan harga bahan-bahan sembako.

Pilih A atau B?

Thursday, 27 May 2010

Pemilu Pesta Katanya

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pemilu disebut-sebut orang sebagai pesta demokrasi. Duh, bagaimana ini orang-orang bisa percaya bahwa itu sebuah pesta?

Sepanjang yang saya ketahui, yang namanya pesta itu suasananya meriah penuh kesenangan, baik Sang Pemilik Hajat maupun yang diundang. Semuanya gembira riang. Kalau kita tidak diundang pada sebuah pesta yang diadakan kenalan kita, kita agak sedikit sedih dan rada-rada tersinggung. Ketika orang-orang senang-senang, kita sendirian merasa disisihkan. Pokoknya, dalam pesta semua bersuka cita.

Lha ini, Pemilu katanya pesta, tetapi banyak orang deg-degan, terutama mereka yang jadi calon penguasa. Uang sudah keluar banyak, harapan sudah di ujung ubun-ubun, pasti nggak tenang, pusing entah berapa keliling. Yang diundang, rakyat pun bingung, milih ini salah milih itu salah, ah … siapa tahu milih yang ono aja ah daripada nggak milih, siapa tahu ada untungnya. Mereka yang serius bener-bener hanya yang punya keterkaitan langsung dengan partai atau calonnya. Di mana gembiranya? Bahkan, salah-salah, berujung di rumah sakit jiwa.

Katanya sih, demokrasi pengennya menjadikan rakyat berkuasa. Memang rakyat berkuasa pada hari itu, bisa menentukan siapa menduduki apa, tetapi hanya hari itu rakyat berkuasa, itulah satu-satunya hari rakyat berkuasa meskipun tidak berkuasa penuh karena ada money politics. Hari-hari lainnya, sudah tidak ada lagi kekuasaannya. Inilah ketololan politik demokrasi yang menipu rakyat untuk berkuasa, tetapi hanya satu hari. Mestinya, rakyat itu berkuasa setiap hari. Bingung kan? Bagaimana caranya rakyat berkuasa setiap hari? Pasti bingung atuh karena di dalam pikirannya hanya ada demokrasi, tirani, atau Negara Islam. Padahal, ilmu Allah swt itu luas meliputi segala sesuatu.

Para calon yang kebelet ingin manggung itu sudah melakukan serangkaian aksi, entah halal atau haram. Semuanya berkoar-koar demi rakyat, demi kemajuan, demi bangsa. Mereka mengeluarkan uang banyak untuk membiayai partai, tim sukses, spanduk, poster, baligo, iklan di media massa, dan lain sebagainya. Jumlahnya pasti ratusan triliun.

Pada paruh 2008 lalu ada pengamat di televisi yang menyatakan bahwa sampai pada tahun itu dana yang sudah dihabiskan untuk berbagai Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) mencapai lebih dari 900 triliun. Jumlahnya itu pasti bertambah pada tahun 2010 ini. Itu baru yang bisa diukur. Belum lagi yang tidak bisa diukur berupa pengeluaran dari para Caleg dan Caleks (calon eksekutif). Pasti jumlahnya berlipat-lipat daripada 900 triliun itu.

Para pengingin berkuasa itu telah habis-habisan mengeluarkan uang. Sungguh dengan perilaku itu, tipis kepercayaan kita bahwa mereka bisa mengabdi kepada rakyatnya dengan tulus.

Saya kasih tahu, kalau mencintai rakyat itu mestinya uang yang dimiliki itu digunakan untuk meringankan dan membantu rakyat benar-benar, misalnya, membangun irigasi, membebaskan tanah, membuka lapangan kerja, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, menyantuni fakir miskin tanpa harus teriak-teriak ingin mendapatkan kekuasaan. Berbuat baik saja semaksimal mungkin untuk rakyat. Hal ini akan menunjukkan betapa luhurnya jiwa kita. Orang-orang yang bertipe ini tanpa harus mejeng di baligo atau spanduk pasti akan menjadi tujuan rakyat, tempat orang-orang menuju. Rakyat akan menjadikan dia ayah yang baik dan disegani, kata-katanya bagaikan mutiara karena meluncur dari hati emas yang murni tulus, perintahnya akan diikuti tanpa harus dengan kekerasan.

Dengan mengeluarkan uang banyak-banyak untuk menggelar serangkaian aksi kampanye justru memunculkan kecurigaan yang tinggi. Kita patut curiga apa yang mereka inginkan dari kekuasaan yang didapatkan? Sampai-sampai mereka ada yang mengorbankan dirinya untuk siap bertahan dari depresi akibat dari kekalahan. Ada dugaan bahwa mereka habis-habisan seperti itu karena telah melihat berbagai keuntungan materi duniawi yang lebih besar daripada yang telah dikeluarkan. Kalau bukan untuk keuntungan itu, untuk apa lagi atuh? Karena cinta rakyat? Wah, bukan begitu caranya untuk mencintai rakyat, Coy.

Kalau ada yang mirip-mirip gerakan sosial dan terkesan tulus, seperti, membagikan sembako, membelikan buku sekolah, menyantuni kaum dhuafa, itu juga kelihatan pamer dustanya. Kenapa baru dekat-dekat pemilihan melakukan banyak kebaikan itu? Mestinya dari kemaren-kemaren setiap ada kelebihan rezeki. Itu baru cinta rakyat, cinta bangsa. Kenyataannya kan tidak seperti itu.

Kalau memang itu yang ada dalam benak para calon penguasa itu, berarti rakyat telah ditipu dan terus dibujuk rayu untuk ditipu dengan harus mendatangi tempat pemungutan suara.

Kalau ternyata Pemilu selesai dan ada orang-orang yang beruntung terpilih, saya tidak yakin mereka dapat membawa konsep-konsep, aspirasi-aspirasi, pemikiran-pemikiran positif yang dimilikinya, itu pun kalau ada. Hal itu disebabkan dalam politik demokrasi terdapat tarik-menarik kepentingan yang teramat kuat, perdebatan yang tak perlu, dan pengambilan keputusan yang lamban hasil dari kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyat hanyalah tetap menjadi pihak penderita yang tak lagi diajak bicara.

Pada saat itu para idealis akan merasakan betapa susahnya memajukan negeri; para patriot menemukan kesedihan yang memilukan; para pejuang merasakan kelelahan; setiap diri tergoda oleh materi dan kekuasaan yang rasanya gurih dan nikmat. Bahaya yang telah terjadi adalah banyaknya orang berhati tulus yang telah luntur ketulusannya karena sistem politik demokrasi.


Saya seorang wartawan bisa bertemu siapa saja dan melihat dari dekat orang per orang, partai per partai. Sungguh, setiap orang yang saya temui selalu memiliki idealisme yang luhur dan tulus, namun semua itu tertahan dan sulit terwujud karena sistem politik demokrasi menyusahkannya.

Dari seluruh pengamatan itu, saya melihat bahwa hari pelaksanaan Pemilu itu merupakan hari Pesta Ketertipuan Nasional. Artinya, rakyat telah tertipu, para elit pun tertipu. Jati diri kita seluruhnya telah tertipu.

Kita akan terus menipu diri jika terus menggunakan sistem politik demokrasi yang menipu itu.

Kukuk Beluk

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Saya tidak tahu apa itu kukuk beluk. Akan tetapi, saya punya sangkaan bahwa kukuk beluk adalah adalah binatang sejenis unggas yang saya pun belum pernah melihatnya atau memang sudah melihatnya, tetapi tidak tahu namanya atau sudah melihatnya, tetapi bagi saya namanya bukan kukuk beluk. Orang Jawa mungkin tahu kukuk beluk karena Soekarno, Presiden RI ke-1, pernah menulisnya dalam artikelnya. Saya orang Sunda, jadi tidak mengenal kukuk beluk, cuma nyangka-nyangka saja.

Dalam artikel itu, Soekarno mengatakan bahwa saat itu di Indonesia banyak kukuk beluk, artinya banyak orang yang sifatnya sama dengan kukuk beluk. Saat itu menurutnya bangsa Indonesia sudah benar-benar 100% kelas kambing yang harus selalu patuh pada kekuasaan kolonial. Sikap dan situasi itu dianggap benar oleh masyarakat, artinya sudah menjadi sesuatu yang seharusnya bangsa Indonesia dikuasai bangsa asing sehingga kehilangan kekuatannya sendiri. Adapun orang-orang yang tersadar dari situasi itu dan mencoba membangkitkan kekuatan masyarakat Indonesia akan dianggap pengacau, provokator, dan berbahaya. Rakyat tidak habis mengerti mengapa harus mengikuti orang-orang yang aktif berkoar-koar untuk merdeka, toh keadaan sudah seperti itu dan dijalani sebagaimana hari-hari biasanya. Banyak sekali orang yang kaget dan terkejut saat Soekarno berapi-api menyampaikan gagasan dan pandangannya. Mereka geger seperti kukuk beluk yang selamanya berada dalam ruangan gelap, lalu blingsatan saat ada cahaya masuk, saat datang tajamnya sorot pemikiran baru. Tak sedikit dari mereka yang memaki, mengata-ngatai, dan berpendapat buruk terhadap Soekarno. Masyarakat menganggap Soekarno kelewatan, tak tahu diri, bodoh, tolol, dan nggak ada kerjaan.

Begitulah rakyat kelas kukuk beluk yang disampaikan Soekarno. Karena mereka sudah menganggap hidupnya wajar seperti itu, saat disadarkan, heboh nggak karuan.

Sekarang juga sama para kukuk beluk ada di mana-mana. Rakyat banyak yang sudah terhipnotis dengan keadaannya. Kita hampir seluruhnya menerima bahwa kita memang harus berdemokrasi. Sistem politik demokrasi adalah yang terbaik dan paling unggul meskipun penuh dengan tipuan dan keborokan. Dengan demikian, jika ada orang atau pihak yang menyadarkan masyarakat untuk segera menghentikan demokrasi karena merupakan alat penjajahan gaya baru, sebagaimana yang terjadi dengan kukuk beluk, yaitu geger, menganggap bodoh, kampungan, tolol, dan tak tahu diri pada orang yang menyadarkannya itu. Padahal, amat besar kecintaan orang itu pada negerinya, Indonesia.

Demikianlah kukuk beluk yang bisa dikisahkan di sini. Sudah sewajarnya jika kukuk beluk tak mau berubah menjadi burung Garuda Perkasa, hiduplah dalam kegelapan dan kesesatan demokrasi. Selamat menderita.

Simposium Kebangsaan, Kasian Deh Lu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu, sejumlah politisi dan banyak rektor di Indonesia berkumpul, berembuk, dan berdiskusi dengan maksud menyusun sebuah panduan bagi politisi Indonesia agar dapat bekerja lebih baik dan sesuai dengan jiwa bangsa. Begitulah kira-kira yang saya pahami dari berita tentang simposium kebangsaan yang diberitakan media massa.

Saya yakin bahwa simposium itu terjadi karena keprihatinan atas perilaku politisi yang sudah terlihat jauh dari jati diri bangsa dan juga atas dorongan ingin menciptakan kehidupan Indonesia dengan lebih baik lagi.

Saya pun yakin hasil dari simposium itu akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang hebat dan mulia. Maksudnya juga kan untuk memandu para politisi. Akan tetapi, saya sama sekali tidak yakin bahwa panduan itu akan digunakan sebagaimana yang diharapkan. Persoalannya adalah sekuat apa hasil simposium itu mengikat diri pribadi politisi. Dalam praktiknya, mereka itu lebih terikat pada partai, kepentingan politik, para sponsornya, tim suksesnya, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pemenangan dirinya menjadi penguasa. Dengan kata lain, panduan yang dihasilkan simposium itu hanya sekedar tulisan bermakna yang tak punya arti karena tidak akan terlaksana dengan baik.

Hasil dari simposium itu akan bisa terlaksana dengan baik secara utuh jika kita meninggalkan sistem demokrasi yang rapuh dan menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan ini. Kita akan hidup lebih baik, lebih makmur, dan lebih punya harga diri jika menggunakan sistem hidup, sistem politik yang berasal dari nilai dan norma-norma diri sendiri, bukan mencontoh hidup orang lain yang nggak karu-karuan itu.

Demokrasi itu mendorong orang untuk curang, jahat, ingkar, dan menipu. Sepertinya itu indah demokrasi, tetapi sesungguhnya menjauhkan diri kita dari kemuliaan diri yang telah dianugerahkan Allah swt kepada kita.

Selama kita berdemokrasi, selama itu pula kita akan tersesat dan bingung. Selama itu pula kita akan kehilangan diri sendiri. Hasil dari simposium itu tak akan mampu mengembalikan kekuatan bangsa jika masih terus menggunakan sistem politik demokrasi.

Jadi, hasil dari simposium kebangsaan itu, …. kasian deh lu.

Kita Memilih Orang Gila

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah menjadi berita nasional bahwa beberapa waktu lalu banyak rumah sakit jiwa (RSJ) yang berbenah diri dan menyiapkan dirinya untuk menanti kedatangan pasien baru yang jiwanya terganggu karena tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Para ahli jiwa itu memang cerdas karena telah melihat kemungkinan yang sangat besar untuk itu. Banyak orang yang melakukan debut untuk menjadi “wakil rakyat” dengan mengerahkan seluruh potensi ekonominya. Mungkin mereka habis-habisan mengeluarkan dana, baik yang dimilikinya sendiri, berasal dari pinjam sana-pinjam sini dengan menggadaikan itu-ini, ataupun berasal dari jual janji pada para sponsor asing dan sponsor dalam negeri. Mereka telah “memanjangkan angan-angan” dengan berbagai spekulasi.

Persiapan yang dilakukan RSJ itu bukan cuma omong kosong, Bukankah sudah ada buktinya? Calon bupati yang tidak terpilih telah menjadi gila karena banyak hutang.

Sekarang orang-orang yang berdesak-desakan karena tertipu oleh sistem politik demokrasi semakin banyak, sedangkan kursi yang tersedia teramat terbatas. Itu pasti menjadi alasan kuat bahwa akan banyak orang yang terjerumus bego.

Akan tetapi, … ah … sudahlah …. Itu urusan mereka antara orang gila dengan perawatnya. Kita yang diselalu dibujuk rayu untuk memilih harus paham bahwa kita bisa saja memilih orang gila itu. Partai yang kita contreng pasti menambah suara partai itu. Orang yang kita contreng juga demikian. Kalau memang orang yang kita pilih itu jadi berkuasa, agak mendingan meskipun kekuasaannya belum tentu menguntungkan kita. Lucunya adalah jika orang yang kita pilih itu nggak jadi apa-apa alias kalah, terus jiwanya tidak bisa menahan kekalahan itu. Dia bukannya masuk gedung dewan yang kata orang terhormat itu, tetapi malah nginep di RSJ. Itu artinya, kita telah memilih orang gila dan berpenyakit jiwa. So, rugi juga jika kita antri, ngotorin tangan, ngabisin waktu cuma untuk memilih orang gila.

Mudah-mudahan mah kalau nggak kepilih, jangan jadi gila atuh. Bukankah kita keturunan orang-orang perkasa yang sanggup menyeberangi lautan samudera yang teramat luas itu?

Lebih baik bertafakur, merenung, beginilah demokrasi dengan segala kesesatannya itu. Lalu, kembali pada diri sendiri. Dengan demikian, Allah swt akan mencurahkan kasih sayangnya dan menunjuki kita kepada jalan yang lebih lurus dan lebih mudah. Amin.

Fatwa MUI Menggelikan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
MUI adalah majelis yang dari dulu saya hormati, bahkan sampai kini. Akan tetapi, fatwa yang dikeluarkan baru-baru ini membuat bingung masyarakat dan lumayan menggelikan. Fatwa itu cenderung menyebabkan penilaian terhadap kredibilitas dan kapabilitas MUI menurun.

MUI adalah majelis yang dihuni oleh ahli-ahli dalam agama Islam. Artinya, lembaga ini hendaknya menjadi rujukan kaum muslimin di Indonesia yang rata-rata pengetahuan dan pemahaman Islam-nya jauh di bawah mereka yang berada dalam MUI. Oleh sebab itu, lembaga ini pun hendaknya harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa karena akan membawa pengaruh yang cukup luas bagi perkembangan sosial dan spiritual rakyat negeri mayoritas muslim ini.

Masyarakat sempat dikejutkan oleh fatwa MUI yang mengharamkan Golput. Alasannya, dalam Islam diharuskan ada seorang pemimpin dan kaum muslimin wajib memiliki pemimpin. Tentunya, dengan berbagai alasan lainnya yang tampak masuk akal untuk orang kebanyakan.

Fatwa haram Golput ini sesungguhnya fatwa yang menggelikan dan cukup membuat tertawa hampir terpingkal-pingkal. Soalnya, dasar yang digunakan untuk keluarnya fatwa ini sangat terbatas. Artinya, berdasar hanya pada hal-hal yang dituntut oleh Islam tanpa berdasar pada wawasan pergaulan manusia dan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional.

Betul sekali memiliki seorang pemimpin itu wajib. Namun, untuk mendapatkan pemimpin melalui proses demokrasi yang rendahan ini, tidaklah wajib, bahkan mestinya diharamkan untuk ikut bagian dalam proses demokrasi. Hal itu disebabkan demokrasi adalah sitem politik rendahan yang cenderung menghancurkan martabat manusia dan menjauhkan bangsa Indonesia dari jati diri yang sesungguhnya. Untuk hal ini, banyak artikel yang terdapat dalam http://tom-finaldin8.blogspot.com.

Demokrasi itu berasal dari perilaku orang-orang bingung di Athena zaman dahulu kala, yaitu 600 tahun sebelum masehi, sebuah waktu yang sangat kuno dan kadaluarsa. Mereka saat itu bingung dan mencari cara agar memiliki sistem pemerintahan yang mampu untuk mengelola berbagai suku yang ada. Lahirlah demokrasi kuno. Dari sanalah awalnya. Demokrasi saat ini pun meski dikatakan berkembang, dasarnya masih yang itu-itu juga.

Setelah Athena hancur dikalahkan oleh Sparta yang tidak menganut demokrasi dalam perang Peloponesia, demokrasi tenggelam ditinggalkan begitu saja. Selama dua ribu tiga ratus tahun, dunia tidak menggunakan demokrasi karena dianggap tidak efektif dan kampungan. Sejak saat itu, dunia mencatat berbagai kejayaan di atas muka Bumi ini. Kejayaan Eropa tak ada kaitannya dengan demokrasi, kemajuan keemasan India dan Cina sama sekali tidak di bawah pengaruh demokrasi. Kegilang-gemilangan Islam tak ada hubungannya dengan demokrasi. Demikian pula kemakmuran dan kejayaan negeri-negeri yang kini menjadi Negara Indonesia terjadi tidak pada zaman demokrasi, tetapi terjadi pada masa-masa kerajaan sebelum Si Bedebah VOC datang.

Justru pada zaman ini, zaman demokrasi dielu-elukan dan hampir disakralkan, terjadi penurunan derajat kemanusiaan. Pengetahuan tak lagi berkembang, kecuali untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Rasa kemanusiaan turun drastis. Kejahatan, kemaksiatan, dan kerakusan merajalela.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa demokrasi sama sekali bukan sesuatu yang perlu diteruskan, melainkan harus ditinggalkan dan dilenyapkan. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI mengeluarkan fatwa haram bagi Golput.

Golput adalah suatu sikap politik yang cerdas karena tidak menemukan figur yang pantas untuk dijadikan pemimpin. Hal ini ada dalam artikel-artikel saya.

Dari pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa demokrasi itu berasal dari ajaran dan perilaku orang-orang bingung Athena, bukan dari para Rasul dan Nabi. Kemudian, demokrasi itu sendiri telah menjauhkan manusia dari berbagai kebaikan nuraninya. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI yang Islam itu mewajibkan umat Islam untuk ikut dalam proses demokrasi yang berasal dari orang bingung Athena (bukan muslim) dan sudah terbukti tidak efektif.

Soal wajib memiliki pemimpin itu benar. Namun, saya lebih percaya pada teori primus inter pares, ‘orang terbaik di kelompoknya’. Saya yakin pemimpin ini pasti akan ada tanpa harus ada demokrasi. Jika kita berjalan dua, tiga, lima, atau sepuluh orang di dalam hutan, orang terbaik di kelompok itu pasti ada dan otomatis akan menjadi pemimpin kelompok itu tanpa harus ada pemilihan. Orang terbaik itu akan menjadi tujuan orang-orang di sekitarnya. Dialah seseorang yang menjadi tempat orang lain menuju.

Demikian pula dengan Negeri Indonesia yang kita cintai ini. Pasti ada orang terbaik dalam negeri ini yang bisa memimpin dengan adil, bijak, dan penuh cinta. Akan tetapi, selama negeri ini masih percaya, mencintai, bahkan menganggap demokrasi adalah sistem terbaik bagi suatu pemerintahan, selama itu pula orang terbaik itu akan sulit muncul untuk memimpin. Pemimpin yang akan lahir dari demokrasi adalah orang-orang yang berkualitas rendah.

Bagaimana mungkin orang terbaik itu muncul jika harus berdemokrasi? Bukankah menjadi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam sistem demokrasi itu mahal? Perlu uang banyak, massa yang berjubel, dan jaringan usaha yang kuat? Orang terbaik itu tidak akan ikut dalam demokrasi karena tak akan mengeluarkan uang banyak, massa yang hebat, dan jaringan yang menggurita. Dia malu jika gambarnya harus dipertontonkan di spanduk-spanduk atau baligo. Dia orang pilihan yang akan muncul dalam saat yang tepat sesuai dengan rencana Allah swt.

MUI sebaiknya berdoa dan terus berharap kepada Allah swt agar saat orang terbaik itu muncul, tidak menjadi institusi yang pertama dan terdepan untuk menentangnya. Lebih baik lagi jika MUI terus mendorong masyarakat untuk berdoa agar Allah swt memberikan jalan keluar bagi berbagai kesulitan yang diderita bangsa ini.

Ada dugaan dan nada-nada sumbang di masyarakat. Mungkin fatwa itu lahir dari dorongan pihak-pihak yang diuntungkan oleh demokrasi dan sangat menikmati kekalutan kehidupan rakyat negeri ini. Ada juga yang mengira-ngira bahwa mungkin banyak di antara anggota MUI itu yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg atau kepala daerah sehingga Golput adalah ancaman bagi kepentingannya. Entahlah, yang jelas saya sangat berharap bahwa fatwa itu tidak atas dasar kepentingan rendah dan kerdil, melainkan atas keinginan untuk menyelamatkan rakyat.

Soal fatwa itu salah atau kurang benar, itu soal lain. Yang jelas, niatnya harus untuk kebaikan. Kalaupun di hadapan Allah swt fatwa itu salah, toh MUI sudah memiliki sebuah pahala yang sangat besar, yaitu berpikir untuk umat dengan niat yang murni untuk mendapatkan keridhoan Allah swt. Kalau dorongannya duniawi, jelas MUI sendiri tahu akan dapat apa dari Allah swt.

Dijajah Bangsa Sendiri

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Terlebih dahulu saya mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberi komentar atas tulisan saya yang berjudul Yakin pada Diri Sendiri. Sungguh saya merasakan dalam komentar itu ada semangat, kemarahan, dan keinginan. Tak perlu diragukan lagi jika tindakan dan perasaan kita yang muncul diakibatkan kondisi kehidupan negeri ini berdasarkan pada kebaikan, Allah swt akan beserta kita. Jangan ragu dan tetaplah pada jalan itu sampai Allah swt memberikan kejelasan atas semua yang terjadi.

Dalam komentar itu disebutkan bahwa Indonesia dijajah dalam tiga zaman, yaitu: Belanda, Jepang, dan bangsa sendiri. Untuk Belanda dan Jepang itu sudah pasti, sudah tertulis dalam tinta kengerian dan penderitaan sejarah kelam negeri ini. Akan tetapi, untuk komentar negeri ini saat ini sedang dijajah bangsa sendiri, saya senang jika berbagi pemahaman.

Dalam pandangan saya, tak ada satu nilai atau norma pun yang berasal dari dalam jiwa bangsa Indonesia yang mengajarkan untuk berbuat keburukan, termasuk melakukan kesewenang-wenangan. Apabila bangsa ini mau tunduk pada jiwanya sendiri, akan lebih menyenangkanlah kiranya tatapergaulan kita.

Mengapa sekarang ada kesan bahwa Indonesia sedang dijajah penguasanya sendiri? Persoalannya adalah banyak sekali penguasa dan elit kita yang masih terjajah cara berpikirnya. Mereka berpikir bahwa cara-cara hidup yang berasal dari luar adalah yang terbaik bagi negeri ini. Mereka dari awal sudah merasa sebagai bangsa terbelakang yang hina dan tidak berpengetahuan. Dengan demikian, kita harus selalu mencontoh cara-cara dan sistem berbangsa dari negeri orang yang jauhnya kebangetan. Itulah penyebabnya.

Demokrasi adalah cara-cara bernegara dari negara lain, bukan jati diri asli bangsa Indonesia. Karena negeri ini menganggap bahwa demokrasi adalah cara bernegara yang terbaik, para elit dan pemimpin-pemimpin kita ikut berpacu dalam demokrasi. Setelah menang, tentu saja dia harus memikirkan bagaimana mengucapkan “terima kasih” kepada pihak-pihak yang telah membantunya, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ucapan terima kasih itu bukan seperti kita apabila diberi makanan oleh teman kita yang hanya cukup dengan bahasa thank’s, melainkan berupa proyek-proyek, uang kes, jabatan, legislasi yang menguntungkan, atau sumber-sumber daya alam yang dikuasainya.

Nah, pemberian terima kasih dan bagi-bagi pekerjaan di kalangan elilt itulah yang kita rasakan sebagai penjajahan oleh bangsa sendiri. Artinya, banyak penguasa yang pasti lebih mementingkan dulu kelompoknya dibandingkan rakyat keseluruhan.

Kita mesti ingat bahwa demokrasi modern itu lahirnya dibidani oleh para pengusaha, bussinesman, yang menginginkan perusahaannya lebih meluaskan lagi kewenangan dan teritorialnya. Artinya, demokrasi itu menjadi sandaran utama untuk berbisnis dengan menggunakan slogan-slogan demi rakyat, untuk rakyat, kesejahteraan rakyat, dan lain sebagainya yang bertopeng rakyat. Padahal, dalam kenyataannya, rakyat itu dinomorsekiankan.

Dalam beberapa kali pengalaman saya bertemu para pemimpin partai, baik lokal maupun nasional, mereka itu sesungguhnya memiliki keinginan yang luhur untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Tak ada keraguan bahwa sungguh mereka itu berkata jujur. Mata dan lidahnya menggambarkan keinginan untuk baik. Mereka itu ada yang sudah berkuasa dan ada yang masih berada di luar kekuasaan. Akan tetapi, sayang seribu sayang karena mereka menggunakan mekanisme demokrasi, yang terjadi adalah mereka semua terjebak dalam lingkaran yang rumit dan sulit untuk keluar. Akibatnya, cita-cita luhur dan mulia mereka tidak bisa terlaksana karena banyak terikat oleh ini itu, pihak ini pihak itu, dan upaya-upaya mempertahankan kekuasaan yang menyita energi tidak sedikit.

Yang ingin saya tegaskan di sini adalah sebenarnya kita memiliki pemimpin-pemimpin yang baik dan bercita-cita mulia, rata-rata mereka itu jujur saat belum mendapatkan posisi kekuasaannya. Akan tetapi, saat bermain dalam demokrasi dan apalagi ketika sudah mendapatkan kekuasaan, kejujuran dan kebaikan yang ada itu mulai luntur. Mereka toh harus menang dan mendapatkan banyak suara. Untuk menang kan harus banyak melakukan sesuatu, harus melakukan kerja-kerja politik yang lumayan berat. Dalam melaksanakan kerja-kerja politik itu, tak sedikit perilaku-perilaku yang menodai kejujuran dan kebenaran. Alhasil, negeri ini masih begini-begini juga.

Jadi, penjajahan yang dirasakan dilangsungkan oleh bangsa sendiri, pada hakikatnya adalah sebagian besar para elit kita masih terjajah cara berpikirnya dan menganggap bahwa cara-cara hidup yang diajarkan oleh nilai-nilai kebaikan bangsa sebagai produk terbelakang dan kuno. Begitulah yang terjadi.

Memang agak sulit untuk memahaminya, namun hal ini saya pahami berdasarkan pengamatan, pengetahuan, dan keyakinan yang ada pada diri saya.

Lucu Orang Indonesia Mikirin Pilpres AS

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Sudah menjadi kebiasaan yang aneh di negeri ini, jika AS melaksanakan Pilpres, banyak orang ikut sibuk mikirin. Harap-harap cemas pula. Bahkan, ikut dukung-mendukung salah satu Capres AS dengan rasa penuh hormat dan simpati pada proses demokrasi di AS. Padahal, kita punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan, yaitu nasib bangsa Indonesia sendiri.

Kita memang sudah menjadi bangsa yang kata Soekarno rakyat yang 100% kelas kambing. Kita sudah sangat percaya bahwa kita adalah bangsa yang lemah, bodoh, terbelakang yang selalu harus meniru orang lain. Hal ini merupakan buntut tekanan penjajahan yang berabad-abad. Padahal, orang sedunia pun mengakui kehebatan teknologi pembangunan Borobudur yang tak pernah bisa dilakukan orang-orang modern dari negara mana pun.

Untuk soal penyelenggaraan negara, kita tak punya keyakinan diri sendiri, kita ngikut-ngikut cara-cara orang AS yang dulunya adalah para “pelarian agama” dari Eropa. Padahal, tak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mengalami masa kemakmuran dan keemasannya adalah pada saat sebelum mengenal demokrasi. Perhatikan sejarah kita yang penuh kemegahan di bawah panji-panji kerajaan-kerajaan di Nusantara. Selain itu, kita bukanlah warga AS yang pelarian agama. Kita adalah penduduk yang tak pernah disakiti oleh para pemimpin agama dan raja-raja. Kalaupun ada kisah kekerasan, itu adalah setelah kehadiran VOC.

Dengan demikian, lucu sekali jika kita ikut ramai mikirin Pilpres AS. Hal itu menunjukkan bahwa kita memang sangat memuji AS yang kini sudah sangat dikenal sebagai negara teroris No. 1 di dunia dan ikut serta merampok kekayaan negara Indonesia dengan cara berkolusi dengan pejabat korup.

Dulu banyak orang yang berpendapat dan berharap bahwa jika Barack Obama dari Partai Demokrat memenangkan Pilpres AS, Indonesia dan Islam akan mendapat banyak angin segar dan kemudahan. Hal itu disebabkan Obama masa kecilnya di Indonesia dan kampanyenya adalah menarik pasukan AS dari Irak. Pendapat dan harapan itu adalah muncul dari kelemahan mental dan pikiran kerdil. Semuanya dusta dan tidak mungkin. Mustahil dipandang dari berbagai segi.

Amerika sesungguhnya negara yang dijadikan alat para kapitalis dan Yahudi untuk tetap menguasai dunia. Mereka adalah manusia-manusia serakah yang tidak mampu bertahan hidup dengan jujur. Mereka harus selalu melakukan banyak tipu daya dan kekerasan untuk dapat melangsungkan hidupnya. Mereka adalah orang-orang rendahan yang menyedihkan.

Dalam sejarah Amerika, pemimpin-pemimpin yang pro kemanusiaan dan keadilan kerap harus berakhir naas dan memilukan. Ingat Abraham Lincoln, Martin Luther King, John F. Kennedy dan keturunannya dibunuh secara misterius tak terpecahkan. Mereka adalah orang-orang yang dikenal memiliki moral tinggi dan anti pemerasan terhadap manusia. Akan tetapi, pemimpin AS yang mau tunduk pada kapitalis dan Yahudi akan selamat dan hidup gemerlapan di tengah cacian penduduk dunia.

Demikian pula presiden AS masa depan. Mereka akan semakin keras terhadap manusia agar sesuai keinginan AS karena demikianlah tuntutan kapitalis dan Yahudi. Jika mereka tidak mau tunduk pada kapitalis dan Yahudi, kita tinggal menonton kejatuhannya. Itu pasti terjadi.

Tak ada gunanya kita berharap pada presiden AS, siapa pun dia, agar memberikan angin segar pada dunia dan bangsa Indonesia. Sebaiknya, kita ingat nasihat Pemimpin Besar Revolusi Indonesia bahwa maju mundurnya bangsa Indonesia bergantung pada diri kita sendiri bukan bergantung pada orang lain. Negara lain, khususnya yang berkulit putih selalu cari untung sendiri bahkan melakukan imperialisme dengan berbagai kedoknya. Bukankah negeri ini sudah banyak dikuras oleh mereka, sedangkan rakyat kita tetap dalam penderitaan?

Tinggalkan demokrasi dan kembali pada keluhuran jati diri. Dengan itulah kita akan menjadi negara yang kuat dan makmur.

Kenapa Gembira dengan Kehadiran Hillary Clinton?

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu, Hillary Clinton, Menlu AS, mengunjungi Indonesia dalam rangka safarinya ke negeri-negeri Asia. Dalam kunjungan itu, Hillary banyak memuji Indonesia yang katanya telah melaksanakan demokrasi dengan baik dan merupakan negeri yang tepat untuk melaksanakan investasi, tentunya dengan sejumlah pujian lainnya.

Sebelum kehadirannya ke Indonesia, banyak pihak di dalam negeri yang sudah senyum-senyum sumringah. Apalagi ketika sudah datang, semakin banyak yang gembira dan berusaha mengikuti perjalanannya. Sebelumnya, sudah banyak yang berharap bahwa Barack Obama dan kabinetnya akan bageur, ‘bersikap baik’, kepada Indonesia dan menjadi jalan keluar dari kesulitan yang diderita negeri ini.

Sungguh, orang-orang yang punya harapan banyak kepada Obama dan Hillary adalah orang-orang kerdil dan bermental inlander, berjiwa kaum terjajah.

Saya jadi ingat. Dulu Belanda datang ke Indonesia dengan bermuka manis dan baik-baik. Katanya, mereka ingin mengajarkan keamanan, keberadaban, dan ketertiban, beschaving dan orde en rust. Orang kita percaya saja mulut mereka, bahkan gembira dengan melupakan bahwa sebenarnya ketika orang-orang Eropa masih tinggal di pinggir-pinggir sungai, di gua-gua, dan berantem rebutan sepetak tanah, rakyat Indonesia sudah hidup lebih tertib, damai, serta mengenal namanya tenggang rasa dan gotong royong. Kejadian selanjutnya, Belanda menjajah dan memeras rakyat sekaligus sumber daya alam Indonesia karena mereka miskin bahan dasar untuk kebutuhan hidup negerinya.

Jepang pun demikian. Mereka datang dengan kalimat-kalimat 3A, yaitu: Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia. Maklum, saat itu memang Jepang sedang berada dalam kepopulerannya karena merupakan negeri Asia pertama yang telah berhasil mengalahkan Rusia yang Eropa itu. Rakyat pun gembira karena merasa mendapat penolong yang telah membebaskan negeri dari penjajahan Belanda. Kejadian selanjutnya, kabarnya, Jepang menjajah Indonesia dengan lebih kasar dan beringas. Kita pun terus tertindas.

Kini, kita kedatangan Hillary Clinton dengan senyum dan sejumlah pujiannya. Sudahlah, tak perlu terulang lagi sejarah yang mengerikan itu. Kita mesti waspada dan tidak perlu gembira dengan kehadiran dia. Dia toh bukan warga Indonesia.

Begini Saudara, dia itu Menlu yang jelas memiliki misi untuk kepentingan negerinya, bukan untuk kepentingan Indonesia. Dalam teorinya pun, yang namanya kunjungan atau aktivitas politik luar negeri adalah dimaksudkan untuk menjalankan misi demi kepentingan nasional negara yang mengutusnya. Artinya, kita nggak perlu tertipu atau berharap banyak dari orang lain. Bahkan, mesti curiga karena mereka itu berupaya mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi negerinya dari potensi yang dimiliki negeri ini, tak peduli dengan kondisi rakyat kita. Secara teori, memang harus begitu.

Kita ini kalau ingin maju dan berhasil, harus menggunakan darah, keringat, dan tenaga sendiri. Kita harus punya cita-cita dan cara-cara sendiri sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang melekat dalam diri kita. Bloon namanya kalau kita menggantungkan nasib pada negeri orang. Jatuh-bangunnya negeri ini, mati-hidupnya Indonesia, dan jaya-runtuhnya Nusantara, sama sekali bukan oleh orang lain, melainkan oleh diri sendiri.

Gunakan seluruh kekuatan yang ada, baik lahir maupun batin, baik materiil maupun spiritual, kerahkan semua sarana yang ada untuk membuat kita hidup sebagaimana yang kita inginkan. Jangan percaya orang lain, kita hidup bergantung kekuatan kita sendiri, bukan bergantung pada orang lain, apalagi pada kapitalis atau komunis.