oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pernah dengar makian Wasit Goblog!, ‘Wasit Goblok’?
Pernah dengar supporter sepakbola yang teriak-teriak
minta pemain bola yang sedang main di lapangan diganti?
Pernah dengar ada penonton
bola yang mengomentari permainan sepakbola yang seolah-olah lebih pintar
dibandingkan dengan pemain bola dan pelatih bola?
Penggemar dan pemerhati
sepakbola pasti pernah mendengar itu semua. Pasti pernah. Tidak perlu bohong.
Dulu saya sering sekali
mendengar hal itu. Meskipun saya bukan penggemar dan bukan pula penonton
sepakbola yang setia, tetap saja sekali-sekali memperhatikan dengan rasa kesal di hati. Memang sangat ngeselin kalo nonton sepakbola, terutama
sepakbola kita, Indonesia.
Rasa-rasanya jauh banget kalau mau manggung di pentas dunia. Ngimpiii!
Yang kasihan adalah
tetangga-tetangga ibu saya. Orangtua saya itu punya banyak tetangga yang
profesinya wasit. Ada wasit sepakbola, voli, tenis meja, basket, bulu tangkis, dan
tinju. Mereka semua wasit-wasit berkelas nasional, mungkin juga internasional.
Kalau saya sebut namanya, pasti banyak yang kenal, tapi gak perlu lah disebut
namanya, kasihan. Ibu saya sering sekali mendapat Curhat dari para istri wasit
itu. Kan ibu-ibu itu punya banyak gank.
Ada grup pengajian, grup senam, grup terapi, grup arisan, dan lain-lain. Ibu
saya sering ceritera sama saya bahwa para istri wasit itu sering sedih, kesal,
dan marah. Soalnya, setiap mereka keluar rumah, sering sekali mendengar
makian-makian Wasit Goblok, Ganti Wasit,
Wasit Kena Suap, dan lain sebagainya yang diiringi oleh kata-kata yang
berasal dari kebun binatang dan WC. Apalagi kalau Persib Bandung sedang main
atau habis main, baik itu di Stadion Jalak Harupat, Siliwangi, atau stadion
lainnya. Lebih-lebih kalau Persib Bandung menderita kekalahan. Makian-makian
itu memekakkan telinga mereka dan itu terjadi di sepanjang perjalanan mereka.
Itu terjadi setiap hari. Memang orang-orang yang memaki para wasit itu tidak secara
langsung memaki ibu-ibu itu karena tidak tahu bahwa ibu-ibu itu istri para
wasit. Akan tetapi, ibu-ibu itu jadi merasa terintimidasi karena suami mereka
adalah para wasit. Meskipun bisa jadi bukan suami mereka yang menjadi wasit
goblok, tetapi merasa tertekan juga. Kasihan kan?
Akan tetapi, sepanjang
perjalanan Piala Presiden lalu, saya
tak pernah mendengar makian-makian itu lagi. Jujur tidak pernah dengar lagi.
Tidak ada lagi supporter yang teriak minta kepada pelatih untuk memainkan Si
Ini atau Si Itu, mengganti Si Ini atau Si Itu. Tak ada lagi celoteh atau
komentar yang sok pintar melebihi para pemain bola. Semua menonton dengan asyik
dan berharap kesebelasan kesayangannya menang.
Wow, aneh kan?
Tak ada lagi perilaku atau
kata-kata kasar yang meluncur pada wasit, pelatih, maupun pemain bola.
Indah bukan?
Jadi, saya menduga memang
dulu sebelum ada Piala Presiden mungkin ada wasit goblok yang terima suap.
Mungkin juga ada pemain bola tolol yang kena suap sehingga tidak memuaskan
penonton pendukungnya. Bisa jadi pula ada pelatih bego yang juga kena suap
sehingga memainkan pemain yang kurang berkualitas. Bahkan, eh … saya pernah
dengar sendiri ada kabar seorang pemain cadangan di kesebelasan … duh lupa lagi
nama kesebelasannya … yang mengaku bahwa harus menyuap pelatih agar bisa main
dan tidak melulu duduk di kursi cadangan. Paraaah banget!
Jika kita ingin sepakbola
kita berkualitas dengan baik, fair play harus
dijaga. Prestasi lebih utama, uang belakangan aja. Rezeki itu sudah diatur
Allah swt, tenang aja. Pelatihan harus lebih ditingkatkan. Dukungan publik dan
pemerintah jangan hanya terbatas pada pembiayaan, izin, dan support, tetapi
juga dengan kritik dan pengawasan menyeluruh agar permainan benar-benar
menghibur, penuh prestasi, bersih, fair
play, dan membanggakan.
Tonjok aja para penyuap dan
yang disuap. Mereka itu perusak suasana. Mereka hanyalah orang-orang yang gila hormat dan gemar berjudi. Mereka gak peduli sepakbola Indonesia maju atau mati. Bagi mereka cuma duit, duit, dan duit. Mending kalo duitnya halal. Yang jelas pasti uang haram dan tega dibagikan kepada anak bininya. Gila mereka.
Ada seorang mahasiswi
Universitas Islam Negeri yang bilang sama saya, “Jadi, selama ini kita
teriak-teriak mendukung tim kita enggak ada gunanya. Kan semuanya sudah
diketahui hasilnya dan diatur sama para mafia. Kita hanya jadi tertipu.”
So?
No comments:
Post a Comment