oleh
Tom FInaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Segala hal yang terkait terorisme
ini selalu bikin banyak perdebatan, kecurigaan, ketidakpercayaan, kemarahan,
sindiran, dan pikiran-pikiran buruk lainnya.
Mengapa?
Hal itu disebabkan semua
orang marah, kesal, sekaligus takut. Marah karena aparat keamanan kita tidak
memberikan rasa aman. Kesal karena terkesan penanganan terorisme tidak
bersandarkan pada kepentingan nasional, melainkan kepentingan asing yang justru
pihak-pihak asing yang kerap memicu tumbuhnya perilaku-perilaku teror. Takut
karena memang ngeri dan menakutkan.
Kemarahan, kekesalan, dan
ketakutan itu dilampiaskan pada pihak pemerintah yang seharusnya memiliki
kewajiban untuk menjamin keamanan, baik itu pemerintah pusat maupun aparat
keamanan, seperti, intelijen dan kepolisian. Perdebatan, kecurigaan,
ketidakpercayaan, kemarahan, sindiran, dan pikiran-pikiran buruk tentang
terorisme menuding langsung kepada mereka.
Akan tetapi, ada sesuatu hal
penting yang kita lupakan atau kita abaikan. Rakyat dan saya juga melupakan hal
yang teramat penting bahwa ada banyak hari, minggu, dan bulan yang aman dan
terlindungi dari peristiwa-peristiwa teror. Ada banyak hari tanpa teror. Situasi
tersebut sudah selayaknya kita hargai, kita apresiasi, kita syukuri. Hari-hari
aman dan terlindungi itulah yang juga kita harus ingat. Hari-hari itu juga
merupakan prestasi kerja dari pemerintah pusat, intelijen, kepolisian, TNI, dan
aparat lainnya yang berkewajiban untuk menciptakan dan menumbuhkan rasa aman.
Kita boleh mengkritik keras
bahkan memaki-maki pemerintah dan aparat keamanan jika terjadi ketidakamanan.
Akan tetapi, kita pun harus memberikan apresiasi terhadap pemerintah dan aparat
keamanan atas keamanan yang kita rasakan. Itu namanya adil, fair.
Berkaitan dengan hal
tersebut, saya melamunkan sesuatu yang romantis. Pada saat ini yang kita tahu sendiri
banyak terjadi teror dan ancaman yang jelas meneror rasa aman kita, mari kita
dorong pemerintah dan aparat keamanan untuk bekerja lebih baik dan lebih
menyenangkan. Sebagai rakyat, kita berhak mengkritik, tetapi berhak pula
memberikan penghargaan.
Untuk menghargai hari-hari
aman kita dari terorisme, mengapa tidak kita rayakan bersama?
Misalnya, kita peringati “Enam
Bulan tanpa Terorisme”. Dalam setiap enam bulan yang aman, kita berikan bunga
pada polisi, TNI, dan anggota Bin sebagai ucapan terima kasih atas keamanan
yang kita rasakan. Bunga itu bisa kita berikan di mana saja. Bisa di jalan, di
kantor, di tempat-tempat umum, atau di rumah-rumah mereka. Demi Allah swt, cara
itu akan sangat mendorong mereka untuk berbuat lebih baik lagi karena kita
sebagai rakyat benar-benar menghargai mereka. Mereka memang sudah mendapatkan
gaji atas kerja mereka, tetapi bunga adalah lambang keramahan dan cinta yang sangat
ampuh untuk menjalin dan menumbuhkan rasa saling mencintai, menghormati, dan
menghargai. Mereka pun akan lebih bersemangat dan lebih bertanggung jawab untuk
menjaga kita dari segala sesuatu yang berpotensi mengganggu kita. Mereka akan
ingat bahwa mereka memang benar-benar harus melindungi kita bukan sekedar kewajiban,
tetapi juga atas dasar cinta. Mereka akan ingat bahwa mereka sebenarnya sedang
melindungi orang-orang yang mencintai mereka. Di samping itu, mereka akan
sangat merasa bersalah jika tidak mampu melindung orang-orang yang mencintai
mereka.
Bunga itu lambang cinta yang tak terbantahkan. Siapa pun yang
memberikan bunga, pasti akan memberikannya sambil tersenyum. Tak pernah ada
orang yang memberikan bunga dengan wajah penuh kebencian dan kemarahan.
Sebaliknya, orang yang menerima bunga akan menerimanya sambil tersenyum pula.
Pernah mendapatkan hadiah
berupa bunga?
Saya pernah.
Ada tiga momen yang tak
pernah terlupakan ketika saya mendapatkan pemberian berupa bunga. Ketiga momen
itu terjadi ketika saya masih mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung. Dua
kali saya mendapatkan bunga di tempat kuliah dari seorang perempuan dan seorang
pria. Dari yang pria sebagai lambang persahabatan antarfakultas. Dari yang
perempuan sebagai ajakan untuk mengenang salah seorang guru besar Unpad yang telah
almarhum. Satu momen lagi dari seorang perempuan di tempat saya bekerja. Saya
memang kuliah sambil bekerja menjadi Satpam pada sebuah lembaga pendidikan.
Perempuan itu memberikan bunga sambil
berkata, “Ini buat kamu.”
Dalam ketiga momen itu, saya
selalu merasakan sesuatu getaran yang menggoncangkan hati dan tidak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.
Sekeras apa pun seseorang,
sebengis apa pun dia, semengerikan apa pun dia, saat menerima bunga hatinya
tiba-tiba layu, lunak, dan lemah. Hati yang berada dalam kondisi tersebut
membuat seluruh tubuhnya menjadi jinak.
So,
mengapa kita tidak memberikan bunga pada polisi, TNI, dan Bin?
Iya, itu juga yang saya
tanyakan pada diri sendiri, mengapa saya tidak melakukannya?
Saya memang pemalu.
Di samping itu, bunga akan
lebih menguatkan lagi ikatan kita sebagai saudara sesama bangsa. Kita akan
lebih mampu untuk merasa sebagai satu keluarga besar yang harus saling
melindungi, menghormati, dan menghargai.
Kalau tidak mampu beli bunga
karena memang harganya juga mahal, kita bisa berikan hal lain. Misalnya, bunga
yang dibuat dari origami warna-warni atau gambar-gambar bunga yang kita buat
sendiri pada selembar kertas.
Saya membayangkan bagaimana
senang dan riuh rendahnya anak-anak TK dan SD yang dibimbing gurunya untuk
membuat kerajinan dari origami berbentuk bunga dan atau gambar bunga. Bagaimana
lucunya tangan-tangan mungil mereka memainkan kertas, lem, dan pensil warna
untuk membuat bunga. Bagaimana riangnya mereka karena mereka akan memberikannya
untuk Bapak-bapak polisi dan TNI di sekitar sekolah mereka.
Lalu, dengan bimbingan
gurunya mereka memberikannya pada polisi dan TNI dengan ucapan, “Terima kasih
atas enam bulan yang aman dari terorisme.”
Dalam momen itu semua akan
tersenyum dan terharu, bahkan akan ada yang menangis bahagia.
Saya membayangkan bagaimana
para mahasiswa yang biasanya berhadapan dengan polisi dan TNI akan merasa lebih
dekat dan bersaudara dengan ucapan yang sama, “Terima kasih atas enam bulan
yang aman dari terorisme.”
Bunga itu pun akan membuat
malu para pemberi dan penerimanya dari melakukan berbagai keburukan yang akan
mencederai hubungan cinta dan silaturahmi yang sudah tercipta.
Mari kita lawan terorisme
dengan bunga dan senyum. Biarkan para teroris itu cemburu karena cinta dan
persaudaraan kita. Biarkan para teroris itu marah dan kesal karena benar-benar
terpinggirkan dari cinta dan persaudaraan. Biarkan mereka tersudut di tempat-tempat
gelap dan kotor karena membiarkan dirinya diliputi kemarahan dan kebencian. Biarkan
para pencipta teror kelimpungan karena kita menutupi jalan-jalan kejahatan
mereka dengan bunga, senyum, cinta, dan persaudaraan.
Meskipun demikian, kita
tetap harus membuka pintu bagi para teroris jika mereka pun mau dan bersedia
berbagi bunga, senyum, cinta, dan persaudaraan.
Mari kita rayakan “Enam
Bulan tanpa Terorisme”. Akan tetapi, perayaan itu tak perlu diadakan jika dalam
enam bulan itu, terdapat aksi teror walaupun teramat kecil.
Begitulah saya melamun.
Bisakah lamunan ini menjadi
kenyataan?
Kalau bisa, let’s do it!
Kalau tidak bisa, apa
penyebabnya?
No comments:
Post a Comment