oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Terlalu lama kita
meninggalkan jiwa-jiwa dan nilai-nilai beradab yang ditanamkan orang tua kita.
Saking terlalu lamanya, kita jadi tidak mampu lagi mengenal, bahkan
mempraktikan nilai-nilai yang penuh keberadaban itu. Celakanya, banyak dari
kita yang menganggap bahwa orang luar negeri jauh lebih beradab dibandingkan
kita. Akibatnya, kita menganggap diri harus selalu mengekor cara-cara hidup
mereka yang justru tidak beradab atau tingkat keberadabannya jauh di bawah
kita.
Hal kecil yang sudah lama
hilang adalah rasa “menghormati” dan rasa “menyayangi”. Orang tua kita dulu
menanamkan kalimat-kalimat bertuah dan indah agar hidup harmonis dan saling
menghormati-menyayangi. Akan tetapi, kalimat-kalimat itu tergerus hancur hampir
berantakan karena kita hidup dengan menggunakan nilai-nilai asing yang sama
sekali bukan berasal dari diri kita.
Saya masih ingat bagaimana
kedua orangtua saya mengajarkan, “Harus menghormati yang lebih tua dan harus
menyayangi yang lebih muda.”
Ini ajaran leluhur Nusantara
yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam. Tentu saja, ketika saya masih
kecil, orangtua saya menanamkan kalimat itu agar saya menyayangi dan menjaga
adik-adik saya serta menghormati kakak-kakak saya agar keluarga bisa harmonis
dan tidak banyak persengketaan. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku dalam
lingkungan keluarga, kemudian terbawa ke lingkungan tetangga, sekolah, dan
lainnya. Saat itu begitu mudah untuk menyayangi dan menghormati karena hampir
setiap keluarga mengajarkan hal yang sama.
Sayangnya, perkembangan nilai-nilai
tersebut terdistorsi oleh keharusan untuk bersikap kritis dengan meminggirkan
sopan santun yang menjadi penjaga rasa dan emosi. Keangkuhan menjadi muncul
tatkala sikap kritis tersebut mampu mendobrak berbagai kekakuan yang sejak lama
terjadi. Seharusnya, ketika mendapatkan kebenaran dan kesempatan untuk
mempublikasikan kebenaran itu terbuka lebar, kemudian diterima berbagai pihak,
kita menjadi bersyukur telah memberikan sumbangan berupa perubahan yang
positif.
Keangkuhan dalam
menyampaikan kritik tanpa memperhatikan keberadaban pun diperparah oleh
contoh-contoh yang berasal dari luar negeri. Kita dengan mudahnya menganggap
orang luar negeri sebagai lebih hebat dengan kebebasan berpendapat yang justru
merusakkan hubungan di antara manusia. Tak punya rasa hormat lagi terhadap yang
lebih tua, bahkan orangtua sendiri; tak mempedulikan kedudukan atau jabatan
orang yang akan kita kritik; menjatuhkan wibawa dan martabat orang lain;
terjebak dalam keangkuhan dan kompetisi yang mengerikan; meregangkan hubungan
kekerabatan; saudara sedarah tak lagi bertegur sapa, bahkan menjadi lawan
sengketa; mudah marah dan emosian.
Saya sangat heran campur
sedih ketika ada mahasiswa yang mengajukan audiensi kepada instansi terkait,
lalu sebelum beraudiensi memaki-maki dulu Sang Pejabat di jalanan. Padahal,
Sang Pejabat tersebut bersedia menerima mereka dengan baik.
Mengapa harus dimulai dengan
makian-makian di tengah jalan?
Kan audiensinya belum
terjadi?
Kalau ternyata dalam
audiensi tidak mendapatkan penjelasan dan tanggapan yang positif dari pihak
penguasa, bolehlah makian-makian itu dilontarkan. Akan tetapi, penjelasan belum
diberikan, tanggapan belum ada, bahkan akan diterima dengan baik, memaki-maki
dengan kata-kata kasar dan tidak senonoh sudah diteriakkan. Aneh.
Itu tandanya sudah tidak ada
lagi rasa hormat kepada yang lebih tua. Yang muda gampang marah.
Demikian pula sebaliknya,
orang yang lebih tua dan berkuasa tidak lagi menjadi pengayom dan menyayangi
yang lebih muda. Mereka terjebak dalam keangkuhan dan kenikmatan dalam
menduduki jabatannya. Mereka menganggap bahwa kedudukannya itu merupakan
keberhasilan, bukan lagi tanggung jawab. Mereka banyak yang menggunakan usia,
wibawa, dan kewenangannya untuk berbuat curang kepada orang banyak dan menipu
yang lebih muda. Korupsi tidak berhenti; tidak adil; berleha-leha; tidak
memiliki sensitivitas tinggi atas keadaan masyarakat; melakukan kerja sama-kerja
sama rahasia yang merugikan negara; membuat polarisasi di tengah masyarakat;
mudah menuduh; tidak melindungi; kasar dan keras.
Itu tandanya sudah tidak ada
lagi rasa menyayangi kepada yang lebih muda. Yang tua dan berkuasa kurang ajar
memang.
Mau aman, tenteram bagaimana
kalau sudah begini?
Yang muda emosian, gampang
marah, dan mudah memaki. Yang tua nggak mau kalah, curang, dan kasar.
Semuanya jadi semrawut dan
kacau balau. Semua urusan dan permasalahan hanya berakhir pada kondisi “kalah”
atau “menang”. Kekalahan atau kemenangan itu mempunyai hasil yang sama, yaitu
kalau tidak dendam, pasti angkuh.
Cobalah untuk kembali pada
keagungan dan keberadaban “para sepuh” kita yang memberikan arah agar kita
dapat hidup lebiih harmonis dan mampu menyelesaikan permasalahan dengan bijak
dan cerdas dengan hati penuh keikhlasan. Kritikan yang santun dan empati yang
tinggi terhadap hidup dan kehidupan ini akan menyelesaikan banyak masalah
dengan tuntas dan baik
Orang Sunda bilang, “Laukna beunang, caina herang”, ‘Ikannya
dapat, airnya tetap bening’. Jadi, tujuan tercapai, permasalahan bisa
diselesaikan, suasana tetap adem, tidak keruh.
Yuk,
kita kembali pada ajaran orang tua kita yang teramat beradab. Jangan tertipu
dengan cara hidup orang asing yang selintas seperti baik, tetapi sesungguhnya
menjerumuskan kita ke dalam situasi yang semrawut.
Demi Ibu Pertiwi.
No comments:
Post a Comment