Sunday 8 November 2015

Yang Muda Gampang Marah, Yang Tua Kurang Ajar


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Terlalu lama kita meninggalkan jiwa-jiwa dan nilai-nilai beradab yang ditanamkan orang tua kita. Saking terlalu lamanya, kita jadi tidak mampu lagi mengenal, bahkan mempraktikan nilai-nilai yang penuh keberadaban itu. Celakanya, banyak dari kita yang menganggap bahwa orang luar negeri jauh lebih beradab dibandingkan kita. Akibatnya, kita menganggap diri harus selalu mengekor cara-cara hidup mereka yang justru tidak beradab atau tingkat keberadabannya jauh di bawah kita.

Hal kecil yang sudah lama hilang adalah rasa “menghormati” dan rasa “menyayangi”. Orang tua kita dulu menanamkan kalimat-kalimat bertuah dan indah agar hidup harmonis dan saling menghormati-menyayangi. Akan tetapi, kalimat-kalimat itu tergerus hancur hampir berantakan karena kita hidup dengan menggunakan nilai-nilai asing yang sama sekali bukan berasal dari diri kita.

Saya masih ingat bagaimana kedua orangtua saya mengajarkan, “Harus menghormati yang lebih tua dan harus menyayangi yang lebih muda.”

Ini ajaran leluhur Nusantara yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam. Tentu saja, ketika saya masih kecil, orangtua saya menanamkan kalimat itu agar saya menyayangi dan menjaga adik-adik saya serta menghormati kakak-kakak saya agar keluarga bisa harmonis dan tidak banyak persengketaan. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku dalam lingkungan keluarga, kemudian terbawa ke lingkungan tetangga, sekolah, dan lainnya. Saat itu begitu mudah untuk menyayangi dan menghormati karena hampir setiap keluarga mengajarkan hal yang sama.

Sayangnya, perkembangan nilai-nilai tersebut terdistorsi oleh keharusan untuk bersikap kritis dengan meminggirkan sopan santun yang menjadi penjaga rasa dan emosi. Keangkuhan menjadi muncul tatkala sikap kritis tersebut mampu mendobrak berbagai kekakuan yang sejak lama terjadi. Seharusnya, ketika mendapatkan kebenaran dan kesempatan untuk mempublikasikan kebenaran itu terbuka lebar, kemudian diterima berbagai pihak, kita menjadi bersyukur telah memberikan sumbangan berupa perubahan yang positif.

Keangkuhan dalam menyampaikan kritik tanpa memperhatikan keberadaban pun diperparah oleh contoh-contoh yang berasal dari luar negeri. Kita dengan mudahnya menganggap orang luar negeri sebagai lebih hebat dengan kebebasan berpendapat yang justru merusakkan hubungan di antara manusia. Tak punya rasa hormat lagi terhadap yang lebih tua, bahkan orangtua sendiri; tak mempedulikan kedudukan atau jabatan orang yang akan kita kritik; menjatuhkan wibawa dan martabat orang lain; terjebak dalam keangkuhan dan kompetisi yang mengerikan; meregangkan hubungan kekerabatan; saudara sedarah tak lagi bertegur sapa, bahkan menjadi lawan sengketa; mudah marah dan emosian.

Saya sangat heran campur sedih ketika ada mahasiswa yang mengajukan audiensi kepada instansi terkait, lalu sebelum beraudiensi memaki-maki dulu Sang Pejabat di jalanan. Padahal, Sang Pejabat tersebut bersedia menerima mereka dengan baik.

Mengapa harus dimulai dengan makian-makian di tengah jalan?

Kan audiensinya belum terjadi?

Kalau ternyata dalam audiensi tidak mendapatkan penjelasan dan tanggapan yang positif dari pihak penguasa, bolehlah makian-makian itu dilontarkan. Akan tetapi, penjelasan belum diberikan, tanggapan belum ada, bahkan akan diterima dengan baik, memaki-maki dengan kata-kata kasar dan tidak senonoh sudah diteriakkan. Aneh.

Itu tandanya sudah tidak ada lagi rasa hormat kepada yang lebih tua. Yang muda gampang marah.

Demikian pula sebaliknya, orang yang lebih tua dan berkuasa tidak lagi menjadi pengayom dan menyayangi yang lebih muda. Mereka terjebak dalam keangkuhan dan kenikmatan dalam menduduki jabatannya. Mereka menganggap bahwa kedudukannya itu merupakan keberhasilan, bukan lagi tanggung jawab. Mereka banyak yang menggunakan usia, wibawa, dan kewenangannya untuk berbuat curang kepada orang banyak dan menipu yang lebih muda. Korupsi tidak berhenti; tidak adil; berleha-leha; tidak memiliki sensitivitas tinggi atas keadaan masyarakat; melakukan kerja sama-kerja sama rahasia yang merugikan negara; membuat polarisasi di tengah masyarakat; mudah menuduh; tidak melindungi; kasar dan keras.

Itu tandanya sudah tidak ada lagi rasa menyayangi kepada yang lebih muda. Yang tua dan berkuasa kurang ajar memang.

Mau aman, tenteram bagaimana kalau sudah begini?

Yang muda emosian, gampang marah, dan mudah memaki. Yang tua nggak mau kalah, curang, dan kasar.

Semuanya jadi semrawut dan kacau balau. Semua urusan dan permasalahan hanya berakhir pada kondisi “kalah” atau “menang”. Kekalahan atau kemenangan itu mempunyai hasil yang sama, yaitu kalau tidak dendam, pasti angkuh.

Cobalah untuk kembali pada keagungan dan keberadaban “para sepuh” kita yang memberikan arah agar kita dapat hidup lebiih harmonis dan mampu menyelesaikan permasalahan dengan bijak dan cerdas dengan hati penuh keikhlasan. Kritikan yang santun dan empati yang tinggi terhadap hidup dan kehidupan ini akan menyelesaikan banyak masalah dengan tuntas dan baik

Orang Sunda bilang, “Laukna beunang, caina herang”, ‘Ikannya dapat, airnya tetap bening’. Jadi, tujuan tercapai, permasalahan bisa diselesaikan, suasana tetap adem, tidak keruh.

Yuk, kita kembali pada ajaran orang tua kita yang teramat beradab. Jangan tertipu dengan cara hidup orang asing yang selintas seperti baik, tetapi sesungguhnya menjerumuskan kita ke dalam situasi yang semrawut.


Demi Ibu Pertiwi.

No comments:

Post a Comment