oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dulu sekali ketika saya
masih SMA, sering berdiskusi di Masjid Agung Bandung yang kini semakin cantik
karena ditata dengan lebih baik dalam kepemimpinan Walikota Bandung Ridwan
Kamil. Di sana itu banyak aktivis remaja masjid yang berkumpul saling berkenalan,
diskusi, dan bertukar informasi. Karena saya masih SMA, saya lebih banyak
mendengar mereka yang sudah mahasiswa berdiskusi. Saya mendapat banyak
pengetahuan baru dari mendengarkan mereka itu.
Ada hal menarik yang saya
dengarkan dari para mahasiswa itu. Salah seorang dari mereka berkata bahwa Raja
Arab King Faisal yang sempat membuat Presiden AS Nixon hampir kesurupan
gara-gara akan menghentikan minyak ke AS sangat mengharapkan bahwa pemimpin
dunia itu lahir di Indonesia. Kabarnya, King Faisal sangat mengagumi
kehati-hatian orang Islam Indonesia dalam beribadat. Dia melihat begitu
kerasnya saat itu pertentangan antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia dalam
hal tatacara ibadat. Memang benar, saat itu gerakan shalat, ushalli, jari telunjuk bergerak-gerak
saat tahiyat, qunut, niat shalat, dan
hal lainnya menjadi masalah besar dalam kehidupan umat Islam Indonesia. King
Faisal justru melihatnya dengan kagum dan berpendapat bahwa orang Indonesia itu
sangat hati-hati dan takut salah melakukan ibadat sehingga rela bertengkar
untuk mendapatkan cara-cara ibadat yang benar dan tidak meragukan. Wallaahu alam.
Saat mendengar para
mahasiswa itu berdiskusi saya langsung berpikir bahwa memang bisa jadi pemimpin
dunia itu akan lahir dari Indonesia. Akan tetapi, bukan karena soal hati-hati
dalam beribadat, melainkan saya berpikir bahwa siapa pun yang mampu memimpin
Indonesia dengan baik mencapai cita-cita nasionalnya dengan gemilang, pasti
akan mampu memimpin dunia. Coba bayangkan, Indonesia ini terdiri atas 17.000
pulau dengan ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan adat istiadat, ribuan
keyakinan, ribuan keinginan, dan ribuan perbedaan yang bisa memicu konflik dan
disintegrasi. Pemimpin Indonesia yang mampu mempersatukan hati ribuan perbedaan
yang tertanam dalam jiwa 250 juta penduduk Indonesia untuk mencapai tujuan
nasionalnya adalah hal yang teramat hebat dan benar-benar pemimpin ulung. Saya
membayangkan bahwa Indonesia ini sebagai miniatur dunia. Siapa pun yang mampu
mengelola miniatur itu, mampulah dia memimpin dunia. Begitu kira-kira lamunan
saya saat masih SMA itu.
Lamunan saya itu nggak
melenceng jauh dari keinginan Proklamator RI Ir. Soekarno. Beliau menginginkan
Indonesia bisa menjadi mercusuar dunia yang menerangi dunia dari kegelapannya
menuju cahaya sehingga mampu berjalan pada jalan yang baik dan aman.
Kalau menjadi mercusuar,
berarti membimbing orang lain yang sedang dalam keadaan gelap, bukan?
Itu artinya memimpin, bukan?
Bisakah Indonesia memimpin
dunia?
Mengapa tidak bisa?
Kita punya banyak kelebihan
yang telah dianugerahkan Allah swt kepada kita.
Dalam situasi dunia yang
penuh gonjang-ganjing begini sesungguhnya Indonesia telah memberikan contoh
kepada dunia bagaimana caranya mengasihi dan peduli kepada sesama manusia yang
tidak ada pertentangan apa pun di antara warga bangsa. Masalahnya, dunia
bukanlah Indonesia. Tidak seluruh penduduk manusia mampu seperti Indonesia dan
kita pun tampaknya menganggap bahwa hal itu merupakan hal biasa karena memang
sudah seharusnya terjadi.
Contoh apa yang telah kita
berikan pada dunia yang tidak semua penduduk dunia mampu melakukannya?
Masih ingat bagaimana kita
memperlakukan pengungsi muslim Rohingya?
Perilaku bangsa Indonesia
itu mendapat pujian dari negara-negara besar bahkan PBB. Kita tidak pernah
berhitung dulu dalam menyelamatkan manusia. Rakyat pinggiran pantai Aceh yang
memulainya memberikan pertolongan, kemudian diikuti oleh upaya pemerintah yang
juga sangat menyejukkan. Setelah menyelamatkan mereka, rakyat pinggiran Aceh
meskipun berada dalam kondisi yang tidak bisa disebut kaya raya, malah masih
banyak yang miskin memberikan sumbangan makanan dan pakaian. Tangan dan hati
kita sangat terbuka untuk mereka yang sedang dilanda kesulitan. Tak seorang
Indonesia pun yang memprotes kehadiran pengungsi itu di tanah air Indonesia.
Tak seorang Indonesia pun yang menanyakan apakah mereka itu di negara asalnya
bermasalah atau tidak. Kita lebih mengutamakan menyelamatkan manusia terlebih dahulu.
Urusan mereka bermasalah atau tidak di negaranya, itu urusan belakangan yang
penting selamat dulu. Artinya, 100% rakyat Indonesia setuju menolong mereka.
Perilaku kita dalam menerima
dan mengurus pengungsi itu adalah yang terbaik di seluruh dunia. Itu fakta dan
sudah seharusnya menjadi contoh bagi negara mana pun dalam menerima, mengurus, dan
menyelamatkan para pengungsi yang sedang dalam keadaan butuh pertolongan.
Sekarang mari kita lihat
bagaimana negara-negara Barat sana dalam menghadapi persoalan pengungsi Suriah
yang juga sama-sama membutuhkan pertolongan. Sesungguhnya, tidak semua negara
mampu melakukan seperti yang dilakukan Indonesia. Di antara mereka ada yang
negaranya menolak dan membatasi pengungsi, tetapi rakyatnya mau menerima. Ada
yang sebaliknya, negaranya mau menerima, tetapi rakyatnya tidak mau. Adapula
negara dan rakyatnya yang tampak sama-sama enggan menerima dan menolong pengungsi.
Rumit memang mereka. Banyak di antara mereka yang ketakutan, merasa berat, dan khawatir
jika para imigran itu akan mempersulit hidup mereka. Kalaupun mau menerima,
tetap disertai kecurigaan dan kewaspadaan tinggi berlipat-lipat yang membuat
mereka sendiri jadi tidak tenang. Mereka kebanyakan berhitung duluan. Ini juga
fakta.
Indonesia dalam arti
pemerintah dan rakyatnya seharusnya lebih bisa mempertontonkan kebaikan kita
dalam mengelola urusan pengungsi agar negara-negara lain mampu melakukan
seperti yang kita lakukan. Kita harus mempertontonkan hal itu bukan untuk kesombongan
dan merasa paling baik, tetapi agar kebaikan kita dapat dicontoh oleh orang
lain sehingga urusan kemanusiaan akan lebih baik tertangani. Dengan demikian,
secara tidak langsung kita telah membimbing dunia dengan contoh yang telah kita
lakukan.
Kita pun sesungguhnya punya
contoh yang teramat baik untuk ditawarkan pada dunia untuk mengatasi berbagai
konflik, perang, permusuhan, dan pertikaian yang berlarut-larut. Kita jangan
terseret agenda mereka dalam menghadapi konflik yang hanya akan menjadikan kita
mirip boneka atau simpatisan pihak-pihak tertentu. Kita-lah yang seharusnya
menyeret mereka ke dalam agenda kita. Agenda kita itu ya itu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Nggak ada lagi dan memang tidak boleh ada lagi agenda di luar itu.
Sudah saya bilang tadi bahwa
Indonesia itu mirip miniatur dunia. Kita punya pengalaman didera berbagai
konflik bersenjata. Dari berbagai pengalaman itu kita menyadari bahwa menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan
hanya akan melahirkan kekerasan baru. Kesadaran kita tentang hal itu
menjadikan kita lebih wise dalam
menyelesaikan berbagai konflik. Kita mampu menyelesaikan masalah di Aceh,
Ambon, Papua, Kalimantan, bahkan DI/TII adalah dengan pendekatan yang bukan
hanya keamanan dan hukum, tetapi Islah
dan kesejahteraan sehingga semua
pihak dapat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Artinya, kita sebelumnya telah mencoba memahami akar masalah dari timbulnya
berbagai konflik atau disintegrasi itu. Kesimpulan yang kita ambil salah
satunya adalah persoalan kesejahteraan dan ketimpangan sosial lainnya. Oleh
sebab itu, kita berupaya terus-menerus mengatasi berbagai ketimpangan yang
terjadi sehingga tidak lagi menjadi pemicu konflik-konflik lanjutan.
Mengapa tidak kita tawarkan
pengalaman Indonesia dalam mengatasi konflik untuk mengatasi konflik di tingkat
dunia?
Kan sebenarnya sama saja,
bedanya hanya sifat dan lokasinya.
Mengapa kita tidak sarankan
dunia untuk menggali dan memahami akar permasalahan berbagai konflik yang ada
agar permasalahan itu diatasi sehingga tidak lagi menimbulkan kekerasan baru?
Mengapa kita seolah-olah
melupakan keberhasilan kita, lalu mengikuti arus dunia yang hanya mengedepankan
keamanan, hukum, dan intelijen tanpa mengatasi akar masalah yang sebenarnya?
Semua pihak yang bertikai di
tingkat dunia kan sebenarnya bisa duduk bersama, lalu berlelah-lelah
membicarakan masalah dan keinginan masing-masing seperti yang dilakukan
Indonesia dalam mengatasi berbagai konflik di dalam negeri. Kalau mereka tidak
mau duduk bersama, artinya memang tidak ingin ada penyelesaian. Penyelesaian yang mereka inginkan adalah menguasai hidup orang lain. Kalau sudah begitu, mereka
memang gemar berkelahi dan hobi membunuh. Kita mesti jauhi perilaku mereka
semacam itu dan kita hina kegemaran mereka itu.
Kita lihat kenyataannya hari
ini. Kekerasan dibalas lagi oleh kekerasan baru. Sangat primitif.
Akibatnya,
kekerasan menjadi-jadi dan tambah meluas. Hal yang sudah pasti kita yakini
adalah kekerasan demi kekerasan itu tidak akan pernah berhenti karena akan
muncul kekerasan-kekerasan lainnya.
Begitu kan yang kita yakini?
Kekerasan
yang diselesaikan dengan cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Ada yang tidak yakin?
Ingatkan dunia tentang yang
kita yakini agar mereka sadar dan tidak lagi menimbulkan kekerasan baru!
Indonesia perlu meyakinkan
mereka untuk berdamai dan menjaga ketertiban bersama. Itu yang diamanatkan oleh
Pembukaan Undang-Undang 1945.
Dunia membutuhkan Indonesia
yang berani membuat terobosan baru untuk kepentingan seluruh umat manusia. Jika
kita berhasil, insyaallah, di dunia
kita akan menemukan banyak kebaikan dan di akhirat kita mendapatkan banyak
sekali pahala serta pengampunan dari Allah swt.
Amin.
No comments:
Post a Comment