Sunday 22 November 2015

Tawarkan Indonesia pada Dunia


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dulu sekali ketika saya masih SMA, sering berdiskusi di Masjid Agung Bandung yang kini semakin cantik karena ditata dengan lebih baik dalam kepemimpinan Walikota Bandung Ridwan Kamil. Di sana itu banyak aktivis remaja masjid yang berkumpul saling berkenalan, diskusi, dan bertukar informasi. Karena saya masih SMA, saya lebih banyak mendengar mereka yang sudah mahasiswa berdiskusi. Saya mendapat banyak pengetahuan baru dari mendengarkan mereka itu.

Ada hal menarik yang saya dengarkan dari para mahasiswa itu. Salah seorang dari mereka berkata bahwa Raja Arab King Faisal yang sempat membuat Presiden AS Nixon hampir kesurupan gara-gara akan menghentikan minyak ke AS sangat mengharapkan bahwa pemimpin dunia itu lahir di Indonesia. Kabarnya, King Faisal sangat mengagumi kehati-hatian orang Islam Indonesia dalam beribadat. Dia melihat begitu kerasnya saat itu pertentangan antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia dalam hal tatacara ibadat. Memang benar, saat itu gerakan shalat, ushalli, jari telunjuk bergerak-gerak saat tahiyat, qunut, niat shalat, dan hal lainnya menjadi masalah besar dalam kehidupan umat Islam Indonesia. King Faisal justru melihatnya dengan kagum dan berpendapat bahwa orang Indonesia itu sangat hati-hati dan takut salah melakukan ibadat sehingga rela bertengkar untuk mendapatkan cara-cara ibadat yang benar dan tidak meragukan.  Wallaahu alam.

Saat mendengar para mahasiswa itu berdiskusi saya langsung berpikir bahwa memang bisa jadi pemimpin dunia itu akan lahir dari Indonesia. Akan tetapi, bukan karena soal hati-hati dalam beribadat, melainkan saya berpikir bahwa siapa pun yang mampu memimpin Indonesia dengan baik mencapai cita-cita nasionalnya dengan gemilang, pasti akan mampu memimpin dunia. Coba bayangkan, Indonesia ini terdiri atas 17.000 pulau dengan ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan adat istiadat, ribuan keyakinan, ribuan keinginan, dan ribuan perbedaan yang bisa memicu konflik dan disintegrasi. Pemimpin Indonesia yang mampu mempersatukan hati ribuan perbedaan yang tertanam dalam jiwa 250 juta penduduk Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya adalah hal yang teramat hebat dan benar-benar pemimpin ulung. Saya membayangkan bahwa Indonesia ini sebagai miniatur dunia. Siapa pun yang mampu mengelola miniatur itu, mampulah dia memimpin dunia. Begitu kira-kira lamunan saya saat masih SMA itu.

Lamunan saya itu nggak melenceng jauh dari keinginan Proklamator RI Ir. Soekarno. Beliau menginginkan Indonesia bisa menjadi mercusuar dunia yang menerangi dunia dari kegelapannya menuju cahaya sehingga mampu berjalan pada jalan yang baik dan aman.

Kalau menjadi mercusuar, berarti membimbing orang lain yang sedang dalam keadaan gelap, bukan?

Itu artinya memimpin, bukan?

Bisakah Indonesia memimpin dunia?

Mengapa tidak bisa?

Kita punya banyak kelebihan yang telah dianugerahkan Allah swt kepada kita.

Dalam situasi dunia yang penuh gonjang-ganjing begini sesungguhnya Indonesia telah memberikan contoh kepada dunia bagaimana caranya mengasihi dan peduli kepada sesama manusia yang tidak ada pertentangan apa pun di antara warga bangsa. Masalahnya, dunia bukanlah Indonesia. Tidak seluruh penduduk manusia mampu seperti Indonesia dan kita pun tampaknya menganggap bahwa hal itu merupakan hal biasa karena memang sudah seharusnya terjadi.

Contoh apa yang telah kita berikan pada dunia yang tidak semua penduduk dunia mampu melakukannya?

Masih ingat bagaimana kita memperlakukan pengungsi muslim Rohingya?

Perilaku bangsa Indonesia itu mendapat pujian dari negara-negara besar bahkan PBB. Kita tidak pernah berhitung dulu dalam menyelamatkan manusia. Rakyat pinggiran pantai Aceh yang memulainya memberikan pertolongan, kemudian diikuti oleh upaya pemerintah yang juga sangat menyejukkan. Setelah menyelamatkan mereka, rakyat pinggiran Aceh meskipun berada dalam kondisi yang tidak bisa disebut kaya raya, malah masih banyak yang miskin memberikan sumbangan makanan dan pakaian. Tangan dan hati kita sangat terbuka untuk mereka yang sedang dilanda kesulitan. Tak seorang Indonesia pun yang memprotes kehadiran pengungsi itu di tanah air Indonesia. Tak seorang Indonesia pun yang menanyakan apakah mereka itu di negara asalnya bermasalah atau tidak. Kita lebih mengutamakan menyelamatkan manusia terlebih dahulu. Urusan mereka bermasalah atau tidak di negaranya, itu urusan belakangan yang penting selamat dulu. Artinya, 100% rakyat Indonesia setuju menolong mereka.

Perilaku kita dalam menerima dan mengurus pengungsi itu adalah yang terbaik di seluruh dunia. Itu fakta dan sudah seharusnya menjadi contoh bagi negara mana pun dalam menerima, mengurus, dan menyelamatkan para pengungsi yang sedang dalam keadaan butuh pertolongan.

Sekarang mari kita lihat bagaimana negara-negara Barat sana dalam menghadapi persoalan pengungsi Suriah yang juga sama-sama membutuhkan pertolongan. Sesungguhnya, tidak semua negara mampu melakukan seperti yang dilakukan Indonesia. Di antara mereka ada yang negaranya menolak dan membatasi pengungsi, tetapi rakyatnya mau menerima. Ada yang sebaliknya, negaranya mau menerima, tetapi rakyatnya tidak mau. Adapula negara dan rakyatnya yang tampak sama-sama enggan menerima dan menolong pengungsi. Rumit memang mereka. Banyak di antara mereka yang ketakutan, merasa berat, dan khawatir jika para imigran itu akan mempersulit hidup mereka. Kalaupun mau menerima, tetap disertai kecurigaan dan kewaspadaan tinggi berlipat-lipat yang membuat mereka sendiri jadi tidak tenang. Mereka kebanyakan berhitung duluan. Ini juga fakta.

Indonesia dalam arti pemerintah dan rakyatnya seharusnya lebih bisa mempertontonkan kebaikan kita dalam mengelola urusan pengungsi agar negara-negara lain mampu melakukan seperti yang kita lakukan. Kita harus mempertontonkan hal itu bukan untuk kesombongan dan merasa paling baik, tetapi agar kebaikan kita dapat dicontoh oleh orang lain sehingga urusan kemanusiaan akan lebih baik tertangani. Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah membimbing dunia dengan contoh yang telah kita lakukan.

Kita pun sesungguhnya punya contoh yang teramat baik untuk ditawarkan pada dunia untuk mengatasi berbagai konflik, perang, permusuhan, dan pertikaian yang berlarut-larut. Kita jangan terseret agenda mereka dalam menghadapi konflik yang hanya akan menjadikan kita mirip boneka atau simpatisan pihak-pihak tertentu. Kita-lah yang seharusnya menyeret mereka ke dalam agenda kita. Agenda kita itu ya itu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nggak ada lagi dan memang tidak boleh ada lagi agenda di luar itu.

Sudah saya bilang tadi bahwa Indonesia itu mirip miniatur dunia. Kita punya pengalaman didera berbagai konflik bersenjata. Dari berbagai pengalaman itu kita menyadari bahwa menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Kesadaran kita tentang hal itu menjadikan kita lebih wise dalam menyelesaikan berbagai konflik. Kita mampu menyelesaikan masalah di Aceh, Ambon, Papua, Kalimantan, bahkan DI/TII adalah dengan pendekatan yang bukan hanya keamanan dan hukum, tetapi Islah dan kesejahteraan sehingga semua pihak dapat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Artinya, kita sebelumnya telah mencoba memahami akar masalah dari timbulnya berbagai konflik atau disintegrasi itu. Kesimpulan yang kita ambil salah satunya adalah persoalan kesejahteraan dan ketimpangan sosial lainnya. Oleh sebab itu, kita berupaya terus-menerus mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi sehingga tidak lagi menjadi pemicu konflik-konflik lanjutan.

Mengapa tidak kita tawarkan pengalaman Indonesia dalam mengatasi konflik untuk mengatasi konflik di tingkat dunia?

Kan sebenarnya sama saja, bedanya hanya sifat dan lokasinya.

Mengapa kita tidak sarankan dunia untuk menggali dan memahami akar permasalahan berbagai konflik yang ada agar permasalahan itu diatasi sehingga tidak lagi menimbulkan kekerasan baru?

Mengapa kita seolah-olah melupakan keberhasilan kita, lalu mengikuti arus dunia yang hanya mengedepankan keamanan, hukum, dan intelijen tanpa mengatasi akar masalah yang sebenarnya?

Semua pihak yang bertikai di tingkat dunia kan sebenarnya bisa duduk bersama, lalu berlelah-lelah membicarakan masalah dan keinginan masing-masing seperti yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi berbagai konflik di dalam negeri. Kalau mereka tidak mau duduk bersama, artinya memang tidak ingin ada penyelesaian. Penyelesaian yang mereka inginkan adalah menguasai hidup orang lain. Kalau sudah begitu, mereka memang gemar berkelahi dan hobi membunuh. Kita mesti jauhi perilaku mereka semacam itu dan kita hina kegemaran mereka itu.

Kita lihat kenyataannya hari ini. Kekerasan dibalas lagi oleh kekerasan baru. Sangat primitif. 

Akibatnya, kekerasan menjadi-jadi dan tambah meluas. Hal yang sudah pasti kita yakini adalah kekerasan demi kekerasan itu tidak akan pernah berhenti karena akan muncul kekerasan-kekerasan lainnya.

Begitu kan yang kita yakini?

Kekerasan yang diselesaikan dengan cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.

Ada yang tidak yakin?

Ingatkan dunia tentang yang kita yakini agar mereka sadar dan tidak lagi menimbulkan kekerasan baru!

Indonesia perlu meyakinkan mereka untuk berdamai dan menjaga ketertiban bersama. Itu yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang 1945.


Dunia membutuhkan Indonesia yang berani membuat terobosan baru untuk kepentingan seluruh umat manusia. Jika kita berhasil, insyaallah, di dunia kita akan menemukan banyak kebaikan dan di akhirat kita mendapatkan banyak sekali pahala serta pengampunan dari Allah swt. 

Amin.

No comments:

Post a Comment